Kamis, Maret 06, 2008

Pliosaur Reptil Laut Terbesar Sepanjang Sejarah

Pliosaur Reptil Laut Terbesar Sepanjang Sejarah

Buaya dan hiu mungkin tak ada apa-apanya dibanding 'The Sea Monster', reptil laut terbesar sepanjang sejarah, yang ditemukan di Samudera Artik. Namun reptil ini telah lama punah. Fosilnya diperkirakan berusia 150 juta tahun yang lalu. Ia disebut 'The Sea Monster' karena panjangnya yang mencapai 15 meter dan tinggi 50 kaki, plus gigi-gigi raksasa yang tajam.

Fosil tersebut ditemukan oleh para ilmuwan Norwegia di Kepulauan Spitsbergen, Samudera Artik pada 2006. The Sea Monster merupakan satu dari 40 fosil reptil laut yang ditemukan di kuburan massal mahluk prasejarah tersebut. Selama ekpedisi lapangan terakhir, para ilmuwan menemukan sisa-sisa lainnya yang disebut Pliosaur yang memiliki kesamaan dengan spesies The Sea Monster. Fosil The Sea Monster sebelumnya telah dievakuasi pada Agustus 2007 dan dibawa ke Natural History Museum di Oslo untuk diteliti.

Direktur Ekspedisi Dr Jorn Hurum, dari University of Oslo Natural History Museum, menyatakan spesies ini 20 persen lebih besar dari reptil laut lainnya sejenis Plisiour bernama Kronosaurus yang ditemukan di Australia. ''Kami membawa literatur selama penelitian, sehingga kami tahu bahwa kami memperoleh pliosaur terbesar. Ini tak mungkin terbantahkan,'' ujar Hurum seperti dilansir BBC News, Kamis (28/2). ''Siripnya sepanjang tiga meter, kami belum pernah menyaksikan yang seperti ini sebelumnya.''

Pliosaur yang memiliki leher pendek, merupakan kelompok reptil yang telah punah dan hidup di samudera luas bersamaan dengan masa dinosaurus. Tubuh pliosaur didukung dengan dua sirip yang sangat kuat untuk berenang di air. ''Dia termasuk binatang predator yang sangat kuat,'' ujar ahli palaentologi, Richard Forrest. ''Jika dibandingkan antara tulang pliosaur dengan buaya, sangat jelas tak bisa dibandingkan. Pliosaur yang besar mungkin sebesar bus, sanggup membawa mobil kecil dan menelan separuhnya.''

Sementara, Pulau Spitsbergen, merupakan situs prasejarah yang hanya berjarak 1.300 kilometer dari Kutub Utara. Selain The Monster di sana sebelumnya juga ditemukan Plesiosaurus dan Ichthyosaurus. Keduanya juga merupakan predator utama di laut saat dinosaurus mendominasi daratan. Umumnya hewan kelompok plesiosaurus berenang dengan dua pasang sirip dan memangsa ichthyosaurus yang bentuknya seperti lumba-lumba. Kedua kelompok reptil purba tersebut ikut punah bersama dinosaurus sekitar 65 juta tahun silam. ''Salah satu di antaranya merupakan monster raksasa seperti yang telah saya sebut sebelumnya, dengan ruas tulang belakang yang berukuran sebesar meja makan dan gigi sebesar ketimun,'' ungkap Hurum.

Fosil jenis pliosaur yang merupakan kelompok plesiosaurus memiliki leher pendek dan tulang sangat besar. Fosil sejenis pernah ditemukan sebelumnya di Inggris dan Argentina namun tulangnya tidak lengkap. Tengkorak pliosaur sangat besar dan mungkin memiliki kekerabatan jauh dengan monster Danau Loch Ness, yang masih menjadi mitos sampai sekarang.

Penemuan ini sangat penting karena jarang sekali para peneliti menemukan begitu banyak fosil dalam satu lokasi. Apalagi yang ditemukan adalah dua jenis berbeda yang saling berhubungan dalam rantai makanan. Hurum menduga reptil-reptil tersebut tidak mati pada waktu yang sama, namun sama-sama di era Jurassic dalam rentang ribuan tahun. Lalu, bangkainya sama-sama terkubur dan terawetkan dalam lumpur hitam di dasar samudera. Pada saat itu, daerah Spitsbergen merupakan dasar laut berjarak beberapa ribu kilometer di selatan Oslo yang kemudian terangkat.

