Kamis, Maret 20, 2008

Adu Domba

Adu Domba


''Tidak akan masuk surga bagi orang yang tukang mengadu domba.'' (HR Bukhari dan Muslim). Adu domba dalam bahasa Arab adalah al-namimah. Ia mempunyai arti memindahkan ucapan seseorang kepada orang lain dengan tujuan merusak salah satu faktor yang menyebabkan terputusnya suatu ikatan yang telah terjalin, serta yang menyulut api kebencian dan permusuhan antarsesama manusia. Sedangkan pelakunya disebut al-qattat.


Ibnu Katsir dalam kitabnya, An-Nihayah menjelaskan bahwa yang dimaksud al-qattat adalah orang yang menguping (mencuri dengar pembicaraan orang lain) tanpa sepengetahuan mereka, lalu ia membawa pembicaraan tersebut kepada orang lain dengan tujuan mengadu domba. Allah SWT mencela pelaku adu domba tersebut dalam firman-Nya, ''Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina dan banyak mencela, yang kian kemari menghamburkan fitnah.'' (QS Al-Qalam [68]: 10-11).


Di antara kisah yang menggambarkan betapa sensitifnya sifat ini adalah sebagaimana disebutkan Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Mukhtashar Minhajul Qashidin. Di dalamnya dikisahkan seseorang menjual budak, seraya berkata kepada pembelinya, ''Budak ini tidak mempunyai satu aib pun, hanya saja dia suka mengadu domba.''


''Tidak menjadi soal bagiku!'' kata pembeli. Setelah budak itu berada di rumah si pembeli, dia menghampiri istri tuannya seraya berkata, ''Sebenarnya tuanku tidak mencintai nyonya. Meski begitu, dia tetap ingin menikahi nyonya. Jika nyonya menghendaki, saya bisa membujuknya agar dia tidak menceraikan nyonya, lalu ambillah pisau untuk mencukur rambutnya tatkala dia tidur. Hal ini bisa menyihirnya, sehingga dia senantiasa mencintai nyonya.''


Lalu budak itu berkata kepada tuannya, ''Istri tuan berkomplot dengan seseorang dan ingin membunuh tuan selagi tuan sedang tidur.'' Akhirnya sang tuan pura-pura tidur. Ketika sang istri menghampirinya pelan-pelan sambil membawa pisau, dia mengira istrinya benar-benar akan membunuhnya. Maka, dia segera bangkit dan membunuh istrinya. Keluarga sang istri pun mendatanginya, lalu membunuhnya pula. Bahkan, permusuhan merembet antara kabilah suami dan istri.


Adu domba merupakan perangai tercela yang menanamkan dendam di antara manusia. Ia bisa memisahkan seseorang dengan kerabatnya, teman, bahkan dengan anggota keluarganya sendiri. Sebagai Muslim, jauhilah sikap itu. (Indah Puspitasari)


Sumber :

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=322035&kat_id=14&kat_id1=&kat_id2=

Sabtu, 02 Februari 2008

Ibrah Kematian

Ibrah Kematian


Suatu ketika Abdullah bin Umar mendatangi majelis Rasulullah yang sedang berkumpul bersama sepuluh sahabat. Seorang sahabat Anshar di antara mereka bertanya, ''Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling cerdas dan pemurah itu?'' Beliau menjawab, ''Yaitu orang yang paling rajin mengingat kematian serta paling baik persiapannya dalam menghadapinya. Itulah orang cerdas yang akan memperoleh kehormatan di dunia dan kemuliaan di akhirat kelak.'' (HR Hakim, Thabrani dan Tirmidzi).


Kemarin kita telah mendengar berita, menyaksikan melalui televisi, membaca di media massa, atau mungkin melihat langsung, seorang jenderal dan mantan presiden wafat dipanggil Allah SWT. Hari ini mungkin ada di antara saudara dan kerabat kita yang menyusul menghadap Sang Pencipta. Kemudian, kelak giliran kita yang akan menghadap Sang Khalik.


Walau kematian itu merupakan suatu yang ghaib, namun adalah suatu yang pasti terjadi menjemput setiap insan yang bernyawa. Malaikat Izra'il, sang pencabut nyawa, tidak pandang orang, apakah dia penguasa atau rakyat jelata, jenderal atau kopral, orang shaleh maupun penjahat, semua akan mendapat giliran.


Firman Allah SWT, ''Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memerdayakan.'' (QS Ali Imran [3]: 185).


Bagi mereka yang masih hidup, kematian seseorang merupakan ibrah (pelajaran) yang tak ternilai harganya. Pemimpin Muslim Umar bin Abdul Azis sering mengingatkan kaumnya, ''Tidakkah kalian mengambil ibrah dari kematian seseorang? Suatu pagi atau petang kalian ikut memandikan dan mengafankan seseorang? Menshalatkan, lalu kalian menempatkannya ke dalam liang lahat dan menjadikan tanah sebagai bantalnya?''


Imam Al-Qurthubi menjelaskan, ''Ingat mati dapat menjauhkan diri dari perbuatan maksiat, melunakkan hati yang keras, menghapus kebanggaan terhadap dunia dan meringankan masalah.'' Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari kiamat kecil yang satu persatu dialami para pendahulu kita. Betapa hidup ini hanya sejenak saja, terlalu sayang bila disia-siakan dengan perbuatan yang tidak bermanfaat. (Ali Farhan Tsani)

Sumber :

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=321922&kat_id=14&kat_id1=&kat_id2=
Jumat, 01 Februari 2008

Perbuatan Sia-sia

Perbuatan Sia-sia

''Sesungguhnya beruntunglah orang-orang Mukmin. Yaitu, orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya. Dan orang-orang yang meninggalkan perbuatan sia-sia.'' (QS Almukminun [23]: 1-3).


Dalam kehidupan keseharian, disadari atau tidak, manusia seringkali terjebak dalam perbuatan sia-sia (al-laghwu). Perbuatan yang kelak di hari kiamat tidak mendatangkan pahala, bahkan sebaliknya mendatangkan kerugian dan akhirnya menyeret pelakunya ke neraka. Karena itulah kita mesti berhati-hati dalam melangkah, bertindak dan bersikap.


