Jumat, Januari 18, 2008

Pemikiran tentang Banjir dan Reklamasi

Pemikiran tentang Banjir dan Reklamasi

Penulis : AR Soehoed

Tudingan bahwa reklamasi potensial menyebabkan banjir dan merusak tata air kota, untuk ahli hidrologi dan hidrolika, semua ini merupakan tudingan yang tidak berdasar sama sekali. Ada tidak adanya reklamasi, Jakarta tetap menghadapi masalah banjir.

Salah satu sebab utamanya terdapat di muara-muara sungai. Dataran kota Jakarta yang sangat luas dan landai adalah berkat sejarah geologinya. Oleh karena bertambah lama bertambah lebar dan landai dataran ini, pencurahan sungai ke laut kian lama kian sulit. Jawabannya adalah muara-muara ini harus dikeruk dan itu tidak di Jakarta saja. Banyak kota di dunia ini yang muara-muaranya harus dikeruk dan di dalam tulisan-tulisan Ir H van Breen 80 tahun yang lalu pun ditetapkan persyaratan ini. Namun, sampai sekarang tidak banyak pengerukan yang dilakukan. Van Breen menambahkan agar tanah kerukan itu jangan dibuang ke mana-mana, tapi ke tempat-tempat rendah di kota Jakarta sehingga akhirnya ketinggian rata-rata dataran Jakarta ini menjadi lebih tinggi.

Dalam studinya pada tahun 1920-an, Van Breen mengidentifikasi bahwa Teluk Jakarta men- jadi curahan banjir kiriman, wujud-wujud permukaan lembah Jakarta yang amat landai dan banyak tanggul alamiah membuat air dan hujan setempat tidak cepat mengalir ke muara-muara laut dangkal di sepanjang pantai Teluk Jakarta yang menyebabkan gelombang dan pasang dengan mudah memanjat pantai, membangkitkan wilayah-wilayah genangan. Dalam 80 tahun sesudah itu, saran ini tidak pernah ditindaklanjuti.

Van Blommestein pada tahun 1950-an menambah lagi, pantai sebaiknya diberi perlindungan tanggul. Kedua-duanya, baik pengerukan maupun tanggul, mahal. Jarang sekali konstruksi semacam ini dibayar dari public funds, dari anggaran belanja. Karenanya, orang selalu mencoba mengaitkannya dengan proyek komersial. Dalam hal Teluk Jakarta adalah reklamasi laut dangkal.

Reklamasi

Reklamasi menghasilkan lahan. Karena kebutuhan lahan besar dan mempunyai nilai tinggi, dari partisipasi modal swasta yang tercipta, akan dapat disisihkan uang untuk kemudian merapikan muara dan mengeruknya secara berkala.

Andai kata sekarang pemerintah memiliki dana itu, yang misalnya pinjaman, pengerukan saja tidak cukup sebab laut di Teluk Jakarta sudah landai sehingga alur keruk itu pun harus diberi tanggul sehingga ada tanggul-tanggul menjorok ke arah laut untuk melindungi muara ini. Ini merupakan pengeluaran yang ekonomis, namun tidak menghasilkan apa-apa.

Singapura sudah mereklamasi 5.000 hektar dan dalam proses ini dua sungai di Singapura sudah terkendali sehingga tidak memberi banjir lagi sebagaimana selalu terjadi sebelum tahun 1960-an. Begitu pula di Tokyo sungai-sungai sudah dicocokkan dengan reklamasi. Hasil lahan baru ini menjadi suatu sumber pendapatan yang dapat membiayai pembenahan muara.

Yang menjadi fokus kritik paling utama pada siaran-siaran media massa adalah kesangsian akan bertambah parahnya masalah banjir di kota Jakarta akibat reklamasi di wilayah pantai dan laut dangkal ini. Tampaknya ada dugaan bahwa seluruh pantai akan ditutup, termasuk muara-muara sungai yang mencurahkan airnya di Teluk Jakarta. Padahal, penelitian oleh banyak pihak menunjukkan bahwa dengan reklamasi, muara-muara ini justru akan diamankan dan dirawat sebagai bagian konsepsional dari penataan pantai utara Jakarta.

Kemudian ada kritik lain yang lebih berdasar, yakni bahwa dengan lebih panjangnya ruas muara-muara sungai, akan lebih landai lagi ruas muara-muara itu. Akibatnya ada hambatan pada pencurahan air dari sungai ke laut, peningkatan permukaan air di ruas-ruas muara dengan bertambah besarnya kemungkinan luapan air di ruas-ruas tengah dan hulu pada sungai-sungai yang melintasi wilayah kota Jakarta.

Ini sebenarnya merupakan proses alami yang telah berjalan berabad-abad berkat melebar dan bertambah landainya dataran alluvial lokasi kota Jakarta. Tanpa adanya reklamasi, dataran rendah tempat kota Jakarta berlokasi akan melebar terus rata-rata sejauh 6-9 meter per tahun.

Van Breen sewaktu menata tata air kota Jakarta, yang pada waktu itu masih disebut Batavia, tegas mengatakan perlunya ruas-ruas muara sungai dikeruk secara berkala. Begitu pula wilayah rawa-rawa sepanjang pantai hendaknya dikeringkan.

AR Soehoed Konsultan Teknik, Pernah Menjabat Menteri Perindustrian RI

Sumber :
http://www.kompas.com
Jumat, 04 Januari 2008

Hutan Indonesia dan Perubahan Iklim Dunia

Hutan Indonesia dan Perubahan Iklim Dunia

Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan tropis terluas ketiga di dunia setelah Brazil dan Kongo. Luas hutan Indonesia mencapai 120,35 juta hektar yang terbagi dalam hutan konservasi 20,20 juta hektar, hutan lindung 33,52 juta hektar, hutan produksi 59,25 juta hektar dan hutan produksi konversi 8,08 juta hektar.

Dengan predikat pemilik hutan tropis terluas dan menjadi paru-paru dunia, Indonesia memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan bumi, termasuk perubahan iklim yang belakangan menjadi pusat perhatian. Keberadaan hutan menjadi sangat penting dengan tiga peran utamanya dalam mempengaruhi perubahan iklim global yakni sebagai penyerap, penyimpan, namun sekaligus sebagai sumber gas rumah kaca (GRK)। Gas rumah kaca adalah gas-gas yang menyebabkan kerusakan atmosfir dan menimbulkan efek rumah kaca, dimana suhu bumi meningkat। Gas-gas tersebut sebenarnya muncul secara alami di lingkungan, tetapi dapat juga timbul akibat aktifitas manusia.

Terkait perannya itu, hutan perlu dikelola sebaik mungkin agar mampu menyerap maupun menyimpan GRK sebanyak mungkin, serta mengemisi GRK sekecil mungkin untuk menjaga perubahan iklim yang belakangan memunculkan fenomena pemanasan global (global warming).
Amanat undang-undang bahwa hutan harus dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat dan ekonomi dunia membutuhkan peran pemerintah dalam pengawasan dan pengelolaannya. Departemen Kehutanan sebagai kepanjangan tangan pemerintah secara intensif terus memberikan input yang memadai, menyediakan insentif dan disinsentif bagi pengelola hutan.

Upaya menghindari terjadinya deforestasi dengan menyediakan insentif positif harus terus dilakukan. Langkah lain melalui pencegahan terjadinya kebakaran hutan dan lahan, penerapan kebijakan pengolahan lahan tanpa api, pengelolaan yang berkelanjutan, serta pemberlakuan disinsentif terhadap pelanggar ketentuan kehutanan juga terus ditegakkan. Penerapan teknologi tepat guna serta introduksi tanaman jenis-jenis baru yang lebih bermanfaat mengatasi perubahan iklim juga menjadi perhatian Departemen Kehutanan. Penyiapan prakondisi dan perangkat pengelolaan hutan merupakan langkah yang harus dilakukan dalam peningkatan fungsi hutan sebagai penyerap.

Hutan dan lahan yang terdeforestisasi serta terdegradasi menjadi prioritas program rehabilitasi yang dijalankan lembaga pemerintah itu। Program penanaman pohon untuk menjaga kelestarian hutan pun terus dilakukan.Samp ai 2005, pemerintah telah mengembangkan hutan tanaman seluas 3.906.883 hektar yang terdiri dari Hutan Tanaman Industri (HTI) 1.668.918 hektar, tananam Gerhan 338.711 hektar, non Gerhan 672.956 hektar dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) 1.226.298.

Hingga 2025 nanti, Departemen Kehutanan memproyeksikan bisa mengembangkan hutan tanaman seluas 25।615.492 hektar, terdiri dari 3.989.738 hektar HTI, HTR 6.230 hektar, tanaman Gerhan 1.360.279 hektar, non Gerhan 1.301.684 hektar dan hutan rakyat 2.733.791 hektar.

Biaya yang dibutuhkan untuk penghijauan kembali itu diperkirakan mencapai Rp215, 58 triliun untuk periode 2007 sampai dengan 2025 dan Rp530,10 triliun untuk 2025 hingga 2050.

Proyeksi-proyeksi Departemen Kehutanan itu disusun berdasarkan asumsi-asumsi sebagai berikut : Penghitungan besaran CO2 : (vol(M3) x 50%) x 44/12 ton CO2 eq, Rotasi HTI/Reboisasi 10 tahun, Biaya pembuatan :

1. HTI : Rp10 juta/hektar
2. Reboisasi Gerhan : Rp15 juta/hektar
3. Reboisasi non Gerhan : Rp15 juta/hektar
4. Hutan Rakyat : Rp1,9 juta/hektar

Potensi Produksi :

1. HTI = Reb. Gerhan = Reb. Non Gerhan : 250 M3/hektar
2. Hutan Rakyat : 150 M3/hektar
3. HPH : 350 M3/hektar

Deforestasi terjadi pada hutan sekunder dengan potensi 200 M3/hektar
Laju pengurangan deforestasi dan degradasi setelah 2007 setiap tahunnya 25% dari tahun sebelumnya
Luas Penanaman :

1. HTR sebesar 150 ribu hektar/tahun sejak 2007
2. Hutan Rakyat : 150 M3/hektar
3. Reboisasi Gerhan sebesar 500 ribu hektar/per tahun sejak 2011
(Sumber: Departement Kehutanan)

Sumber :
http://www.antara.co.id/redd/news/?id=1196164171
27/11/07 18:49

UNDP: Perubahan Iklim Mundurkan Laju Pembangunan Manusia

UNDP: Perubahan Iklim Mundurkan Laju Pembangunan Manusia


Jakarta (ANTARA News) - Menjelang Sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bali pada 3-14 Desember 2007, sebuah laporan tentang dampak pemanasan global terhadap pembangunan kualitas manusia diluncurkan oleh Badan Pembangunan PBB (UNDP), di Jakarta, Selasa.

Laporan bertajuk "Melawan Perubahan Iklim: Solidaritas Manusia dalam Dunia yang Terpecah" itu mengingatkan kepada dunia bahwa perubahan iklim bisa mengakibatkan kemunduran yang sangat signifikan dalam bidang penurunan angka kemiskinan, gizi, kesehatan dan pendidikan. Dalam laporan yang hampir setebal 400 halaman itu disebutkan bahwa dunia saat ini sedang menuju ke suatu "titik rawan" yang dapat mengunci negara-negara termiskin di dunia dan para warga negara mereka ke dalam suatu spiral yang menuju kehancuran, yang akan membuat ratusan juta jiwa berhadapan dengan masalah kekurangan gizi, kelangkaan air, ancaman lingkungan dan kehilangan mata pencaharian.

"Laporan UNDP ini ingin menyampaikan tiga pesan utama tentang perubahan iklim," kata Hakan Bjorkman, Direktur UNDP untuk Indonesia. Pertama, kata Hakan, adalah bahwa orang-orang termiskin di negara-negara berkembanglah yang akan membayar paling mahal dalam hal perubahan iklim, walaupun emisi karbon yang mereka lepaskan jauh sangat kecil dibandingkan dengan warga negara-negara maju.

Kajian UNDP mendapati bahwa kekuatan yang diciptakan oleh pemanasan global dapat menghilangkan kemajuan yang sudah dibina selama beberapa generasi. "Hancurnya sistem pertanian sebagai akibat makin banyaknya kemarau, suhu meningkat dan curah hujan yang tidak teratur dapat mengakibatkan 600 juta jiwa manusia menghadapi kekurangan gizi. Di daerah kering Afrika Sub-Sahara dengan beberapa pusat kemiskinan tertinggi di dunia berada, mereka kemungkinan menemui penurunan produktivitas lahan sampai 26 persen hingga tahun 2060," tulis laporan yang telah diterjemahkan dalam 12 bahasa itu.

Sejumlah 1,8 miliar manusia juga akan kesulitan mendapatkan air bersih menjelang tahun 2080, sementara wilayah luas di Asia Selatan dan Cina Utara menghadapi krisis lingkungan sebagai akibat dari surutnya glasier dan berubahnya pola curah hujan. Perubahan iklim juga berdampak luas, sehingga diperkirakan 332 juta orang akan berpindah dari kawasan pesisir ke daerah yang lebih tinggi, ini akibat kenaikan muka air laut. Sementara lebih dari 70 juta orang di Bangladesh, 22 juta orang Vietnam dan 6 juta orang di Mesir akan menjadi korban banjir yang diakibatkan oleh pemanasan global.

Di sisi kesehatan, risiko penduduk yang terpapar malaria bisa mencapai 400 juta orang. "Kami menyerukan panggilan untuk bertindak, bukan menyuarakan keputusasaan," kata penulis utama laporan ini, Kevin Watkins, seperti tertulis dalam rilis UNDP. Ia menggambarkan Sidang UNFCCC di Bali nanti sebagai kesempatan unik untuk mendahulukan kepentingan kaum miskin di dunia pada posisi pertimbangan utama dalam negosiasi perubahan iklim. Saat ini kenaikan rata-rata suhu permukaan Bumi adalah 0,7 derajat Celcius dibandingkan masa sebelum Revolusi Industri. Apabila kenaikan suhu terus bergerak tanpa upaya mengendalikan emisi gas buang karbon ke atmosfer - yang menimbulkan efek rumah kaca dan pemanasan global - maka kenaikan rata-rata 2 derajat Celcius bermakna kehancuran fatal buat kondisi Bumi.

