Jumat, Maret 28, 2008

Spesies Baru Burung Kacamata Ditemukan

Spesies Baru Burung Kacamata Ditemukan


Cibinong, Bogor (ANTARA News) - Para peneliti Indonesia menemukan spesies baru burung Kacamata Togian (Zosterops somadikartai.) di Kepulauan Togian, Teluk Tomini, Sulawesi Tengah.

Tim peneliti dari Perhimpunan Ornitologi Indonesia (IdOU), Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menemukan spesies baru burung Kacamata itu di pesisir beberapa pulau kecil di Kepulauan Togian.

Satwa itu diketahui hidup dan berada di Pulau Malenge, Pulau Batudaka dan Pulau Togian, kata Ketua Tim Peneliti, M Indrawan di Puslibtang Biologi LIPI, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jumat.

Burung Kacamata Togian pertama kali ditemukan dalam sebuah ekspedisi pada tahun 1996 oleh Indrawan dan Sunarto, peneliti lapangan dari Universitas Indonesia UI). "Kami melakukan observasi lapangan sejak tahun 1997 hingga 2003," katanya.

Sementara pertelaan (deskripsi) jenis baru ini diselesaikan bekerjasama dengan ahli taksonomi dari Michigan State University, Amerika Serikat, Dr Pamela Rasmussen, yang mengamati spesies burung Asia.

Penemuan ini kemudian dipublikasikan dalam jurnal ornitologi terkemuka di AS, Wilson Journal of Ornithology edisi Maret 2008. Burung Kacamata merupakan kumpulan spesies yang bertubuh kecil, berwarna kehijauan dan umumnya memiliki lingkar mata berwarna putih. Jenis burung ini sangat aktif bergerak dalam kelompok-kelompok kecil.

Indonesia memiliki berbagai spesies Kacamata atau Zosterops. Berbeda dengan spesies Kacamata lain, Kacamata Togian tidak memiliki lingkaran putih di sekeliling mata. Mata berwarna kemerahan dan warna paruh lebih kemerahan dibanding spesies Kacamata lain. Sayangnya, spesies baru ini harus langsung dimasukkan dalam kategori satwa terancam punah berdasarkan kriteria International Union for the Conservation Nature and Natural Resources (IUCN).

Penggolongan tersebut dilakukan atas fakta bahwa habitat spesies baru tersebut kurang dari 5.000 kilometer persegi, populasinya terfragmentasi, hanya ditemukan di tiga pulau yaitu Malenge, Batudaka dan Togian, serta area dan kualitas habitatnya terus berkurang. Namun Indrawan mengaku, belum tahu jumlah populasi burung tersebut. "Kami tengah melakukan penelitian lebih lanjut untuk hal itu," katanya.

Dengan penemuan spesies endemik baru ini, Kepulauan Togian telah memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai daerah burung endemik, karena berdasar kriteria BirdLife International, dibutuhkan dua spesies endemik agar suatu daerah ditetapkan menjadi daerah burung endemik. Sebelumnya tim Indrawan juga telah menemukan spesies burung hantu di kawasan hutan Kepulauan Togian yang diberi nama Ninox burhani.

Sementara itu, pakar taksonomi senior, Prof Dr Soekarja Somadikarta --yang namanya diabadikan untuk nama spesies burung baru tersebut-- mengatakan, penemuan tersebut disambut luar biasa oleh dunia.
"Penemuan satu jenis burung saja itu luar biasa karena jarang. Burung lebih cepat habis atau punah karena banyak penggemarnya," kata Somadikarta yang juga menjadi Presiden Kehormatan untuk Internatioal Ornithological Congress XXV di Brazil.

Di Indonesia ada 1.598 spesies burung, belum termasuk spesies yang baru ditemukan ini, sedangkan di seluruh dunia ada sekitar 10.000 spesies burung. Dari spesies burung yang ada di Indonesia tersebut, sebagian besar ditemukan di kawasan Indonesia Timur.(*)


Sumber :

http://www.antara.co.id/arc/2008/3/14/spesies-baru-burung-kacamata-ditemukan/

14/03/08 14:08

Taman Nasional Wakatobi Harus Bangun Sarana Navigasi

Taman Nasional Wakatobi Harus Bangun Sarana Navigasi


Kendari (ANTARA News) - Pengelolah Taman Nasional (TN) Wakatobi, di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra), harus membangun Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP) untuk menjamin keselamatan pelayaran, kata Kepala Kantor Navigasi, Surono, di Kendari, Kamis.

