Kamis, Desember 27, 2007

Bangun Kembali Hutan Indonesia

Bangun Kembali Hutan Indonesia

Wapres Kritik Perusak yang Raih Penghargaan

Wonosari, Kompas - Wakil Presiden M Jusuf Kalla mengajak masyarakat kembali membangun hutan rusak yang mengakibatkan terjadinya berbagai bencana alam. Pengelolaan hutan diminta tak diserahkan kepada pihak asing, tetapi dikelola sendiri supaya mendatangkan manfaat nyata untuk masyarakat dan bangsa.

"Mari kita bangun kembali hutan bangsa ini. Hanya itu. Tak ada cara yang lain untuk mengatasi berbagai bencana," jelas Wapres, Sabtu (15/12) saat mencanangkan "Hutan Kemasyarakatan" di Dusun Kepek, Banyusuco, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Acara itu dihadiri pula antara lain Menteri Kehutanan MS Kaban dan Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X.

Wapres menunjuk kerusakan hutan mengakibatkan bencana yang silih berganti di berbagai daerah, seperti banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Itu tak terlepas dari kebijakan pengelolaan hutan di masa lalu yang salah. Sayangnya, pada era 1970-1980, pengusaha kian banyak menebang hutan karena memiliki hak penguasaan hutan (HPH) jutaan hektar, justru dianggap paling berjasa sebab bisa mengekspor kayu dan membayar pajak besar.

"Dengan dalih peningkatan ekspor, mereka membabat hutan seenaknya. Meski hanya sebagian kecil hasil ekspor yang disetor sebagai pajak, mereka mendapat kehormatan dari negara. Duduk di kursi paling depan. Padahal, mereka perusak hutan dan penebang hutan," tandas Wapres.

Kalla mengingatkan supaya kebijakan seperti itu tak terulang lagi. "Sekarang sudah berubah. Dulu, perusahaan yang semakin banyak menebang hutan semakin terhormat. Bahkan, Departemen Kehutanan pun memiliki gedung kantor yang besar karena dianggap berjasa," katanya lagi.

Jangan mengeluh

Wapres juga meminta agar pengelolaan hutan tidak diserahkan kepada pihak lain, termasuk orang asing, sehingga rakyat tidak mendapatkan manfaat apa-apa. "Tanah dan air adalah milik kita dan harus dimanfaatkan oleh kita bersama untuk kemajuan bangsa ini. Kita harus menggarapnya," tandas Kalla.

Menurut Kalla, bangsa Indonesia juga jangan selalu mengeluh, tetapi harus mengedepankan cita-cita dan tujuan bangsa. "Bangsa ini, yang kurang selalu kemukakan keluhan, kurang kerja keras, kurang kemauan, kurang spirit, dan kurang kemajuan teknologi. Sebab itu, kita harus bersama-sama mengubahnya dan bekerja keras serta membangun bersama," tambahnya.

Kaban menyatakan, Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) yang dicanangkan sejak zaman Presiden Soeharto, tahun depan diharapkan mencapai 2,1 juta hektar.

Dalam acara itu, Kalla menyaksikan penyerahan surat penetapan areal kerja hutan kemasyarakatan oleh Menhut kepada sejumlah kepala daerah. Juga penyerahan surat izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan (IUPHKm) kepada Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan dan penetapan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Yogyakarta.

Selain itu juga ditandatangani kerja sama pengelolaan hutan antara pemerintah dan enam perguruan tinggi negeri dan swasta di Yogyakarta. (rwn/har)

Sumber :
http://www.kompas.com
Minggu, 16 Desember 2007

Dua Lumba-Lumba Ditemukan Mati Terjerat Jaring

Dua Lumba-Lumba Ditemukan Mati Terjerat Jaring


Laporan Wartawan Kompas Helena Fransisca.

