Sabtu, Desember 15, 2007

Kenapa Tak Mencoba Tenaga Angin

Kenapa Tak Mencoba Tenaga Angin

Penulis : Korano Nicolash LMS.

Di beberapa negara Eropa Barat, khususnya di Belanda, listrik tenaga angin merupakan hal yang lazim dimanfaatkan. Itu sebabnya kadang sepanjang perjalanan menelusuri "Negeri Kincir Angin" maupun beberapa negara di Eropa Barat itu tidak sukar untuk menyaksikan kincir angin yang lebih modern. Tentunya kincir angin yang dimanfaatkan untuk pembangkit listrik tenaga angin.

Bedanya kincir angin modern untuk pembangkit listrik tenaga angin ini dengan kincir angin penggiling gandum sangat jelas. Kalau kincir angin penggiling gandum itu terbuat dari rangkaian kayu serta memiliki empat bagian baling-baling. Di samping itu juga kincir angin ini akan terlihat berikut gudang tempat penggilingan gandumnya. Adapun baling-baling untuk pembangkit listrik ini hanya berupa tiang putih yang terbuat dari besi serta memiliki tiga baling-baling saja. Untuk beberapa produk yang baru bahkan ada yang tiang dan baling-balingnya terbuat dari fiber. Dengan demikian beratnya pun jauh lebih ringan.

"Di sini, pemilik satu kincir angin pembangkit listrik itu biasanya justru petani. Karena mereka tinggal pada daerah yang terpisah-pisah. Biasanya mereka dalam bentuk kelompok. Mungkin di Indonesia seperti koperasi petani. Jumlahnya bisa mencapai sepuluh keluarga atau bahkan sampai empat puluhan keluarga," tutur Pieter Franqis Veetman, warga Groningen, Belanda. Karena mereka menggunakan pembangkit listrik tenaga angin, lanjut Veetman, tentu penggunaan bahan bakar minyak (BBM)-nya pun makin berkurang. "Memang ini salah satu upaya mereka untuk mengurangi penggunaan bahan bakar minyak," katanya.

"Itu sebabnya sehari-hari mereka paling hanya menggunakan BBM untuk traktor pembalik tanah, penanam sekaligus pemanen hasil tanaman mereka. Serta untuk kendaraan pribadi," ujar Veetman. Adapun penggunaan pembangkit listrik tenaga angin ini sudah dimulai sejak tahun 1979. Dan, salah satu keunggulan pembangkit listrik tenaga angin ini, tambah CD Kessing, warga lainnya, karena setiap satu tiang pembangkit listrik tenaga angin ini bisa bertahan penggunaannya selama 25 tahun. "Itu ukuran penggunaan minimal yang ditetapkan perusahaan pembuatnya. Tentu kalau perawatannya bisa lebih baik lagi usia pembangkit listrik tenaga angin ini jelas akan lebih lama lagi," kata Kessing, warga Krommenie, Belanda. Ini artinya selama 25 tahun itu pula masalah listrik tidak lagi menjadi bahan pikiran. Satu hal yang lebih istimewa, yakni mereka telah melakukan pengiritan bahan bakar minyak. "Serta tentu semuanya akan lebih ramah lingkungan," kata Guru Besar Perguruan Pencak Silat Manyang di Eropa.

PLN

Rasanya tidak salah kalau di Indonesia, melalui Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang memonopoli jasa listrik di Nusantara, untuk mulai memikirkan kemungkinan penggunaan pembangkit listrik tenaga angin tersebut. Terlebih dalam kondisi BBM yang semakin langka yang selanjutnya memicu harga BBM melangit. Tentu apa yang dilakukan para petani di Negeri Kincir Angin, sana bisa dilakukan di negeri ini.

Bisa jadi akan sulit untuk dilakukan di Pulau Jawa yang memang sudah padat penduduk. Apalagi belakangan kerap terjadi angin puyuh. Tetapi, penggunaan pembangkit listrik tenaga angin mungkin saja bisa dimanfaatkan di luar Pulau Jawa yang memang hampir sebagian besar jasa listriknya hanya bergantung pada mesin-mesin diesel PLN yang umumnya memakai bahan bakar solar. Padahal, kalau melihat hasil laporan PLN tahun lalu, dijelaskan, untuk bahan bakar solar saja PLN harus mengeluarkan dana Rp 38,4 triliun per tahun. Itu untuk membeli 6,3 juta kiloliter solar. Dana tersebut akan terus membengkak seiring kenaikan harga BBM. Hal ini dimulai dengan kenaikan harga solar industri per Juni 2006 yang naik tiga kali lipat, menjadi Rp 6.100 per liter.