Kenaikan suhu di atar 2 derajat Celcius akan memusnahkan glasier di Himalaya, yang menyediakan air dan makanan bagi dua miliar Manusia. Musnahnya glasier Himalaya juga berarti 22 juta jiwa di Vietnam menjadi pengungsi, 45 persen lahan pertanian di Delta Mekong hancur dan muka air laut dunia terus naik. Kondisi ini juga berdampak langsung terhadap Indonesia, karena karang laut rusak - padahal ini adalah sumber hidup para nelayan. Kenaikan suhu global juga setara dengan kehilangan 7 persen GDP negara-negara kecil kepulauan macam Fiji, Samoa dan Vanuatu. Bahkan beberapa negara pulau seperti Maladewa akan tenggelam sama sekali bila laju pemanasan global terus terjadi. (*)

Sumber :
http://www.antara.co.id/redd/news/?id=1196167297
27/11/07 19:41

Penanaman 79 Juta Pohon Persembahan Indonesia untuk perbaiki kualitas lingkungan

Penanaman 79 Juta Pohon Persembahan Indonesia untuk perbaiki kualitas lingkungan

Secara serentak dalam pekan keempat November, Indonesia menanam 79 juta batang pohon untuk merehabilitasi lahan dan areal hutan yang kritis akibat deforestasi. Penanaman 79 juta batang pohon ini adalah bagian dari rencana aksi Gerakan Rehabilitasi Nasional (Gerhan) 2007 yang serentak dilaksanakan di negeri ini dengan melibatkan seluruh komponen nasional dan dipimpin Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.

"Inilah komitmen besar pemerintah dan rakyat Indonesia terhadap perbaikan kondisi lingkungan global dan salah satu aksi nyata Indonesia dalam mengatasi kecenderungan memanasnya iklim dunia," kata Menteri Kehutanan H MS Kaban. Upaya ini dilakukan karena deforestasi diyakini membuat areal serapan gas rumah kaca berkurang, sehingga mengancam keselamatan lingkungan dan iklim nasional. Departemen Kehutanan RI menyebutkan, Gerhan 2007 adalah gerakan moral nasional. untuk merehabilitasi hutan dan lahan secara terencana, terpadu dan terkoordinasi. Ada dua tajuk besar yang diusung pemerintah pada Gerhan 2007 ini, yaitu pencanangan Aksi Penanaman Serentak dan Pekan Pemeliharaan Pohon dan Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara Pohon. Sebanyak 79 juta batang pohon akan ditanam di berbagai lahan di seluruh Indonesia --dari hutan sampai pekarangan rumah-- yang luasnya diasumsikan mencapai 900.000 hektar yang ditarik dari selisih laju deforestasi dan laju rehabilitasi per tahun di Indonesia.Menurut data Departemen Kehutanan RI, selisih itu berkisar 500-300 ribu hektar per tahun yang dihitung dari perbedaan antara laju deforestasi hutan Indonesia yang mencapai 1,08 juta hektar per tahun terhadap laju rehabilitasi yang hanya 500 - 700 ribu hektar per tahun. Besarnya selisih laju deforestasi dan laju rehabilitasi ini menandakan kian mengkhawatirkannya kondisi lingkungan Indonesia karena hutan yang selama ini berfungsi menyerap emisi gas rumah kaca terus berkurang arealnya dari tahun ke tahun. Padahal, hutan memiliki peran sentral dalam kampanye anti pemanasan global mengingat fungsinya sebagai penyerap gas karbon.

Saat ini, kapasitas ideal serap karbon dari hutan Indonesia mencapai 200-350 ton per hektar atau sekitar seribu ton CO2 per hektar. Kapasitas ini tak terpenuhi karena areal hutan Indonesia terus berkurang dari hari ke hari. Secara global, tergerusnya lahan hutan nasional ini berdampak terhadap keseimbangan ekosistem Bumi, khususnya memanasnya suhu dari satu-satunya planet berpenghuni dalam Sistem Tata Surya. Hasil riset menunjukkan, satu abad terakhir temperatur Planet Bumi naik 4,5 derajat Celcius akibat meningkatnya konsentrasi rumah kaca di atmosfir sehingga dunia semakin panas yang kemudian lazim disebut sebagai fenomena pemanasan global. Faktor terbesar yang menciptakan fenomena ini adalah berkurangnya hutan, baik fungsi maupun luas arealnya, yang umum dikenal sebagai deforestasi, padahal disamping sebagai sumber emisi gas karbon, hutan juga berfungsi sebagai penyerap atau penyimpan karbon (sink). Untuk itulah, isu deforestasi terus dibincangkan di berbagai level tata pergaulan internasional, baik pada dimensi ekologis, politik, sosial, ekonomi, bahkan di bidang strategis seperti pertahanan dan keamanan wilayah.

Wajar jika isu deforestasi ini menjadi salah satu agenda utama Konferensi Perubahan Iklim (COP) ke-13 yang diselenggarakan 3-14 Desember 2007 di Bali. Indonesia juga mempromosikan program penanaman untuk rehabilitasi lahan ini sebagai kegiatan yang khusus dirancang demi menyongsong Konferensi Perubahan Iklim di Bali ini. Lewat program rehabilitasi lahan dan hutan nasional ini, Indonesia memberi pesan pada dunia bahwa negara ini serius menangani soal deforestasi dan pemanasan global.

"Pertemuan internasional tentang perubahan iklim global di Bali merupakan momentum strategis untuk menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia memiliki kepedulian, tekad yang besar dan kemampuan dalam memulihkan degradasi sumberdaya hutan dan lahan," demikian laporan Departemen Kehutanan RI yang terbit akhir November 2007.

Diperkuat Secara khusus, Gerhan 2007 akan meliputi proyek penanaman dan pemeliharaan pohon yang melibatkan lembaga dan para pejabat lintas departemen, organisasi massa, kelompok sipil maupun militer, sampai penglibatan kaum perempuan Indonesia dari berbagai elemen nasional.

Peran perempuan Indonesia dalam menyehatkan kembali kondisi lingkungan nasional ini secara khusus diterangkan lewat pencanangan Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara Pohon (GPTPP).

Gerakan ini adalah bentuk aksi nyata aksi perempuan Indonesia dalam mengupayakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim global, sedangkan tujuannya untuk meningkatkan kepedulian dan partisipasi kaum perempuan dalam menanam serta memelihara pohon guna menyelamatkan pohon।Sebagaimana disebut di muka, program anti deforestasi ini sangat terencana dan bersifat menyeluruh seolah menunjukkan kepedulian besar dan kesangateriusan Indonesia untuk andil dalam perbaikan kondisi lingkungan global yang sedang berubah tidak bersahabat ini. Selain menyiapkan batang pohon dan lahan tanam, pemerintah Indonesia menyusun langkah-langkah strategis yang tak hanya sistematis namun juga sangat berperhitungan.

Ada tiga pola Gerhan Tahun 2007 yang ditempuh pemerintah, meliputi pola subsidi penuh dengan pemerintah menangani semua komponen kegiatan rehabilitasi alam ini, pola insentif yang diterapkan di luar kawasan wajib tanam dengan masyarakat menjadi peserta aktif dan pola Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) dengan perbaikan lahan melalui penerapan teknologi dan manajemen tepat guna.

Untuk memperkuat aspek legal gerakan reboisasi nasional ini, dasar hukum yang digunakan ditingkatkan dari Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menko yang berlaku pada 2003-2006 menjadi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 89 tahun 2007. Dengan demikian, segala strata administrasi politik di negeri ini dipaksa berperan aktif dan nyata dalam program perbaikan lingkungan ini. Selain penguatan aspek legalistis, berbagai modifikasi teknis ditempuh untuk meningkatkan efektivitas dan daya jangkau program di antaranya dengan penyusunan pedoman aksi yang mesti dilakukan semua pejabat pemerintah dari tingkat pusat sampai tingkat terendah administrasi pemerintahan.

Salah satu modifikasi teknis lainnya yang bisa disebut adalah diperluasnya Surat Perjanjian Kerjasama (SPKS) yang semula hanya menyangkut soal upah kerja, ditambah menjadi selain menyangkut upah tapi juga penentuan jenis bahan atau alat yang digunakan dalam program penghijauan kembali hutan ini. Modifikasi juga menyangkut mekanisme pembayaran dari tingkat pembibitan sampai pemeliharaan tanaman.

Metode pelaksanaan program diorganisasi lebih rapi dengan diperjelasnya pihak-pihak yang mesti berperan aktif, kian matangnya perencanaan program dan sistem penganggaran, terukurnya sistem koordinasi aksi dan sasaran, diperketatnya seleksi tanaman, kian terangnya mekanisme distribusi tanam, semakin sistematisnya metode penyelenggaraan dan kian berkualitasnya pola penilaian program.

Gerhan 2007 ini membuat total lahan yang disasar pemerintah untuk dihijaukan kembali menjadi 4,4 juta hektar, sementara Penanaman Serentak Tahun 2007 akan khusus membidik 78.433 lokasi di berbagai wilayah Indonesia. Pencanangan Penanaman 79 juta pohon ini dilaksanakan 28 Nopember 2007 di Desa Cibadak, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Bogor, oleh Presiden Repubik Indonesia Soesilo Bambang Yudhyonono yang diikuti serentak di seluruh Indonesia.

Sumber :
http://www.antara.co.id/redd/news/?id=1196238264
28/11/07 15:24

Kalteng Siap Jadi Contoh Skema REDD

Kalteng Siap Jadi Contoh Skema REDD


Palangka Raya (ANTARA News) - Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) menyatakan siap menjadi salah satu wilayah percontohan bagi pelaksanaan skema REDD ("Reducing Emission from Deforestation in Developing Countries"), dengan banyaknya hutan dan gambut di wilayah setempat.

"Kita siap ikut dalam skema itu, asalkan pelaksanaannya ikut memberdayakan masyarakat lokal sekitar hutan," kata Gubernur Kalteng A. Teras Narang, di Palangka Raya, Rabu. Kesiapan menjadi lokasi "pilot project" itu diutarakan Teras menyusul pertemuannya secara langsung dengan pihak Bank Dunia (World Bank) dan delegasi Australia dalam Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Nusa Dua, Bali, pekan lalu.

Dalam pertemuan itu, Teras mengaku sepakat dengan tawaran yang diajukan Bank Dunia maupun Pemerintah Australia soal pengelolaan hutan dan gambut di Kalteng. Guna menindaklanjutinya, Kalimantan Tengah kini mulai melakukan inventarisasi potensi deposit karbon yang tersimpan di hutan-hutan setempat termasuk di lahan gambut.

Teras memaparkan, untuk kawasan hutan alam Kalimantan Tengah yang memiliki 10,5 juta hektar hutan menyiapkan sejumlah kawasan taman nasional dan hutan lindung dalam program perdagangan karbon itu. Sedangkan untuk lahan gambut akan mengikutsertakan program rehabilitasi kawasan Pengembangan Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar yang kini juga mulai dikerjakan.

"Kalteng siap menerima segala dampak dan kemungkinan dari program ini. Namun jangan sampai masyarakat lokal hidupnya jadi lebih susah," kata Teras yang sebelumnya sempat menolak mekanisme perdagangan karbon bagi hutan Kalteng. Ia meminta pemerintah pusat bisa lebih mempercayai pemerintah daerah dalam mengelola hutannya sendiri, termasuk dalam mekanisme pembagian uang insentif yang dihasilkan. "Penerimaan uang insentif itu memang belum dibicarakan detail apakah lewat pusat ke daerah, atau bisa lewat provinsi untuk dibagikan ke daerah pemilik karbon. Tapi itu soal mudah," ungkapnya.

Sumber :
http://www.antara.co.id/redd/news/?id=1197455875
12/12/07 17:37

Semua Hutan Indonesia Harus Dapat Kompensasi REDD

Semua Hutan Indonesia Harus Dapat Kompensasi REDD


Nusa Dua (ANTARA News) - Menteri Kehutanan MS Kaban menegaskan semua tipe hutan Indonesia harus mendapat kompensasi dalam skema (Reducing Emissionns from Deforestation and Degradation/REDD).

"Semua itu punya korelasi dalam pengurangan emisi dalam mencegah perubahan iklim," kata MS Kaban di sela Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) yang diselenggarakan di Nusa Dua, Kamis. Bahkan menurut dia, tidak hanya kompensasi dari kayunya yang memiliki keunggulan menyerap karbon, tetapi juga kompensasi hutan dari non kayu seperti keanekaragaman hayati hingga kemampuan memelihara air yang juga harus diberi nilai.

Kompensasi untuk non kayu bisa berupa transfer teknologi dan kerjasama riset yang diakomodir di dalam skema REDD, di bagian konservasi, ujarnya. Namun demikian implementasinya sangat tergantung dari kerjasama multilateral dan kerjasama bilateral. Ia mencontohkan kerjasama bilateral implementasi proyek kompensasi ini seluas 1.200 hektare dengan Jepang mulai tahun ini di Bromo, Tengger dan Yogyakarta. Ia juga mengemukakan, Indonesia mendapat pujian atas keberhasilannya mengurangi degradasi hutan pada pertemuan antara negara-negara Forest-11 plus 18 negara pemilik hutan tropis lainnya dengan negara-negara maju seperti Jerman, Inggris, AS dan Jepang di sela UNFCCC.

Pengurangan degradasi tersebut tercatat dari degradasi sebesar 2,8 juta hektare selama 1997-2000, sekarang telah berkurang menjadi 1,08 juta hektare selama 2001-2005. Dari pertemuan itu juga disepakati sebuah rancangan yang juga akan menyertakan lembaga-lembaga riset untuk memetakan permasalahan Hutan.