Angela Milner, ahli palaentologi di London's Natural Histrory Museum, menyatakan, ada sedikit tulang yang harus disempurnakan untuk melihat bentuk asli pliosaurs. Namun demikian, kata dia, rekaan yang pertama sangat signifikan untuk menunjukkan 'The Sea Monster' sebagai hewan raksasa. ''Akan menjadi perdebatan panjang siapa yang layak disebut sebagai predator utama di lautan sepanjang sejarah,'' jelasnya.

Pliosaurs, kata Milner, adalah reptil dan hampir pasti jenisnya berdarah panas sehingga penemuan ini juga bermanfaat untuk memperlihatkan lempeng tektonik dan iklim di zaman purba. ''Lima juta tahun lalu, Pulau Spitsbergen, Svalbard tidak dekat dengan North Pole, tak ada es di sana. Dan iklim semestinya lebih hangat dibanding sekarang,'' tegasnya.

Nama Hewan: Pliosaur (The Sea Monster)
Jenis: Binatang laut (predator)
Keluarga: Plesiosaur
Umur fosil: 15 juta tahun
Panjang tubuh: 15 meter
Tinggi 50 kaki (cukup untuk memangsa sebuah bus)
Tempat bersemayam : Kepulauan Spitsbergen (Samudera Artik).
Kondisi saat ini: Berada di National Museum History Oslo, Norwegia. (eye)

Sumber :
http://www.republika.co.id/koran.asp?kat_id=13
Jumat, 29 Februari 2008 11:00:00

Tambang di Hutan Lindung

Tambang di Hutan Lindung

Oleh : Suswono, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI dari Fraksi PKS

Publik kembali dibuat terheran-heran saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono awal bulan Februari menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 sebagai tindak lanjut Keppres Nomor 41 Tahun 2004 yang dikeluarkan Megawati selaku Presiden saat itu. PP Nomor 2/2008 ini mengatur penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan dengan imbalan kompensasi.

Tidak tanggung-tanggung, hutan yang memiliki fungsi ekonomi dan ekologis yang begitu luar biasa dibanderol dengan angka kompensasi Rp 1,2 juta hingga Rp 3 juta per hektare per tahun. Artinya, satu meter luasan hutan lindung nilainya tidak lebih dari Rp 300 meski pemerintah kemudian juga menjelaskan bahwa masih ada pemasukan ke kas negara yang lebih besar di luar poin kompensasi tersebut.

Menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang dimaksud hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Untuk mempertahankan kelestarian kawasan hutan, sampai awal tahun 1999 telah ditetapkan 383 lokasi kawasan konservasi dengan luas 22,3 juta hektare.

Dalam UU No 41 Tahun 1999 diatur pula larangan untuk melakukan penambangan di areal hutan lindung. Namun, pemerintah kemudian mengeluarkan Perpu No 1 Tahun 2004 yang menerobos larangan itu dan membolehkan penambangan di areal hutan lindung.

Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tersebut akhirnya disahkan menjadi UU No 19 Tahun 2004. Keluarnya UU No 19 Tahun 2004 tersebut menyebabkan kalangan aktivis pecinta lingkungan hidup mengajukan hak uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, Mahkamah Konstitusi dalam putusan Judicial Review terhadap UU No 19 Tahun 2004 menolak gugatan ini dan UU No 19 Tahun 2004 tetap berlaku serta hanya menetapkan enam perusahaan pertambangan dari 13 perusahaan yang dilarang menambang secara terbuka.

Dampak pertambangan

Hutan lindung Indonesia saat ini telah diserbu habis-habisan oleh perusahaan pertambangan yang secara langsung akan mengancam keanekaragaman hayati, daerah resapan air, dan sumber-sumber kehidupan masyarakat. Banjir dan tanah longsor akibat kerusakan hutan telah mengorbankan ratusan nyawa dan merugikan negara dan rakyat sebesar triliunan rupiah, sementara limbah pertambangan yang beracun dan berbahaya akan menetap selamanya dan menjadi ancaman bagi generasi yang akan datang. Sejauh ini belum ada fakta yang membuktikan bahwa lahan eks tambang telah dihutankan kembali.