Rasulullah SAW dalam sebuah hadis menyebutkan, segala sesuatu yang di dalamnya tidak terdapat dzikrullah (mengingat kepada Allah) merupakan perbuatan sia-sia, seperti senda gurau dan permainan. Kecuali empat hal yaitu senda gurau suami-istri, melatih kuda, berlatih memanah dan mengajarkan renang.


Seorang ulama hadis terkemuka, Sofyan Tsauri, menyebut sepuluh hal yang termasuk al-laghwu itu. Di antaranya adalah orang yang berdoa untuk dirinya sendiri tapi tidak berdoa untuk kedua orang tua dan kaum Muslimin; orang yang sering membaca Alquran tapi tidak membaca secara tertib sampai seratus ayat tiap-tiap hari; laki-laki yang masuk masjid tapi tidak mengerjakan shalat tahiyatul masjid.


Yang juga termasuk perbuatan sia-sia, menurut Sofyan, adalah orang-orang yang melintasi pekuburan tapi tidak mengucapkan salam kepada para penghuninya dan tidak mendoakan keselamatan untuk mereka; laki-laki yang masuk ke suatu kota pada hari Jumat tapi tidak mengerjakan shalat Jumat berjamaah; orang yang kenyang sedangkan tetangganya kelaparan. Seseorang yang tinggal di suatu lingkungan bersama seorang ulama, namun ia tak menggunakan kesempatan tersebut untuk menambah ilmu pengetahuannya.


Begitupun dengan pemuda yang melewatkan masa mudanya tidak untuk menuntut ilmu dan meningkatkan budi pekerti. Juga, dua orang pria yang bersahabat, tapi mereka tidak saling menanyakan keadaan masing-masing dan keluarganya; orang yang mengundang tamu namun ia tidak melayani tamunya itu dengan baik. Itulah perbuatan yang merugi.


Namun, yang paling sia-sia adalah perbuatan orang-orang seperti yang disebut dalam surat Alkahfi (18) ayat 103-105. ''Katakanlah: Maukah kamu, Kami beritahukan tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka menyangka telah berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu adalah orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Tuhan dan (kafir terhadap) perjumpaan dengan-Nya, maka terhapuslah amalan-amalan mereka dan Kami tidak mengadakan penimbangan amal bagi mereka pada hari kiamat.'' (Rusdiono Mukri)


Sumber :

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=321776&kat_id=14&kat_id1=&kat_id2=

Kamis, 31 Januari 2008

Memberi Maaf

Memberi Maaf

Islam mengajak manusia untuk saling memaafkan dengan memberikan posisi tinggi kepada si pemberi maaf. Karena, seperti dikemukakan oleh Alquran dan hadis Nabi, sifat pemaaf merupakan bagian dari akhlak luhur, yang harus menyertai seorang Muslim yang takwa. ''... dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain, Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.'' (Ali Imran 134). Nabi Muhammad SAW sendiri dikenal sebagai seorang yang pemaaf dan berlapang dada.


Hal ini dapat kita buktikan saat pembebasan Kota Makkah, ketika Nabi di hadapan orang-orang yang selama belasan tahun memusuhinya, bahkan berupaya untuk menghilangkan nyawanya. Kepada mereka Rasulullah berkata, ''Wahai orang-orang Quraisy. Menurut pendapat kamu sekalian, apa yang akan aku perbuat terhadap kamu sekarang?'' Jawab mereka, ''Yang baik-baik. Saudara yang pemurah, sepupu kami yang pemurah.'' Mendengar jawaban itu Nabi berkata, ''Pergilah kamu sekalian. Kamu sekarang sudah bebas!''


Dari peristiwa ini, kita melihat betapa luhur dan lapang dadanya Nabi dalam memberikan maaf justru terhadap mereka yang selama ini telah memusuhi, membenci, menghina dan menyakitinya. Tanpa menunjukkan sedikit pun tanda-tanda kebencian maupun rasa ingin membalas dendam. Padahal ketika itu, seluruh pasukannya yang berjumlah sekitar 10 ribu orang siap melakukan apa saja yang diperintahnya dan tinggal menunggu isyarat Beliau. Penulis sejarah Nabi Muhamaad SAW, Muhammad Husain Haekal, mencatat peristiwa penaklukan Makkah itu sebagai pengampunan umum (amnesti) massal pertama di jagad ini.


Pernah Rasulullah, sebagai seorang komandan, menata sendiri dan menyusun barisan dalam Perang Badar. Beliau mendatangi seorang prajurit yang berdiri agak ke depan dari barisan pasukan. Rasul menekan prajurit tersebut dengan tongkatnya agar dia mundur sedikit ke belakang, sehingga barisan menjadi lurus.


Prajurit itu berkata, ''Wahai Rasulullah, tongkat itu menyakiti perutku. Aku harus membalas!'' Rasulullah memberikan tongkatnya kepada prajurit itu seraya berkata, ''Balaslah!'' Orang itu maju ke depan dan mencium perut Nabi sambil berkata, ''Aku tahu, bahwa aku akan terbunuh hari ini. Dengan cara ini aku menyentuh tubuhmu yang suci.'' Belakangan dia menghambur ke depan, menyerang musuh dengan pedangnya, hingga syahid dalam Islam.

Sikap Nabi Muhammad SAW yang penyayang, penyantun dan pengampun, menunjukkan bahwa beliau bukanlah manusia yang suka permusuhan. Dalam surah An-Nur ayat 22 Allah berfirman: ''... dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada.'' Dalam Al-Baqarah ayat 237 yang artinya ''... dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa ....'' (Alwi Shahab)

Sumber :

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=321652&kat_id=14&kat_id1=&kat_id2=

Rabu, 30 Januari 2008

Menebar Salam

Menebar Salam


''Sebarkanlah salam, hubungkanlah tali silaturahim, berilah makan dan dirikanlah shalat malam di saat manusia tertidur lelap. Niscaya kalian akan masuk surga dengan damai.'' (HR Al-Tirmidzi). Ulama berbeda pendapat akan makna salam dalam kalimat assalaamu 'alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuhu. Sebagian ulama berpendapat, salam adalah salah satu nama dari nama-nama Allah sehingga kalimat assalaamu 'alaik berarti ''Allah bersamamu.'' Sebagian yang lain berpendapat makna salam adalah keselamatan sehingga maknanya, ''Keselamatan selalu menyertaimu.''