Pertemuan juga menyepakati diadakannya konferensi tingkat selanjutnya pada pertengahan tahun depan membahas masalah tersebut. Kaban juga menyatakan pihaknya telah menyalurkan dana rehabilitasi hutan hingga satu miliar dollar AS, angka ini meningkat 800 persen dari periode sebelumnya. Pihaknya juga menargetkan menanam pohon di lahan kritis hingga lima juta hektar demi kelestarian hutan tropis yang menurut dia, bukan pekerjaan mudah. Negosiasi dan pembahasan skema pengurangan emisi akibat deforestasi dan degradasi (REDD) itu telah diselesaikan dengan disetujuinya sejumlah skema dalam REDD oleh negara maju. Disepakatinya berbagai poin REDD makin memberikan peluang besar kepada Indonesia dan juga negara berkembang untuk meminta negara maju membayar atas emisi yang dikeluarkannya.(*)

Sumber :
http://www.antara.co.id/redd/news/?id=1197524374
13/12/07 12:39

Polandia Nilai Indonesia Berhasil Selenggarakan UNFCCC

Polandia Nilai Indonesia Berhasil Selenggarakan UNFCCC


Jakarta (ANTARA News) - Perdana Menteri Polandia Donald Tusk menyampaikan selamat atas keberhasilan Indonesia menjadi tuan rumah perundingan Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) yang telah menelorkan "Bali Roadmap".

Menurut Dubes RI di Polandia dalam siaran pers yang diterima ANTARA News di Jakarta, Rabu, ucapan selamat tersebut disampaikan PM Donal Tusk saat menerima delegasi DPR-RI yang dipimpin Ketua DPR Agung Laksono di Warsawa. "Polandia ingin memperoleh pengalaman dari Indonesia soal penyelenggaraan UNFCCC. Tahun 2008, merupakan giliran Polandia menjadi tuan-rumah," kata Dubes Hazairin Pohan mengutip pernyataan PM Donald Tusk.

Perundingan Bali, pekan lalu, mencapai kesepakatan perubahan iklim baru dan menelorkan "Bali Roadmap" setelah melewati serangkaian perdebatan alot yang diwarnai kebuntuan hingga detik-detik terakhir. Untuk pertama kalinya, seluruh dunia naik satu gerbong yang sama untuk menghasilkan kerangka baru perubahan iklim. Hasil penting UNFCCC di Bali antara lain Amerika Serikat pada akhirnya setuju ikut dalam konsensus kerangka baru itu. Artinya, AS akan menjadi bagian dari perundingan di Warsawa, Polandia, pada 2008 dan Kopenhagen, Denmark, pada 2009 untuk menyusun kerangka setelah Protokol Kyoto habis masa berlakunya pada 1012.

Sementara itu, seusai bertemu dengan PM Polandia, Ketua DPR Agung Laksono menyatakan sudah saatnya kedua negara meningkatkan kualitas hubungan ke posisi strategis. Delegasi DPR berada di Polandia dalam rangka kunjungan resmi empat hari atas undangan Sejm (parlemen) Polandia। Saat diterima PM Polandia, Agung didampingi oleh Tjahjo Kumolo (PDIP), Dr। Yuddi Chrisnadi (Golkar), Yorris Raweyai (Golkar), Bursah Zarnubi (PBR) dan Pastor Saut Hasibuan (PDS). Donald Tusk dipilih menjadi perdana menteri, setelah partainya PO memenangkan Pemilu pada bulan Oktober 2007l, menggantikan Jaroslaw Kaczynski.

Ketua DPR menilai momentum sekarang perlu dimanfaatkan dengan baik. Untuk itu, pihaknya akan menyarankan agar kunjungan kenegaraan Presiden RI ke Polandia dapat terlaksana dalam tahun 2008. Sebelumnya, delegasi DPR-RI bertemu dengan Menlu Radoslaw Sikorski guna membahas kerja sama di berbagai bidang dan khususnya pertahanan termasuk kerja sama pada industri strategis.

Ketua DPR menyampaikan selamat atas terpilihnya Donald Tusk sebagai perdana menteri Polandia yang baru, seraya mengharapkan pemerintah baru lebih terfokus pada upaya peningkatan hubungan dan kerjasama bilateral antara kedua negara. Menurut Agung Laksono, Indonesia memandang positif kedudukan Polandia sebagai anggota Uni Eropa yang memiliki infrastruktur lengkap sebagai pintu-gerbang untuk peningkatan ekspor dan sumber investasi. Indonesia pada bulan Mei 2008 di ibukota Polandia, Warsawa akan menyelenggarakan Expo terbesar pada tingkat distributor di Eropa di gedung seluas 10 ribu m2. Meskipun angka perdagangan telah meningkat mencapai hampir setengah miliar dolar AS dengan surplus besar di pihak Indonesia, kedua pihak memiliki potensi untuk memperbesarnya sehingga mencapai USD 1 miliar, dengan dukungan pembentukan berbagai kerja sama investasi dalam berbagai proyek energi dan pertambangan.

PM Donald Tusk menyambut baik dukungan parlemen Indonesia dan menyatakan keyakinannya bahwa hubungan itu sudah saatnya ditingkatkan ke posisi strategis. Untuk itu, pemerintah Polandia telah menyediakan berbagai skema pendanaan, termasuk soft-loan untuk proyek-proyek bantuan di Indonesia.

PM Polandia gembira dengan perkembangan kerja sama investasi perusahaan-perusahaan Polandia di bidang energi dan pertambangan senilai USD 1 miliar dan mengharapkan dukungan DPR. Menurut dia, kualitas dan penawaran harga mereka sangat kompetitif dan berani bersaing dengan investor dari negara-negara manapun. PM Polandia itu menggarisbawahi pentingnya mendorong kemajuan dalam kerjasama pada industri strategis. Pihaknya menjanjikan alih-teknologi dan know-how serta dukungan pendanaan pemerintah terhadap berbagai proyek-proyek kerjasama produksi alutsista.

"Kami siap mempelajari proyek-proyek kerjasama industri pertahanan yang diprioritaskan Indonesia, sekaligus sumber pendanaan dengan skema yang kondusif," demikian PM Donald Tusk. Pihaknya mengharapkan, beberapa proyek yang masih pending, misalnya pengadaan pesawat skytruck, helikopter Sokol dan radar dapat direalisir dalam waktu dekat agar kedua pihak dapat memulai pembicaraan untuk pendanaan kerja sama tahap berikutnya.

Ketua DPR menjanjikan akan mendorong penyelesaian proyek-proyek tersebut dan meminta agar Dubes secara aktif memonitor perkembangannya. PM Polandia selanjutnya menyambut baik gagasan Ketua DPR untuk perluasan kerja sama di bidang ketenagakerjaan yang sangat potensial dan menguntungkan kedua pihak. Indonesia berminat mengirimkan TKI terlatih dan semi-terlatih guna mengisi kekosongan di Polandia karena tiga juta tenaga kerjanya kini bekerja di sejumlah negara-negara Uni Eropa seperti Inggeris, Irlandia, Prancis dan Jerman.

Menlu Polandia

Sementara itu, pada saat menerima Ketua DPR dengan Menlu Radoslaw Sikorski mengulangi pernyataan PM Donald Tusk keinginannya untuk peningkatan hubungan RI - Polandia ke posisi strategis. "Kredibilitas Indonesia di dunia internasional yang meningkat dan kedudukan strategis Indonesia di Asia Pasifik sangat kondusif dalam mewujudkan keinginan bersama untuk pembentukan persahabatan strategis," katanya. Menurut dia, posisi strategis hubungan kedua negara juga bermanfaat bagi negara-negara sekitarnya. Menlu Sikorski yang pada kabinet sebelumnya menjabat menteri pertahanan dan dalam tahun 2006 berkunjung ke Indonesia menyambut baik peran positif DPR dalam mendukung peningkatan kerja sama bilateral. Menlu Sikorski menyatakan yakin kerja sama tersebut dapat berkembang lebih cepat, dengan adanya dukungan industri strategis Indonesia, al. PT Dirgantara, PT PAL, PT Pindad dan PT LEN.

Dalam memperkuat landasan kerja sama rahasia industri Menlu Sikorski mengusulkan agar kedua pihak dapat memulai perundingan persetujuan di bidang perlindungan informasi rahasia (kesenjataan). Menlu Polandia tersebut mendukung kerja sama di bidang produksi alat-alat pertahanan dan keamanan. Mengingat sarana industri strategis yang telah dimiliki Indonesia, dia mengusulkan kerja sama produksi di bidang radar, helikopter dan kapal. Menurut dia, di bidang-bidang tersebut Polandia sepenuhnya memiliki sendiri teknologi, know-how dan kesediaan untuk berbagi dengan Indonesia. Mengingat dia sendiri yang menandatangani persetujuan itu bersama Menhan Juwono Sudarsono pada tahun 2006, pihaknya berjanji akan memonitor dan implementasi sepenuhnya persetujuan tersebut.

Delegasi DPR RI yang juga disertai anggota-anggota Komisi I dan Panitia Anggaran itu menjelaskan bahwa, berdasarkan pengalaman di masa lalu Indonesia tidak ingin ketergantungan persenjataan dari satu sumber, apalagi jika terikat dengan agenda maupun kondisi politis apa pun. Mengingat hubungan yang sangat baik antara kedua negara telah teruji lebih dari 50 tahun, Polandia merupakan mitra yang tepat. Sebagai catatan, dalam empat tahun terakhir antara kedua negara telah ditandatangani persetujuan kerja sama keuangan senilai USD 405 juta guna pembiayaan pengadaan sejumlah kapal patroli, helikopter, pesawat skytruck, rudal dan berbagai peralatan pertahanan dan keamanan lainnya.

Menlu Sikorski menyambut baik usulan DPR RI untuk memperluas cakupan kerja sama pertahanan dengan memberikan kesempatan bagi pendidikan dan pertukaran perwira antara kedua angkatan bersenjata, termasuk pada sekolah perwira NATO yang baru dibentuk di negaranya. Polandia yang sebelumnya menjadi focal point dalam Pakta Warsawa dan sejak 1999 beralih menjadi anggota NATO. Pengalaman Polandia dalam reformasi internal di tubuh AB sangat berharga bagi pembentukan profesionalisme TNI.(*)

Sumber :
http://www.antara.co.id/unfccc/
19/12/07 11:03

"Bali Roadmap" Sebuah Kesepakatan Selamatkan Bumi

"Bali Roadmap" Sebuah Kesepakatan Selamatkan Bumi

Nusa Dua (ANTARA News) - "Bali Roadmap" merupakan hasil kesepakatan dari Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) dalam upaya menyelamatkan bumi.

"Bali Roadmap" adalah sebuah jalan untuk semua negara yang telah menyepakati untuk dapat menjalankan tugasnya dalam penyelamatan planet bumi ini, dengan langkah-langkah mengurangi emisi CO2," kata Presiden COP-13, Rachmat Witoelar di Nusa Dua, Bali, kemarin. Ia menyebutkan, alotnya untuk mencapai kesepakatan dalam draf "Bali Roadmap" adalah soal seberapa negara-negara maju mampu menargetkan untuk menurunkan emisi CO2, karena dalam draf itu bagi negara-negara maju mempunyai kewajiban sangat ketat untuk menurunkan emisi, sesuai harapan hingga tahun 2050.

Namun setelah peserta delegasi tidak mengikat dengan target angka hingga 2012, tetapi harus memenuhi target angka untuk penurunan emisi CO 2 pada 2050. Kesepakatan Bali Roadmap tersebut tidak ada kendala lagi, yang terpenting bagaimana upaya masing-masing negara tersebut untuk menurunkan emisi CO2. "Hal itu terbukti delegasi Amerika Serikat telah menyatakan, bahwa apa yang menjadi komitmen dan kesepakatan yang dihasilkan dalam pertemuan ini, mereka akan mengikuti saja," Witoelar mengatakan, negara-negara maju justru akan mempelopori untuk mengurangi pencemaran melalui penurunan emisi karbon atau CO2. Dalam hal itu bukan saja ditekankan pada negara-negara berkembang saja. "Seperti Indonesia akan terus berupaya melakukan pengurangan emisi, disamping juga terus melakukan penanaman pohon dan perlindungan hutan yang ada dengan harapan dapat menyerap CO2." katanya.

Sementara itu, Emil Salim pemimpin delegasi Indonesia dalam konferensi itu mengatakan, untuk mendapatkan kata sepakat dalam pengurangan emisi dari negara maju pada konferensi kali ini sangat berat. Tetapi ini merupakan desakan dari negara-negara kecil dan kepulauan. Menurutnya, jika negara-negara maju tidak mampu bersama-sama menahan laju suhu bumi yang naik mencapai dua derajat Celsius itu, maka negara kecil atau kepulauan tersebut akan tenggelam. "Kesepakatan negara-negara kecil inilah yang berupaya untuk mengingatkan negara maju untuk memperhatikan nasibnya. Dengan tindakan pengurangan pengeluaran emisi terhadap lingkungan," kata Emil.(*)

Sumber :
http://www.antara.co.id/unfccc/news/?id=1197773624
16/12/07 09:53

AS Akhirnya Sepakat "Bali Roadmap"

AS Akhirnya Sepakat "Bali Roadmap"
Nusa Dua (ANTARA News) - Negosiator AS Paula Dobriansky akhirnya menyatakan, pihaknya sepakat menghasilkan konsensus bersama dalam "Bali Roadmap" setelah menerima sejumlah tekanan pada sidang pleno Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC).

"Tetap penting bagaimana kita mencari kesepakatan berikutnya hingga menghasilkan keputusan dalam pertemuan di Kopenhagen pada 2009," katanya yang kali ini disambut tepuk tangan meriah peserta pleno yang terdiri dari ratusan delegasi dari 189 negara di Nusa Dua, Bali, Sabtu। Ia mengaku mendengar banyak pernyataan komitmen kuat yang disampaikan negara-negara berkembang dalam pleno untuk berperan juga dalam mengatasi perubahan iklim.