"Jalur pelayaran dalam wilayah perairan TN Wakatobi termasuk jalur khusus sehingga berkewajiban membangun sarana keselamatan pelayaran," katanya. Kantor Navigasi hanya berkewajiban membangun sarana navigasi pada jalur formal, ujarnya.

Jalur khusus, kata dia, antara lain peraiaran TN Wakatobi, jalur yang dilalui kapal pengangkut minyak dari PT Pertamina, jalur kapal perikanan dan jalur pelayaran kapal fery yang harus dibangun PT ASDP.

Kepala TN Wakatobi, Wahyu mengatakan, pihaknya akan berkoordinasi dengan Kantor Navigasi untuk membangun sarana navigasi pelayaran. "Pembangunan sarana navigasi sangat teknis sehingga harus berkoodinasi dengan kantor Navigasi," katanya.

Wahyu mengemukakan, ratusan titik karang dan pantai di TN Wakatobi harus dibangunkan sarana navigasi demi keselamatan pelayaran. Namun, menurut dia, sampai saat ini belum terwujud karena anggaran masih terbatas, bahkan belum masuk skala prioritas.

Kepala Kantor Pariwisata dan Promosi Wakatobi, Hasirun Adi, mengatakan bahwa meningkatnya kunjungan wisatawan manca negara dan domestik di perairan Wakatobi, maka pembangunan sarana keselamatan pelayaran prioritas untuk dilaksanakan. "Beberapa tahun mendatang kapal ukuran kecil yang akan mengantar wisatawan mengunjungi pulau atau menyelam membutuhkan sarana bantu navigasi," katanya menambahkan. (*)

Sumber :

http://www.antara.co.id/arc/2008/3/13/taman-nasional-wakatobi-harus-bangun-sarana-navigasi/

13/03/08 17:09

Libatkan Masyarakat dalam Reboisasi Mangrove

Libatkan Masyarakat dalam Reboisasi Mangrove


Medan (ANTARA News) - Masyarakat yang tinggal di sekitar pantai harus dilibatkan dalam program reboisasi hutan manggrove karena merekalah yang bersentuhan langsung dengan ekosistem itu.

Direktur Sumatera Rainforest Institute (SRI), Rasyid Assaf Dongoran, di Medan, Kamis, mengatakan, kerusakan hutan manggrove memiliki dampak yang dirasakan langsung masyarakat pesisir pantai.

Dampak itu antara lain berkurangnya hasil tangkapan nelayan seperti kepiting, udang, kerang dan ikan baik ukuran konsumsi maupun ukuran benih yang tentunya berdampak pula terhadap perekonomian masyarakat pantai. "Atas dasar itu masyarakat yang tinggal di sekitar pantai harus lebih dikedepankan peranannya dalam usaha reboisasi hutan manggrove," katanya.

Selain itu, kata dia, masyarakat yang tinggal di pesisir pantai juga dapat mengawasi langsung dimana bibit manggrove yang tidak tumbuh dan langsung menggantinya dengan bibit baru.

Dari 64.439 desa di Indonesia, terdapat sekitar 4.735 desa dikategorikan sebagai desa pantai dan diperkirakan sekitar 60 persen penduduk Indonesia bermukin di daerah pantai. "Jumlah ini tentunya sangat potensial untuk mendukung reboisasi hutan manggrove," katanya. Lebih jauh ia mengatakan, dari luas 85.393 hektar hutan manggrove di Sumut, saat ini diperkirakan sekitar 60 persen sudah mengalami kerusakan yang cukup parah.