Pengeluaran PLN untuk penggunaan solar masih sangat tinggi, karena 17 persen dari pembangkit listrik PLN itu menggunakan mesin diesel. Sementara dari segi biaya, mesin diesel itu akan menyerap dana hampir 70 persen dari biaya bahan bakar. Kita sadari, memang ada beberapa kendala dalam menggunakan pembangkit listrik tenaga angin ini. "Hal yang utama itu, yakni masalah embusan angin yang kadang tidak menentu. Itu mungkin yang membuat PLN hingga saat ini masih belum terpikir untuk memperkenalkan penggunaan pembangkit listrik tenaga angin tersebut," kata Bambang Nugrohadi Waspada, salah satu staf PLN. Kalau hanya itu yang menjadi kendala, tentu bisa dilakukan survei terlebih dahulu. Rasanya tidak berbeda dengan pembuatan lapangan terbang yang harus lebih dulu dilakukan survei untuk penentuan landasannya yang sangat bergantung pada embusan angin di lokasi bersangkutan.

Penggunaan pembangkit listrik alternatif ini sebenarnya juga sudah mulai dilakukan di beberapa daerah di Indonesia, antara lain, seperti di Tanah Papua yang sudah sejak tahun 1990-an, dengan bantuan Pemerintah Negeri Kanguru Australia diperkenalkan penggunaan pembangkit listrik tenaga matahari (solar sel). Penggunaan solar sel ini cocok digunakan di Papua karena sesuai dengan situasi dan kondisi permukiman orang Papua yang tidak terpusat pada satu tempat saja. Tetapi tersebar di rawa-rawa, perbukitan, lembah dan gunung-gunung.

Hanya mungkin mereka tidak akan pernah menikmati lampu hemat listrik yang katanya akan dibagikan PLN. Sekalipun lampu hemat energi itu, kata Direktur Utama PLN Eddie Widiono, bakal mampu menghemat penggunaan bahan bakar sampai 0,75 kiloliter per tahun atau setara dengan Rp 3,8 triliun per tahunnya. Kalau memang mau irit, kenapa tidak sekaligus memanfaatkan tenaga angin yang gratis itu?

Sumber :
http://www.kompas.com/
Jumat, 14 Desember 2007.

Terumbu Karang Kini Ikut Menjaga Kawasan...

Terumbu Karang Kini Ikut Menjaga Kawasan...

Penulis : ICHWAN SUSANTO

Selasa (12/6) pagi, perairan Nabire sangat teduh, seakan merestui keberangkatan tim monitoring terumbu karang di zona inti Kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih. Keberangkatan ini mengawali pemantauan bawah laut Pulau Nutabari, Nuburi, dan Tanjung Mangguar yang berada di wilayah administrasi Kabupaten Nabire Provinsi Papua. Cuaca yang sangat bersahabat membuat longboat yang dikemudikan Otis Banggo, warga pesisir Nabire, melaju dengan tenang. Riak-riak ombak yang hanya sesekali memercik membasahi penumpang serta sengatan matahari yang hangat mewarnai perjalanan selama empat jam ke Pulau Nutabari.

Sesampai di pulau seluas tak lebih dari satu hektar itu, dari jauh sudah tampak tiang mercusuar berwarna kuning. Laju perahu sedikit demi sedikit dikurangi agar tidak kandas pada rataan batu karang yang masih sangat rapat. Setelah perahu merapat di sisi utara pantai berpasir putih, rombongan yang terdiri dari lima petugas Balai TNTC, dua anak buah kapal, Otis Banggo, dan Kompas menurunkan perbekalan dan perlengkapan. Sebagian membuat perapian dan sebagian lain membangun tenda dari terpal seadanya sebagai tempat beristirahat. Di pulau tak berpenghuni ini tak terdapat sumber air tawar sehingga juga relatif jarang disinggahi nelayan.