Nabi SAW sangat menganjurkan umatnya saling menebar salam, mengucapkan salam kepada sesama Muslim, baik yang belum dikenal maupun yang sudah dikenal. Beliau juga mengatakan di salah satu hadis bahwa salah satu syarat agar dapat saling cinta-mencintai adalah dengan menebarkan salam, afsyu al-salam bainakum, demikian ungkap beliau. Dengan kata lain, Nabi SAW memerintahkan umatnya membangun dan menciptakan ''budaya salam'' dalam kehidupan sehari-hari.


Rasulullah SAW bersabda, ''Kamu sekalian tidak akan masuk surga sebelum beriman dan kamu sekalian tidaklah beriman sebelum saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang apabila kamu kerjakan niscaya kamu sekalian akan saling mencintai? Yaitu sebarkanlah salam di antaramu sekalian.'' (HR Muslim)


Kita dapat merasakan dan membuktikan betapa ucapan, assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu memiliki daya magnet yang luar biasa. Hati kita menjadi damai jika mendengar orang lain mengucapkannya, sekalipun salam itu tidak ditujukan kepada kita. Tak heran, jika Nabi SAW sangat menganjurkan umatnya selalu mengucapkan salam secara sempurna, karena hal demikian akan mendapat pahala tiga puluh. Bahkan, secara etika dalam mengucapkan salam Nabi SAW memberikan bimbingan yang sangat konkret.


Seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, ''Hendaklah orang yang lebih kecil memberi salam kepada yang lebih besar darinya, orang yang berkendaraan memberi salam kepada yang berjalan kaki dan kelompok yang sedikit memberi salam kepada kelompok yang banyak.'' (Muttafaq 'Alaih). Semestinya kita selalu bersemangat dalam melakukan kebaikan dan menghidupkan serta menyuburkan sunnah Rasulullah SAW. Menebar salam antarumat muslim adalah salah satu sunnah yang sangat dianjurkan Nabi SAW. Semoga dengan banyak menebar salam antarsesama muslim, rasa saling mencintai, mengasihi akan menjelma dalam kehidupan kita sehari-hari. (Ummu Hasna Syahidah)


Sumber :

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=321231&kat_id=14&kat_id1=&kat_id2=

Sabtu, 26 Januari 2008

Air Susu Ibu

Air Susu Ibu


''Tidakkah seseorang di antara kamu merasa ridha jika hamil dari benih suaminya dan suaminya bangga dengan kehamilannya, bahwa wanita tersebut mendapat pahala sama dengan (pahala) seorang prajurit yang berpuasa ketika berperang di jalan Allah? Bila wanita tersebut menderita sakit sewaktu melahirkan, betapa kegembiraan yang dirasakannya yang tak diketahui penghuni langit dan bumi dengan lahirnya buah hati.'' (HR. Ibnu Atsir)


Dalam riwayat Thabarani dan 'Ibnu Asakir ditambahkan, jika ia melahirkan, lalu ia mengeluarkan susu dari payudaranya dan dihisap oleh bayinya, setiap hisapan dan tegukan mendapat satu pahala. Jika ia berjaga sepanjang malam (karena melayani bayinya), ia mendapatkan pahala seperti pahala orang memerdekakan 70 orang budak di jalan Allah.


Wahai Salamah, tahukah engkau siapa yang kami maksud dengan sabdaku ini? Yaitu perempuan-perempuan yang memelihara dirinya, yang shalihah, yang taat kepada suaminya dan mereka tidak mengingkari kebaikan suaminya. Hadis di atas memberikan kabar gembira kepada ibu hamil dan menyusui bahwa pengorbanan mereka akan mendapatkan pahala dari Allah. Hamil bagi seorang istri adalah suatu tugas mulia yang dibebankan Allah kepada dirinya selama caranya sah. Selama hamil seorang ibu akan merasakan beban berat mulai dari mual, muntah-muntah, punggung sakit dan seterusnya, karenanya bila ia dapat menjalani kehamilan tersebut dengan penuh keridhaan, maka Allah telah menjanjikan pahala yang tanpa henti baginya selama masa hamil yang panjang itu seperti orang berpuasa yang tengah berperang di jalan Allah.


Bagi ibu yang bersedia menyusui, Allah juga menjanjikan setiap hisapan dan tegukan ASI yang diminum oleh sang bayi akan menambah pahala bagi ibunya. Para ibu juga hendaknya tidak sengaja menolak memberikan ASI dengan alasan demi menjaga kecantikan atau karena kesibukan kerja sehingga bayinya hanya diberi susu formula.


Penelitian medis telah membuktikan bahwa ASI memiliki berbagai keunggulan yang tidak tergantikan dengan susu manapun. Bahkan, agama kita menekankan pentingnya memberikan ASI kepada buah hati kita. ''Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.'' (QS Al Baqarah [2]: 233). Air susu ibu adalah karunia Allah bagi ibu dan bayi. Maka, masihkah kita akan menggantikan karunia Allah itu dengan jenis minuman lain bagi titipan-Nya pada kita itu? (Witrie Annisa Buys)


Sumber :

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=321085&kat_id=14&kat_id1=&kat_id2=

Jumat, 25 Januari 2008

Mengapa Doa Ditolak?

Mengapa Doa Ditolak?



''Jangan salahkan Allah bila doa tak dikabulkan dan jangan pula menggerutu atau jemu,'' kata Abdul Qadir-Jailani dalam Mafatih al-Ghaib. Yang perlu dipertanyakan adalah mengapa doa kita tak terkabul? Ada dua sebab mengapa doa tertolak. Yaitu, pertama, tidak memperhatikan adab berdoa, baik adab lahir maupun adab batin.


Rasulullah SAW bersabda, ''Doa seorang hamba Allah tetap dikabulkan selama ia tidak berdoa untuk suatu perbuatan dosa atau memutuskan silaturahim atau tak terburu-buru segera dikabulkan.'' Seorang sahabat bertanya, ''Wahai Rasulullah, apakah maksud terburu-buru?'' Rasulullah menjawab, ''Ia mengatakan, 'aku telah berdoa tapi aku tidak melihat doaku dikabulkan', sehingga ia mengabaikan dan meninggalkan doanya itu.'' (HR Muslim).


