Jumat, Januari 11, 2008

Mengatasi Global Warming dengan REDD

Mengatasi Global Warming dengan REDD

Fenomena pemanasan global (global warming) salah satunya disebabkan karena laju perusakan hutan (deforestasi) yang sangat cepat. Gejala tersebut menimbulkan efek rumah kaca yang menjadi penyebab utama global warming. Negara-negara yang memiliki hutan tropis yang besar di dunia, termasuk Indonesia, mengusulkan skema untuk mengurangi laju deforestasi tersebut yaitu dengan upaya mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emission from Deforestation and Degradation/REDD).

Skema ini mulai digulirkan pada Conference of the Parties (COP) Perubahan Iklim di Montreal, Kanada, tahun 2005 lalu. Pengusulnya adalah negara-negara berkembang yang memiliki hutan tropis di dunia. Antara lain Indonesia, Papua Nugini, Gabon, Columbia, Republic Congo, Brazil, Cameroon, Republic Demokratic Congo, Costa Rica, Mexico, dan Peru. Kesebelas negara ini memiliki 50 persen hutan tropis dunia.

Isu REDD ini terus bergulir di forum-forum internasional. Pada COP ketiga belas yang dibingkai dalam UNFCCC di Bali 3 - 14 Desember, isu ini juga akan dibicarakan.

Berbagai upaya yang dilakukan untuk mengatasi global warming dan menjaga iklim bumi antara lain dengan melakukan penanaman kembali, baik di dalam kawasan hutan (reforestasi) maupun di luar kawasan hutan (afforestasi). Selain itu juga memperluas kawasan konservasi dan hutan lindung serta menghindari aktivitas pemanfaatan hutan yang menyebabkan terjadinya deforestasi.

Sebagai tuan rumah, Indonesia akan berupaya memperjuangkan REDD sehingga bisa diterima negara-negara maju. Indonesia memang sangat berkepentingan terhadap skema REDD. Sebab kita memiliki kawasan hutan seluas 120,35 juta hektar atau 60 persen dari luas daratan negara.

Menteri Kehutanan, MS Ka'ban, mengungkapkan, Indonesia bersama negara-negara lain memang sudah bersama-sama menyusun gagasan baru untuk mengatasi global warming yaitu dengan menyusun skema REDD. Negara-negara yang menggagas konsep ini berharap gagasan tersebut bisa diterima negara-negara lain sebagi peserta konferensi.

"Pada konferensi di Bali Indonesia akan mengusulkan REDD untuk mengatasi fenomena global warming. Kita berharap negara-negara seperti China, Amerika Serikat, dan Australia bisa menerima gagasan ini. Sehingga nanti kita tawarkan di konferensi 2012 mendatang," ujarnya kepada wartawan, di Jakarta pekan lalu.

Khusus untuk mengatasi laju deforestasi di Indonesia, Ka'ban menyatakan, pihaknya sudah melakukan berbagai kebijakan. Antara lain melakukan gerakan penanaman pohon. "Tahun depan kami akan melakukan gerakan tanam pohon ini lebih massif lagi," tuturnya.

Sementara itu, Director WWF Indonesia Climate Change Programme, Fitrian Ardiansyah, mengatakan, REDD merupakan salah satu opsi untuk mengatasi global warming. Namun ini tidak akan efektif jika negara-negara maju penghasil emisi tidak melakukan upaya untuk menguranginya.

Karena itu diperlukan opsi lain. Misalnya dengan mengurangi penggunaan bahan bakar minyak batubara yang merupakan penghasil terbesar emisi gas buang. Di negara maju, 80 persen emisi berasal dari penggunaan BBM. Sedangkan 20 persen sisanya dari perubahan peruntukan lahan.

Kondisi ini terbalik dengan negara berkembang termasuk Indonesia. Di sini, 80 persen emisi dihasilkan dari perubahan lahan dan 20 persen dari pemakaian BBM. "Karena itu, maka REDD sangat penting artinya bagi Indonesia dan negara-negara berkembang. Sebab perubahan peruntukkan lahan menjadi penyumbang terbesar emisi," jelas Fitrian.

Insentif

Negara-negara berkembang, lanjut Fitrian, dalam proposal yang diajukan meminta kepada negara maju untuk memberikan insentif bagi upaya mereduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Sebab negara berkembang memiliki sejumlah kendala, terutama masalah ekonomi. Jika negara maju memberikan insentif, maka masalah ekonomi tersebut bisa teratasi. "Indonesia memiliki kepentingan agar REDD bisa gol pada konferensi di Bali. Sebab jika tidak, maka akan sulit bagi Indonesia untuk berperan dalam pengurangan emisi pada masa-masa mendatang," katanya menambahkan.

Lebih lanjut dia menyatakan, dampak yang ditimbulkan akibat global warming saat ini sudah begitu terlihat. Misalnya musim berganti secara tidak teratur, angka kejadian bencana alam meningkat dan sebagainya. Karena itu, pemerintah perlu melakukan upaya adaptasi secara terintegrasi dalam berbagai sektor. Misalnya dengan memprioritaskan sektor-sektor yang terkena dampak langsung, seperti pertanian. Saat ini petani banyak yang terkena akibat secara langsung karena musim tanam yang tidak teratur. Jadi perlu ada upaya untuk memberikan pengetahuan kepada para petani tentang perubahan musim tanam. Yang bisa dilakukan pemerintah adalah membentuk sekolah lapangan tentang iklim bagi para petani.

Hal penting lainnya yang perlu dilakukan adaptasi kebijakan secara integrasi dalam hal infrastruktur pedesaan. Misalnya saluran irigasi. Karena musim tanam tidak teratur, maka kebijakan irigasi harus ditata dan dikelola sedemikian rupa sehingga tepat sasaran.

"Saya lihat pemerintah sudah mengeluarkan berbagai kebijakan yang mengarah itu hanya saja belum terintegrasi. Misalnya Departemen Pertanian mengeluarkan kebijakan untuk menganalisis daerah-daerah rawan bencana. Tapi itu belum didukung departemen terkait, seperti Departemen Pekerjaan Umum, terkait dengan soal infrastrukturnya. Jadi integrasi kebijakan itu memang perlu dilakukan," papar Fitiran. (jar)

Sumber :

Tidak ada komentar: