Jumat, Januari 16, 2009

Tujuh Negara Danai Program REDD di Indonesia

Tujuh Negara Danai Program REDD di Indonesia

Jakarta (ANTARA News) - Tercatat telah ada tujuh negara yang mendanai program "Reducing Emmisions from Deforestation in Development Countries" (REDD) di Indonesia.

"Hingga saat ini ada tujuh negara yang memberikan sokongan dana untuk REDD," kata Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) Departemen Kehutanan (Dephut), Sunaryo, kepada ANTARA di Depok, Jabar, minggu ini.

Dikatakannya dukungan dana diberikan berupa bantuan dan pinjaman lunak.

Beberapa negara yang memberikan dukungan dana dalam bentuk sumbangan untuk pelaksanaan program pengurangan emisi akibat deforestasi di Indonesia adalah Australia, Norwegia, Jerman, dan Inggris.

Sedangkan negara yang memberikan dana berupa pinjaman lunak untuk program ini, Jepang dan Perancis.

"Terakhir Korea Selatan, yang memberikan dukungan dana dalam bentuk sumbangan untuk program CDM (clean development mecanishem)," ujar dia.

Lebih lanjut, Sunaryo menjelaskan bahwa dukungan dana yang diberikan dipergunakan untuk mendukung operasional pemeliharaan hutan secara lestari.

Kegiatan-kegiatan pemeliharaan tersebut, ujar dia, melibatkan masyarakat. Selain itu dana dipergunakan untuk mendukung berbagai kegiatan masyarakat yang pada intinya menjaga kelestarian hutan guna mengurangi emisi karbon.

"Sekarang ini memang masih berupa 'pilot project' di beberapa daerah seperti Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Palembang. 'Proyek Percontohan' ini belum begitu luas memang, paling tidak 100.000 hektare," katanya.

Sunaryo juga menjelaskan bahwa 'soft loan' atau pinjaman lunak memang dipergunakan untuk menutup defisit anggaran secara keseluruhan. Imbalnnya adalah Indonesia harus menjaga hutannya. (*)

Sumber :
http://www.antara.co.id/arc/2009/1/4/tujuh-negara-danai-program-redd-di-indonesia/
4/01/09 16:34

Kamis, April 03, 2008

Ribuan Pakis Hijaukan Lereng Gunung Lawu

Ribuan Pakis Hijaukan Lereng Gunung Lawu

Semarang, Senin - Lereng Gunung Lawu di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, telah ditanami pohon pakis tak kurang dari 15.000 pohon sejak Desember 2007 hingga Maret 2008. Sampai akhir 2008, kawasan tersebut akan ditanami 50.000 pohon pakis sebagai usaha penghijauan. "Secara keseluruhan, pohon pakis itu akan ditanam di atas lahan seluas 5 ribu hektare tersebar di lima kecamatan, meliputi Kecamatan Ngargoyoso, Jenawi, Mateseh, Tawangmangu, dan Jatiyoso," kata Kepala Kantor Informasi dan Komunikasi (KIK) Kabupaten Karanganyar, Iskandar ketika dihubungi dari Semarang, Senin (31/3).


Selain untuk penghijauan, penanaman pohon pakis itu dimaksudkan pula sebagai pelestarian hutan. Apalagi akhir-akhir ini pohon pakis sering diburu oleh masyarakat sebagai media tanaman hias jenis anthurium. Sebagai langkah awal penanaman pohon pakis itu dilaksanakan di Desa Anggrasmanis, Kecamatan Jenawi pada 12 Desember 2007. "Saat itu masyarakat setempat menanam sekitar 1.500 pohon pakis di atas lahan seluas tiga hektare," katanya.


Sejak tanaman hias jenis anthurium booming, katanya, banyak pohon pakis diambil untuk dijadikan media tanaman hias ini. "Untuk mengatasi agar hutan pakis tetap lestari, maka Pemkab Karanganyar bersama jajaran Perhutani dan masyarakat peduli lingkungan akan menanam pohon pakis di lereng Gunung Lawu. Diharapkan tahun 2008 sebanyak 50 ribu pohon pakis sudah tertanam semua." (ANT/WAH)

Sumber :

http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/03/31/18433542/ribuan.pakis.hijaukan.lereng.gunung.lawu.