Sebagian besar rusak karena semakin menjamurnya lahan tambak udang dan perambahan yang tidak berwawasan lingkungan. Kerusakan terparah membentang dari Kabupaten Langkat, Serdang Bedagai, Asahan, Deli Serdang dan Labuhan Batu.(*)

Sumber :

http://www.antara.co.id/arc/2008/3/13/libatkan-masyarakat-dalam-reboisasi-mangrove/
13/03/08 09:01

Jakarta Terapkan Konsep 5R Untuk Pelestarian Air Tanah

Jakarta Terapkan Konsep 5R Untuk Pelestarian Air Tanah


Jakarta (ANTARA News) - Program gerakan kepedulian terhadap air tanah yang dicanangkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pada Selasa siang, menawarkan konsep 5R yakni reduce (menghemat), reuse (menggunakan kembali), recycle (mengolah kembali), recharge (mengisi kembali) dan recovery (memfungsikan kembali).

"Konsep 5R ini diharapkan bisa menyentuh seluruh lapisan masyarakat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari," kata Kepala Dinas Pertambangan DKI Jakarta, Peni Susanti dalam acara pencanangan Gerakan Peduli Sumur Resapan "Selamatkan Air Tanah Jakarta".

Ia menjelaskan, konsep penghematan 5R minimal 20 liter per hari per orang, "Gunakan air secukupnya." "Kita mendesak agar masyarakat menggunakan air bekas untuk keperluan yang tidak membutuhkan air bersih misalnya menyiram taman dan mencuci kendaraan," kata Peni.


Lebih lanjut konsep recycle adalah mengolah air limbah menjadi air bersih dengan menggunakan metode kimiawi sehingga layak digunakan lagi. Sementara konsep recharge atau mengisi kembali, masih kata Peni, adalah konsep memasukkan air hujan ke dalam tanah dan ini dapat dilakukan dengan cara membuat sumur resapan.

Dan konsep recovery yakni memfungsikan kembali tampungan-tampungan air dengan cara melestarikan keberadaan situ serta danau. Data Pemprov DKI Jakarta mencatat saat ini sumur resapan yang sudah dibangun baru mencapai 37.840 titik atau sekitar 16,71 persen dari total kebutuhan 226.466 titik.

Setiap tahunnya permukaan tanah di Jakarta turun 0,8 cm, sehingga kini ketinggiannya tinggal 0-10 meter di atas permukaan laut.
Di sisi lain, terjadi kenaikan permukaan air laut 0,57 cm per tahun. Air tanah Jakarta pun terus terancam, karena setiap tahun air tanah turun. Sekitar 87 persen di antaranya diakibatkan oleh gedung bertingkat dan 13 persen sisanya disebabkan oleh pengambilan air tanah yang tak terkendali. Menurunnya permukaan air tanah dapat dilihat saat menggali sumur, biasanya di kedalaman 20 meter sudah ditemukan air tanah, tapi sekarang dibutuhkan 40 meter baru didapati air tanah. (*)

Sumber :

http://www.antara.co.id/arc/2008/3/11/jakarta-terapkan-konsep-5r-untuk-pelestarian-air-tanah/

11/03/08 18:16

Kerusakan Pesisir Teluk Lampung Kian Parah

Kerusakan Pesisir Teluk Lampung Kian Parah


Bandarlampung (ANTARA News) - Kerusakan pantai akibat musnahnya hutan bakau serta tercemarnya perairan oleh sampah organik dan non-organik kian meluas di kawasan pesisir Teluk Lampung.

Berdasarkan pantauan di kawasan pantai di Panjang, Bandarlampung dan di kawasan Lempasing, Kabupaten Pesawaran, Senin, kawasan pantai yang panjangnya diperkirakan lebih 30 kilometer itu nyaris "tanpa" pohon bakau lagi, sementara sampah plastik dan bungkus makanan berserakan di tepi pantai.

Tumpukan sampah plastik sangat mudah ditemukan menumpuk di pinggiran pantai, seperti di perkampungan nelayan Desa Sukaraja, sementara limbah rumah tangga dan industri tetap mengotori pantai tersebut. Kawasan pantai itu bahkan sudah dikavling menjadi milik perorangan atau dijadikan sebagai tempat usaha wisata, sehingga akses warga ke pantai tanpa dikenakan pungutan semakin sulit terwujud.

Kawasan pantai itu biasanya sangat ramai dikunjungi warga Bandarlampung maupun para pendatang pada Sabtu dan Minggu atau pada hari libur. Seiring dengan meningkatkanya perkembangan aktivitas manusia, wisata, industri dan budidaya berbagai produk laut, Teluk Lampung mendapatkan ancaman pencemaran yang sangat serius.