Pukul 14.00 WIT, pemantauan di dua titik pun dimulai. Pemantauan terumbu karang menggunakan metode standar, yaitu line intercept transect (LIT). Karena topografi rataan terumbu karang hanya mencapai kedalaman 2-4 meter dan disambung tubir dalam, transek tak dapat dilakukan di kedalaman 10 meter sesuai dengan prosedur normal.

Titik pertama mengambil posisi di 03° 05’ 59,7" LS dan 135° 09’ 20,7" yang digunakan sebagai kontrol karena memiliki kerapatan dan keragaman penghuni ekosistem. Di kedalaman tiga meter, terumbu karang masih didominasi acropora bercabang dan koral masif. Ikan dalam jumlah besar mudah ditemui berupa rombongan ikan kakatua, sepasang ikan kupu-kupu. Di tubir kedalaman 18 meter, tampak udang karang (lobster) sebesar dua pergelangan tangan berdiam di cekungan goa karang.

Esok harinya, pengambilan sampel transek kembali dilakukan dengan titik penyelaman berbeda. Selesai mengambil sampel, tim buru-buru pindah tempat menginap di Pulau Kumbur yang berjarak dua jam dari Nutabari. Ini lantaran sepanjang malam, badai datang mengempas-empas kapal yang rawan bocor karena bisa terhantam batu karang.

Menangkap gorano

Di Pulau Kumbur, tim yang juga menyertakan anggota satuan polisi reaksi cepat (SPORC) dan polisi kehutanan menangkap basah pemburu ikan hiu yang dalam bahasa lokal disebut gorano. Dokumen perahu yang diakui kapten perahu, Serfatius Bawoka, milik Victor Bawoka, warga Nabire, ini disita karena menangkap ikan yang dilindungi undang-undang. Bukti lain adalah penjemuran puluhan daging sirip gorano di Tanjung Pulau Kumbur, mirip seperti yang ditemukan di Pulau Nutabari sehari sebelumnya.

Sehari menginap di pulau yang didominasi flora cemara laut ini, pemantauan terumbu karang dilanjutkan ke Tanjung Mangguar. Di wilayah Distrik Teluk Umar ini, sisa-sisa perusakan terumbu karang masih tampak jelas. Untungnya, terdapat pertumbuhan polip-polip pada karang mati yang mencapai satu sentimeter. Kondisi ini menunjukkan indikasi bahwa daerah ini mulai terehabilitasi.

Esok harinya, setelah bergelut semalaman dengan hujan dan semut di Pulau Pepaya, pemantauan dilakukan di perairan Pulau Nuburi. Sebagai salah satu zona inti, kondisi terumbu karang Pulau Nuburi dapat dikatakan memprihatinkan. Ini ditunjukkan dengan ditemukannya patahan karang yang berserakan. Patahan ini sudah mulai tertutup pasir, yang menandakan kerusakan sudah berlangsung lama.

Pemantauan selama empat hari di tiga perairan zona inti di Kabupaten Nabire ini merupakan sebagian dari total 80.000 hektar terumbu karang di seluruh kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih. Ini hanya sebagian kecil dari total luas TNTC yang mencapai 1,45 hektar.

Untuk memonitor terumbu karang saja, belum termasuk ekosistem lain, seperti mangrove dan lamun, dibutuhkan biaya serta tenaga yang cukup besar. Membawa perlengkapan selam ditambah mesin kompresor berbobot puluhan kilogram serta bekal makanan ditambah kendala badai merupakan tantangan tersendiri. Kemauan dan kerja keras setiap elemen petugas dan masyarakat amat dibutuhkan agar kawasan konservasi ini tetap terjaga sehingga anak cucu pun masih dapat menikmatinya. (ICH)

Sumber :
http://www.kompas.com/
Rabu, 27 Juni 2007.

Membangun Zonasi Berbasis Masyarakat

Membangun Zonasi Berbasis Masyarakat

Penulis : ICHWAN SUSANTO

Sejak tahun 1993, Teluk Cenderawasih di Pulau Papua ditetapkan sebagai taman nasional. Namun, setelah 14 tahun berjalan, kawasan konservasi ini belum juga memiliki zonasi resmi. Padahal, wilayah ini terus mengalami peningkatan mobilitas manusia yang membutuhkan rem agar aktivitas itu tidak mengganggu lingkungan setempat.