Ketika suatu doa tak segera menampakkan tanda-tanda terijabah, maka seharusnya seseorang tetap berbaik sangka kepada Allah SWT. Sebab, Allah SWT akan mengganti bentuk pengkabulan doa dengan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi si pemohon atau ditunda pengabulannya hingga hari akhirat dalam bentuk deposito pahala.


Kedua, perilaku buruk. Syaqiq al-Balkhi bercerita: ketika Ibrahim bin Adham berjalan di pasar-pasar Bashrah, orang-orang mengerumuni beliau. Mereka bertanya, mengapa Allah belum juga mengabulkan doa mereka padahal telah bertahun-tahun berdoa, serta bukankah Allah berfirman, ''Berdoalah kalian, maka Aku mengabulkan doa kalian.'' Ibrahim bin Adham menjawab, ''Hatimu telah mati dari sepuluh perkara.


'' Yakni, pertama, engkau mengenali Allah, tetapi tidak menunaikan hak-Nya. Kedua, engkau membaca kitab Allah, tetapi tidak mau mempraktikkan isinya. Ketiga, engkau mengaku bermusuhan dengan iblis, tetapi mengikuti tuntunannya. Keempat, engkau mengaku cinta Rasul, tetapi meninggalkan tingkah laku dan sunah beliau. Kelima, engkau mengaku senang surga, tetapi tidak berbuat menuju kepadanya.


Keenam, engkau mengaku takut neraka, tetapi tidak mengakhiri perbuatan dosa. Ketujuh, engkau mengakui kematian itu hak, tetapi tidak mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Kedelapan, engkau asyik meneliti aib-aib orang lain, tetapi melupakan aib-aib dirimu sendiri. Kesembilan, engkau makan rezeki Allah, tetapi tidak bersyukur pada-Nya. Dan kesepuluh, engkau menguburkan orang-orang, tetapi tidak mengambil pelajaran dari peristiwa itu. (M Subhi-Ibrahim)


Sumber :

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=320966&kat_id=14&kat_id1=&kat_id2=

Kamis, 24 Januari 2008

Insan Pemaaf

Insan Pemaaf

''... dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.'' (QS An Nuur [24]: 22).


Salah satu sifat mulia Rasulullah SAW adalah pemaaf. Beliau adalah sosok pribadi yang sangat mudah memaafkan pihak lain. Rasulullah bersabda: ''Barangsiapa melakukan tiga hal berikut ini, ia akan dihisab dengan mudah dan akan masuk surga dengan rahmat-Nya. Pertama, memberi kepada orang yang bakhil. Kedua, silaturahim dengan orang yang memutuskannya.


Ketiga, memberi maaf kepada orang yang zalim.'' (HR Ath-Thabrani). Terdapat dua pihak yang mendapatkan keberkahan dari sifat pemaaf. Pertama, pihak yang berbuat salah. Keniscayaan akan peluang berbuat kesalahan, merupakan kenyataan tak terhindarkan dalam hubungan antarpribadi. Setiap insan, memiliki peluang demikian terbuka atas terjadinya kesalahan. Untuk itu sifat pemaaf merupakan hadiah terbaik dari tulusnya sebuah hubungan antarinsan.


Pihak kedua yang mendapat keberkahan adalah diri kita sendiri. Ruang maaf yang cukup luas semestinya juga kita sediakan untuk terjadinya kesalahan diri di masa lalu. Kita harus berdamai dengan diri kita sendiri dari rasa bersalah yang berkepanjangan. Dengan hati yang bersih dan tulus, kita akan mampu menerima kelemahan dan kesalahan orang lain.


Sifat Allah SWT Yang Maha Pengampun (Al Ghafur) seharusnya menjadi salah satu motivasi utama pembentuk sifat pemaaf. Sebuah syair kehambaan menyebutkan walau dosa hamba menggunung tinggi, namun ampunan-Nya seluas langit. Hal ini mengindikasikan keniscayaan setiap insan untuk melakukan kesalahan, yang kemudian dimarginalkan dengan luasnya pengampunan yang disediakan.


Allah SWT berfirman, ''Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.'' (QS Al-A'raaf:199). Menahan marah, memaafkan dan berbuat baik adalah kesatuan nilai yang mendasari ketakwaan. Menahan marah saja tanpa memaafkan bukan ciri orang takwa, tetapi ciri orang pendendam. Sikap menahan amarah merupakan salah satu karakteristik orang bertakwa yang dijanjikan oleh Allah SWT sebagai penghuni surga.


Ketakwaan seseorang dapat dilihat dari kemampuannya menahan amarah yang dapat merugikan orang lain. Orang yang mampu menahan amarah berarti ia telah mampu meleburkan dirinya ke dalam diri orang lain dan membuang jauh-jauh sifat egoisnya. (Arina Zidkiyah)

Sumber :

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=320817&kat_id=14&kat_id1=&kat_id2=

Rabu, 23 Januari 2008

Kebaikan Hakiki

Kebaikan Hakiki

''Maka, di antara manusia ada orang yang berdoa, 'Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia' dan tiadalah baginya bagian (yang menyenangkan) di akhirat.'' (QS Al-Baqarah [2]: 200). Kita jumpai banyak manusia yang menghabiskan waktunya untuk mencari dunia. Mereka hanya meminta dunia kepada Allah tanpa memedulikan keadaan akhiratnya.


Benak mereka hanya berisi keinginan duniawi, tak ada tempat untuk memikirkan akhirat. Mereka mengisi hidupnya untuk bekerja ekstrakeras, siang-malam, hanya untuk menumpuk harta kekayaan sebanyak-banyaknya tanpa mau menunaikan zakat dan sedekah sebagai hak dari hartanya.


Orang yang beriman adalah orang yang memohon kebaikan di dunia dan akhirat, sebagaimana yang termaktub pada surat Al-Baqarah ayat 201, ''Dan di antara mereka ada orang yang berdoa, 'Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka'.''