Teluk Lampung merupakan perairan dangkal dengan kedalaman rata-rata 30 meter dengan kondisi perairan yang relatif tenang. Kawasan hutan bakau di pantai itu juga hampir punah. Berdasarkan data Pemprov Lampung, areal hutan bakau di pantai Lampung sepanjang 270 Km dan kerusakannya mencapai 80 persen.

Sisa hutan bakau di kawasan pesisir pantai Teluk Lampung di wilayah Kota Bandarlampung hanya tersisa dua hektare, terbentang dari daerah pantai Kota Karang hingga Lempasing sepanjang 28 Km.
"Kondisi hutan bakau di kawasan pesisir Bandarlampung sangat memprihatinkan. Ratusan hektare hutan bakau milik Perhutani dan rakyat pesisir sekarang hampir musnah," kata Sekretaris Umum Jaringan Perempuan Pesisir (JPP) Kota Bandarlampung, Poppy Yoseva Indra Putri.

Padahal, kawasan pesisir Telukbetung pernah dikenal sebagai daerah yang memiliki hutan bakau yang luas, membentang dari Panjang (Bandarlampung) hingga Lempasing (Kabupaten Pesawaran).


Akibat alih fungsi pesisir Telukbetung menjadi sentra pembangunan pada tahun 1970 dan dikeluarkan SK Gubernur Lampung No 155 tahun 1983 tentang Izin Reklamasi Pantai, membuat hutan bakau di kawasan pesisir itu musnah. "Kini ratusan hektare hutan bakau milik Perhutani dan rakyat pesisir telah tergerus dan musnah. Tanah timbul dari hasil reklamasi terlihat menonjol di tengah pantai dan kini ditelantarakan," ujarnya. Hilangnya hutan bakau berdampak pada kerusakan pantai dan datangnya bencana dari arah laut.(*)

Sumber :

http://www.antara.co.id/arc/2008/3/10/kerusakan-pesisir-teluk-lampung-kian-parah/
10/03/08 08:07

408 Jenis Satwa Liar Indonesia Terancam Punah

408 Jenis Satwa Liar Indonesia Terancam Punah


Samarinda (ANTARA News) - Sekitar 408 jenis satwa liar di Indonesia terancam punah akibat maraknya praktik perdagangan dan perburuan satwa ilegal, pembukaan areal tambang yang tidak terkendali, serta perambahan hutan yang merusak habitat.

Kekhawatiran itu disampaikan oleh sekitar 25 mahasiswa dari Ikatan Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Mulawarman (IMAPA Unmul) yang berunjukrasa di simpang empat Mall Lembuswana, Samarinda, Kaltim, Kamis sore. "Aksi ini kami lakukan untuk memperingati Hari Konservasi Perdagangan Satwa Liar yang jatuh pada tanggal 6 Maret," ungkap Koordinator aksi unjukrasa IMAPA Unmul, M. Arif Nashari ditemui di sela-sela unjuk rasa.

Selain melakukan orasi dan membagi-bagikan selebaran yang berisi seruan untuk menghentikan eksploitasi satwa liar, aksi unjukrasa yang mulai berlangsung sekitar pukul 16. 30 wita itu juga diwarnai aksi teatrikal dengan membuat kandang persis di tengah jalan.

Dalam aksi teatrikal itu yang mengundang perhatian pengguna jalan tersebut, dua mahasiwa berada dalam kandang yang digambarkan sebagai orangutan yang akan diperdagangkan. "Orangutan yang hidup di Kalimantan salah satu satwa liar yang menjadi incaran para pemburu untuk diperdagangkan. Aksi teatrikal ini menggambarkan, perlakuan orang-orang yang tidak bertanggung jawab terhadap kehidupan satwa liar yang populasinya kian kecil,"ujar M. Arif Nashari.

Data IMAPA Unmul tercatat, dari 300 ribu satwa liar yang ada di dunia, 17 persen diantaranya hidup di hutan Indonesia. Sebanyak, 515 jenis mamalia dan 1539 jenis burung serta 45 persen jenis ikan di dunia hidup di perairan Indonesia.