Senin, 31 Maret 2008 | 18:43 WIB

Tiga Negara Bicarakan Konservasi Kalimantan

Tiga Negara Bicarakan Konservasi Kalimantan

Jakarta, Kamis - Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam akan melaksanakan The 2nd Tri-Lateral Meeting di Pontianak pada tanggal 4-5 April 2008. Pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari the 1st HoB (Heart of Borneo) Tri-Lateral Meeting di Brunei Darussalam tanggal 18-20 Juli 2007 dan Preparatory Meeting for the 2nd HoB Tri-Lateral Meeting.


The 2nd Tri-Lateral Meeting ini akan membahas Rencana Aksi Strategis (Strategic Plan of Action Heart of Borneo) forum tiga negara untuk Heart of Borneo yang selanjutnya akan menjadi dasar untuk mewujudkan visi konservasi dan pembangunan berkelanjutan ketiga negara tersebut di jantung pulau Borneo. Rencana aksi ketiga negara ini merupakan tindak lanjut deklarasi ketiga negara untuk Heart of Borneo sebelumnya di Bali.


Dalam deklarasi tersebut tiap negara memperoleh mandat untuk menyiapkan dokumen kerja nasional (National Project Document) terkait rencana dan langkah operasional untuk melaksanakan konsep HoB baik di tingkat nasional maupun lokal.


Program kerja sama yang telah disepakati ketiga negara dalam HoB ini meliputi kerja sama lintas batas (Transboundary Management), pengelolaan kawasan konservasi (Protected Areas Management), pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan pada kawasan non-konservasi (Sustainable Natural Resource Management), dan pendanaan (Sustainable Financing).


Dalam the 2nd Tri-Lateral Meeting di Pontianak tanggal 4-5 April 2008, diharapkan terwujud kesepakatan pembentukan kelembagaan HoB untuk memudahkan forum mengimplementasikan deklarasi secara efektif. Kelembagaan ini nantinya akan menginisiasi, mendukung, dan menyiapkan mekanisme dialog, konsultasi, kerjasama, dan partisipasi tiga negara ini dalam hal penyusunan dan pelaksanaan inisiatif konservasi dan pembangunan berkelanjutan dalam lingkup HoB.


Heart of Borneo, merupakan upaya konservasi hutan lintas negara Indo-Malayan di Asia Tenggara, tepatnya di Pulau Borneo, dengan areal seluas 220.000 km2 yang mencakup wilayah Indonesia (57,1%), Malaysia (42,3%), dan Brunei Darussalam (0,6%). Heart of Borneo dengan luas areal hampir sepertiga dari luas total Pulau Borneo, merupakan ekosistem unik yang memiliki biodiversitas tinggi dengan kondisi geografis didominasi oleh dataran tinggi dan pegunungan dan menjadi daerah serapan air yang menyediakan air ke seluruh Pulau Borneo.(Ant)

Sumber :

http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/04/03/10294482/tiga.negara.bicarakan.konservasi.kalimantan

Kamis, 3 April 2008 | 10:29 WIB

Makin Paham Perubahan Iklim, Orang Makin Apatis

Makin Paham Perubahan Iklim, Orang Makin Apatis

Jakarta, Senin - Semakin tahu seseorang tentang fenomena perubahan iklim, tampaknya kian tak mau ambil peduli alias apatis. Demikian hasil survei lewat telpon yang dilakukan oleh dua peneliti ilmu politik dari Universitas Texas A&M, Amerika Serikat. Penelitian yang melibatkan 1.093 responden ini mendapati tren apatis, dan hal itu diungkapkan dalam jurnal ilmiah berjudul "Risk Analysis" edisi teranyar, Senin (31/3).


"Semakin paham responden kami tentang isu perubahan iklim, mereka semakin sadar bahwa mereka sebagai pribadi sangat bertanggungjawab atas fenomena ini, tapi mereka di sisi lain juga semakin tidak mau peduli terhadap pemanasan global," demikian dikutip dari hasil penelitian berjudul "Kemanjuran Pribadi, Informasi Lingkungan Hidup, dan Perilaku Menyikapi Pemanasan Global dan Perubahan Iklim di Amerika Serikat" itu.


Kajian ini menunjukkan bahwa ketika para ahli sudah berhasil memompa pehamanan publik AS tentang isu perubahan iklim, yang terjadi justru penurunan rasa tanggung jawab terhadap pemanasan global. Menurunnya perhatian publik Amerika terhadap tanggungjawab mereka terjadi tepat ketika kampanye perubahan iklim demikian meledak, salah satunya lewat film "An Inconvenient Truth and Ice Age: The Meltdown" serta curahan perhatian media untuk isu ini.