Sebelumnya Wakil Menlu untuk Demokrasi dan Masalah Global itu mengatakan, penolakannya atas draft keputusan untuk mengatasi perubahan iklim karena terlalu banyak mengakomodasi kepentingan negara-negara berkembang dan memberatkan pihaknya.

Ketika menolak draft yang dibuat selama 12 hari di Bali tersebut Dobriansky sempat diteriaki "whooo..." oleh yang hadir. Oleh delegasi Afrika Selatan pernyataan Dobriansky yang pertama sempat ditegur sebagai yang paling tak berkesan.

Presiden Para Pihak (CoP) Rachmat Witoelar akhirnya juga menyatakan penghargaan dan terima kasih atas "melunaknya" sikap AS yang sempat menjadi penyebab kebuntuan perundingan. (*)

Sumber :
http://www.antara.co.id/unfccc/news/?id=1197706680
15/12/07 15:18

Tata Ruang Medan Dan Bandara Kuala Namu

Tata Ruang Medan Dan Bandara Kuala Namu (Catatan Menyempurnakan Konsep Masterplan Kota Medan)

Oleh : Ir Budi D Sinulingga, Msi


Medan sudah memiliki masterplan (rencana tata ruang wilayah) 2 kali, yaitu 1975-2000 dan 1995-2005। Rencana tata ruang yang sekarang sudah kadaluwarsa dan syukur Pemko Medan telah mempersiapkan gantinya, yaitu masterplan Medan 2016 dan dalam proses pengesahan. Sayang pengesahan tidak dapat dilanjutkan karena dasar penyusunan tadinya UU No 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, padahal sekarang baru saja keluar undang undang yang baru (UU No 26 tahun 2007) tentang hal yang sama. Judulnya memang sama tapi substansinya banyak yang berbeda, lebih rinci, lebih luas dan lebih keras sanksinya dan masa berlakunya lebih lama jadi 20 tahun sedangkan sebelumnya hanya 10 tahun. Dan rencana yang sudah selesai disusun memerlukan penyesuaian kembali. Memang repot karena kontrak dengan konsultan telah selesai, tapi karena tuntutan UU harus dilakukan.

Pokok-pokok Konsep

Beberapa hal yang penting dan relatif baru dari konsep rencana tata ruang wilayah kota Medan 2016 dibanding dengan rencana tata ruang wilayah sebelumnya ialah :

Pertama: Pusat primair kota dibuat dua, yaitu di kawasan eks bandara Polonia dan pusat primer di Belawan. Idenya tentu baik karena bentuk kota yang agak memanjang, jadi kurang efisien kalau hanya satu.
Kedua: Bagian wilayah Kota (BWK) Medan dijadikan 9 yaitu Belawan, Marelan Labuhan, Timur, Perjuangan, Helvetia, Selayang dan Area. Dalam tata ruang wilayah 1995-2005 hanya 5. Pembuatan BWK menjadi 9 lebih realistis mengingat berkembang pesatnya seluruh wilayah kota.Satu BWK seyogianya memiliki kesamaan dalam isu perkembangan kota.
Ketiga: Pusat pemerintahan dipindahkan ke kawasan Tanjung Mulia dekat persimpangan TOL. Pusat pemerintahan ini mencakup pemerintahan provinsi pemerintahan kota dan unsur unsur pemerintah pusat dan lembaga tinggi negara lainnya. Dasar pemikirannya karena adanya dua pusat primair maka perlu diikat dengan pusat pemerintahan yang terletak di tengah kedua pusat primair tersebut.

Kempat: Menyediakan ruang terbuka hijau publik seluas 20 % dari luas kota. Total luasnya 5560 ha dengan rincian hutan mangrove Belawan 1029 ha, kawasan lindung sempadan sungai 666 ha, sekitar danau (luasnya tak dicantumkan), taman kota dan taman lingkungan 612 ha termasuk yang ada sekarang 22 ha (betapa besarnya taman yang harus diadakan), sempadan jalan 3050 ha (tidak jelas apakah maksudnya lahan pekarangan masyarakat yang dibuat hijau, karena kalau demikian bukan ruang terbuka hijau publik lagi namanya, tapi ruang terbuka privat).

Kelima: Pengembangan kawasan Utara yang mencakup pembangunan kawasan industri hitech, waterfront city, Kawasan Ekonomi Khusus, kawasan proses ekspor.
Keenam: Pengembangan transportasi massal dengan menghidupkan lintasan kereta api dan membuat lintasan dengan jalan raya tidak sebidang dan kemungkinan membuat sistem monorail yang memerlukan studi lebih lanjut.
Ketujuh: pengembangan perumahan dengan kewajiban membangun sistem sumur resapan air untuk mengurangi resiko BANJIR.
Hal yang kritis di dalam implementasi

Pasal 65 UU No 26 tahun 2007 mengatakan : (1) Penyelenggraran penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan masyarakat. (2) Peran serta masyarakat sebagaimana ayat 1 dilakukan antara lain melalui : a. partisipasi dalam penyusunan tata ruang, b. partisipiasi dalam pemanfaatan ruang, c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang Dari ketentuan pasal 65 ini maka dapat dilihat bahwa masyarakat (termasuk korporasi atau lembaga pemerintah lainnya) harus memberikan masukan sebaik-baiknya dalam penataan ruang apakah telah mengikuti asas penataan ruang yang digariskan dalam pasal 2 yaitu : a keterpaduan b) keserasian, keselarasan dan keseimbangan c) keberlanjutan d) keberdayaangunaan dan keberhasilgunaan e) keterbukaan f) kebersamaan dan kemitraan g) perlindungan kepentingan umum h) kepastian hukum dan keadilan dan i) akuntabilitas.

Berkaitan dengan ini maka akan diajukan di sini beberapa hal yang kritis dan menyangkut kepentingan orang banyak yaitu :

Pertama; pemindahan pusat pemerintahan ke Tanjung Mulia yang meliputi luas 100 ha, perlu diminta pendapat dari instansi pemerintah provinsi dan pusat apakah mereka merasa perlu pindah ke Tanjung Mulia? Dan mau diapakan kantor gubernur yang begitu megah dan telah dibiayai dengan pelepasan aset provinsi yang demikian banyak? Masyarakat mungkin akan bertanya pada pemerintah provinsi apakah keberdayagunaan dan keberhasilgunaan dari pemindahan pusat pemerintahan provinsi dari segi kepentingan masyarakat? Hal yang sama akan terjadi pada kantor kejaksaan maupun pengadilan. Ditinjau dari segi pelayanan permerintah kota maka walaupun lokasinya agak di tengah antara jarak Utara dan Selatan tapi penduduk banyak berkonsentrasi di kawasan Selatan sehingga lebih banyak penduduk yang merasakan berkurang kenyamanannya apabila dipindahkan. Mungkin konsepnya ingin meniru pusat pemerintahan di Kualalumpur yang di pindahkan ke Putrajaya tetapi kalau dicermati lebih dalam kasusnya sangat berbeda dengan Medan yaitu :
  1. Bahwa semua kantor kantor pemerintahan yang dipindahkan ke Putrajaya berada dalam satu komando yaitu kantor perdana menteri karena yang dipindahkan kantor pemerintah pusat sementara itu kantor kantor pemerintahan tingkat lainnya termasuk kantor walikota tidak dipindahkan, sedangkan di Medan menyangkut kantor kantor dari 3 tingkatan pemerintahan.
  2. Pemerintah Malaysia punya dana (memang mereka jauh lebih kaya dari kita ) untuk membeli tanah tanpa harus menjual lokasi yang lama. Untuk kasus Medan patut dipertanyakan bagaimana menyediakan uang untuk membeli lahan yang 100 ha itu agar segera dapat dibebaskan karena nilainya bisa mencapai Rp 700 miliar sampai Rp 1 triliun belum termasuk prasarananya.
  3. Initiator dari perpindahan pusat pemerintahan itu adalah Perdana Menteri Malaysia yang berkuasa waktu itu yaitu dr Mahatir Muhammad. Dan kalau semua pemilik kantor pemerintahan memang sudah sepakat untuk memindahkan kantornya, maka tanah seluas 100 ha itu harus segera dibebaskan. Siapa pemikul dana pembebasan? Sistem tukar guling sangat tidak mudah karena demikian banyaknya objeknya dan sesuai ketentuan yang berlaku harus ditenderkan dan pemegang kewenangan terdiri dari berbagai instansi dan akan mengundang masalah yang berkaitan dengan hukum. Oleh karena itu meletakkan kawasan pemerintahan di eks bBndara Polonia merupakan alternatif yang layak dipertimbangkan dalam rencana tata ruang wilayah kota Medan, terlebih semua kantor penting itu masih dalam satu BWK. Dan yang perlu dipindahkan hanyalah kantor Walikota dan DPRD nya karena memang tidak representatif lagi.
Kedua : Penyediaan ruang terbuka hijau। Luas taman kota dan taman kota yang direncanakan ialah 612 ha termasuk 22 ha yang ada sekarang, berarti diperlukan 590 ha lagi. Ini suatu jumlah yang besar. Pengadaan hutan kota setidaknya 50 ha selayaknya ditempatkan di kawasan eks Bandara Polonia karena kawasan ini akan diarahkan jadi kawasan bisnis dengan bangunan tinggi dengan aktivitas penduduk yang intensif sehingga memerlukan ruang terbuka hijau yang banyak. Selanjutnya direncanakan kawasan terbuka hijau di sempadan sungai, rasanya melihat susahnya membebaskan tanah maka sempadan sungai yang 15 m agak terlalu optimis. Lantas di mana? Marilah kita bersama merenungkannya agar masterplan yang dibuat itu dapat direalisasikan.

Ketiga: Belum dibuat arahan tentang kawasan evakuasi bencana seperti yang diarahkan oleh UU No 26 tahun 2007।

Kempat: Sistem drainase dan pengendalian banjir masih mengikuti pola lama, yang bertumpu pada sungai sungai yang ada। Dalam pola lama areal pelayanan Sei Sikambing terlalu luas, sedangkan kapasitasnya kecil dan susah untuk ditingkatkan mengingat banyak yang sudah di lining (ditembok)। Layak dipikirkan mini floodway ke Sei Belawan untuk mengurangi bebannya.
Pemindahan Bandara

Bandara Kuala Namu akan dapat dioperasikan pada tahun 2009 demikian informasi yang kita peroleh। Dari siaran TV Metro Desember 2007 terdengar berita kawasan itu telah dikapling-kapling oleh golongan tertentu. Tentunya kepentingan bisnis berupa perkantoran, perumahan kondominium dan kegiatan bisnis lainnya yang dapat segera mendatangkan untung yang sangat banyak. Adakah yang memikirkan bahwa kawasan eks bandara ini adalah satu satunya kesempatan yang dapat digunakan agar Kota Medan memiliki hutan kota, ibarat Hyde park yang terkenal di London? Sebetulnya bukan hanya London tetapi banyak sekali kota besar dunia memiliki hutan kota. Bukankah hak atas eks Bandara Polonia akan jatuh ke tangan pemerintah dan bukankah itu amanat UU harus ada ruang terbuka hijau 20%. Selayaknya dari areal yang ada dapat disediakan 50 ha untuk hutan kota ini. Siapakah yang harus menjaga ini? Tentunya masyarakat harus berjuang untuk itu.

Penulis adalah widyaiswara utama Badan Diklat Provinsi Sumatera Utara dan Dosen Pascasarjana PWD USU untuk perencanaan tata ruang.

Sumber :
http://www.waspada.co.id/
Senin, 07 Januari 2008 00:29 WIB

PR Mengurus " Harta Warisan"

PR Mengurus " Harta Warisan"

Oleh : Brigitta Isworo L

Agak emosional, Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar yang saat itu menjabat sebagai Presiden Konferensi Para Pihak Ke-13 mengemukakan bahwa semua proses konferensi tersebut menyentak kesadarannya akan segala kekayaan alam Indonesia, akan harta karun warisan alam. Kesadaran hakiki bahwa selama ini bangsa Indonesia telah mengabaikan harta karun tersebut dan tidak mengurusnya dengan baik.

Ketika itu jam menunjukkan sekitar pukul 18.30 Wita di Auditorium Bali International Convention Centre atau lebih dari 24 jam dari rencana waktu penutupan Konferensi Para Pihak Ke-13 (COP-13). Ruangan berisi 506 tempat duduk itu hanya terisi sekitar sepertiganya. Rachmat sedang berada di panggung berdampingan dengan Yvo de Boer, Sekretaris Jenderal pada Kerangka Kerja Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim. Saat itu Rachmat seharusnya berperan sebagai Presiden COP-13. Namun, dorongan dari dalam diri, sebagai orang Indonesia, tidak dapat diredamnya lagi.

"Semua proses panjang ini telah mengingatkan kami. Kami menjadi lebih menghargai (warisan alam kami). Kami selama ini tidak menghargai sumber daya alam kami, kekayaan alam kami, warisan alam kami," ujar Rachmat. "Jadi, harus ada follow up-nya, harus diurus bersama, berkoordinasi dengan para menteri lainnya dan dengan masyarakat. Kami akan refleksikan perubahan iklim ini dalam pemerintahan kami," tegas Rachmat dengan suara bergetar.

Bicara tentang follow up, Pemerintah Indonesia di tengah- tengah konferensi meluncurkan Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim (RAN Mapi) yang merupakan garis besar arah pembangunan nasional sesuai dengan tantangan ke depan : menghadapi perubahan iklim.

Rachmat, pada awal Oktober lalu, menyampaikan, menjalankan RAN tidak bisa lagi dilakukan dengan sikap business as usual (BAU). Menurut dia, untuk mengimplementasikan RAN Mapi dibutuhkan sebuah kabinet yang sama sekali berbeda karena paradigma pembangunan sudah harus berbalik 180 derajat.

Pertanyaannya kemudian, mampukah dan maukah pemerintah di bawah Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2008 dan pemerintah pada pasca-Pemilu 2009 nanti mengubah bentuk dan susunan kabinet demi lancarnya implementasi RAN Mapi dengan tujuan menyejahterakan masyarakat, terutama masyarakat yang rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim?