Paradigma pertumbuhan ekonomi yang dijadikan acuan pemerintah memandang segala kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia sebagai modal untuk menambah pendapatan negara. Sayangnya, ini dilakukan secara eksploitatif dan dalam skala yang massif. Sampai saat ini tidak kurang dari 35 persen wilayah daratan Indonesia sudah dialokasikan untuk operasi pertambangan yang meliputi pertambangan mineral, batubara, maupun pertambangan galian C.

Dalam praktiknya, pertambangan di Indonesia menimbulkan berbagai dampak negatif. Pertama, pertambangan menciptakan bencana lingkungan. Sebagian besar operasi pertambangan dilakukan secara terbuka (open pit) di mana ketika suatu wilayah sudah dibuka untuk pertambangan, maka kerusakan yang terjadi di wilayah tersebut tidak dapat dipulihkan kembali (irreversible damage). Hampir semua operasi pertambangan melakukan pembuangan limbah secara langsung ke sungai, lembah, dan laut.

Kedua, pertambangan kurang meningkatkan community development. Operasi perusahaan pertambangan belum sepenuhnya melibatkan masyarakat sekitar hutan. Perusahaan pertambangan sebagian besar tenaga kerjanya didatangkan dari luar masyarakat sekitar hutan. Ini yang akan memicu konflik sosial.

Ketiga, pertambangan merusak sumber-sumber kehidupan masyarakat. Wilayah operasi pertambangan yang seringkali tumpang tindih dengan wilayah hutan serta wilayah hidup masyarakat adat dan lokal telah menimbulkan konflik atas hak kelola dan hak kuasa masyarakat setempat. Kelompok masyarakat harus terusir dan kehilangan sumber-sumber kehidupannya, baik akibat tanah yang dirampas maupun akibat tercemar dan rusaknya lingkungan akibat limbah operasi pertambangan.

Keempat, pertambangan memicu terjadinya pelanggaran HAM. Pada banyak operasi pertambangan di Indonesia, aparat keamanan dan militer seringkali menjadi pendukung pengamanan operasi pertambangan. Ketika perusahaan pertambangan pertama kali datang ke suatu lokasi, kerap terjadi pengusiran-pengusiran dan kekerasan terhadap warga masyarakat setempat.

Nilai kerugian

Keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Aturan Kompensasi Materiil Terhadap Penggunaan Kawasan Hutan Lindung jangan sampai terulang lagi. Negeri ini sudah punya kenangan negatif saat keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No 41 Tahun 1999 dan selanjutnya disahkan menjadi UU No 19 Tahun 2004 yang mengatur pemberian izin kepada 13 perusahaan di areal hutan lindung.

Keputusan-keputusan tersebut akan semakin menguras sumber daya alam di areal hutan lindung meskipun alasan dikeluarkannya aturan tersebut sebagai bentuk jaminan kepastian investasi dan agar ada pemasukan kas negara akibat masih berlakunya 13 perusahaan tambang usai muncul UU No 19 Tahun 2004.

Konsesi hutan seluas 925 ribu ha untuk operasi 13 perusahaan tambang tentu akan menimbulkan efek malapraktik yang merupakan proses divestasi modal ekologi. Dari perhitungan Greenomics Indonesia, akibat proses divestasi fungsi ekologis itu, negara mengalami kerugian Rp 70 triliun per tahun, dilihat dari total penurunan produk domestik regional bruto (PDRB) dan pendapatan asli daerah (PAD) di 25 kabupaten/kota.

Adapun bila melihat pada hilangnya nilai jasa ekosistem hutan, keanekaragaman hayati, biaya lingkungan di sektor hulu, dan pemanfaatan hutan lindung secara berkelanjutan oleh masyarakat, kerugian yang ditanggung per tahun tidak kurang dari Rp 46,4 triliun. Perhitungan itu belum termasuk nilai kayu yang harus disingkirkan pada praktik tambang terbuka yang bernilai Rp 27,5 triliun.