Para peneliti, Paul M Kellstedt dan Arnold Vedlitz, dosen ilmu politik di Texas A&M menyebutkan bahwa hasil penelitian mereka memang sedikit di luar perkiraan awal. Kellstedt menjelaskan, fokus penelitian ini bukan untuk menakar seberapa paham publik Amerika terhadap isu pemanasan global, tapi untuk mencari tahu apakah mereka lebih peduli seiring dengan taraf pemahaman mereka tersebut. "Berangkat dari situ, kami tidak punya ekspektasi soal tingkat pemahaman publik tentang pemanasan global," katanya. Tapi, Kellstedt menambahkan, temuan ini justru menunjukkan bahwa semakin paham seseorang soal perubahan iklim, mereka justru merasa makin tidak wajib bertanggungjawab atas fenomena berubahnya iklim dan ini sangat mengejutkan.


"Kami berharap hal yang sebaliknya terjadi, tapi nyatanya kondisi di lapangan tidak demikian adanya. Hasil penelitian kami, yang memang masih minim dalam hal responden, menampakkan faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkat kepedulian publik terhadap perubahan iklim," katanya. (ANT/WAH)


Sumber :

http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/03/31/18494727/makin.paham.perubahan.iklim.orang.makin.apatis

Senin, 31 Maret 2008 | 18:49 WIB

Tak Ada Lagi Bakau di Marunda

Tak Ada Lagi Bakau di Marunda

Oleh : Mulyawan Karim


Haji Tarmizi masih ingat, pada tahun 1970-an Marunda, kampungnya, sering dijadikan lokasi pembuatan film. Sebut saja, misalnya, Singa Betina dari Marunda yang dibintangi WD Mochtar, Hadi Sjam Tahak, dan Connie Suteja serta Benyamin Tarzan Kota, dengan pemeran utama aktor Betawi kocak Benyamin Sueb.


Singa Betina dan Tarcuma adalah dua dari sederet film yang shooting-nya dilakukan di desa pesisir di ujung timur Teluk Jakarta itu. ”Waktu itu rumah saya ini suka dijadikan tempat menginap artis dan awak film,” kenang Tarmizi dalam obrolan hari Minggu lalu di rumahnya, tak sampai 20 meter dari sisi timur muara Kali Blencong, sungai lebar yang membelah dataran Marunda jadi dua. ”Saya dan teman-teman malah sering ikut diajak main jadi figuran,” kenang lelaki Betawi berumur 52 tahun itu, yang mengaku warga asli Marunda.


Menurut Tarmizi, waktu itu alam Marunda masih indah. ”Pohon kelapa masih ada di mana-mana. Tepian Sungai Blencong dan kali-kali kecil lain yang mengitarinya dipadati pohon enau. Pada masa 30-an tahun lalu Marunda juga bukan kampung yang terletak langsung di tepi laut seperti sekarang. ”Jarak dari kampung ini ke laut masih beberapa kilometer. Untuk sampai ke laut kami masih harus naik perahu, lewat hutan bakau dan tambak-tambak ikan bandeng dan udang,” ujar Tarmizi, yang kini Ketua RT 01 RW 07 Kelurahan Marunda, Cilincing, Jakarta Utara.


Kini nyaris tak ada lagi kehijauan di Marunda. Tak ada sepotong pun pohon kelapa dan enau yang masih bisa dilihat di sana. Hutan bakau Marunda yang luas dan lebat pun tinggal cerita. Hutan tumbuhan khas daerah pesisir itu sudah punah akibat proses abrasi yang terus menggerus tanah pantainya selama lebih dari 30 tahun.


Dari sebuah desa yang leluasa dan aman dari ancaman gelombang laut, Marunda kini sudah berubah menjadi perkampungan relatif padat yang berada langsung di tepi laut terbuka. Sebagian rumah warga bahkan berdiri hanya beberapa meter dari bibir pantai, membuatnya seperti akan tersapu setiap kali gelombang besar datang. ”Belum lama ini pos kamling (pos keamanan lingkungan) yang kami bangun hancur oleh gelombang besar,” ujar Tarmizi sambil menunjuk sisa-sisa bangunan pos keamanan yang sudah rata dengan tanah.


Penambangan pasir


Menurut Tarmizi, kehancuran hutan bakau Marunda dimulai pada awal tahun 1890-an. Ketika itu secara besar-besaran terjadi penambangan atas pasir beting di perairan laut Marunda untuk pembangunan jalan raya Cakung-Cilincing. Beting atau bukit pasir yang menyembul di laut itu membentang sepanjang sekitar 5 kilometer dari perairan pantai Cilincing di barat sampai ke daerah Muara Gembong di Bekasi.


Jaelani Asmat, warga lain Marunda, bahkan mengingatkan, penambangan pasir beting Marunda secara besar-besaran sudah terjadi sejak tahun 1960-an, saat pemerintah membangun jalan Jakarta By Pass, jalan raya yang menghubungkan daerah Cawang di Jakarta Timur dan Tanjung Priok di Jakarta Utara. ”Beting yang lebarnya mencapai sekitar 20 meter ini merupakan benteng alam pelindung hutan bakau dan daratan Marunda,” cerita Jaelani. Setelah beting hilang, karena pasirnya terus diambil, daerah Marunda jadi langsung berada di tepi laut terbuka.


Ditambahkan Jaelani, berbagai faktor lain ikut mempercepat penghancuran lingkungan alam pesisir Marunda yang asri. Salah satunya adalah proyek pembangunan Pusat Perkayuan Marunda (PPM) pada tahun 1980-an. Dalam rangka pembangunan pelabuhan kayu, Sungai Blencong yang sempit bagian muaranya diperlebar dan diperdalam agar bisa dilalui kapal-kapal besar. ”Dari cuma 40 meter, muara Sungai Blencong diperlebar sampai sekitar 100 meter. Untuk ini pohon-pohon kelapa, nipah, dan bakau yang masih ada dibabat habis,” cerita laki-laki 58 tahun itu.


Bukan cuma hutan bakau yang habis, sebagian warga Marunda pun ikut tergusur proyek pembangunan PPM yang diimpikan menjadi pelabuhan dan pusat industri kayu raksasa itu. Saat melakukan penelitian di Marunda dalam rangka penyusunan disertasinya, akhir 1980-an, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta Swasono yang antropolog mencatat dalam ringkasan disertasinya (1991), penggusuran itu telah mengakibatkan ratusan keluarga warga Marunda mengalami stres.


Setelah PT PPM milik Departemen Kehutanan bangkrut, proyek pembangunan pelabuhan di Marunda dilanjutkan oleh pengelola Kawasan Berikat Nusantara (KBN) yang juga melanjutkan kegiatan pelebaran Sungai Blencong dan pengerukan laut di sekitar pesisir Marunda. Produksi udang dan ikan bandeng di tambak-tambak yang tersisa pun terus merosot akibat air Sungai Blencong tercemar berat limbah industri sejak dari hulunya di Bekasi.


Berbagai usaha pemerintah mereboisasi hutan bakau tak kunjung membuahkan hasil. ”Tahun lalu Departemen Kelautan dan Perikanan menanam 20.000 bibit bakau di Marunda Pulo dan kampung-kampung lain di Marunda yang berlokasi langsung di tepi laut. Namun, yang tumbuh tak lebih dari 400 pohon saja,” kata Tarmizi yang ikut terlibat dalam proyek itu. Kini, setiap masa pasang naik, rumah-rumah di pesisir Marunda, termasuk bangunan cagar budaya rumah Si Pitung dan Masjid Alam, masjid tua yang konon dibangun dalam semalam oleh Fatahillah pada abad ke-16, pasti berhari-hari terendam air laut. ”Padahal, dulu kami di sini enggak pernah kebanjiran. Kalau laut pasang, rumah paling terendam beberapa jam saja,” cerita Tarmizi.

Sumber :

http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/03/14/09281584/tak.ada.lagi.bakau.di.marunda

Jumat, 14 Maret 2008 | 09:28 WIB

Hutan Bakau Segara Anakan Terancam

Hutan Bakau Segara Anakan Terancam

Cilacap, Sabtu - Keberadaan hutan bakau (mangrove) di laguna Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, terancam akibat adanya penebangan liar oleh masyarakat sekitarnya. "Kawasan hutan mangrove Segara Anakan mengalami kerusakan akibat aktivitas penebangan liar oleh masyarakat sekitar," kata Kepala Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan, Supriyanto, di Cilacap, Sabtu (8/12).