Menurut Al-Jazairi (Aysar At-Tafasir 1/143), yang dimaksud dengan kebaikan dunia adalah segala hal yang menyenangkan dan tidak menimbulkan mudarat. Adapun yang dimaksud kebaikan akhirat adalah selamat dari neraka dan masuk ke dalam surga.


Doa komplet yang diajarkan Allah kepada kita itu mengandung makna bahwa kebaikan hakiki adalah kebaikan di akhirat. Betapa tidak, bila doa itu diucapkan dengan keyakinan yang benar maka dia akan memengaruhi tindakan kita sehari-hari. Apabila kita menginginkan istri yang shalihah maka kita takkan membiarkan diri kita terseret aliran permisivisme dalam pergaulan dengan lawan jenis.


Apabila kita menghendaki rezeki yang halal maka kita tak mungkin berani melakukan korupsi. Apabila kita ingin selamat dari neraka dan masuk ke dalam surga, takkan ada waktu bagi kita untuk melakukan maksiat atau melanggar aturan Allah, sebab itu bertentangan dengan kejiwaan doa kita. Wallahu a'lam bish-shawab. (Erwan Roihan)

Sumber :

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=320679&kat_id=14&kat_id1=&kat_id2=

Selasa, 22 Januari 2008

Pulang

Pulang

Adakah kegiatan yang lebih menyenangkan dibanding pulang? Bel tanda berakhirnya pelajaran di sekolah adalah saat-saat yang ditunggu-tunggu, baik oleh siswa, guru, maupun petugas sekolah. Sebab setelah itu mereka akan pulang ke rumah bertemu dengan keluarga.


Pulang saat mudik lebaran juga dinantikan oleh mereka yang merantau. Jauhnya perjalanan, kemacetan lalu lintas, antrean panjang untuk memperoleh tiket justru menjadi bumbu penyedap nikmatnya pulang. Pendeknya, pulang adalah kegiatan menyenangkan yang dinanti-nantikan.


Orang-orang yang menginginkan segera 'pulang' adalah mereka yang merindukan pertemuan dengan Allah SWT, Sang Pencipta dan ingin segera berkumpul dengan para nabi, rasul, syuhada dan orang-orang shalih. Sedang orang yang membenci 'pulang' adalah orang yang menderita penyakit hubbud-dunya, yaitu mereka yang masih mencintai dunia. Mereka menganggap dunia ini adalah segala-galanya, padahal akhirat itu lebih baik dan lebih abadi (QS Al-A'laa [87]:17).


Kemilau kenikmatan dunia inilah yang sering membuat seseorang lupa bahwa nantinya ia akan dipanggil pulang kembali kepada Sang Khalik. Firman Allah SWT, ''Mereka hanya mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang kehidupan akhirat adalah lalai.'' (QS Ar-Rum [30]:7)


Pulang kembali kepada Sang Pencipta atau yang kita kenal dengan mati adalah keniscayaan yang akan dialami oleh siapa pun. Orang boleh membenci kematian dan melupakannya, namun kematian tetap akan menjemputnya sebagaimana firman-Nya, ''Katakanlah sesungguhnya kematian yang engkau lari daripadanya, niscaya ia akan menemuimu. Kemudian engkau akan dikembalikan kepada Allah, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Lalu Dia akan memberitahukan kepadamu apa-apa yang telah engkau perbuat.'' (QS Al-Jumu'ah [62]: 8).


Namun kapan seseorang harus pulang kembali kepada-Nya adalah misteri yang hanya diketahui oleh Sang Pemilik Kehidupan, Allah SWT. Manusia tidak kuasa menjadwalkan kapan seharusnya mereka pulang kembali kepada-Nya. Firman Allah SWT dalam surah Ali Imrah ayat 145, ''Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah.''

Jika pulang kembali kepada-Nya telah menjadi keniscayaan bagi kita semua, maka yang dibutuhkan adalah bagaimana mempersiapkan diri sebaik mungkin agar 'pulang' itu menjadi sesuatu yang menyenangkan. Menyiapkan 'bekal' itulah yang harus kita lakukan sekarang. (Kholisuddin)

Sumber :

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=320508&kat_id=14&kat_id1=&kat_id2=

Senin, 21 Januari 2008

Memuliakan Anak Yatim

Memuliakan Anak Yatim

Jika ditelusuri sejarahnya, Asyura' merupakan hari baik yaitu hari ketika Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, karena itu Nabi Musa berpuasa (HR Bukhari dari Ibnu Abbas). Orang-orang Yahudi menjadikan hari Asyura' sebagai hari raya.


Nabi SAW bersabda, ''Berpuasalah kalian pada hari Asyura'.'' (HR Bukhari dari Abu Musa RA). Dalam hadis yang lain, Rasulullah menyatakan, ''Puasa Asyura' dapat menghapus dosa setahun yang lalu.'' (HR Muslim dari Qatadah). Asyura' adalah hari kebinasaan Fir'aun dan kemenangan Nabi Musa AS, juga hari kemenangan bagi kebenaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah.


Jika Nabi Musa AS berpuasa pada hari Asyura' sebagai tanda syukur kepada Allah, maka kaum Muslimin lebih berhak mengikuti Nabi Musa daripada kaum Yahudi. Asyura' juga hari di mana kapal Nabi Nuh AS berhenti di atas gunung Judi, lalu Nabi Nuh AS berpuasa pada hari itu sebagai tanda syukur kepada Allah.



Tanggal 10 Muharam (Asyura') dirayakan oleh sebagian umat Islam di negeri ini sebagai hari raya yang sering disebut dengan 'Lebaran Yatim'. Ini adalah hari raya yang dikhususkan bagi anak-anak yatim. Pada hari itu mereka dikumpulkan dan disantuni. Belum ditemukan dalil/literatur tentang kaitan Asyura' dengan 'Lebaran Yatim'. Meski demikian, tradisi ini sangat baik sebagai perwujudan keimanan dan tanda syukur. Namun, hendaknya pemberian santunan kepada anak yatim itu dilakukan secara berkesinambungan.