BANDAR LAMPUNG, KOMPAS - Dua ekor lumba-lumba jenis hidung botol (Tursiops truncatus) ditemukan mati dengan tubuh penuh luka jeratan jaring di Dusun Bandung Jaya, Desa Kiluan Negeri, Kecamatan Kelumbayan, Kabupaten Tanggamus, Sabtu (15/12) pukul 06।00. Diperkirakan keduanya dibuang setelah terjerat jaring kapal dari Banten yang beroperasi di lepas pantai Teluk Kiluan.

Ketua Yayasan Ekowisata CIKAL Lampung Riko Stefanus, Minggu (16/12) mengatakan, saat ditemukan tubuh kedua ekor lumba-lumba hidung botol itu penuh guratan dan sobekan mata jaring. Selain itu, di perut salah seekor lumba-lumba terlihat adanya lubang dalam. Kedua lumba-lumba itu memiliki berat dan ukuran berbeda. Satu ekor berukuran panjang 2,29 meter, lingkar badan 1,18 meter, dan berat badan kurang lebih 100 kilogram. Seekor lainnya berukuran panjang 1,31 meter, lingkar badan 56 centimeter, dan berat 50 kilogram.

Teluk Kiluan memiliki potensi ikan-ikan jenis ikan pelagis atau ikan permukaan seperti tongkol, dan ikan air dalam seperti ikan simba dan ikan kerapu yang mahal harga jualnya. Potensi itu menarik kapal-kapal nelayan jenis purse seine untuk berlayar mendekat dan mengambil ikan dengan cara menjaring. Kapal-kapal tersebut biasanya dilengkapi dengan lampu-lampu yang berpendar terang. Sinar lampu itu menarik perhatian lumba-lumba untuk mendekat. Tak jarang lumba-lumba terperangkap jaring dan mati. Karena bukan ikan konsumsi, nelayan akan membuang begitu saja lumba-lumba yang mati terkena jaring.

Berdasarkan catatan Yayasan Ekowisata CIKAL, sepanjang 2007 sudah terjadi lima kali penemuan lumba-lumba mati karena jaring। ”Dalam satu temuan, lumba-lumba yang mati antara dua sampai lima ekor,” kata Riko. Kondisi itu memprihatinkan, karena perairan Teluk Kiluan merupakan habitat alami lumba-lumba hidung botol. Saat ini, selain ancaman jeratan jaring kapal nelayan, populasi satwa air itu semakin kritis akibat ancaman perburuan liar nelayan-nelayan pemburu paus dari Banten dan Telukbetung, Bandar Lampung.

Yang lebih menyedihkan, kata Riko, kapal-kapal jenis purse seine seharusnya tidak melaut pada jarak dekat dengan daratan, melainkan berlayar di tengah lautan. Keberadaan kapal-kapal tersebut dengan daratan menunjukkan, syahbandar dan kepala desa tidak kompak dalam menjaga potensi laut dan perikanan. Hingga saat ini belum ada langkah nyata pemerintah kabupaten untuk mengatur kapal-kapal purse seine dan menjaga lumba-lumba. Masyarakat Teluk Kiluan memilih untuk menjaga potensi dan kondisi lingkungan dengan mengaktifkan kerja kelompok pengawas masyarakat (Pokmaswas).

Selain mengawasi pengeboman terumbu karang dan pencurian ikan hias, pokmaswas juga bertugas mengawasi dan mengamat-amati kapal-kapal yang berlabuh di Teluk Kiluan. ”Supaya setiap temuan yang mencurigakan bisa dilaporkan dan segera diambil tindakan pencegah oleh Dinas kelautan dan perikanan,” kata Riko.

Sumber :
http://www.kompas.com
Minggu, 16 Desember 2007 - 20:10 wib

Penolak PLTS Diharapkan Dengar Penjelasan Pemkot

Penolak PLTS Diharapkan Dengar Penjelasan Pemkot

Laporan Wartawan Kompas Mohammad Hilmi Faiq.