Menurut dia, masyarakat melakukan penebangan liar untuk keperluan membuka areal pertambakan, pertanian, wilayah permukiman, dan menggunakan kayunya untuk bahan bangunan perumahan. Padahal hutan bakau Segara Anakan itu memiliki komposisi maupun struktur hutan terlengkap dan terluas di Pulau Jawa. "Hutan tersebut memiliki 26 spesies mangrove dengan luas 8.354 hektare," ujar Supriyanto.


Ia mengingatkan, keberadaan hutan mangrove Segara Anakan memiliki peran penting dalam "pengasuhan" (nursery ground) dan tempat mencari makan (feeding ground) bagi berbagai jenis burung migrasi. Selain itu, kata dia, hutan tersebut juga berperan sebagai tempat pemijahan (spawning ground) berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut lainnya.


Menurut Supriyanto, aktivitas penebangan liar yang terus berlangsung, dapat mengancam kelestarian hutan bakau Segara Anakan. "Padahal Segara Anakan juga sedang menghadapi persoalan yang sangat rumit dan memerlukan penanganan serius," kata dia lagi.


Ia menyebutkan, persoalan tersebut erat kaitannya dengan sedimentasi (pendangkalan) yang terjadi di laguna Segara Anakan. Akibat adanya sedimentasi itu luas Segara Anakan yang semula 1.400 ha kini hanya tersisa sekitar 830 ha. Sedimentasi tersebut berasal dari Daerah Aliran Sungai (DAS) yang bermuara di laguna Segara Anakan, yakni Sungai Citanduy (termasuk wilayah Jawa Barat), Cimeneng, Cikonde, dan Cibereum.
WSN

Sumber :

http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/01/08/1000146/hutan.bakau.segara.anakan.terancam....

Selasa, 8 Januari 2008 | 10:00 WIB

Eksploitasi Bakau Picu Penurunan Populasi Kepiting

Eksploitasi Bakau Picu Penurunan Populasi Kepiting

Bogor, Selasa - Degradasi ekosistem mangrove (bakau) dan eksploitasi berlebihan yang banyak terjadi di perairan Indonesia, mengakibatkan penurunan berarti populasi kepiting bakau (Scylla spp.), demikian sebuah penelitian yang dipublikasikan Institut Pertanian Bogor (IPB), Selasa (12/2). "Penurunan populasi ini diakibatkan oleh degradasi ekosistem mangrove dan eksploitasi berlebihan yang banyak terjadi di perairan Indonesia," kata Laura Siahainenia, mahasiswa S3 Program Studi Ilmu Kelautan Sekolah Pascasarjana IPB yang meneliti tentang kepiting bakau.


Melalui riset untuk disertasi doktor berjudul "Aspek Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Ekosistem Mangrove Kabupaten Subang, Jawa Barat", dengan komisi pembimbing yang terdiri Prof Dietriech G Bengen, Dr Ridwan Affandi, Dr Tutik Wresdiyati dan Dr Iman Supriatna, promovendus juga mengemukakan bahwa ekspor kepiting bakau Indonesia terus meningkat.


Pada tahun 2000 ekspor mencapai 12.381 ton dan meningkat menjadi 22.726 ton pada 2007. Namun, sayangnya kenaikan ekspor ini tak dibarengi dengan peningkatan populasi. Dipaparkannya bahwa produksi kepiting bakau dari Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Riau hanya mencapai 67,6 persen dari total produksi kepiting bakau Indonesia. Rata-rata pertumbuhan produksinya melambat dan cenderung menurun.


Menurut Laura Siahainenia - yang juga Staf Pengajar di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Ambon - populasi kepiting bakau perlu ditingkatkan untuk menambah nilai ekspor yang dapat meningkatkan perekonomian Indonesia, namun tetap harus memperhitungkan aspek konservasinya. "Peningkatan ini dapat dilakukan melalui upaya konservasi bagi populasi yang sudah tidak stabil dan usaha pembenihan melalui teknologi ablasi (pemotongan batang mata) tangkai mata kepiting bakau," katanya.


Dalam penelitiannya, ia menggunakan metode sampling line plot transect untuk mengamati petumbuhan populasi kepiting bakau. Penentuan karakter dewasa kelamin kepiting bakau dilakukan berdasarkan perubahan morfologis dan anatomis tubuh kepiting bakau jenis S. Serrata jantan dan betina, kemudian dianalisa dengan metode deskriptif.