Dari data tersebut, jumlah satwa liar yang terancam punah di Indonesia yakni 147 jenis mamalia, 114 jenis burung, 28 jenis reptil, 91, jenis ikan dan 28 jenis invertebrata. "Sungguh sangat memprihatinkan, Idonesia yang dikenal sebagai negara kaya Sumber Daya Alam (SDA) namun ratusan jenis satwa liarnya terancam punah akibat kurangnya perhatian pemeirntah dalam melindungi satwa-satwa itu, "ungkap Korlap IMAPA Unmul tersebut.

Dikatakan, perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian habitat satwa langka di Indonesia. M. Arif Nahari mengungkapkan, 95 persen satwa yang dijual di paar merupakan hasil tangkapan alam dan bukan hasil penangkaran. Lebih dari 20 persen satwa liar yang dijual di pasaran, kata dia mati akibat sistem pengangkutan yang tidak layak. "Berbagai jenis satwa dilindungi terancam punah akibat masih diperdagangkan secara bebas di Indonesia. Semakin langka satwa itu, harganyapun kian mahal sehingga banyak satwa-satwa langka di Indonesia menjadi incaran untuk dijual ke luar negeri,"ujarnya.

Perdagangan satwa liar kata M. Arif Nashari diperkirakan beromzet sembilan triliun per tahun. Orangutan kata dia, dibeli dari pemburu Rp 50 per ekor lalu dijual lagi menjadi Rp 3 juta per ekor. Harga tersebut berubah saat dipasarkan ke pasar-pasar penjualan satwa liar Asia-Tenggara menjadi $ 15 Dollar AS dan naik $ 45 Dolar AS ketika dijual di pasar Amerika.

Salah satu penyebab terancam punahnya satwa liar itu yakni perambahan hutan yangtidak bertanggung jawab. Data IMAPA Unmul, laju kerusakan hutan mencapai 3,8 juta hektar per tahun. "Kami mendesak pemerintah untuk menghentikan laju kerusakan hutan yang menjadi habitat satwa liar yang ada di Indonesia. Kami juga meminta petugas yang berwenang (bea cukai dan kepolisian serta instansi terkait) bertindak tegas terhadap pelaku perdagangan satwa liar,"kata Korlap IMAPA Unmul itu. Aksi unjukrasa seruan menghentikan eksploitasi satwa liar itu berakhir sekitar pukul 16. 00 WITA.(*)

Sumber :

http://www.antara.co.id/arc/2008/3/6/408-jenis-satwa-liar-indonesia-terancam-punah/
06/03/08 21:21

Pemanasan Global Bukan Hanya Ancam Karang

Pemanasan Global Bukan Hanya Ancam Karang


Wellington (ANTARA News) - Permukaan air laut yang naik akibat pemanasan global akan mengancam kehidupan dan tempat tinggal lebih dari 200.000 orang yang tinggal di pulau karang dalam beberapa generasi mendatang, demikian laporan PACNEWS, Senin.

Peringatan tersebut dikeluarkan oleh arkeolog dan ahlimengenai manfaat pulau karang di University of Queensland, Marshall Weisler. Weisler, sebagaimana dilaporkan oleh Xinhua, mengatakan bahwa kepulauan Kiribati, Tuvalu dan Kepulauan Marshall di Pasifik Tengah, serta Maladewa di Samudra Hindia menghadapi resiko terbesar.

Weisler menyatakan situasinya lebih serius dibandingkan dengan yang disadari manusia di bidang pertanian, yang memang sudah hilang akibat naiknya permukaan air laut di Kepulauan Marshall, kata PACNEWS --kantor berita regional yang berpusat di Suva, Senin. "Banyak orang telah memperlihatkan kepada saya daerah yang dulu terdapat kebun sekarang menjadi laguna. Ada pohon kelapa yang tumbuh 20 meter dari bibir pantai, separuhnya telah tumbang," kata Weisler.


"Di Kiribati, ada gelombang tinggi yang merendam banyak bagian desa, sehingga orang berada di tanah kering pada pagi hari dan desa rumah panggung sementara air menggenangi bawah rumah mereka selama laut pasang akibat daya tarik bulan." "Ada masalah yang sangat serius bagi generasi mendatang yang mungkin tak dapat hidup di pulau tempat tinggal mereka sekarang," katanya.