BANDUNG, KOMPAS - Para penolak pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah atau PLTS diminta untuk mendengarkan penjelasan Pemerintah Kota Bandung dengan seksama. Pemerintah Kota Bandung bisa meyakinkan bahwa PLTS aman bagi warga karena semua potensi pencemaran telah direduksi dengan teknologi canggih sehingga kadarnya di bawah ambang batas.

Ketua Tim Studi Kelayakan PLTS dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Ari Darmawan Pasek mengatakan hal itu di Bandung, Minggu (16/12). “Kalau masyarakat yang menolak (PLTS) itu mau mendengarkan dan berdiskusi pasti bisa diyakinkan. Masalahnya, mereka itu tidak mau berdiskusi,” kata Ari.

Kalaupun mau berdiskusi, kata Ari, hasilnya dipelintir. Ini misalnya terjadi pada diskusi tertutup antara PT Bandung Raya Indah Lestari (PT BRIL) selaku pengembang PLTS dengan perwakilan Aliansi Rakyat Tolak PLTS (ARTP).

Secara terpisah, Koordinator Umum ARTP Roni Muhammad Tabroni membantah pihaknya terlibat diskusi dengan PT BRIL. “Memang kami pernah bertemu dengan PT BRIL, tetapi hanya ngbrol biasa. Tidak ada dialog serius tentang PLTS,” kata Roni. Roni menjelaskan, penyataan Ari tersebut hanya memperkeruh suasana. Sebenarnya, kata Roni, pihaknya siap selalu diajak berdialog. Akan tetapi, Pemerintah Kota Bandung yang tidak melibatkan warga kontra PLTS dalam dialog. “Dalam sosialisasi tentang PLTS di Pendopo Kota Bandung (Jumat, 14/12), kami tidak diundang,” kata Roni.

Sumber :
http://www.kompas.com
Minggu, 16 Desember 2007 - 21:48 wib

Spesies Mamalia Baru Ditemukan di Hutan Amazon

Spesies Mamalia Baru Ditemukan di Hutan Amazon

Satu spesies baru dari jenis mamalia serupa babi yang biasa disebut Peccary ditemukan dari rimbunnya hutan Amazon di wilayah Brazil. Bahkan, hewan yang seukuran anjing besar mungkin menjadi spesies Peccary terbesar di dunia.

Peccary adalah hewan berkuku seperti halnya kuda atau babi. Sebelum ditemukan spesies yang baru, dunia sains sudah mengenal tiga spesies Peccary yakni Peccary berdasi dengan garis di lehernya, Peccary berbibir putih dan Peccary Chaccoan. Jenis mamalia baru yang akhirnya diberi nama ilmiah Pecari maximus ditemukan di wilayah cekungan atau basin Rio Aripuana. Ia dipastikan sebagai spesies baru setelah dianalisis secara genetika oleh Pusat Sains Lingkungan Leiden di Belanda dan dilaporkan hasilnya dalam jurnal Bonner Zoologische Beitrage edisi 29 Oktober silam.

Analisis pada badan dan tengkoraknya menunjukkan bahwa karakteristiknya lebih besar daripada jenis Peccary yang sudah dikenal. Kakinya lebih panjang dan pola rambutnya berbeda dengan Peccary lainnya. Tingkah lakunya juga berbeda karena ia lebih sering ditemukan berpasangan dengan satu satau dua anak tidak seperti Peccary umumnya yang bergerombol dalam jumlah besar. Jika Peccary lainnya mengais tanah untuk mendapatkan rumput atau akar, Peccary besar lebih sering makan buah-buahan dan jarang mengais tanah.

Seperti Peccary lainnya, ia memiliki kelenjar yang mengeluarkan cairan tubuh untuk menandai wilayah kekuasaan maupun identitas. Hanya saja, cairan kelenjar yang dihasilkan Peccary yang baru ditemukan tidak mengelaurkan bau.