Pada tahun-tahun awal pembentukan kawasan ini, aktivitas manusia masih sebatas pada penangkapan ikan tradisional oleh nelayan. Namun kini, penangkapan ikan dilakukan dengan cara lebih modern sampai metode yang merusak habitat laut. Selain itu, lalu lalang penumpang angkutan laut semakin tinggi dengan masuknya Kapal Labobar dan Dorolonda di Wasior, ibu kota Teluk Wondama.

Peningkatan kegiatan ini sayangnya tak diiringi dengan sifat ramah lingkungan. Di perairan laut Teluk Cenderawasih kini mudah sekali ditemui sampah plastik (bungkus makanan, minuman, dan oli) yang terapung- apung di laut. Di pinggir pantai pun mulai tampak sebaran sampah-sampah plastik.

Siapa pun mengakui, mengelola kawasan seluas 1,4 juta hektar yang 95 persen berupa perairan laut bukan perkara mudah. Apalagi dengan status sebagai Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC), kawasan itu mengemban tanggung jawab pelestarian sumber daya hayati dan harus membimbing masyarakat setempat untuk mempertahankan kearifan lokal dalam memanfaatkan kekayaan alam.

Didukung masyarakat

Untuk memetakan spesifikasi peruntukan kawasan, Balai TNTC menyodorkan usulan zonasi. Gayung bersambut, ide zonasi taman nasional terluas di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara, ini mendapat dukungan dari masyarakat setempat.

Dalam beberapa pertemuan antara pihak Balai TNTC bersama masyarakat dan LSM, warga tampak antusias merespons usulan itu. Mereka menyadari kekayaan laut Teluk Cenderawasih merupakan berkat Tuhan bagi masyarakat setempat dan generasi mendatang.

Meski demikian, perjalanan pembentukan zonasi tak berjalan mulus. Masih terdapat berbagai kontroversi karena beberapa pihak menilai zonasi hanya akan membatasi areal tangkap.

Seperti rencana peruntukan zona inti di kawasan Pulau Wairundi di Wilayah Seksi Konservasi III yang sempat tersendat. Dalam pertemuan di Wasior beberapa waktu lalu, zonasi disetujui oleh berbagai elemen masyarakat. Hanya Pulau Wairundi yang masih belum ada kesepakatan.

Secara adat, wilayah Wairundi merupakan hak ulayat masyarakat Isenebuai. Namun, masyarakat yang paling banyak memanfaatkan hasil laut setempat berasal dari Kampung Yomber dan Waprak.

Sebenarnya kini mereka mulai sadar. Masyarakat adat dan masyarakat Kampung Isenebuai, Yaryari, Yembekiri, Yomakan, Kaprus, dan Yomber akhir Mei lalu di Isenebuai telah sepakat menjadikan Pulau Wairundi sebagai zona inti. Bahkan, masyarakat juga mengusulkan daratan Tanjung Inuri sebagai zona inti.

Zona inti ini merupakan jantung suatu kawasan karena melindungi secara mutlak fauna/flora endemik yang terancam punah. Perlindungan mutlak juga diberikan terhadap keanekaragaman hayati, gejala/fenomena alam, peninggalan situs budaya, dan sejarah.

Pernah diusulkan

Pada tahun 2001, Balai TNTC pernah mengusulkan zonasi ke Departemen Kehutanan. Namun, usulan itu diminta untuk direvisi kembali.

Dalam usulan itu, zona inti meliputi Pulau Wairundi, Matas, Iwari, Kuwom, Rorebo, Kabuai, Kumbur, Nutabari, Nuburi, dan Perairan Tridacna Reef. Zona situs budaya dan sejarah mencakup Windesi serta Pulau Mioswaar dan Roon. Zona rehabilitasi meliputi Pulau Maransabadi, Abaruki, Rumarakon, dan Rouw serta Kepulauan Kaki. Zona pemanfaatan intensif meliputi Selat Rumberpon, Pantai Sobei, Perairan Tanjung Mangguar, Nusariwani, serta Pulau Rumberpon Barat, Purup, Nukasa, Nuana, Mioswaar Timur, Yoop Mios Timur, Roon Timur, Anggrameos, dan Pepaya. Di luar zona inti, rehabilitasi, perlindungan, serta situs budaya dan sejarah terdapat zona pemanfaatan perlindungan dan peruntukan terbatas yang dipergunakan untuk kepentingan jalur pelayaran kapal-kapal nelayan tradisional, kapal perintis, dan kapal pengangkut kayu (tug boat) perusahaan HPH yang berada di daratan Pulau Papua dan perlindungan Teluk Wosimi. Zona penyangga daerah di luar kawasan TNTC adalah pesisir pantai induk dari Distrik Ransiki, Windesi, Wasior, dan Yaur serta laut bebas (Lautan Pasifik).