Panel Internasional mengenai Perubahan Iklim telah meramalkan permukaan air laut dapat naik antara sembilan dan 88 sentimeter pada abad ini. Pulau karang menghadapi ancaman karena semuanya adalah pulau karang kecil yang nyaris tak berada di atas permukaan air laut.


Weisler mengatakan naiknya permukaan air laut yang sudah diramalkan rumit karena air dapat naik dengan tingkat yang berbeda dan memiliki dampak yang berbeda, tergantung atas lokasi pulau karang tersebut. Ia menyatakan negara pulau akan menghadapi keputusan berat pada masa depan mengenai kepemilikan lahan, masa depan ekonomi dan penempatan kembali seluruh negara tersebut di dalam wilayah lain. "Rakyat di kepulauan ini memiliki suara kecil karena mereka bukan negara industri Barat dengan banyak penduduk. Orang memperhatikan mereka," kata Weisler. (*)


Sumber :
http://www.antara.co.id/arc/2008/3/3/pemanasan-global-bukan-hanya-ancam-karang/
03/03/08 13:42

Waktu Seakan Berhenti di Taman Nasional Kayan Mentarang

Waktu Seakan Berhenti di Taman Nasional Kayan Mentarang

Oleh : Iskandar Zulkarnaen

Samarinda (ANTARA News) - Nun jauh di pedalaman Kalimantan terdapat hamparan hutan tropis dengan ekosistem dataran tinggi yang masih terjaga. Namanya Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM).

Kawasan seluas 1,32 juta hektare ini, dikenal karena merupakan taman nasional terluas di Asia. Kondisi alam yang kurang bersahabat karena berbukit-bukit dan berlembah-lembah, serta bertebing curam membuat kawasan itu aman dari tangan perambah hutan. Letaknya juga jauh di pedalaman Kalimantan, sehingga menyulitkan bagi mobilisasi alat-alat berat dari kota.

Sebagian kawasan konservasi itu memang ada yang rusak, khususnya yang dekat dengan Sabah dan Serawak, Malaysia. Namun secara umum, kawasan yang ditetapkan pertama kali pada tahun 1980 sebagai Cagar Alam oleh Menteri Pertanian Indonesia itu masih bagus ketimbang hutan di Indonesia.

Kawasan itu selain memiliki keanekaragaman hayati luar biasa juga menyimpan potensi wisata yang menggagumkan karena terdapat lokasi peninggalan pra-sejarah serta kehidupan asli warga Dayak yang masih mempertahankan tradisinya sejak ribuan lalu. Semuanya belum ada yang berubah. Di Taman Nasional Kayan Mentarang seolah waktu berhenti.

Di kawasan itu, komunitas warga Dayak Punan masih mempertahankan kehidupan meramu hasil hutan ikutan --damar, sarang burung dan gaharu. Mereka tidak pernah menetap dalam satu lokasi. Selain Dayak Punan terdapat komunitas sub-etnik Dayak yang diperkirakan jumlahnya sekitar 21.000 orang. Mereka juga memiliki sub kelompok bahasa bermukim di dalam dan di sekitar taman nasional.

Komunitas Dayak, seperti suku Kenyah, Kayan, Lundayeh, Tagel, Saben dan Punan mendiami sekitar 50 desa yang ada di kawasan TNKM. Mereka masih mempertahankan tradisi, masih tinggal di rumah Lamin --rumah panggung khas Dayak yang bisa ditinggali 100 orang-- serta pola berladang.

Kehidupan warga Dayak di rumah Lamin menarik perhatian sejumlah wisatawan asing yang berkunjung ke kawasan itu. Peninggalan kuburan batu di hulu Sungai Bahau dan hulu Sungai Pujungan, yang merupakan peninggalan suku Ngorek, juga menggugah minat wisatawan serta para peneliti.

Namun, karena TNKM merupakan bagian "heart of Borneo" yang jauh di pedalaman, perlu biaya besar, waktu dan tenaga untuk mencapai kawasan itu. Mencapai kawasan TNKM bisa melalui Kabupaten Malinau dan Kabupaten Nunukan, karena kawasan konservasi itu berada dalam dua kabupaten tersebut. Sebagian kawasan TNKM berbatasan dengan Serawak di Kabupaten Malinau dan sebagian berbatasan dengan Sabah di Kabupaten Nunukan.