Rasullah pernah menegaskan, ''Aku dan orang yang menyantuni anak yatim akan berada di surga seperti ini.'' Nabi SAW bersabda demikian sambil menegakkan jari telunjuk dan jari tengahnya, serta merenggangkan antara keduanya. (HR Bukhari). Dalam hadis lain Nabi SAW bersabda, ''Barangsiapa di antara kaum Muslimin yang menanggung makan dan minum (memelihara) anak yatim, maka Allah akan memberikan kecukupan penghidupan baginya dan mengharuskan dia masuk surga, kecuali dia melakukan dosa yang tidak terampunkan.'' (HR Turmudzi dari Sahl bin Sa'ad).



Semoga di tanggal 10 Muharam (Asyura') ini, kita sebagai Muslim dapat mengamalkan esensi Asyura' itu sehingga menjadikan kita saleh secara ritual sekaligus saleh secara sosial. Yakni, melaksanakan shaum Asyura' dan memuliakan anak yatim. (Muhammad A Saefulloh)


Sumber :

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=320417&kat_id=14&kat_id1=&kat_id2=

Memperlakukan Orang Kecil

Memperlakukan Orang Kecil

Abu Dzar pernah beriringan dan berpakaian sama dengan budaknya. Di tengah jalan, seseorang bertanya, ''Kenapa kamu berjalan seiring dan berpenampilan sama dengan budakmu?''


Abu Dzar menjawab, ''Saya pernah mendengar Rasul bersabda, 'Budakmu adalah saudaramu. Allah menjadikannya sebagai tanggung jawabmu. Jika seseorang memiliki saudara, hendaklah dia memberinya makanan dari apa yang dia makan, pakaian dari apa yang dia pakai dan tidak membebani dengan pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakannya. Jika terpaksa, hendaklah dia membantunya'.'' (HR Bukhari dan Muslim).


Budak-budak yang ada di zaman Islam sangat dihargai dan ditempatkan pada posisi terhormat. Di samping diberi peluang dan dibantu untuk merdeka, budak diberi kesempatan yang sama dalam beribadah, menuntut ilmu, berjihad, menjaga kehormatan dan sebagainya. Makanya, banyak budak yang meraih prestasi gemilang setelah kedatangan Islam.


Secara hukum, budak sudah tidak ada. Tapi dalam realitas harian, masih banyak 'orang-orang kecil' yang diperlakukan seperti budak, bahkan lebih hina. Tidak sedikit buruh dipekerjakan tanpa upah mamadai, wanita dipaksa melacur, manusia diperdagangkan, pembantu yang disiksa sepuas hati dan bawahan dieksploitasi.


Mencari sosok Abu Dzar di zaman sekarang sangatlah jarang, namun bukan berarti tidak ada. Memang, sangat langka seorang majikan atau bos yang mau menegur dan peduli terhadap hal-hal di luar pekerjaan, apalagi bersikap seperti Abu Dzar, namun bukan berarti kita tidak bisa bersikap demikian.


Ini memang pekerjaan berat. Alquran menyebutnya jalan terjal dan mendaki yang tidak banyak ditempuh orang. ''Maka, tidakkah sebaiknya ia menempuh jalan yang mendaki? Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki itu? (yaitu) memerdekakan budak, pemberian makanan pada hari kelaparan (kepada) anak yatim yang punya hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir.'' (QS Al Balad [90]: 11-16).


Saat ini, tidaklah susah menemukan orang-orang kecil. Mereka ada di sekitar rumah kita, di lingkungan kerja, atau bahkan di rumah kita sendiri. Mereka sangat mungkin orang yang tiap hari kita peras keringatnya, kita ambil tenaganya, kita rapuhkan tulangnya, kita hitamkan kulitnya, serta kita serahkan urusan kasar, kotor dan berbahaya padanya. Perlakukanlah mereka dengan patut, karena semua itu merupakan salah satu standar perlakuan Allah terhadap kita. (Zulheldi)

Sumber :

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=320265&kat_id=14&kat_id1=&kat_id2=

Jumat, 18 Januari 2008

Menjenguk Orang Sakit

Menjenguk Orang Sakit

Mengunjungi dan membesuk orang sakit merupakan kewajiban setiap Muslim terhadap Muslim lainnya. Dalam ajaran Islam, menjenguk orang sakit adalah di antara amal shalih yang paling utama yang dapat mendekatkan kita kepada Allah SWT, kepada ampunan, rahmat dan surga-Nya.


Mengunjungi orang sakit merupakan perbuatan mulia, yang di dalamnya terdapat keutamaan yang sangat agung. Rasulullah Muhammad SAW bersabda, ''Barangsiapa yang membesuk orang sakit atau saudaranya karena Allah, niscaya ada penyeru yang berseru, 'Kamu sungguh baik dan sungguh baik perjalananmu dan kamu telah menempatkan diri di suatu tempat di surga.'' (HR Muslim).


Dalam kesempatan lain, Rasulullah SAW bersabda, yang artinya, ''Apabila seorang laki-laki menjenguk saudara Muslimnya (yang sedang sakit), maka (seakan-akan) dia berjalan sambil memetik buah-buahan surga sehingga dia duduk, apabila sudah duduk maka diturunkan kepadanya rahmat dengan deras. Apabila menjenguknya di pagi hari maka tujuh puluh ribu malaikat mendoakannya agar mendapat rahmat hingga waktu sore tiba. Apabila menjenguknya di sore hari, maka tujuh puluh ribu malaikat mendoakannya agar diberi rahmat hingga waktu pagi tiba.'' (HR At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Imam Ahmad dengan sanad shahih).


Islam mengajarkan kepada umatnya beberapa etika yang harus diperhatikan saat menjenguk orang yang sedang sakit. Pertama, hendaklah orang yang membesuk mendoakan yang sakit agar lekas sembuh, mendapat kasih sayang Allah, selamat dan disehatkan. Ibnu Abbas telah meriwayatkan bahwasanya Nabi SAW bila beliau menjenguk orang sakit, mengucapkan, ''Tidak apa-apa. Sehat insya Allah.'' (HR Al-Bukhari) dan berdoa tiga kali untuk kesehatan si sakit.


Kedua, dianjurkan yang membesuk mengusap si sakit dengan tangan kanannya dan berdoa, "Wahai Allah Tuhan bagi manusia, hilangkanlah kesengsaraan (penyakitnya), sembuhkanlah, Engkau Maha Penyembuh, tiada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit." (Muttafaq'alaih).