Sementara, pengamatan perkembangan gonad (alat kelamin) kepiting bakau dilakukannya dengan cara mengamati perubahan warna dan struktur morfologis gonad, morfologis tubuh serta perubahan pada struktur jaringan sel telur dari 30 ekor betina, di samping perubahan warna dan struktur morfologis testis dari 30 ekor kepiting bakau jantan Scylla serrata dewasa.


Kemudian data karakter perkembangan embrio kepiting bakau dikumpulkan, diamati setiap hari selama proses inkubasi. Efektivitas penggunakan ablasi alami dilihat dari evaluasi perkembangan gonad, embrio dan larva yang dihasilkan oleh induk kepiting bakau.


Hasil penelitian itu menunjukkan salinitas, suhu, dan kecerahan perairan yang relatif stabil sangat memengaruhi tingginya intensitas pemijahan kepiting bakau karena sejak awal pembuahan sel telur kepiting bakau sudah membutuhkan perairan yang bersalinitas tinggi. Setelah memaparkan hasil risetnya tersebut, Laura Siahainenia dinyatakan lulus dan menjadi doktor baru di lingkungan IPB. (ANT/WAH)

Sumber :

http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/02/12/13314651/eksploitasi.bakau.picu.penurunan.populasi.kepiting

Selasa, 12 Februari 2008 | 13:31 WIB

Hutan Bakau Rusak Karena Ulah Pencari Cacing

Hutan Bakau Rusak Karena Ulah Pencari Cacing

Bandar Lampung, Selasa - Sekitar 20 persen dari 50 hektar kawasan hutan bakau di pantai Ringgung, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Pesawaran rusak dan mati. Kerusakan terjadi sebagi dampak ulah para pencari cacing merah yang seenaknya mengeduk akar bakau dan menebang batang bakau.


Pantauan Kompas, Selasa (19/2) di pantai Ringgung Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Pesawaran menunjukkan, di lokasi hutan yang dikeduk, akar beserta pangkal batang bakau yang tercerabut dari tanah tampak mencuat . Batang dan akar itu mati kering, sementara tanah tempat bekas tumbuh bakau terlihat gundul dan berlubang-lubang.


Untung Gunawan, salah satu warga Ringgung yang bertugas menjaga hutan bakau mengatakan, para pencari cacing itu berasal dari desa di sebelah Sidodadi yang kawasan hutan bakaunya sudah rusak dan habis. Para pencari cacing merah itu datang berkelompok, satu kelompok terdiri atas 59 orang. Mereka datang pada siang hari dan bekerja dengan alat secara diam-diam. Sehingga warga sekitar hutan bakau tidak pernah bisa memergoki mereka secara langsung.


Mereka bekerja dengan cara mengeduk akar untuk mendapatkan cacing merah hidup. Akar yang tercabut menyebabkan batang-batang bakau kering dan akhirnya mati.Perusahaan pembenuran udang di Kalianda, Lampung Selatan membutuhkan cacing merah untuk pakan indukan udang. Sehingga pembenuran udang menghargai tinggi cacing itu. Satu kilogram cacing merah hidup dibeli dengan harga Rp. 18.000. Bagaimana tidak menarik minat pencari cacing? kata Untung.


Hanya saja, permintaan tinggi dari perusahaan pembenuran itu tidak disertai dengan sikap menjaga kelestarian hutan bakau oleh masyarakat. Padahal, warga penjaga hutan bakau sudah memberitahu alternatif cara mendapatkan cacing merah. Yaitu dengan umpan ampas kelapa yang ditaruh di akar sehingga tidak perlu repot mengeduk akar. Sayangnya para pencari cacing merah justru bersikap seenaknya dengan menebang batang bakau.


Ironisnya, masyarakat penjaga hutan bakau tidak bisa berbuat banyak menghadapi perusak hutan bakau itu. Masyarakat hanya bisa menegur pencari cacing merah tanpa bisa menindak.


Masyarakat pengawas berharap untuk dilengkapi dengan surat pengawasan supaya bisa menindak para pencari cacing. Masyarakat juga berharap dinas kehutanan membuat peraturan tegas yang bisa diberlakukan secara keras kepada pemilik tambak, pencuri kayu bakau, dan pengeduk akar bakau. Apabila pemerintah hanya mendorong warga untuk menjaga dan merehabilitasi hutan bakau tanpa disertai peraturan keras, Untung yakin, hutan bakau akan terus rusak. HLN

Sumber :

http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/02/19/1919528/hutan.bakau.rusak.karena.ulah.pencari.cacing..

Selasa, 19 Februari 2008 | 19:19 WIB