Ke depan upaya yang bisa diterapkan dalam menyelamatkan kondisi hutan lindung Indonesia yang sudah sangat kritis. Ada beberapa cara untuk melakukannya. Pertama, berdasarkan ketentuan dalam UU No 41/1999 serta kondisi sumber daya hutan dan daya dukung lingkungan yang telah rusak saat ini maka pertambangan terbuka di kawasan hutan lindung selayaknya tidak dilakukan. Kedua, dalam setiap pengambilan keputusan yang berkaitan dengan alih fungsi kawasan hutan, hendaknya pemerintah menetapkan instrumen pengambilan keputusan yang terbuka bagi publik.

Mekanisme pengambilan keputusan juga harus dilakukan bersama tim ahli dan tim independen. Ketiga, penetapan dan upaya mempertahankan kawasan hutan lindung harus dibuktikan Pemerintah Indonesia melalui regulasi yang mendukung lingkungan. Keempat, mengajak kepada semua pihak, baik individu, kelompok, maupun lembaga untuk bekerja sama mempertahankan keberadaan kawasan hutan terutama kawasan hutan lindung di Indonesia.

Ikhtisar :
- Paradigma pertumbuhan ekonomi memandang segala kekayaan alam sebagai modal pendapatan negara.
- Pertambangan di Indonesia menimbulkan berbagai dampak negatif.
- Kerugian dari pertambangan di hutan lindung tak sebanding dengan hasil eksplorasinya.

Sumber :
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=325498&kat_id=16
Sabtu, 01 Maret 2008

Keselamatan Alam vs Kepentingan Korporasi

Keselamatan Alam vs Kepentingan Korporasi

Oleh : Muslimin Nasution, Presidium ICMI

Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tertanggal 4 Februari 2008 patut membuat masyarakat terkejut. PP itu melegalkan pertambangan di kawasan hutan lindung. Padahal, Pasal 38 Ayat (4) UU Kehutanan menyebutkan, ''Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.''

Luas kawasan lindung Indonesia sekitar 55-an juta hektare dan 31 juta hektare di antaranya berstatus sebagai hutan lindung dan selebihnya Kawasan Konservasi. Kawasan-kawasan lindung dan konservasi di Indonesia diketahui banyak menyimpan bahan tambang dan menjadi incaran para pengusaha pertambangan.

Sejak dulu kegiatan pertambangan memang telah dilakukan di wilayah hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan lindung dan konservasi. Ketika reformasi lahir, masyarakat mengharapkan adanya perlindungan yang lebih kokoh atas nasib hutan dan nasib masyarakat secara keseluruhan. Amanat reformasi di sektor kehutanan kemudian diformalkan dalam UU Kehutanan. Inti dari UU ini adalah penegasan keberpihakan terhadap kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat lokal di atas kepentingan ekonomi segelintir orang.

Isu ini hampir tak tersentuh pada UU Kehutanan sebelumnya. Empat tahun lalu kritik mengalir deras saat pemerintah mengesahkan Perpu No 1/2004 tentang Perubahan Atas UU Kehutanan. Perpu itu mengizinkan aktivitas pertambangan di kawasan hutan lindung bagi perusahaan yang memperoleh izin sebelum berlakunya Undang-Undang Kehutanan. Publik waktu itu sangat berharap kebijakan pemerintah tidak didikte oleh kepentingan korporasi pertambangan. Tempatkanlah keselamatan alam di atas 'kuasa uang'. Harapan agar pemerintah mendahulukan kelestarian hutan dan kehidupan manusia saat ini pun tentu tidak berubah.

Alih fungsi kawasan hutan lindung menjadi areal pertambangan menimbulkan setidaknya dua bahaya. Pertama, fungsi hutan lindung sebagai penyeimbang hidrologis, ekologis, dan penyedia keragaman hayati akan musnah. Padahal, berbagai fungsi tersebut begitu vital dan unik sehingga eksistensinya tak tergantikan.

Jangankan kerusakan pada hutan lindung, kerusakan pada hutan produksi saja telah menghasilkan malapetaka yang amat dahsyat. Beberapa tahun terakhir kebakaran dan kekeringan di wilayah hutan lebih sering terjadi ketika kemarau tiba. Jika musim berganti, ancaman banjir dan tanah longsor sudah menunggu. Bencana ini diakibatkan oleh hilangnya fungsi daerah resapan air akibat hilangnya hutan yang menjadi lapisan penutup tanah dan menjamurnya belukar akibat penggundulan hutan. Kedua, hingga sekarang hampir tidak ada bukti yang dapat menunjukkan suatu perusahaan pertambangan mampu merehabilitasi lingkungan yang rusak akibat kegiatan pertambangan yang dilakukannya.

Kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan biasanya berbentuk lubang tambang, air asam tambang, dan limbah tailing. Ketiganya sama-sama mengancam kelestarian ekosistem. Keuntungan ekonomis pun sebenarnya tidak dapat dijadikan pembenaran aktivitas tambang di hutan lindung. Berbagai penelitian membuktikan pendapatan pemerintah dari aktivitas tersebut hanya setengah hingga seperlima dari nilai kerusakan akibat kehilangan kegunaan ekonomis hutan lindung. Bahkan, bisa seperlima belasnya jika nilai ekonomis hutan lindung dihitung dalam keadaan utuh.

Logika industri tidak bisa dijadikan dasar dalam pengelolaan hutan. Logika industri memperlakukan hutan sebagai semata-mata komoditas yang perlu dimaksimalkan nilai gunanya. Tidak heran logika industri selalu menuntut eksploitasi sumber daya hutan sejauh mungkin agar memberi keuntungan sebesar-besarnya meskipun eksploitasi itu membawa dampak buruk secara ekologis maupun sosial di kemudian hari. Berlawanan dengan logika industri, logika kearifan tradisional memandang hutan bukan semata komoditas, tetapi sebagai entitas kehidupan yang harus dihargai eksistensinya.

Hutan dan manusia adalah dua entitas yang bisa hidup berdampingan dan saling melengkapi, bahkan bersimbiosis secara mutualistik untuk mendukung kehidupan masing-masing. Dengan paradigma seperti ini, mengambil manfaat ekonomi dari hutan bukanlah suatu hal yang terlarang, tetapi mengeksploitasi tanpa memperhatikan kelestarian hutan nyata-nyata akan dinilai sebagai keburukan dan kejahatan.

Selama ini dominasi logika industri dalam pembangunan sektor kehutanan lebih kuat dibandingkan dengan logika kearifan tradisional. Hal ini terjadi akibat proses marjinalisasi masyarakat lokal dari pembangunan kehutanan itu sendiri, padahal merekalah yang paling fasih dan paling mendalam pengetahuannya dalam hal kearifan tradisional. Akibat marjinalisasi itu, hutan dikuasai oleh 'orang luar', mereka yang hampir pasti tidak memahami kearifan tradisional secara utuh dan datang ke hutan hanya dengan satu tujuan, yaitu mengambil keuntungan ekonomi sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya.

Berbagai argumentasi hukum, ekonomi, dan moral telah dipaparkan banyak kalangan untuk menolak pertambangan di hutan lindung. Semua berharap pemerintah tetap menunjukkan komitmen dan konsistensinya untuk melindungi kepentingan masyarakat, bukan kepentingan segelintir orang atau korporasi.

Sumber :
http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=16
Sabtu, 01 Maret 2008

Perluasan Tesso Nilo Terhambat Sengketa Lahan

Perluasan Tesso Nilo Terhambat Sengketa Lahan

Penulis: Rudi Kurniawansyah

Pekanbaru—MI : Rencana perluasan areal Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) menjadi 100 ribu hektare tahun ini terhambat persoalan sengketa lahan. Pasalnya, kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai daerah konservasi gajah itu sebagian besar sudah terlanjur menjadi permukiman dan industri perkebunan. Bahkan 5 ribu hektare lahan TNTN habis dirambah. "Perluasan TNTN segera terealisasi setelah semua persoalan sengketa tanah di sekitar bagian kawasan perluasan terselesaikan. Saat ini kami sedang mendata jumlah kepemilikan dalam seluruh daerah perluasan," kata Wakil Gubernur Riau Wan Abu Bakar kepada Media Indonesia, Sabtu (1/3).

Dijelaskannya, sesuai dengan kesepakatan bersama antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau dan Departemen Kehutanan tentang penetapan TNTN sebagai pusat konservasi gajah di Indonesia pada tahun 2006 lalu, maka perluasan TNTN menjadi 100 ribu hektare harus direalisasikan. Upaya tersebut, lanjutnya, harus juga mendapat dukungan dari dua Kabupaten terkait yakni Pelalawan dan Indragiri Hulu. "Lokasi TNTN berada di dua kabupaten itu, peran serta dari kedua pemerintah setempat untuk menggesa perluasan turut menjadi penting," ujarnya.