Dalam hadis lain Nabi SAW bersabda, ''Tidaklah seorang hamba Muslim mengunjungi orang sakit yang belum datang ajalnya, lalu ia membaca sebanyak tujuh kali, 'Aku mohon kepada Allah Yang Maha Agung, Tuhan yang menguasai arasy yang agung, agar menyembuhkan penyakitmu" kecuali ia pasti disembuhkan'.'' (HR At-Tirmidzi dan Abu Dawud). Begitulah ajaran luhur Islam, agama kita. Wallahu a'lam bish-shawab. (Kurnia MH)

Sumber :

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=320117&kat_id=14&kat_id1=&kat_id2=

Kamis, 17 Januari 2008

Al-Amin

Al-Amin

Al-amin secara bahasa berarti yang setia, jujur dan tepercaya. Seorang pemimpin yang mempunyai sifat ini ketika menerima tugas akan menjalankannya dengan jujur dan penuh dedikasi. Sifat seperti ini muncul pada orang yang selalu melihat tugas dan jabatan itu sebagai amanah dari Allah. Ia meyakini amanah itu akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di akhirat.


Setiap manusia terlahir sebagai pemimpin. Rasulullah bersabda, ''Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin itu akan ditanya tentang yang dipimpinnya.'' (HR Bukhari dan Muslim).


Kita tentu kenal Umar bin Khathab. Ia adalah salah seorang khalifah yang sangat terkenal dengan kejujuran dan kehebatannya dalam memimpin. Kehidupannya sangat sederhana. Seorang utusan dari Persia bahkan sempat kesulitan mengenalinya. Waktu itu ia mendapati Umar RA tidur di bawah pohon beralaskan tanah tanpa pengawalan. Tak tampak darinya kemewahan apalagi atribut seorang raja dan pemimpin dunia.


Tak jauh beda dengan cucunya, Umar bin Abdul Aziz. Khalifah yang memerintah pada era Daulah Umawiyyah ini terkenal sangat jujur. Ia sangat takut menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadinya. Ia rela berbincang dengan putranya dalam keadaan gelap gulita daripada menggunakan lampu dan minyak milik negara.


Begitulah cara seorang yang amin (jujur dan tepercaya) dalam menjalankan tugas. Ia melihat jabatan merupakan amanah yang sarat peluang. Bukan peluang untuk menumpuk harta dan memperkaya diri. Tapi, peluang untuk mempermulus terlaksananya tugas utama sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya di muka bumi ini. Melalui jabatannya, ia tebarkan nilai-nilai keadilan di tengah masyarakat.


Pemimpin seperti ini akan menjadi panutan dan selalu dicintai rakyatnya. Masyarakat akan merasa tenang di bawah kepemimpinannya. Di akhirat kelak ia akan mendapat penghargaan khusus dari Allah. Dalam sebuah hadis disebutkan: ''Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan di sisi Allah di saat tidak ada naungan kecuali naungan dari Allah, salah satu di antaranya adalah pemimpin yang adil.'' (HR Bukhari dan Muslim).


Lawan al-amin adalah khianat. Cara memimpin pemimpin khianat penuh kecurangan, tidak amanah dan jauh dari nilai-nilai keadilan. Mereka tidak peduli dengan jeritan rakyat yang dipimpinnya.


Di akhirat kelak mereka akan menuai kesengsaraan. Rasulullah bersabda, ''Tidaklah seorang diamanahi memimpin suatu kaum kemudian ia meninggal dalam keadaan curang terhadap rakyatnya maka diharamkan baginya surga.'' (Bukhari dan Muslim). Sudahkah kita memiliki kesiapan mempertanggung jawabkan amanah yang dipikulkan kepada kita? (Ahmad Rifa'i)

Sumber :

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=319958&kat_id=14&kat_id1=&kat_id2=

Rabu, 16 Januari 2008

Ukhuwah

Ukhuwah

Ada sepenggal kisah menarik saat Rasulullah SAW mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar di Madinah yang diriwayatkan Anas bin Malik. ''Saudaraku, aku adalah penduduk Madinah yang kaya raya,'' ujar Sa'ad bin Rabi, penduduk Madinah atau kaum Anshar, kepada Abdurrahman bin 'Auf, seorang Muhajirin. Sa'ad tak bermaksud pamer dan sombong, tapi hendak meyakinkan sahabatnya itu agar mau menerima tawarannya. ''Silakan pilih separuh hartaku dan ambillah!'' tegas Saad.


Tidak hanya itu, Saad menambah penawarannya. ''Aku pun mempunyai dua orang istri, coba perhatikan yang lebih menarik perhatianmu, maka akan kuceraikan ia, hingga engkau dapat memperistrinya.''


Namun, Abdurrahman menolak halus tawaran tulus nan menggiurkan tersebut. Malah ia minta ditunjukkan letak pasar. Ia menolak ikan, tapi mau kail agar bisa memancing sendiri. ''Semoga Allah memberkati engkau, istri dan harta benda milikmu. Tunjukkanlah letak pasar, agar aku dapat berniaga.''


Hingga pada akhirnya, Abdurrahman bin 'Auf yang miskin akibat meninggalkan semua harta bendanya di Makkah demi perjalanan hijrah ini, menjadi seorang saudagar. Ia menjadi kaya raya kembali dengan perniagaan yang dikelolanya secara profesional, amanah dan jujur.


Setiap memasuki bulan Muharram, kisahnya selalu "diputar ulang" dalam benak kaum Muslim, di samping kisah-kisah lain yang menyertai perjalanan hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah.


Pada bulan ini pula, banyak peristiwa penting yang bisa kita rekam kembali. Selain hijrahnya kaum Muhajirin ke Madinah, terjalinnya ukhuwah Islamiyah antara mereka juga terselamatkannya Nabi Musa dari kejaran Fir'aun dan masih banyak lagi. Dari itu, sudah seyogianya jika kita sebagai umat Islam memuliakan bulan ini dengan banyak berbuat amal shalih, kebajikan dan meningkatkan rasa ukhuwah antara sesama.


Bila mata bertemu mata akan datang rasa kasih. Bila hati bertemu hati akan datang rasa sayang.