"Saya kita itu bentuk adaptasinya untuk menghindari tekanan dari kucing besar, dorongan evolusi mendorong mereka agar tidak sebau Peccary lainnya," ujar Marc van Roosmalen, Biolog Belanda dari Universitas Leiden yang awalnya tertarik untuk mengidentifikasinya sejak melihatnya saat melakukan survai mamalia di kawasan tersebut.

Habitatnya terbatas pada wilayah yang ditumbuhi kayu kering di luasan yang kecil. Karena itu para ilmuwan memperkirakan bahwa jumlah populasinya kecil dan merekomendasikan untuk memasukannya ke dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN).

Meski baru ditetapkan sebagai spesies baru, penduduk lokal tak asing dengannya. Suku Indian Tupi yang tinggal di sekitar hutan Amazon menyebutnya Caitetu Munde yang berarti Peccary besar yang hidup berpasangan.
Sumber :
LiveScience.com
http://www.kompas.com/
Senin, 05 November 2007 - 11:28 wib.
Penulis : Wah

Ikan Kerapu Macan Akan Punah Akibat Perubahan Iklim

Ikan Kerapu Macan Akan Punah Akibat Perubahan Iklim

JAKARTA, KOMPAS - Dampak perubahan iklim terhadap kerentanan dan adaptasi menyebabkan sekitar 20-30 persen tumbuhan dan hewan akan berisiko punah jika terjadi kenaikan temperatur global rata-rata di atas 1,5-2,5 derajat Celcius. Jenis ikan yang akan punah di antaranya ikan Kerapu Macan, Kerapu Sunu dan Napoleon yang banyak digemari masyarakat.

Risiko ini didasarkan pada laporan para ahli dalam International Panel on Cilamet Change (IPCC) yang diselenggarakan pada April 2007 lalu. Demikian diungkapkan oleh Menteri Negara Ligkungan Hidup Rahmat Witoelar saat memberikan sambutan di acara Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional 2007 di Gedung II Istana Wakil Presiden di Jakarta, Senin (5/11). Dalam acara itu, Wapres Kalla tak hadir karena sakit.

"Dari laporan para ahli IPCC, April lalu, dampak dari kerentanan dan adaptasi akibat perubahan iklim telah menyebabkan sekitar 20-30 persen tumbuhan dan hewan akan meningkat risiko kepunahannya jika temperatur global rata-rata di atas 1,5-2,5 derajat Celcius," ujar Rahmat.

Padahal, menurut Rahmat, Kepulauan Indonesia saat ini memiliki 14.000 unit terumbu karang dengan luasan total sekitar 85.700 kilometer atau sekitar 14 persen dari terumbu karang dunia. "Kenaikan suhu air laut 2-3 persen akan menyebabkan kematian alga yang merupakan sumber pakan terumbu karang. Ini juga akan menyebabkan punahnya kekayaan terumbu karang dan beberapa jenis ikan karang yang bernilai tinggi seperti Kerapu Macan, Kerapu Sunu dan Napoleon," jelas Rahmat.

Perubahan iklim, lanjut Rahmat, juga akan menyebabkan terjadi migrasi ikan ke daerah yang lebih dingin. "Kondisi ini juga akan menyebabkan hilangnya beberapa jenis ikan dari perairan di Indonesia," demikian Wapres. (HAR)

Sumber :
http://www.kompas.com
Senin, 05 November 2007 - 13:11 wib

Kondisi Terumbu Karang di Teluk Lampung Memprihatinkan

Kondisi Terumbu Karang di Teluk Lampung Memprihatinkan

Bandarlampung, Senin - Kondisi terumbu karang di Teluk Lampung dan sekitarnya cukup memprihatinkan karena hampir 18 persen karang yang ada di kawasan itu mati. Demikian diungkapkan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Lampung, Untung Sugiyatno, Senin (5/11).