Jika kita menengok sejarah tentang bagaimana pemerintahan dijalankan di negeri ini, kita patut ragu. Pemerintah biasanya bersikap reaktif atas sebuah persoalan. Bagaimana pula untuk isu perubahan iklim yang terasa amat jauh di depan dan tidak terlihat jelas dampaknya?

Soal menjalankan RAN Mapi, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Mezak A Ratag menegaskan, "Perlu dibentuk suatu badan nasional untuk perubahan iklim. Badan itu harus melibatkan semua ilmuwan dari berbagai bidang keilmuan. Meteorologi, klimatologi, kelautan dan atmosfer, serta bidang-bidang lainnya sehingga kita bisa melihat persoalan perubahan iklim ini secara holistik, tidak sepotong-potong."

Langkah itu untuk menjembatani hasil Panel Antarpemerintah mengenai Perubahan Iklim (IPCC) dengan kondisi di Indonesia, sebab tampak beberapa kelemahan pada cara kerja IPCC. Pada awalnya mereka hanya mengambil tulisan-tulisan ilmiah dari jurnal internasional. "Akibatnya, perwakilan dari negara berkembang sangat minim, padahal negara-negara itulah yang bakal mendapat dampak paling besar," ujarnya merujuk pada negara-negara Pasifik, Afrika dan Indonesia.

Dari Indonesia ada tiga kontributor tulisan ilmiah, yaitu dari Dr Edvin Aldrian dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Dr Daniel Murdiyarso dari Center for International Forestry Research (CIFOR) dan Dr Rizaldi Boer dari Laboratorium Klimatologi Geomet-FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB).

Akibat "posisi" yang lemah dalam IPCC tersebut, Mezak meragukan pemahaman IPCC akan kondisi sebenarnya dari negara-negara yang kurang terwakili suaranya. Misalnya, bagaimana memahami iklim Indonesia yang terbagi menjadi sekitar 220 zona iklim yang karakteristiknya masing-masing berbeda. Menurut Mezak, IPCC membutuhkan waktu hingga setengah hari untuk menetapkan bahwa negara-negara Asia Tenggara kerentanannya tinggi terhadap dampak negatif perubahan iklim.

Peta kerawanan

Hal nyaris serupa terjadi di dalam penyusunan RAN Mapi. Menurut pengamatan Aulia Prima Kurniawan, Sekretaris Jenderal Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (IA-ITB) dan Ketua Dewan Perwakilan Daerah Sarwono Kusumaatmadja, RAN Mapi belum memuat peta kerentanan tiap daerah yang disusun secara alamiah. Padahal, berdasar peta kerentanan tersebut penanganan masalah baik adaptasi maupun mitigasi bisa lebih tepat.

"Indonesia paling rentan terhadap perubahan iklim. Namun, RAN Mapi belum menempatkan masalah ini sebagai bagian yang penting," kata Sarwono. "Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim sama sekali tidak memahami masalah perubahan iklim yang sesungguhnya," imbuh Aulia.

Jika perbaikan RAN Mapi tidak segera dilakukan, bukan tidak mungkin peringkat Indonesia sebagai peringkat ketiga paling berisiko terhadap perubahan iklim bisa meningkat menjadi peringkat pertama. Tingkat kemiskinan yang tinggi dan rendahnya tingkat pembangunan merupakan pembatas tegas kemampuan kapasitas kalangan miskin dalam mengelola risiko dampak negatif perubahan iklim.

Karakteristik perubahan iklim tidak terdistribusikan secara merata dan tidak sama. Amerika mendapat serangan badai besar seperti Badai Katrina, sementara Banglades diterpa banjir bandang yang tak kunjung henti, bagian selatan Eropa diserang gelombang udara panas yang mematikan, sementara di kutub beruang-beruang mulai menciut habitatnya.

Namun, ada hal yang sama dari semua itu, yaitu bahwa pada suatu ketika nanti, secara mendadak (abrupt) dan tak dapat dikembalikan prosesnya (irreversible), semua kejadian itu akan berubah menjadi gempa iklim (climate shock) di mana saat itu akan bersifat sangat katastropik.

Tidak kasat mata

Pemerintah selalu mengeluhkan keterbatasan sumber daya manusia dan dana. Dua-duanya sangat terbatas jumlahnya sehingga pemerintah tidak dapat berbuat banyak. Benarkah harus demikian? Mungkin saja tidak.

Sebenarnya yang terjadi sekarang adalah pengebirian cara berpikir secara multilateral dan holistik, serta sikap melupakan nilai-nilai positif yang tidak kasat mata (intangible). Akibatnya, semua bidang kehidupan hanya dilihat sebatas hal-hal yang kasat mata (tangible) yang mampu dikuantifikasi. Lebih jauh lagi, artinya lalu direduksi menjadi : diterjemahkan dalam bentuk uang.

Keberadaan masyarakat adat atau masyarakat lokal belum sepenuhnya dilihat sebagai kekayaan tidak kasat mata, sebagai aset. Sebaliknya, mereka dipandang tidak produktif bahkan dianggap destruktif sehingga mereka pun "disingkirkan" ketika pemerintah ingin "mengusahakan" hutan bersama pihak swasta-untuk kayunya atau pun untuk karbonnya. Padahal, kekayaan hutan bukan semata-mata "kayu dan karbon". Di sana ada kehidupan masyarakat lokal, ada reservasi air, ada keanekaragaman hayati Indonesia adalah yang terkaya dalam hal ini dan ada sumber daya non kayu.

Pihak swasta, notabene berpendidikan, pada banyak kasus dianggap lebih tahu bagaimana mengelola hutan (dengan manajemen modernnya). Padahal, pada beberapa kasus, pemerintah bahkan tidak bisa masuk lagi ke hutan untuk melakukan kontrol. Ironis.

Ada satu ujaran yang berbunyi "resources is a source of conflict". Ini diucapkan mantan Menteri LH Emil Salim pada suatu kesempatan. Jika pemerintah tidak mengelola sumber daya alam secara adil, bisa dipastikan akan muncul konflik horizontal. Ini telah muncul pada beberapa tempat. Ada di Kalimantan, juga ada di Sumatera dan Papua. Contohnya banyak. Di sana terjadi proses pemelaratan rakyat. Pada kasus-kasus terkait kehutanan, di sana-sini terdapat kasus, pemilik ratusan hektar kebun tiba-tiba terusir dari tanahnya.

Pemerintah mungkin perlu belajar dari Pemerintah Brasil yang bisa memberikan keuntungan kepada masyarakat lokal di kawasan Amazon. Mereka mendapat uang secara langsung per hari dan mereka tetap bisa memanfaatkan hasil hutan nonkayu untuk penghasilan sehari-hari. Anak-anak mereka mendapatkan pendidikan sebagai salah satu bentuk insentif.

Keadilan di atas kertas

Jangan salah, di atas kertas pada peraturan-peraturan tertulis, sudah disebutkan bahwa penduduk lokal dan nilai-nilai ekologis serta kultural hutan harus diperhitungkan. Siapa bisa membantah bahwa semua peraturan hukum di negeri ini amat adil?

Di atas kertas, Indonesia adalah negeri yang amat adil sejahtera, yang amat menghargai segala kekayaan alamnya, juga menghargai segenap penduduknya-tercantum pada UUD 1945. Namun, yang terjadi di lapangan ternyata berjarak amat jauh dari yang tertulis di kertas-kertas itu semua. Semua kejadian pada intinya terkait dengan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance)—hal ini adalah "komoditas termahal" di negeri ini.

Jurang antara peraturan dan implementasi bersumber dari absennya tata kelola pemerintahan yang baik. Untuk memperbaikinya satu-satunya jalan adalah melalui pendidikan? Jika pendidikan hanya menekankan kompetisi dan prestasi, seperti terjadi sekarang, akan lahir manusia-manusia egois dan haus prestasi. Akibatnya, koordinasi antarsektor atau antardepartemen pun macet. Maka, lahirlah ironi negeri ini: "negeri ini mengalami kerusakan di segala lini, namun tidak ada perusaknya!" (Kutipan dari siaran radio SmartFM). Sungguh berat PR-nya…. (Maria H/Nawa Tunggal/ Ahmad Arif)

Sumber :
http://www.kompas.com/
Rabu, 19 Desember 2007

Perlu Standarisasi Pelaksanaan CSR

Perlu Standarisasi Pelaksanaan CSR

Pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) perlu didesentralisasi pada tingkat perusahaan। Perusahaan memiliki otoritas secara otonom merealisasikan program CSR. Namun realisasinya perlu distandardisasi. Ini penting supaya nilai-nilai CSR bisa terwujud dan lebih maksimal. Berikut wawancara dengan dosen Magister Studi Kebijakan UGM Konsentrasi CSR, Mulyadi Sumarto, tentang standarisasi pelaksanaan CSR tersebut :

Bisa dijelaskan standarisasi pelaksanaan CSR yang Anda maksud?

Ide tentang standarisasi itu sebenarnya bukan berawal dari Indonesia. Kalau kita coba belajar dari negara lain, seperti Inggris, Kanada, Australia, Perancis, Jerman dan Belanda, pengelolaan CSR sudah diatur oleh sebuah regulasi. Di Australia dan Kanada misalnya, setiap tahun ada pelaporan tentang pelaksanaan CSR di perusahaan. Juga standarisasi pada aspek-aspek yang strategis, seperti lingkungan, hubungan industrial yang demokratis, hak asasi manusia dan antikorupsi.

Apa pentingnya standarisasi tersebut?

Kita tahu, setiap perusahaan itu kan menciptakan externality। Ini muncul dari proses produksi oleh perusahaan yang dampaknya ditanggung pihak lain yang tidak terlibat di dalamnya. Perusahaan harus bertanggung jawab kepada mereka yang terkena dampak ini.

Karena itulah standarisasi diperlukan. Tapi itu tidak ketat. Dan pelaksanaannya dilakukan secara terdesentralisasi di tingkat perusahaan. Semangat ini beda dengan UU Perseroan Terbatas (PT) yang disahkan beberapa waktu lalu. Semangat UU itu adalah sentralisasi pelaksanaan CSR, termasuk mengatur besaran dana yang harus dialokasikan perusahaan yaitu sekitar 3 hingga 4 persen dari keuntungan. Dana itu akan diatur pemerintah. Menurut saya, ketentuan ini bisa blunder karena pemerintah belum siap.

Dalam konteks pelaksanaan CSR di Indonesia, standarisasi apa yang perlu dilakukan?

Ada banyak negara yang telah membuat code of conduct pelaksanaan CSR. Termasuk juga soal kesetaraan gender dan money laundry. Tapi saya pikir pelaksanaan CSR di Indonesia perlu dilakukan secara kontekstual dengan kondisi di sini. Artinya aspek apa saja yang perlu diprioritaskan. Menurut saya, masalah kemiskinan menjadi isu yang relevan dikembangkan dalam program CSR di Indonesia. Juga soal lingkungan.

Pemahaman tentang CSR di Indonesia masih sangat beragam. Bagaimana ini?

Saya sering mendapat pertanyaan seperti ini. Memang masih ada problem dalam pelaksanaan CSR di Indonesia karena keterbatasan referensi yang dimiliki perusahaan. CSR sebenarnya bukan isu yang baru. Tapi bagi perusahaan di Indonesia, isu itu menjadi sesuatu yang masih baru karena berkembang sekitar tahun 2000. Di sisi lain, lembaga dunia seperti World Bank dan yang lain, mengintrodusir konsep CSR itu ditataran global dan lokal. Namun sayangnya, masih ada kesenjangan yang sangat besar antara konsep yang dikembangkan di tataran global dengan yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini, tidak ada lembaga yang menjembatani kesenjangan itu. Akibatnya pemahaman perusahaan di Indonesai tentang CSR masih terbatas.

Lalu apa implikasinya?

Salah satu implikasinya, CSR selama ini lebih banyak dimaknai sebagai community development (CD). Padahal CD itu kan hanya bagian kecil dari CSR. Yang lebih menarik, saya pernah melakukan penelitian tentang pelaksanaan CD oleh perusahaan di Indonesia. Ternyata CD tidak dilaksanakan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat. Tapi masih sebatas pada upaya untuk menjaga dan membangun hubungan yang harmonis dengan masyarakat di sekitarnya. Jadi masih sangat problematik. Yah, terkesan pelaksanaan CD masih sebatas untuk menutupi dosa.

Siapakah yang harus bertanggung jawab membenahi masalah ini?

Ini tanggung jawab bersama. Pemerintah, kalangan dunia usaha dan masyarakat. Misalnya tentang aspek lingkungan. Di sini sangat penting peranan kementerian lingkungan hidup. Namun studi tentang itu masih terbatas. Di Indonesia ada yang menarik, yaitu banyak asosiasi yang mempropagandakan CSR sekaligus sebagai wadah pembelajaran bersama. Semua pihak ini perlu merumuskan standar tentang pelaksanaan CSR di perusahaan. Ini penting untuk mewujudkan public trust. Jadi, menurut saya, perlu aturan hukum yang bisa mengikat secara bersama. Sasarannya adalah untuk kepentingan bersama. (jar)

Sumber :
http://www.republika.co.id/koran.asp?kat_id=438&kat_id1=439
Selasa, 25 September 2007 12:57:00

CSR, The Way to do Business

CSR, The Way to do Business

Bagi perusahaan yang telah lama menjalankan bisnisnya dengan selalu menggelar kegiatan sosial, istilah corporate social responsibility justru dinilainya sebagai telah usang. Soalnya kata responsibility dinilainya berbau tekanan. ''Kami yang telah lama selalu berbagi dengan masyarakat luas, justru sedikit risih dengan kata yang seakan meminta, menekan, yakni responsibility itu. Karena kami telah memasukan kegiatan CSR dalam kesatuan bisnis kami,'' ujar Presiden Direktur PT Unilever Indonesia Tbk, Maurits Lalisang kepada Republika Disela rehat acara Unilever Leadership Forum yang berlangsung di Jakarta, Kamis (14/), Maurits menjelaskan tentang konsep Unilever yang tak sebatas melajankan CSR tetapi telah masuk dalam perilaku Corporate Social Leadership. Berikut petikannya.