Keindahan ukhuwah Islamiyah kaum Muslimin generasi awal itu, harus bisa kita terapkan kembali. Sebuah jalinan ukhuwah yang bisa menciptakan integrasi umat Islam yang sangat kokoh dan akan membawa Islam mencapai kejayaan dan mengembangkan sayapnya ke berbagai penjuru bumi serta disegani oleh musuh-musuhnya.


Terlebih saat ini, banyak saudara-saudara kita membutuhkan bantuan uluran tangan akibat banjir, longsor dan musibah lainnya. Bila Sa'ad bersedia berbagi --bahkan kerelaan memberikan apa yang dicintainya--untuk saudara Muslimnya, kenapa kita tidak? (Abdussalam)

Sumber :

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=319833&kat_id=14&kat_id1=&kat_id2=

Selasa, 15 Januari 2008

Usia di Dunia

Usia di Dunia

Naluri dasar setiap manusia adalah ingin merasakan kenikmatan dan kesenangan dalam hidup ini selama mungkin. Kita tak pernah berhenti mencari cara agar kenikmatan tersebut tidak hilang dari diri kita.


Namun, kebanyakan kita telah lupa, bahwa bukanlah kehidupan di dunia yang menjadi tujuan akhir dalam kehidupan, akan tetapi kehidupan yang kekal nanti di akhirat. Kehidupan di dunia ini hanyalah sekejap mata saja, sehingga jika usia ini tidak dipergunakan sebaik mungkin untuk beramal, maka penyesalan kita yang akan tertinggal.


Allah SWT berfirman, ''Dia (manusia) mengatakan, 'Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini'. Maka pada hari itu tiada seorangpun yang menyiksa seperti siksa-Nya. Dan tiada seorangpun yang mengikat seperti ikatan-Nya.'' (QS Alfajr [89]: 24-26) Sungguh usia kita di dunia tidak berarti sama sekali jika dibandingkan dengan kehidupan yang akan kita jalani di akhirat nanti. Allah SWT berfirman, ''Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?'' (QS Albaqarah [2]: 28).


Perhatikanlah dua kehidupan yang serupa tetapi berbeda itu, kehidupan di dunia dan kehidupan di akhirat. Jika kita melihat usia terpanjang umat Muhammad SAW, maka kehidupan di dunia ini mungkin akan dirasakan sampai 120 tahun saja, akan tetapi kehidupan di akhirat itu kekal abadi, atau tidak terhingga oleh hitungan waktu.


Maka, jika berdasarkan kaidah ilmu matematika, suatu nilai berapapun jika dibandingkan dengan nilai tak berhingga hasilnya adalah nol. Dari sini dapatlah kiranya kita yakinkan bahwa kehidupan di dunia yang rata-rata dinikmati selama 63 tahun, tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan kehidupan di akhirat yang kekal. Nilainya adalah NOL besar. Wallahu a'lam. (Muhamad Abduh)

Sumber :

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=319677&kat_id=14&kat_id1=&kat_id2=

Senin, 14 Januari 2008

Waktu Dhuha

Waktu Dhuha

''Demi waktu dhuha. Dan demi malam apabila telah sunyi. Tuhanmu tidak akan meninggalkan kamu dan tidak pula membencimu. Dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan. Dan kelak Tuhanmu pasti memberimu karunia-Nya, lalu hati kamu menjadi puas.'' (QS Addhuha [93]: 1-5).


Waktu dhuha adalah salah satu waktu yang Allah SWT sebut di dalam Alquran dan bersumpah dengannya. Ia tidak disebut dan tidak pula dijadikan sumpah kecuali memiliki hikmah yang tersirat di baliknya.


Dhuha memiliki arti permulaan siang atau awal terbitnya matahari. Ia juga bisa diartikan sebagai waktu siang, lawan kata malam.


Di dalam Alquran, Allah SWT menjelaskan bagaimana waktu siang semestinya digunakan untuk mengerjakan aktivitas yang produktif, sebagaimana firman-Nya, ''Dan Kami jadikan waktu siang untuk mencari penghidupan.'' (QS Annaba [78]: 11). Nabi Muhammad SAW pernah mendoakan orang-orang seperti ini, ''Ya Allah, berikanlah keberkahan kepada umatku di waktu pagi mereka.'' (HR Attirmidzi). Kenapa waktu pagi? Karena ia menjadi awal di mana aktivitas sepanjang siang siap dimulai.


Di siang hari, Nabi Muhamamd SAW mengingatkan mereka agar tidak terlena dalam aktivitas kerja mereka, menyempatkan waktu untuk mengerjakan shalat dhuha. Sahabat Abu Hurairah berkata, ''Rasul SAW pernah memberikan wasiat tiga hal kepadaku, yaitu puasa tiga hari di tengah bulan (Hijriah), shalat dhuha dan shalat witir sebelum tidur.'' (HR Bukhari dari Abu Hurairah).


Allah SWT juga menjelaskan bagaimana waktu malam seharusnya digunakan untuk beristirahat. Allah SWT berfirman, ''Dia menyingsingkan waktu pagi dan menjadikan waktu malam untuk beristirahat.'' (QS Al-An'am [6]: 96).


Begitulah Allah SWT mengarahkan manusia untuk memanfaatkan putaran waktu dengan baik dan tepat. Di sisi lain, Dia mengingatkan manusia agar tidak terlena dalam aktivitas kerja mereka di sepanjang siang dan terlarut dalam istirahat mereka di sepanjang malam.


Saat di malam hari, Allah SWT membangunkan mereka agar tidak larut dalam istirahat mereka. Dia mengingatkan, ''Dan pada sebagian waktu malam, kerjakanlah shalat tahajud sebagai suatu ibadah tambahan bagimu.'' (QS Al-Isra [17]: 79).


Dari keterangan di atas, Allah dan Rasulnya seolah hendak mengingatkan bahwa aktivitas apa pun yang dikerjakan manusia, di sepanjang siang dan malam, seharusnya tidak membuyarkan kesadaran mereka akan Allah SWT. Dan sebaliknya, ibadah kepada Allah seharusnya tidak menghalangi mereka untuk bekerja. (Juman Rofarif)

Sumber :

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=319529&kat_id=14&kat_id1=&kat_id2=

Sabtu, 12 Januari 2008