Berdasarkan data terumbu karang tersebar di beberapa pulau sekitar kawasan Teluk Lampung yang memiliki luas sekitar 150 kilometer itu kondisinya cukup memprihatinkan bahkan banyak yang mati. Ia menyebutkan terumbu karang di kawasan Teluk Lampung, terdapat di Pulau Tangkil memiliki luas 11 hektar, Condo (47 Ha), Tegal (98 Ha), Kelagian (435 Ha), Puhawang (694 Ha), Legundi (1.742 Ha), Sebuku (1.646 Ha), Sebesi (2.620 Ha) dan Balak (32 Ha). Menurutnya kondisi terumbu karang yang mati atau morfologi karang masih menyerupai karang utuh, tetapi aktivitas hewan tidak ada banyak dijumpai di Pulau Kelagian.

"Hampir 18 persen terumbu karang di Pulau Kelagian itu mati," kata Untung, seraya menambahkan bahwa kondisi karang di kawasan Teluk Lampung itu banyak yang mati, juga terdapat tutupan pasir (abiotik) dan terdapat pecahan karang atau bentuk morfologisnya tidak utuh. Selain itu, antara empat hingga 28 persen terumbu karang di kawasan itu terdapat tutupan pasir. Sementara terumbu karang yang pecah atau bentuk morfologisnya tidak utuh antara 0,6 hingga 45 persen. Rusaknya kondisi terumbu karang di kawasan Teluk Lampung, salah satunya disebabkan pengeboman yang dilakukan nelayan pencari ikan. Pihaknya menghimbau nelayan agar tidak menangkap ikan dengan menggunakan bom ikan atau alat lainnya yang dapat merusak terumbu karang.
Sumber: AntaraPenulis: Wah
http://www.kompas.com
Senin, 05 November 2007 - 14:40 wib

Pemanasan Global dan Terumbu Karang

Pemanasan Global dan Terumbu Karang

Oleh : Marthen Welly/The Nature Conservancy

Akhir-akhir ini pembicaraan mengenai pemanasan global (global warming) yang mengakibatkan perubahan iklim (climate change) kian ramai dibicarakan dan menjadi pusat perhatian dunia. Terlebih lagi, pada bulan Desember yang akan datang, perhelatan tingkat dunia mengenai perubahan iklim akan diadakan di Bali dibawah koordinasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pertemuan akbar yang disebut United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) akan dihadiri kurang lebih perwakilan pemerintahan 120 negara dan sekitar 10.000 peserta.

Pada intinya agenda utama UNFCCC adalah mempersiapkan bumi kita ini agar dapat mengurangi pemanasan global dan mengatasi dampaknya. Beberapa isu utama yang akan dibahas adalah kerusakan hutan, perdagangan karbon, dan penerapan protokol Kyoto. Sejauh ini hutan dipercaya sebagai paru-paru dunia yang dapat mengikat emisi karbon yang dilepaskan ke udara oleh pabrik-pabrik industri, kendaraan bermotor, kebakaran hutan, asap rokok dan banyak lagi sumber-sumber emisi karbon lainnya, sehingga dapat mengurangi dampak pemanasan global.

Indonesia sebagai negara yang memiliki hutan cukup luas di dunia, sangat memainkan peran penting untuk bisa menjaga paru-paru dunia. Namun sesungguhnya Indonesia yang 2/3 wilayahnya adalah lautan, juga memiliki fungsi dan peran cukup besar dalam mengikat emisi karbon, bahkan dua kali lipat dari kapasitas hutan. Emisi karbon yang sampai ke laut, diserap oleh phytoplankton yang jumlahnya sangat banyak dilautan, dan kemudian ditenggelamkan ke dasar laut atau diubah menjadi sumber energi ketika phytoplankton tersebut dimakan oleh ikan dan biota laut lainnya.