Banyak pihak kagum Unilever mendapat beragam penghargaan di bidang CSR, sebetulnya sejauh mana kegiatan itu dilaksanakan?

Terima kasih atas apresiasi banyak pihak itu. Unilever memang telah melakukan banyak sekali kegiatan yang masuk dalam kategori CSR. Mulai kegiatan internal, program community development, hingga menyatukannya dalam kegiatan bisnis. Bagi kami CSR telah menjadi the way to do business.

Penggunaan air maupun lsitrik saja kami melakukan dengan mengedepankan tanggungjawab sosial. Air, kami mengembangkan sistem efisiensi dan daur ulang dalam pabrik. Demikian pula pemakaian listrik, selalu efisien. Jadi nggak ada pemborosan. Sampai, bisa-bisa PAM misalnya, bertanya-tanya kok kami bisa pakai air dengan hemat. Itu karena kami sadar tidak boleh seenaknya pakai air. Kalau air dan listrik saja kami hitung efisien pasti lainnya juga demikian.

Lalu soal misi sosial, kami menyatukan dalam produk Unilever. Kami ingin rakyat sehat. Paling mendasar adalah budaya hidup bersih. Upaya mendidik masyarakat kami satukan dengan promosi Lifeboy melalui gerakan cuci tangan pakai sabun dan smile Indonesia dengan mengedepankan pasta Close Up.

Kegiatan sosial lainnya banyak sekali, khususnya yang berkait dengan pembinaan sektor ekonomi yang selalu kami lakukan secara partnership dengan pihak lain. Ini memiliki fungsi ganda. Selain kegiatannya sukses, kami pun dapat membuka lapangan pekerjaan lain dalam jumlah banyak. Bayangkan kalau ada 300 orang yang aktif bekerja pada pola partnership itu, sedikitnya 1,2 juta manusia bisa mendapat manfaatnya langsung.

Dengan menjadikan CSR bagian dari bisnis, maka kalau kami melakukan proses produksi dengan baik, pasti qualitasnya akan baik pula. Ini kan menegaskan the way to do business itu.

Jadi bukan lagi CSR tapi telah mencapai tahap corporate social leadersehip?

Memang itu tujuannya. Kalau CSR dilakukan karena tekanan atau keharusan dari sautu aturan misalnya, bisa tak berlangsung lama. Malahan bisa-bisa CSR hanya akan menjadi bagian untuk menutupi dosa perusahaan. Kami tidak mau demikian. Yang kami lakukan program itu justru akan menjadi bagian dari peningkatan mutu, termasuk brand awareness. Dan yang terpenting, kegiatan sosial dan turut aktif membangun bangsa adalah yang harus kami lakukan.

Berapa besar dana alokasi CSR?

Cukup besar. Bahkan kalau untuk ukuran kebanyakan perusahaan di Indonesia kami bisa dibilang dalam deretan terbesar dalam mengeluarkan dana untuk itu. Bagi kami, bukan soal dananya. Tapi kami punya mimpi besar buat negeri ini. Saya selalu tekankan kami harus think big, punya impian setinggi langit. Bayangkan kalau kami nantinya anak atau cucu kita bisa minum air dari sungai Brantas karena memang jernih dan tak tercemar. Bayangkan indahnya, kalau suatu waktu Jakarta bersih, hijau dan segar.

Karenanya kami punya program Surabaya Green and Clean (SGC) dan setelah sukses kami terapkan buat Jakarta Green and Clean (JGC) juga. Lalu terhadap pembinaan petani Kedelai Hitam sebagai bahan dasar Kecap Bango. Secara ekonomi, dalam jangka pendek bisa lebih enak langsung mengimpor saja. Tapi kami bermitra dengan petani justru untuk kepentingan rakyat dan secara jangka panjang pasti akan lebih menguntungkan perusahaan.

Pendeknya, kami berpikir jauh kedepan. Dengan sungai bersih, petani hidup layak, lapangan pekerjaan berkembang, maka akan membuat bangsa ini makmur. Ujungnya pasti produk kami juga akan terserap pasar dalam jumlah lebih besar pula.

Apa ada strategi khusus dalam melaksanakan CSR?

Ada empat tahap besarnya. Pertama, kami cari relevansi saat menentukan program. Kedua, membuat model dengan melalui serangkaian uji coba mendalam. Ketiga, mengajak bermitra dengan pihak lain sekurangnya sebagai sponsorship. Keempat, baru kami melakukan replikasi.

Contoh konkretnya program SGC yang dikembangkan menjadi JGC itu. Mengapa perlu bermitra sebelum replikasi program, itu karena kami ingin mengajak perusahaan lain untuk bersama membangun bangsa. Sebab kalau Unilever saja jelas tak akan mampu.

Kami punya filosofi we talk after we do. Maka kami akan mempelopori dahulu dan setelah modelnya tepat dan programnya sukses, akan kami gulirkan kepada pihak lain. (bid)

Sumber :
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=297179&kat_id=439
Selasa, 19 Juni 2007

Menyatukan CSR Dalam Pengembangan Proyek

Menyatukan CSR Dalam Pengembangan Proyek

Konsep tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) perlu dilakukan secara inheren dalam setiap pengembangan proyek, khusus di bidang properti. Ini penting demi kelangsungan dan keberlanjutan proyek tersebut. Berikut wawancara dengan General Manager Corporate Communication Real Estate and Developer Grup Sinar Mas yang juga Corporate Communications General Manager PT Bumi Serpong Damai (BSD), Ir Dhony Rahajoe.

Bagaimana seharusnya pelaksanaan CSR di perusahaan?

Konsep CSR itu perlu dilakukan secara inheren dalam aktivitas perusahaan. Ambil contoh di perusahaan pengembang properti. Dalam setiap pengembangan proyek baru, maka konsep CSR harus dilakukan di dalamnya. Hal itu penting demi keberlanjutan proyek itu sendiri. Sebab konsumen sekarang sangat kritis. Mereka tidak hanya sensitif terhadap harga, tapi juga aspek lain seperti lingkungan, sosial dan ekonomi. Pengembang yang tidak melakukan CSR dalam pembangunan proyek propertinya, maka akan ditinggalkan konsumen.

Lalu apa keuntungan lain bagi pengembang yang menerapkan CSR?

Jelas proyeknya akan berkelanjutan. Ini akan memberikan manfaat ganda, baik bagi pengembang maupun konsumen. Dari sisi konsumen, jelas akan diuntungkan oleh pengembang yang menerapkan CSR. Sebab kebutuhan ekonomi, sosial dan lingkungan mereka akan terpenuhi. CSR bagi perusahaan pengembang properti itu agak beda dengan perusahaan pertambangan atau yang lain. Sebab bagi pengembang, konsep CSR sejalan dengan core businessnya. Misalnya menyediakan fasilitas sosial yang memadai bagi warga atau penghuninya, pengembangan ekonomi lokal, penataan lingkungan yang bagus dan sebagainya. Kalau di perusahaan pertambangan misalnya, mereka kan harus menyisihkan sebagian dananya untuk kegiatan pendidikan, kesehatan dan aspek lainnya.

Bagaimana penerapan CSR di Bumi Serpon Damai?

Bagi kami, CSR pada hakikatnya adalah bagaimana komunitas atau warga bisa menikmati kegiatan perusahaan, baik langsung maupun tidak. Di BSD sendiri, kami membangun kota baru untuk membentuk komunitas itu. Jadi tanpa disebut-sebut CSR, apa yang kami lakukan di sini sudah secara otomatis ber-CSR. Bagi kami, CSR itu bukan cost melainkan investasi. Sebagai kota baru, kami ingin ini bisa berkelanjutan dalam jangka waktu lama. Artinya, generasi setelah kita juga bisa menikmati kota baru ini. Jadi CSR merupakan bagian penting dari konsep pembangunan yang berkelanjutan atau sustainability development. Dalam konteks BSD, harapannya apa yang kita bangun dan nikmati saat ini bisa diwariskan dan dinikmati juga oleh anak cucu kita kelak.

Aspek apa saja yang menjadi fokus perhatian?

Ada tiga aspek yang kami perhatikan, yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Dalam bidang ekonomi, kami berusaha membangun infrastruktur ekonomi yang bisa membuka lapangan kerja baru sekaligus bermanfaat bagi warga. Contohnya adalah pembangunan pasar modern yang menjadi proyek percontohan banyak pihak.

Dari sisi bisnis, pasar modern sebenarnya tidak terlalu menguntungkan. Tapi kami melihat ada nilai strategis di situ sekaligus menjadi nilai tambah. Di pasar ini, UKM dan pedagang kecil kami berikan fasilitas tempat yang memadai dengan sistem pengelolaan yang modern. Jadi keuntungannya mereka dapat tempat, warga atau penghuni juga bisa mendapatkan makanan yang berkualitas dengan harga terjangkau. Contoh lainnya pembangunan sentra pedagang kaki lima (PKL). Jumlahnya saat ini ada delapan. Jadi mereka tidak digusur tapi ditata dan disediakan tempat yang layak dan memadai.

Lalu pada bidang sosial dan lingkungan?

Di bidang sosial, kami mengembangkan komunitas warga. Tujuannya menciptakan harmonisasi antar warga. Misalnya komunitas Tai Chi, sepeda, olahraga, serta seni dan budaya. Bahkan komunitas Jazz yang dibentuk sudah sangat terkenal. Secara berkala mereka tampil di tempat yang kami sediakan dengan menghadirkan penyanyi jazz legendaris.

Di bidang lingkungan, kami membentuk komunitas warga cinta tanaman, membangun taman kota serta membangun sepuluh danau penampung air hujan. Ini penting agar warga tidak kebanjiran. Inilah yang kami lakukan. Jadi tanpa menyebut-nyebut ber-CSR, kami sudah melaksankan itu. Bagi kami, CSR bukan lagi menjadi kewajiban tapi merupakan kesadaran. Sebab aktivitas bisnis yang kami lakukan selalu menjadikan CSR sebagai nafasnya. (jar)

Sumber :
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=293293&kat_id=439
Selasa, 15 Mei 2007

Senin, Januari 14, 2008

Pemerintah Tunjuk Surveyor Indonesia Awasi Mutu Tabung Gas

Pemerintah Tunjuk Surveyor Indonesia Awasi Mutu Tabung Gas

Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah menunjuk Surveyor Indonesia (SI) untuk mengawasi produksi tabung gas tiga kilogram dalam program konversi minyak tanah ke gas। "Penunjukan itu didasarkan ada sinyalemen bahwa sekitar tujuh hingga 11 persen di pasaran tidak memenuhi standar keamanan dan keselamatan untuk digunakan," kata Presiden Direktur SI, Didie B. Tedjosumirat, usai bertemu Wakil Presiden (Wapres), M. Jusuf Kalla, di Kantor Wapres, Senin. Terkait hal itu, menurut Didie, pihaknya akan berkoordinasi dengan PT (Persero) Pertamina untuk mengawasi seluruh proses pembuatan tabung gas tiga kilogram, sehingga aman bagi masyarakat। "Masyarakat kita sebagian besar belum paham betul tentang penggunaan kompor gas, karena itu jika mutu tabung gas tidak terjamin baik dapat membahayakan masyarakat pengguna, padahal program konversi ini sudah berjalan," katanya.

Didie menambahkan proses pengawasan mulai dari jenis, mutu bahan baku hingga proses produksi selesai akan dilakukan sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI)। Tentang kapan pengawasan dilakukan, ia mengatakan, menunggu koordinasi dengan Pertamina. "Pengawasan dan pengujian tersebut juga akan dilakukan terhadap tabung-tabung gas yang sudah terlanjut beredar di pasaran, termasuk tabung gas yang akan isi ulang," ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Pemasaran dan Niaga PT (Persero) Pertamina, Achmad Faisal, mengemukakan bahwa saat ini Pertamina dan Surveyor Indonesia tengah bernegosiasi mengenai harga kontrak dari kontrol mutu tabung dan kompor yang diproduksi।

"Saya harapkan pada Desember kontraknya sudah bisa ditandatangani, sehingga awal Januari surveyor sudah bisa melakukan pengontrolan mutu tabung dan kompornya," katanya।

Ahmad mengatakan, pengawasan dilakukan terhadap produk baru tahun depan dari pabrik-pabrik baru yang selama ini belum dikenal, dan etidaknya-tidaknya akan ada 21 pabrik tabung dan kompor dari sebelumnya 14 pabrik।Program pengalihan minyak tanah ke elpiji dilaksanakan berdasarkan surat Wakil Presiden (Wapres) RI Nomor 20/WP/9/2006 tanggal 1 September 2006. Surat tersebut merupakan tindak lanjut dari hasil rapat koordinasi terbatas di Kantor Wakil Presiden.

Dalam program itu, pemerintah berencana mengonversi penggunaan sekitar 5,2 juta kilo liter minyak tanah kedalam penggunaan 3,5 juta ton LPG hingga tahun 2010 yang dimulai dengan 1 juta kilo liter minyak tanah pada tahun 2007.Selain itu, dari target 12 juta tabung gas elpiji yang seharusnya disediakan pada akhir tahun ini untuk program konversi, saat ini baru tercatat enam juta tabung. (*)

Sumber :
http://www.antara.co.id/
26/11/07 18:37

Wapres : Keuntungan Program Konversi Minyak Tanah Rp22 Triliun

Wapres : Keuntungan Program Konversi Minyak Tanah Rp22 triliun

Cileungsi, Jabar (ANTARA News) - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan keuntungan yang dinikmati pemerintah dari program konversi minyak tanah ke LPG sebesar Rp22 trilyun per tahun, lebih besar dari keuntungan PT Pertamina yang sebesar Rp19 trilyun per tahun।

"Total penghematan dari program konversi minyak tanah ke gas ini sebesar Rp22 trilyun per tahun lebih besar dari keuntungan PT Pertamina sebesar Rp 19 trilyun per tahun। Jadi ini serius," kata Wapres Jusuf Kalla kepada wartawan, seusai meninjau pabrik kompor dan tabung gas PT Hamasa Steel Centre serta PT Wijaya Karya Intrade di Cilungsi Jabar, Senin.