John Sroyer, Kepala Bagian Tata Usaha Balai TNTC, menjelaskan, zonasi sedang dalam tahap pematangan kembali. Penataan kawasan dikembalikan kepada masyarakat sebagai pihak yang merasakan langsung peruntukan zonasi. Diakui, pelibatan masyarakat akan membutuhkan waktu lebih panjang dibandingkan langsung diputuskan pemerintah pusat. Balai TNTC memperkirakan penetapan zonasi ini baru tuntas pada tahun 2010.

"Sekarang zaman sudah berbeda. Masyarakat harus dilibatkan lebih aktif agar mereka juga merasa bertanggung jawab terhadap penataan kawasan. Dengan demikian, mereka akan ikut serta dalam pengamanan kawasan bersama kami," ujar John Sroyer. Meskipun membutuhkan waktu lama, diharapkan zonasi atas usulan dan kesepakatan masyarakat ini menjadi rem cakram yang mampu mengurangi dampak negatif peningkatan aktivitas di Teluk Cenderawasih.

Sumber :
http://www.kompas.com/
Rabu, 27 Juni 2007.

Hasil Gerhan Terlihat Saat Musim Hujan atau Kemarau

Hasil Gerhan Terlihat Saat Musim Hujan atau Kemarau

Penulis : Muhammad Fauzi

YOGYAKARTA--MEDIA: Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan keberhasilan gerakan rehabilitasi hutan dan lahan (Gerhan) bisa terlihat saat musim hujan dan kemarau dan tidak perlu laporan tertulis berlembar-lembar. "Upacara semacam ini biasanya bagus awalnya tapi akhirnya tidak jelas. Kita ingin ini sebagai awal untuk sebuah langkah besar yang berkelanjutan. Kita lihat hasilnya waktu musim hujan apakah banjir atau longsor dan bagaimana saat musim kemarau sungainya jernih atau tidak. Jadi tidak perlu laporan berlembar-lembar," tegas Wapres saat mencanangkan program Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, Sabtu (15/12).

Wapres menjelaskan ketika menjadi Menko Kesra tahun 2002, dirinya selalu berkeliling daerah untuk memberikan bantuan karena bencana. Apakah itu karena banjir atau kekeringan yang disebabkan hutan yang sudah rusak dimana-mana. Karenanya cara mengatasi masalah hanya satu juga caranya, yakni perbaiki hutan di seluruh Indonesia dengan menggerakkan semua pihak agar terlibat di dalamnya. Diakui Wapres, dulu di Indonesia, orang yang paling banyak menebang hutan karena memiliki hak penguasaan hutan (HPH) adalah orang yang paling dihormati karena mereka memberikan kontribusi terbesar buat devisa negara.

"Mereka-mereka yang banyak menebang hutan itu setiap acara (kenegaraan) mendapat tempat duduk di depan. Itukan artinya yang paling banyak tebang pohon dihormati," kata Wapres. Menurut Wapres, sekarang semua berubah. Apa yang paling dihormati di masa lalu telah diraih hasilnya berupa bencana alam dimana-mana.

Dana reboisasi, lanjut Wapres, seharusnya digunakan semaksimal mungkin untuk rehabilitasi hutan, tapi ternyata dana itu disimpan di bank. Maka hasilnya bukan pohon (hutan) tapi menghasilkan bunga. "Karena itu gerakan ini harus melibatkan masyarakat, mereka bisa mengambil manfaatnya sehingga masyarakat akan menjaga,merawatnya," kata Wapres. Begitupun dengan negara-negara maju, ungkap Wapres, mereka selalu mngkritik Indonesia. Padahal merekalah yang sebenarnya paling serakah atas kekayaan hutan. (Faw/OL-06)

Sumber :
http://www.mediaindonesia.com/
15 Desember 2007।

Jumat, Desember 14, 2007

Sudahkah Anda Tahu?