Namun, pemanasan global juga membawa ancaman terhadap terumbu karang Indonesia, yang merupakan jantung kawasan segitiga karang dunia (heart of global coral triangle). Pemanasan global telah meningkatkan suhu air laut sehingga terumbu karang menjadi stress dan mengalami pemucatan/pemutihan (bleaching). Jika terus berlangsung terumbu karang tersebut akan mengalami kematian. Di sisi lain coral triangle memiliki fungsi penting bagi kehidupan manusia. Lebih dari 120 juta orang hidupnya bergantung pada terumbu karang dan perikanan di kawasan tersebut. Coral triangle yang meliputi Indonesia, Philipina, Malaysia, Timor leste, Papua New Guinea and Kepulauan Salomon ini, merupakan kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia, khususnya terumbu karang.

Melihat peran dan posisinya yang strategis, maka President Republik Indonesia – Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan APEC di Sydney baru-baru ini, telah mengumumkan sekaligus mengajak negara-negara di dunia, khususnya di kawasan Asia Pacific untuk menjaga dan melindungi kawasan segitiga karang dunia yang dikenal dengan nama Coral Triangle. Indonesia bersama lima negara lainnya yaitu Philipina, Malaysia, Timor Leste, Papua New Guinea and Kepulauan Salomon mengumumkan sebuah inisiatif perlindungan terumbu karang yang disebut Coral Triangle Initiative (CTI). Ke-enam negara yang tergabung dalam CTI disebut sebagai CT6. Inisiatif ini juga telah mendapatkan dukungan dan respon yang positif dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Australia.

Coral triangle adalah sebuah kawasan di Asia-Pacific yang dalam 2 dekade belakangan ini menjadi pusat penelitian para ahli kelautan dunia. Pada tahun 2005, The Nature Conservancy Coral Triangle Center (TNC-CTC) – sebuah lembaga konservasi internasional yang juga menjalankan programnya di Indonesia dan negara-negara pacific, mengadakan sebuah workshop internasional di Bali yang dihadiri para pakar kelautan dunia, dengan tujuan untuk menetapkan batas cakupan wilayah coral triangle. Pada akhir workshop, para pakar kelautan berhasil memetakan coral triangle yang mencakup 6 negara dengan luas total terumbu karang 75.000 km2. Indonesia sendiri memiliki luas terumbu karang sekitar 51.000 km2 yang menyumbang lebih dari 21% luas terumbu karang dunia.

Departemen Kelautan dan Perikanan, TNC-CTC, WWF Indonesia, dan Departemen Kehutanan secara bersama-sama menggagas CTI. Dan saat ini CTI telah menjadi salah satu agenda utama Indonesia bersama 5 negara lainnya. CTI akan lebih disuarakan dan disosialisasikan selama pertemuan UNFCCC sehingga mendapatkan dukungan yang lebih besar dari masyarakat internasional.

Perlindungan terhadap keanekaragaman hayati laut, terutama terumbu karang melalui CTI sangat erat kaitannya dengan ketahanan pangan dan upaya mengurangi kemiskinan. Mengingat fungsi penting terumbu karang adalah sebagai tempat berkembang-biak, mencari makan dan berlindung bagi ikan dan biota laut lainnya, jika terumbu karang terjaga baik, maka sumber perikanan juga akan terus memberikan pasokan makanan bagi manusia, termasuk sumber protein. Ditambah lagi fungsi terumbu karang juga adalah sebagai pelindung alami pantai dari gempuran ombak dan aset pariwisata bahari.