Menurut Wapres, program konversi minyak tanah ke LPG ini akan sangat menguntungkan semua pihak, baik pemerintah, masyarakat maupun pengusaha। "Satu-satunya yang rugi dengan program ini, pengoplos minyak tanah," kata Wapres Jusuf Kalla dengan serius. Karena itu, tambah Wapres, program ini harus tetap jalan. Namun untuk itu, Wapres memerintahkan agar dilakukan kontrol yang ketat mengenai kualitas, serta kecepatan penyelesaian.

Mengenai kurangnya sosialisasi di masyarakat, Wapres mengakui memang ada, namun diminta segera dilakukan penambahan untuk iklan di TV, pencetakan brosur maupun menggunakan tenaga penyuluh lapangan। Wapres optimis program ini akan berhasil karena hampir seluruh kalangan akan meraih keuntungan. Ketika ditanyakan apakah ada rencana untuk menarik kompor minyak di masyarakat, Wapres mengatakan biarkan saja hal itu tetap. Kompor minyak bisa digunakan sebagai cadangan.

"Hasil survei, orang yang sudah pakai gas LPG, 99 persen tak akan kembali ke minyak tanah," kata Wapres। Mengenai adanya laporan beberapa produk tabung gas yang tidak sesuai dengan kualitas yang ada, Wapres menilai hal itu harus diperbaiki. Namun, tambahnya, jika hanya ada satu atau dua yang bocor hal itu masih wajar. Untuk itu, katanya, akan dilakukan perbaikan-perbaikan dan dilakukan kontrol yang lebih ketat.

Menurut Menteri Perindustrian Fahmi Idris, spesifikasi dan SNI untuk tabung gas sudah keluar। Sedangkan untuk kompor gas, tambah Fahmi, spesifikasinya sudah dilakukan dan SNI-nya diharapkan sebentar lagi akan keluar.

Dalam kesempatan itu, Wapres menegaskan bahwa program konversi minyak tanah ke gas LPG tetap akan dilanjutkan dengan target empat tahun selesai। Sementara mengenai kekurangan-kekurangan yang ada akan terus diperbaiki. "Kekurangan-kekurangan kita perbaiki akan tetapi program konversi ini tetap kita jalankan dan empat tahun selesai," kata Wapres.

Program konversi minyak tanah ke gas LPG ini akan menguntungkan semua pihak। Dari segi pemerintah akan ada penghematan subsidi BBM sebesar Rp22 Trilyun rupiah per tahun, sedangkan konsumen atau rakyat akan ada penghematan sebesar Rp20 s/d Rp25 ribu per bulan per kepala keluarga. Hal itu didapatkan dari hitungan jika menggunakan minyak tanah satu liter setara dengan 0,4 kg LPG, ujar Wapres.

Wapres mengeluarkan hitungan jika penggunaan minyak tanah sebanyak 20 liter minyak tanah per bulan per KK, maka akan setara dengan 2,5 tabung. "Tidak ada lagi negara di dunia yang menggunakan minyak tanah untuk keperluan rumah tangga," kata Wapres. Menurut Wapres, minyak tanah saat ini hampir sama dengan Avtur baik dari segi kualitas maupun harganya. Dengan demikian, tambah Wapres, selama ini rumah tangga Indonesia sama saja dengan menggunakan avtur. (*)

Sumber :

http://www.antara.co.id/arc/2007/8/14/wapres--keuntungan-program-konversi-minyak-tanah-rp22-triliun/
14/08/07 08:38

Wapres Tegaskan Program Konversi Minyak Tanah Tetap Jalan

Wapres Minta SI Jaga Kualitas Kompor dan Tabung Gas

Laporan Wartawan Kompas Suhartono

CILEUNGSI, KOMPAS - Untuk menjaga tingkat kualitas dari produksi kompor dan tabung gas yang dibuat untuk program konversi minyak tanah menjadi gas LPG di kalangan rumah tangga, pemerintah akan menerapkan kendali kualitas yang berlapis-lapis. Di samping kontrol kualitas dari masing-masing produsen tabung dan kompor gas tersebut, Surveyor Indonesia juga akan dilibatkan.

Hal ini disampaikan Wapres Muhammad Jusuf Kalla saat menjawab pers seusai mendengarkan paparan dan melakukan penghijauan ke PT Hamasa Steel Center dan PT Wijaja Karya Intrade di Gunung Putri, Cileungsi, Jabar, Senin (13/8).

"Memang ada yang demo karena ada yang mempersoalkan kualitasnya. Silakan saja, tapi kita sudah minta perbaikan sistem kualitas yang berlapis-lapis dan kecepatan produksinya. Kalaupun ada satu-dua yang bocor, itu bukan seluruh produksi. Justru lebih banyak yang baik. Coba bandingkan berapa banyak kompor minyak tanah yang meledak dan menyebabkan kebakaran," papar Wapres.

Menurut Wapres dengan konversi minyak tanah menjadi gas LPG, pemerintah justru ingin menyelamatkan banyak orang. "Pokoknya pemerintah terus melakukan koreksi hingga sampai empat tahun mendatang. Program konversi ini harus jalan sampai 2011," ujarnya.

Ditambahkan Wapres, dengan konversi gas ini semuanya diuntungkan meskipun dibutuhkan investasi sekitar Rp 15 triliun hingga 2011 mendatang, namun prinsipnya tak ada yang dirugikan, baik rakyat, pengusaha, BUMN bahkan pemerintah. "Satu-satunya yang rugi dengan program ini justru pengoplos minyak tanah," kata Wapres.

Salah satu keuntungan bagi pemerintah, sambung Wapres, dengan konversi minyak tanah ke gas, subsidi akan berkurang hingga Rp 22 triliun per tahun.

Melalui pengadaan kompor dan tabung gas ini keuntungan pemerintah justru lebih tinggi daripada keuntungan Pertamina yang per tahunnya hanya Rp 19 triliun. "Padahal kita dengan konversi ini subsidi berkurang Rp 22 triliun," ujar Wapres.

Tentang program penarikan kompor minyak tanah, Wapres mengemukakan akan dilakukan secara bertahap। "Sementara ini kalau kompor dan tabung gas sudah diterima oleh ibu rumah tangga, biarlah kompor minyak itu menjadi cadangan. Karena jika orang sudah menggunakan kompor dan tabung gas, 99 persen tidak akan kembali lagi ke minyak tanah," demikian Wapres.Sumber :

http://www.kompas.com/
Senin, 13 Agustus 2007 - 16:43 wib

Konversi Minyak Tanah Hemat Subsidi Rp700 Miliar

Konversi Minyak Tanah Hemat Subsidi Rp700 miliar

Jakarta (ANTARA News) - Program konversi minyak tanah ke gas elpiji hingga November 2007 tercatat dapat menghemat biaya subsidi minyak tanah sampai 100.000 kilo liter atau senilai Rp700 miliar dalam perubahan APBN 2007. Direktur Pemasaran dan Niaga PT (Persero) Pertamina Achmad Faisal, usai mendampingi Dirut Pertamina Arie Soemarno bertemu Wapres Jusuf Kalla di Jakarta, Senin, mengatakan hingga akhir 2007 pemerintah menargetkan penarikan minyak tanah dengan penggantian gas elpiji sekitar 131.000 kilo liter. "Akhir tahun tinggal sebulan lagi, diharapkan bisa melebihi target," katanya.Program pengalihan minyak tanah ke elpiji dilaksanakan berdasarkan surat Wakil Presiden RI Nomor 20/WP/9/2006 tanggal 1 September 2006. Surat tersebut merupakan tindak lanjut dari hasil rapat koordinasi terbatas di Kantor Wakil Presiden. Dalam program itu, pemerintah berencana mengkonversi penggunaan sekitar 5,2 juta kilo liter minyak tanah kepada penggunaan 3,5 juta ton LPG hingga tahun 2010 mendatang yang dimulai dengan 1 juta kilo liter minyak tanah pada 2007.(*)

Sumber :
http://www.antara.co.id/arc/2007/11/26/konversi-minyak-tanah-hemat-subsidi-rp700-miliar/
Senin, 13 Agustus 2007 - 16:43 wib

"Pemaksaan" itu Bernama Konversi Minyak Tanah

"Pemaksaan" itu Bernama Konversi Minyak Tanah

Oleh Edy Sujatmiko

Jakarta (ANTARA News) - Sudah menjadi fakta umum, dalam beberapa hari terakhir ini di berbagai wilayah di Indonesia, tengah terjadi apa yang dinamakan kelangkaan minyak tanah। Berbagai pihak, mencoba mempertanyakan, pada saat usia Republik Indonesia telah 62 tahun dan baru selesai diperingati pada Agustus lalu, rakyat ternyata masih mengalami kesulitan untuk sebuah komoditas strategis, minyak tanah. Contohnya, tragedi kelangkaan juga terjadi di Gorontalo pada akhir Agustus lalu. Jika beberapa hari sebelumnya, tak menimbulkan antrean panjang, maka sejak Minggu (26/8) antrean terus terjadi di sejumlah pangkalan dan pengecer minyak tanah di Kota Gorontalo.

"Antre berjam-jam baru bisa dapat minyak tanah, itupun sangat terbatas hanya di bawah lima liter," ujar Yena (45), salah seorang ibu rumah tangga di Kelurahan Ipilo, Kota Gorontalo। Menurut dia, karena panik minyak tanah semakin langka, para ibu rumah tangga tetap mengantre di warung maupun pangkalan yang menjual minyak tanah, meskipun para pedagang mengatakan bahwa bahan bakar tersebut telah habis terjual. "Mau bagaimana lagi, kami sangat membutuhkannya. Kami berharap pemerintah segera menangani hal ini," katanya.

Keluhan Yena tersebut tidak sendiri karena masih banyak ibu-ibu lain di Indonesia yang sebagian besar adalah warga kelas menengah ke bawah mengalami hal serupa। Tidak hanya persoalan sulit mendapatkan minyak tanah, harganya pun menjadi lebih mahal dari biasanya. Mereka terpaksa merogoh kocek lebih dalam yakni sekitar Rp5000-6000 per liter, padahal biasanya hanya Rp2500-3000 per liter.

Sadar atau tidak, ibu-ibu itu telah menjadi korban atau dikorbankan oleh program pemerintah yang dipersiapkan sejak Juli 2006 yakni, konversi minyak tanah ke gas, (liquified petroleum gas/LPG) atau elpiji।

Padahal, Gorontalo dan sejumlah daerah lain di Indonesia seperti Medan, Makassar dan lainnya adalah belum menjadi daerah sasaran program konversi yang digelar pemerintah pada daerah tertentu seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek)।

Gagal Di Awal

Agaknya, kelangkaan minyak tanah di berbagai daerah, khususnya daerah non sasaran program konversi minyak tanah ini, menimbulkan keprihatinan bersama। Ketua DPR Agung laksono di Gedung DPR/MPR Jakarta, belum lama ini menegaskan kelangkaan minyak tanah menunjukkan program konversi minyak tanah ke gas kurang sosialisasi di masyarakat.

Pemerintah juga kurang mengantisipasi kemungkinan terjadinya keresahan di masyarakat akibat langkanya minyak tanah। "Program konversi ini sebenarnya bagus untuk menghemat subsidi dan menghemat pengeluaran rumah tangga, tetapi kurang sosialisasi. Padahal kebiasaan dan ketergantungan masyarakat terhadap minyak tanah sangat tinggi,` katanya.

Untuk melepaskan ketergantungan itu, maka kebiasaan masyarakat beralih ke gas tidak bisa dilakukan secara drastis। Harus melalui tahapan agar masyarakat mau beralih ke gas dan mengurangi ketergantungan terhadap minyak tanah. "Sosialisasi harus lebih terpadu, tanpa sosialisasi yang memadai, terjadi kisruh seperti ini," katanya yang menambahkan, DPR kecewa karena konversi itu justru menimbulkan persoalan baru. Dengan terjadinya keluhan masyarakat pengguna minyak tanah, kata Agung, menunjukkan program pemerintah belum bisa dikatakan sukses.

Senada dengan Agung, pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI) Andrinof Chaniago menilai, program konversi minyak tanah ke gas elpiji, dengan memberikan kompor dan tabung gas secara gratis, merupakan program yang sangat dipaksakan।

Dosen Pasca Sarjana Kebijakan Publik, FISIP-UI tersebut mengatakan, pemerintah saat ini sedang memaksakan konversi minyak tanah। Rakyat dikondisikan untuk berpikir bahwa minyak tanah bukan pilihan. "Mungkin begitu skenario pemerintah. Tapi ini tetap menunjukkan gagalnya implementasi kebijakan di lapangan," katanya.

Andrinof menegaskan dengan adanya gejolak dari masyarakat berarti pemerintah belum belajar dari pengalaman pembagian Beras Miskin (raskin), pemutakhiran data pemilih pra pilkada, dan lain sebagainya। "Seharusnya sebelum mengambil kebijakan pemerintah "berkaca" dulu dengan program lainnya, tidak bisa dipaksakan dalam satu pilihan, tanpa dibenahi dulu infrastruktur dan keadaan ekonomi rakyat," jelasnya। Ia juga mendukung pemerintah-pemerintah daerah yang menolak program konversi minyak tanah ke gas tersebut, sebelum adanya kesiapan dari warga dan perbaikan infrastruktur penyaluran gas.

Terkesan coba-coba

Apa yang dilakukan pemerintah melalui program konversi energi minyak tanah ke gas ini, wajar jika kemudian memunculkan kesan coba-coba tanpa perhitungan yang mantap dan serius। Tengok saja dengan apa yang pernah digagas pemerintah juga beberapa tahun lalu tentang konversi dan diversifikasi energi dari penggunaan minyak tanah ke batu bara.