Sudahkah Anda Tahu? Tetali (Pangio anguillaris.)

Ikan tetali termasuk dalam Familia Cobitidae dan Ordo Cypriniformes. Tersebar di daerah Sumatera, Kalimantan, dan Indochina. Hidup di dasar sungai dan memakan makanan yang terdapat di substrat.

Karena ukurannya yang kecil memanjang dan kebiasaan hidup bergerombol, ikan tetali (Pangio anguillaris.) selintas mirip dengan cacing. Panjang badannya mencapai 12 cm, tetapi lebarnya 14 kali lebih pendek dari panjangnya. Badannya polos atau berbintik kecil dengan sebuah warna gelap di sepanjang sisi badan dengan bentuk ekor lurus.

Penulis : Eti Nurhayati, Ni Komang Suryati, Safran Makmur
BADAN RISET KELAUTAN DAN PERIKANANBALAI RISET PERIKANAN PERAIRAN UMUM
Jl. Beringin 308 Mariana – Palembang 30763 Telp. (0711) 537194 Fax. (0711) 537205
Penyunting: Dina Muthmainnah, M.Si.Nurwanti, S.Ikom.

Sumber :
http://www.dkp.go.id/
13/12/07 - Berita : Riset Kelautan & Perikanan Edisi Desember 2007 No.1

Deklarasi Pertambangan Yang Berwawasan Lingkungan

Deklarasi Pertambangan Yang Berwawasan Lingkungan


Senin, 10 Desember 2007

Berikut disajikan isi Deklarasi Green Mining yang dibacakan oleh Ketua Forum Reklamasi Hutan Akibat Kegiatan Penambangan, Jefry Mulyono.

  1. Kami, wakil-wakil dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Kehutanan, Asosiasi Pertambangan Indonesia, Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia dan para pemangku kepentingan pertambangan lainnya, setelah melakukan pertemuan dalam COP di Bali dengan ini menyampaikan kesepakatan kami untuk menerapkan pembangunan yang berkelanjutan.
  2. Kami juga menjalankan prinsip pembangunan yang berkelanjutan tersebut berkomitmen untuk membentuk sebuah Forum Reklamasi Hutan Akibat Kegiatan Penambangan
  3. Kami mendukung segenap upaya dalam memprakarsai tambang yang berwawasan lingkungan (green mining) tersebut dalam kerangka upaya menekan dampak negatif terhadap perubahan iklim.
  4. Kami menyampaikan komitment perusahaan-perusahaan pertambangan untuk mereklamasi dan memperbaiki hutan yang terganggu oleh kegiatan pertambangan, Pelaksanaan reklamasi dan rehabilitasi hutan ini sudah dan sedang dilaksanakan oleh perusahaan pertambangan sebagai bagian yang terpadu dalam kegiatan Penambangan.
  5. Kami juga mendukung segenap upaya untuk melakukan upaya rehabilitasi lahan kritis di luar areal pertambangan dan di daerah aliran sungai sebagai bagian dari upaya untuk mengurangi pengaruh gas rumah kaca.
  6. Kami akan mengikuti segenap kebijakan dan strategi untuk mendorong upaya reklamasi dan rehabilitasi lahan yang terganggu kegiatan penambangan। Kebijakan ini akan mengikuti prinsip-prinsip tata laksana pertambangan yang baik dan sejalan dengan peraturan yang berlaku.
  7. Kami menyadari pentingnya menjalankan tata laksana pertambangan yang baik untuk mendukung upaya reklamasi dan rehabilitasi hutan di dalam wilayah pertambangan.

Sumber :

Kamis, Desember 13, 2007

PLTS Harus Jauh dari Permukiman

PLTS Harus Jauh dari Permukiman

BANDUNG, KOMPAS - Pembangkit listrik tenaga sampah atau PLTS harus berada jauh dari Permukiman. Ini untuk mengurangi percemaran sekaligus menghilangkan kekhawatiran warga akan dampak langsung PLTS. Tokoh masyarakat perumahan Griya Cempaka Arum Asep Syamsul M Romli atau yang akrab dipanggil Romel mengatakan hal itu di Bandung, Selasa (11/12).