Suatu langkah yang tepat dan strategis jika Indonesia berinisiatif untuk menyuarakan sekaligus memimpin CTI, mengingat Indonesia merupakan negara dengan luas terumbu karang terluas dan keanekaragaman terumbu karang tertinggi di dunia. Indonesia juga memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia sekitar 81.000 km yang melingkupi lebih dari 17.500 pulau. Berdasarkan penelitian TNC-CTC dan para mitranya pada tahun 2002, kepulauan Raja Ampat di Papua Barat, Indonesia memiliki 537 jenis karang yang merupakan jumlah tertinggi di dunia, dan merupakan 75% jenis karang dunia yang pernah ditemukan. Jika Indonesia tidak menyuarakan dan mengambil inisiatif untuk perlindungan terumbu karang di coral triangle, maka negara-negara lain seperti Philipina atau Malaysia yang akan menyuarakan sekaligus memimpin CTI. Dengan memimpin CTI, Indonesia mendapatkan peran dan posisi penting dalam upaya perlindungan terumbu karang dunia. Sekaligus melindungi aset bangsa yang tak ternilai harganya.

Pembentukan jejaring Kawasan Perlindungan Laut (KPL) yang tangguh dan dikelola secara efektif merupakan bentuk nyata dari impelementasi CTI. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk melindungi paling tidak 10 juta hektar laut di perairan Indonesia pada tahun 2010. Saat ini paling tidak 5 juta hektar telah dibentuk KPL di Indonesia yang meliputi Kepulauan Raja Ampat, TN Teluk Cendrawasih, Kepulauan Wakatobi, Kepulauan Derawan, TN Komodo, TN Bunaken, TN Karimunjawa, TN Kepulauan Seribu dan TN Takabonerate.

Sumber :
National Geographic Indonesia
http://www.indonesiareef.com/site_blog.aspx?id=5d2f2d57-46f3-4186-8bde-4483d91869b4&bid=0f5616fa-cc0a-4653-b769-52bacfec567b
Ditulis oleh Anti 04:49 WIB. 08 Nopember 2007.

Kesepakatan Kerjasama Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Di Provinsi Sumatera Utara

Kesepakatan Kerjasama Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Di Provinsi Sumatera Utara

Hari Selasa tanggal 11 Desember 2007, Deputi Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan, Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Utara melakukan penandatanganan Kesepakatan Kerjasama Pengelolaan Keanekaragaman Hayati.

Kegiatan ini dilaksanakan di Hotel Swis Garden Nusa Dua Bali, bersamaan dengan Special Event pada konferensi Perubahan Iklim ke-13 yang diselenggarakan oleh Network of Regional Governments for Sustaiable Development (nrg4SD). Special Event ini berupa workshop dengan tema Asian Regional Forum Driving Regions to Our World ”The role of sub-national governments to combat Climate Change” dimana Kepala Bapedalda (Bapak Prof. H Syamsul Arifin SH, MH) merupakan National Focal Points nrg4SD.

Pada acara penandatanganan kesepakatan tersebut, Ibu Masnelyarti Hilman selaku Deputi Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan serta National Focal Point Konvensi Keanakaragaman Hayati (CBD) menyampaikan sambutan bahwa kerjasama ini merupakan refleksi dari kepedulian pemerintah terhadap pentingnya keanekaragaman hayati.

Adapun ruang lingkup kesepakatan kerjasama tersebut antara lain : 1. Program sosialisasi dan bantuan teknis di bidang keanekaragaman hayati; 2. Penyusunan Profil Keanekaragaman Hayati; 3. Pengembangan jejaring dan pertukaran informasi dalam pengelolaan keanekaragaman hayati di dalam dan di luar negeri; 4. Pengembangan manajemen sistem informasi dan database keanekaragaman hayati. Dalam sambutannya tersebut, Ibu Masnelyarti mengungkapkan bahwa ”Diharapkan kerjasama ini akan meningkatkan pengelolaan keanekaragaman hayati di Provinsi Sumatera Utara serta memberikan kontribusi untuk program konservasi keanekaragaman hayati pada tingkat nasional, regional dan global”.

Sumber:Asdep Urusan Konservasi Keanekaragaman Hayati
Deputi MENLH Bidang Peningkatan Konsevasi Sumber Daya AlamDan Pengendalian Kerusakan lingkungan
http://www.menlh.go.id
18 Des 2007 11:51 WIB