Perluasan TNTN mendapat sorotan tajam dari pemerhati lingkungan karena makin tingginya potensi konflik satwa liar khususnya gajah terhadap manusia. World Wild Fund for Nature (WWF) Riau sepanjang 2007 mencatat konflik mengakibatkan 13 gajah tewas diracun, tiga korban manusia yang dua diantaranya meninggal dunia.

Sementara Kepala Balai TNTN Hayani Supratman mengatakan saat ini sekitar 5 ribu hektare dari 38.576 hektare luas TNTN berstatus sengketa karena dirambah untuk pemukiman dan perkebunan masyarakat. Belum lagi rencana perluasan terhadap 70 ribu hektare lahan bekas HPH dan HGU yang akan dipakai untuk perluasan TNTN. "Kami saat ini berupaya menyelesaikan semua sengketa lahan itu. Uniknya, banyak lahan TNTN yang dirambah ternyata sudah berbentuk sertifikat," kata Hayani.

Ia menyebutkan kawasan TNTN dikelilingi 22 desa dan tiga perusahaan perkebunan. Parahnya lagi, dua dari 22 desa itu yaitu Pontian Mekar, dan Bagan Limau, Kecamatan Kelayang, Kabupaten Indragiri Hulu berada tepat di dalam areal TNTN sendiri. "Inilah salah satu permasalahan paling sulit dalam usaha perluasan TNTN," keluhnya. (RK/OL-06)

Sumber :
http://www.mediaindonesia.com
Minggu, 02 Maret 2008 12:35 WIB

Walhi Ajak Masyarakat Sewa Hutan Lindung

Walhi Ajak Masyarakat Sewa Hutan Lindung

Jakarta--MI: Aksi protes LSM lingkungan hidup Walhi terhadap kebijakan Peraturan Pemerintah (PP) No 2 tahun 2008 tentang Penerimaan Negara dari Bukan Pajak (PNBP) berupa izin kegiatan pertambangan terbuka di kawasan hutan lindung terus bergulir, bahkan ide terbaru adalah dengan mengajak masyarakat Indonesia ramai-ramai menyewa kavling hutan. "Mulai pekan depan, Walhi akan menggelar kampanye agar masyarakat menyewa lahan hutan lindung yang masih tersisa di Indonesia agar tidak disewa oleh perusahaan tambang," kata Chalid Muhammad, Direktur Eksekutif Walhi, di Jakarta, Minggu (2/3).

Menurut Chalid, secara resmi kampanye ini akan diluncurkan pada awal pekan, atau sekitar Senin (3/3) atau Selasa (4/3). "Daripada disewa oleh perusahaan tambang, yang jelas-jelas hanya akan mencemari kawasan hutan lindung, lebih baik masyarakat yang menyewa dan uangnya diserahkan ke negara sebagai tambahan pendapatan," katanya menjelaskan.

Ia menjelaskan, saat ini pemerintah mengeluarkan PP No 2 tahun 2008 sebagai salah satu cara mendapatkan pendapatan dari hutan. "Daripada disewakan ke perusahaan tambang, lebih baik masyarakat menyewa dengan tarif Rp1.000 per meter persegi untuk masa sewa 1 tahun. Dan uang yang terkumpul akan diserahkan ke Departemen Keuangan sebagai tambahan untuk kas negara," katanya.

Sementara itu Greenomics Indonesia menyatakan upaya pemerintah menggenjot penambahan penerimaan negara dari sektor pertambangan umum sebesar Rp. 1,5 triliun dalam revisi APBN 2008 - dari angka awal Rp. 4,24 triliun menjadi Rp. 5,77 triliun - adalah satu bentuk kebijakan yang tidak cerdas. "Kebijakan itu menjadi tidak cerdas karena di sisi lingkungan hidup itu berarti mengorbankan hampir satu juta hektare hutan lindung untuk aktivitas pertambangan terbuka," kata Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi di Jakarta, beberapa waktu lalu. (Ant/OL-03)

Sumber :
http://www.mediaindonesia.com
Minggu, 02 Maret 2008 18:51 WIB