Pernyataan Romel ini berpijak dari hasil kunjungan dia bersama beberapa warga dan Wali Kota Bandung Dada Rosada ke PLTS di Singapura akhir pekan lalu. PLTS yang dikunjungi Romel yang rombongan antara lain Senoko Incinerator Plant dan IUT Singapore PTE Ltd di Singapura bagian barat.

Romel mengatakan, letak PLTS paling tidak berjarak empat kilometer dari Permukiman. Dengan demikian, tidak ada warga yang khawatir terkena dampak pencemaran dari PLTS tersebut. “Kalau terlalu dekat seperti PLTS di Gedebage yang jaraknya hanya 300 meter dari Permukiman wajar banyak warga yang protes,” ujarnya.

Menurut Romel, jarak Senoko Incinerator Plant dari permukiman sekitar 5 kilometer, sementera IUT Singapore PTE Ltd sekitar 3 jam perjalanan darat dari pusat kota. Sejak awal pembangunan dua PLTS ini tidak ada warga yang memrotes karena jauh dari rumah. Warga hanya sesekali mengingatkan pemilik pabrik kalau asap yang dihasilkan mulai menghitam.

Secara terpisah, Dada Rosada mengatakan, para warga memperoleh cakrawala baru tentang PLTS। Warga yang selama ini mendukung PLTS, semakin percaya bahwa PLTS aman। ”Setelah mendapat penjeelasan, mereka lebih percaya,” ujarnya. (MHF)
Sumber : KCM।Selasa, 11 Desember 2007 - 19:04 wib.

Dunia Sedang Lapar

Dunia Sedang Lapar

Penulis : Hermas E Prabowo


Saat ini dunia mengonsumsi minyak 225 juta barrel per hari. Dengan pertumbuhan ekonomi dunia seperti sekarang, diperkirakan bakal ada penambahan konsumsi rata-rata per tahun 1,6 persen atau setara 4 juta barrel. Mengacu perkiraan Badan Energi Internasional (IEA), konsumsi minyak dunia tahun 2030 akan naik 50 persen.

Konsumsi boleh saja meningkat seiring dengan pertumbuhan sosial dan ekonomi global, tetapi dari mana kebutuhan minyak dunia akan dipenuhi mengingat produksi minyak ada batasnya। Minyak fosil sendiri memberikan kontribusi 80 persen dari kebutuhan energi dunia.

Penurunan suplai minyak fosil akan mengimbas pada penurunan pasokan energi. Apabila permintaan dan penawaran minyak dunia semakin timpang, mobilitas akan terhambat. Mobilitas yang terhambat akan melemahkan persaingan, menurunkan produksi, mengurangi investasi, serta berdampak pada penurunan kesejahteraan dan kualitas hidup.

Saat ini harga minyak mentah dunia mendekati 100 dollar AS per barrel. Harga minyak mentah dunia yang semakin fluktuatif dan sensitif, menjadi indikasi makin menipisnya cadangan minyak dunia, yang mendorong terus berkurangnya eksportable surplus.

Kondisi ini tak bisa dianggap angin lalu. Pernahkah membayangkan bagaimana bila mendadak pabrik-pabrik berhenti beroperasi karena tidak ada pasokan minyak. Transportasi darat, udara, dan laut macet, serta pembangunan infrastruktur terhenti karena tak ada bahan bakar minyak.

Tak bisa dibayangkan berapa miliar pekerja yang mendadak menjadi pengangguran.
Lantas, bagaimana caranya agar mobilitas sebagai faktor penggerak penting kehidupan masyarakat modern bisa terus dipertahankan atau bahkan ditingkatkan. Tantangan ini yang dicari jawabannya dalam Challenge Bibendum Shanghai 2007, yang berlangsung 14-17 November 2007 di Shanghai, China. Acara ini digelar untuk yang kesembilan kalinya sejak 1998 dan untuk kedua kalinya di Shanghai.

Gerakan penyadaran

Menurut David Pirret, Wakil Direktur Utama Shell Lubricants, salah satu anak perusahaan Shell International Petroleum Company Ltd, Challenge Bibendum merupakan sebuah gerakan penyadaran bersama dari pemain otomotif DUNIA. Mereka antara lain pabrik kendaraan, rekanan teknis, pemasok energi, dan lembaga penelitian. Inisiatif gerakan ini datang dari produsen ban ternama, Michelin.