Mencapai lokasi tersebut membutuhkan dana jutaan rupiah dari ibukota provinsi Kaltim Samarinda karena harus menggunakan berbagai alat transportasi mulai dari pesawat, darat dan sungai. Bagi para wisatawan, mungkin ada satu hal yang mengejutkan saat berkunjung ke TNKM, yakni apabila beruntung bersua dengan satwa langka yang sebelumnya sudah dianggap punah dari bumi Borneo, yakni Gajah Kalimantan (Elephas maximus borneensis).

Hasil survei yang dilakukan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim dana Suaka Margasatwa (World Wild-life Fund/WWF) Indonesia dan mahasiswa Laboratorium Keanekaragaman Hayati Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman pada Februari hingga maret 2007 menemukan bahwa populasi satwa langka tersebut hanya berkisar 25 hingga 45 ekor.

Gajah Kalimantan berbeda dengan Gajah Sumatera dan Gajah Asia. Gajah ini adalah sub-spesies dari gajah Asia. Asal usul gajah Kalimantan masih merupakan kontroversi. Terdapat hipotesis bahwa mereka dibawa ke pulau Kalimantan. Pada tahun 2003, penelitian DNA mitokondria menemukan bahwa leluhurnya terpisah dari populasi daratan selama pleistosen, ketika jembatan darat yang menghubungkan Kalimantan dengan kepulauan Sunda menghilang 18.000 tahun yang lalu.

Spesies ini kini berstatus kritis akibat hilangnya sumber makanan, perusakan rute migrasi dan hilangnya habitat mereka. Dilaporkan pada tahun 2007 hanya terdapat sekitar 1.000 gajah. Kondisi alam yang berbukit-bukit, berhutan lebat serta dingin menyebabkan Gajah Kalimantan itu mengalami evolusi sehingga memiliki tubuh lebih kecil, telinga yang lebar, gading dan belalainya lebih panjang, serta ekornya nyaris menyentuh tanah serta berbulu panjang dan lebat.

Kawasan TNKM terletak pada ketinggian antara 200 meter sampai sekitar 2.500 m di atas permukaan laut, mencakup lembah-lembah dataran rendah, dataran tinggi pegunungan, serta gugus pegunungan terjal yang terbentuk dari berbagai formasi sedimen dan vulkanis.

Selama puluhan tahun banyak pihak meyakini gajah sudah punah di Kalimantan, namun berdasarkan penelitian WWF, KSDA Kaltim dan Universitas Mulawarman Samarinda belum lama ini, ada kawanan satwa langka itu di kawasan hutan Sebuku, Kabupaten Nunukan, Kaltim, namun terancam segera punah.

Dari data Forum Pecinta Satwa Kaltim, gajah kalimantan (Elephas maximus borneensis.) merupakan spesies gajah Asia dan Sumatra yang terisolasi sekira 300.000 tahun lalu. Gajah kalimantan dinilai termasuk satwa paling langka untuk spesies gajah karena memiliki perbedaan dengan satwa sejenis yang terdapat di berbagai belahan dunia.

Gajah kalimantan merupakan gajah pegunungan, karena topografi kawasan Hutan Sebuku yang tinggi dan berbukit. Gajah ini beda dengan gajah sumatera karena merupakan sub spesies gajah asia. Dari hasil uji DNA, gajah kalimantan memiliki perbedaan genetik dengan gajah di Srilangka, India, Bhutan, Bangladesh, Thailand, Laos, Vietnam, Kamboja, semenanjung Malaysia dan Sumatera.

Namun, selama ini belum ada upaya dari pemeritah untuk melakukan perlindungan terhadap gajah yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia itu. Upaya terpenting bagi pemerintah adalah menyelamatkan kawasan konservasi itu dari berbagai kegiatan untuk merusak hutan yang menjadi habitat Gajah Kalimantan.

Bagi wisatawan yang beruntung, melihat gajah kalimantan di TNKM merupakan suatu hal luar biasa karena melibat sebuah keajaiban dunia yang masih berkelana di rimba Kalimantan. (*)

Sumber :

http://www.antara.co.id/arc/2008/2/12/waktu-seakan-berhenti-di-taman-nasional-kayan-mentarang/
12/02/08 18:26