Belum jelas konsepnya, sudah dilepas ke masyarakat sehingga tidak jelas juga kemana arah dan pengembangannya, tiba-tiba pemerintah seperti menguburnya dalam-dalam tanpa penjelasan ke masyarakat। Paling tidak, sikap sejenis juga ditunjukkan pemerintah ketika menggelar program konversi minyak tanah ini. Rumusnya sederhana, setiap kebijakan asal digelar dan ketika ada persoalan (kelangkaan dan sebagainya, red) dan menimbulkan reaksi, baru dievaluasi dan disempurnakan.

Buktinya, pemerintah, melalui Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro pada akhir Agustus lalu setidaknya telah memutuskan, untuk tidak menarik minyak tanah di daerah program konversi sebelum masyarakat setempat benar-benar menerima program pengalihan। "Untuk pelaksanaan program selanjutnya, kami akan berikan tabung secara gratis, tapi tidak ditarik minyaknya," katanya.

Ia melanjutkan, setelah masyarakat di wilayah konversi bisa menerima, maka Pertamina akan menarik secara bertahap minyak tanahnya। Bahkan, Dirut PT Pertamina Ari Sumarno mengatakan, pola pelaksanaan konversi masih tetap seperti sekarang. Hanya saja, kalau dulu Pertamina langsung menarik 70 persen atau 50 persen minyak tanah di wilayah konversi, maka nantinya tidak ditarik sama sekali. "Kami akan memberikan waktu transisi kepada masyaratakat, agar mereka tidak kaget dan bergejolak," katanya.

Apa yang disampaikan oleh Purnomo dan Dirut Pertamina ini agaknya adalah kunci jawaban dari harapan masyarakat bahwa sebenarnya mereka tidak keberatan dengan program konversi itu asalkan semuanya tersedia dengan baik।Artinya, seperti yang disampaikan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sultan Hamengku Buwono X, program itu sebaiknya tidak sampai menyulitkan masyarakat miskin. "Perlu dipahami masyarakat miskin akan mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli elpiji dari pada minyak tanah. Kalau membeli elpiji harus mengeluarkan uang Rp12.500, untuk minyak tanah cukup Rp1.000. Meski hanya dapat setengah botol, tetapi dapur bisa `ngebul`," katanya.

Menurut dia, sebelum konversi tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, pemerintah harus mengupayakan agar minyak tanah tidak hilang di pasaran. "Kalau minyak tanah hilang di pasaran, yang menjadi korban masyarakat miskin. Semua harus melalui proses, tidak bisa seketika," kata Sultan. Akhirnya, agaknya benar, jika pemerintah tak juga mampu melaksanakan janjinya dalam program konversi ini, sama saja bahwa negara telah melakukan pemaksaan melalui program konversi minyak tanah ini kepada rakyatnya sendiri. (*)

Sumber :
http://www.antara.co.id/arc/2007/9/3/pemaksaan-itu-bernama-konversi-minyak-tanah/
Senin, 13 Agustus 2007 - 16:43 wib

Konversi untuk Kurangi Subsidi BBM

Konversi untuk Kurangi Subsidi BBM

Subsidi bahan bakar minyak atau BBM yang cenderung meningkat memaksa pemerintah membuat terobosan untuk mengurangi subsidi. Konsumsi minyak tanah sebesar 10 juta kiloliter per tahun membuat subsidi BBM makin tinggi. Dengan anggaran dana Rp 1,93 triliun, pemerintah membuat program konversi minyak tanah ke gas elpiji Konversi minyak tanah ke LPG atau elpiji ini menggantikan konversi sebelumnya, yaitu pengalihan minyak tanah ke briket batu bara yang dicanangkan akhir 2005. Sayang, kampanye besar-besaran yang dilakukan pemerintah, kurang mendapat respons dari masyarakat.

Karena kurang puas dengan konversi ke briket batu bara, pemerintah memunculkan program konversi minyak tanah ke gas elpiji.

Program yang diujicobakan mulai Agustus 2006 ini dapat mengurangi konsumsi minyak tanah sebesar 988.280 kiloliter. Sedangkan konsumsi elpiji akan meningkat menjadi 567.700 ton. Melihat respons masyarakat yang cukup tinggi, Mei 2007 program konversi ini diluncurkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. (ARI/LITBANG KOMPAS)

Sumber :
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0707/18/jateng/56633.htm
Rabu, 18 Juli 2007

Mempertanyakan Efektivitas Subsidi Konversi Minyak

Mempertanyakan Efektivitas Subsidi Konversi Minyak

Oleh Ir. Wahyudin Munawir

SUBSIDI untuk pengadaan energi tahun 2007 masih sangat besar, yaitu Rp. 94,4 triliun (sembilan puluh ribu empat ratus miliar rupiah). Dari jumlah itu, Rp 68,6 triliun untuk subsidi BBM dan Rp 25,8 triliun untuk PLN. Besaran ini, kata Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, dapat bertambah lagi jika harga minyak mentah dunia tetap di atas 72 dolar AS per barel.

Subsidi energi ini jelas amat besar, apalagi bila dibandingkan dengan alokasi anggaran pendidikan yang hanya Rp 51,3 triliun. Padahal, amanat konstitusi (UUD 1945) menyatakan, APB harus mengalokasikan 20% untuk pendidikan.

Untuk mengurangi subsidi BBM tersebut, pemerintah perlu mencari berbagai solusi yang tepat. Di antara solusi itu--seperti dikatakan Presiden SBY--pemerintah akan mengembangkan sumber energi baru dan terbarukan. Untuk itu melalui Menko Ekuin pada hari Selasa, 22 Agustus 2006 telah dilaksanakan "Pencanangan Program Aksi Penyediaan Dan Pemanfaatan Energi Alternatif".

Bersamaan dengan itu, diselenggarakan pula pameran sumber-sumber energi alternatif. Namun demikian, kebijakan ini masih perlu dukungan dan percermatan lebih jauh dalam implementasi dan sosialisasinya karena masih banyak hal yang perlu disinkronkan, termasuk konsistensinya.

Briket batu bara versus elpiji

Contoh kasus yang perlu dicermati itu adalah ketidak konsistenan kebijakan pemanfaatan briket batu bara, yang diinterupsi dan dijegal oleh kebijakan pemanfaatan elpiji. Sejak Maret 2005 saat pertama kali pemerintah memutuskan kenaikan harga BBM, maka pemerintah mulai menengok penggunaan sumber energi alternatif.

DPR RI mendesak agar pemerintah memasyarakatkan pemakaian briket batu bara karena jumlah cadangannya yang masih cukup besar. Serta merta Pemerintah, melalui Menko Ekuin--yang waktu itu adalah--Aburizal Bakrie, menyatakan akan membagikan gratis tungku-tungku briket batu bara pada masyarakat melalui Kementerian Koperasi & UKM.

Di tengah menunggu realisasi proses pembuatan tungku dan pembagiannya, tiba-tiba Wakil Presiden Jusuf Kalla mengumumkan bahwa pemerintah lebih memilih memasyarakatkan elpiji dengan membuat tabung-tabung kecil yang juga akan membagikannya ke masyarakat bawah di perkotaan. Instrupsi kebijakan seperti ini tentu saja membingungkan masyarakat. Mestinya kebijakan-kebijakan tersebut tidak saling menjegal dan mengeliminasi, tapi sebaliknya dapat dijalankan secara simultan dan saling melengkapi.

Mengapa? Untuk pengadaan tungku-tungku briket batubara, dapat dilaksanakan dengan padat karya, cepat dan tersebar di berbagai daerah karena dapat melibatkan elemen masyarakat usaha kecil menengah. Pada gilirannya, jelas kegiatan ini akan mampu menumbuhkan kegiatan ekonomi di daerah-daerah dan dapat mengurangi pengangguran. Bandingkanlah dengan pembuatan tabung-tabung gas elpiji, yang hanya dapat dilakukan oleh pabrik-pabrik bermodal besar, menggunakan teknologi menengah dan hanya bisa dilakukan di daerah-daerah tertentu.

Kebijakan-kebijakan di atas mestinya dapat saling melengkapi dan bisa dilaksanakan secara konsisten dan simultan. Ini karena memasyarakatkan briket batu bara dan elpiji akan dapat mengurangi pemakaian minyak tanah. Masyarakat juga memiliki banyak alternatif sumber energi. Dengan demikian, pada gilirannya pemerintah akan mampu mengurangi besaran subsidi BBM. Jika itu terjadi, alokasi anggaran untuk permbangunan sektor lain, seperti pendidikan dapat ditambah.

Subsidi konversi minyak tanah?

Di tengah keprihatinan atas meningkatnya subsidi untuk energi, Arie Soemarno, Dirut PT Pertamina mengatakan, pihaknya tidak akan mampu melakukan konversi minyak tanah dengan elpiji karena tidak ada dana subsidi untuk ini (Republika, 24/8/06). Memang menjadi hak Pertamina untuk mempertahankan identitas korporasinya yang "profit oriented". Namun demikian Pertamina sebagai BUMN yang bermodalkan dana rakyat, mendapat tugas untuk melayani publik melalui penggantian minyak tanah dengan elpiji.

Konsekuensinya Pertamina harus menyediakan elpiji dalam jumlah yang besar termasuk mengimpor jika produk dalam negeri tidak mencukupi. Harga elpiji internasional sekarang sudah mencapai Rp 6.000,00-/kg, sementara Pertamina harus menjualnya ke masyarakat dengan harga Rp. 4.250,00/kg. Jelas ada selisih harga Rp. 1.750,00/kg yang harus ditutup Pemerintah.

Ini artinya, subsidi untuk bidang energi makin bertambah. Pertanyaannya, sebegitu mendesakkah subsidi konversi minyak tanah ini sehingga harus dilaksanakan secepatnya?

Untuk itu, kita perlu mengkritisi beberapa hal dalam realisasi subsidi BBM selama ini. Misalnya, implementasi subsidi minyak tanah yang mendapat subsidi lebih besar dibandingkan dengan premium dan solar.

Sejauh mana efektifitas subsidi tersebut? Melihat distribusi dan perdagangan minyak tanah selama ini, kita tidak yakin subsidi tersebut cukup efektif membantu masyarakat kecil. Untuk mengatasi "kartel dan agen" bisnis minyak tanah, sistem distribusi minyak tanah perlu diubah agar subsidinya efektif dirasakan masyarakat kecil.

Bagaimana cara mengubahnya? Jika kita memperhatikan sistem pembagian santunan langsung tunai (SLT) sebagai implementasi santunan langsung tunai (SLT), barangkali formula seperti itu patut dijalankan. Kita tahu, distribusi SLT--meski di sana-sini ada kekurangan--relatif berhasil karena para penerima subsidi tercatat, baik namanya, alamatnya, maupun tingkat kemiskinannya. Dengan menggunakan logika yang sama, mengapa cara ini tidak dilakukan pada sistem distribusi minyak tanah yang bersubsidi besar itu?

Jika metoda pembagian SLT ini dapat dilakukan pada distribusi minyak tanah, maka kita akan mendapat jaminan bahwa minyak tanah terdistribusi secara terarah kepada penerima dengan identitas yang jelas. Dengan demikian, aliran subsidi yang menjadi hak rakyat kecil dapat terjamin. Pada gilirannya kita dapat meminimilasi kebocoran dan mengurangi besarnya subsidi tersebut.

Untuk menghindari adanya gejolak di tengah masyarakat, seperti pada pembagian SLT, karena ada yang merasa berhak tetapi tidak mendapat bagian, kita perlu menjaga keakuratan data orang-orang miskin yang berhak menerima minyak tanah melalui kriteria yang jelas.

Adapun metoda yang berlangsung sekarang ini, siapa saja dapat membeli minyak tanah; tidak terkecuali pengusaha-pengusaha besar atau korporasi-korporasi. Sistem distribusi seperti ini jelas sangat rawan penimbunan dan penyelundupan. Ini artinya subsidi yang jumlahnya mencapai triliunan rupiah menguap begitu saja sementara rakyat kecil tetap menderita.

Hal inilah yang dikhawatirkan para pengamat dan wakil rakyat. Subsidi untuk konversi minyak tanah ke elpiji akan bernasib sama. Sebab tidak ada jaminan bahwa minyak tanah akan secara otomatis berkurang manakala elpiji juga sudah memasyarakat. Akibatnya akan terjadi subsidi yang berlebihan bila permintaan Pertamina ini dikabulkan. Alih-alih subsidi itu turun, yang terjadi sebaliknya, subsisi BBM bertambah.

Mestinya dapat dihindari

Kekisruhan subsidi ini mestinya tidak perlu terjadi, jika saja kebijakan mengenai briket batu bara tidak dijegal elpiji. Dengan terlebih dahulu memasyarakatan briket batu bara maka secara perlahan ekonomi masyarakat dapat tumbuh di atas kemampuannya sendiri karena harga briket terjangkau masyarakat. Apalagi bila ini dipadukan dalam satu paket dengan SLT yang sudah berjalan. Dengan demikian, ketika elpiji juga dimasyarakatkan, maka atas dasar kemampuannya sendiri masyarakat akan dapat membeli elpiji pada harga pasar. Tidak perlu disubsidi!

Pada akhirnya, ada pertanyaan besar, mengapa pemerintah begitu bersemangat untuk segera memasyarakatkan elpiji tanpa perhitungan yang komprehensif mengenai insfrastruktur di bidang elpiji? Ini semua jelas menunjukkan lemahnya koordinasi antara aparat-aparat pemerintah. Masing-masing pihak ingin leading atau mendahului demi kepentingan sesaat orang-orang tertentu atau kelompok tertentu dengan mengabaikan kemaslahatan publik. Akibat saling jegal kebijakan ini, upaya minimalisasi subsidi BBM tersebut tidak tercapai, bahkan subsidi itu cenderung meningkat. Lagi-lagi rakyat pun dikhianati!

Penulis, alumnus ITB, anggota komisi VII DPR RI Fraksi PKS.

Sumber :
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/112006/06/wacana01.htm
Senin, 06 Nopember 2006