Tujuan gerakan ini antara lain bagaimana menyadarkan warga dunia agar mau menggunakan teknologi kendaraan dan energi tercanggih agar tercapai penggunaan bahan bakar yang efisien, ramah lingkungan dan aman.

Shell sebagai bagian dari pemain otomotif dunia, khususnya sebagai pemasok energi dan pelumas, amat menyadari pentingnya pasokan energi yang berdampak rendah pada emisi gas buang. "Shell menyadari bahwa perseteruan antara kebutuhan energi untuk mendukung mobilitas dan bahaya yang ditimbulkannya bakal terjadi di planet ini," kata David, di Shanghai.
Apa yang dikatakan David mengenai penggunaan minyak fosil berdampak pada perubahan iklim global benar adanya. Setidaknya penelitian dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang dirilis Februari 2007 menunjukkan bahwa Bumi semakin memanas.

Sepanjang abad 20, suhu Bumi naik 0,7 derajat Celsius. Apabila manajemen pengelolaan lingkungan, pencemaran udara, dan emisi gas buang tidak bisa ditekan, kondisi akan lebih buruk lagi. Setidaknya akan ada penambahan suhu Bumi 0,2 derajat Celsius tiap dasawarsa.

Naiknya suhu Bumi berdampak serius pada iklim global. Iklim amat dipengaruhi suhu panas Bumi sebagai akibat perubahan tekanan udara, yang menyebabkan terjadinya arus angin. Iklim yang berubah memengaruhi produksi pertanian, karena sektor pertanian amat bergantung pada kondisi iklim di suatu kawasan.

Upaya yang paling mungkin dilakukan adalah menjaga populasi warga dunia dan menetapkan pilihan yang tepat dalam penggunaan teknologi, seperti penggunaan bahan bakar batu bara, minyak fosil, dan pengembangan energi nuklir, atau penggunaan energi dari bahan bakar nabati yang dapat diperbarui.

Dampak perubahan iklim global akan sangat merepotkan negara-negara di DUNIA. Australia, misalnya, akan mengalami masa kekeringan, dan ini mengancam hasil pertanian mereka seperti peternakan sapi perah dan sapi potong. Dampak kekeringan di Australia tahun 2006 menyebabkan kenaikan harga susu bubuk hingga lebih dari 10 persen Harga gandum melonjak, begitu pula daging sapi.

Negara-negara di Eropa juga akan mengalami masalah serius akibat berubahnya iklim global. Hujan akan banyak turun di wilayah utara Eropa, sementara di belahan selatan akan terjadi kekeringan. Kondisi ini akan memicu pencairan es dan berdampak pada berkurangnya kunjungan wisatawan pada musim dingin.

Afrika juga akan mengalami ancaman kelaparan, bencana erosi dan banjir sehingga kondisi negara-negara di Afrika bakal makin buruk. Amerika Selatan pun tak lepas dari ancaman banjir, sementara produk pertanian di kawasan Amerika Utara bakal terganggu.

Indonesia juga tak bisa menghindar dari pengaruh perubahan iklim global. Buktinya, pada akhir 2006 kemarau panjang melanda sebagian besar wilayah Indonesia. Akibatnya, produksi beras jatuh, harga beras melonjak, dan masyarakat pun menjerit.

Daya beli yang tetap sementara harga komoditas pertanian cenderung meningkat, akibat permintaan dan penawaran tidak seimbang secara permanen dan terus-menerus, akan menyebabkan kualitas hidup warga Indonesia merosot.

Perubahan iklim global yang ditandai dengan peningkatan suhu Bumi memiliki dampak ekonomi dunia yang serius. Nicholas Stern, mantan ekonom dari Bank Dunia seperti dikutip Research Eu, sebuah majalah penelitian di Eropa, mengungkapkan bahwa perubahan iklim global akan memakan biaya 5.500 miliar euro pada tahun 2050.
Biaya

Biaya yang harus ditanggung sebagai dampak berubahnya iklim global itu melebihi biaya akibat Perang Dunia II. "Dengan catatan, ongkos perubahan iklim yang besar terjadi bila warga dunia tidak melakukan tindakan pencegahan apa-apa," katanya.

Lalu, siapa yang harus menanggung beban biaya yang amat besar itu। Jawabannya, seluruh warga dunia. Dampak perubahan iklim akan mengimbas seluruh negara di dunia. Negara miskin akan semakin miskin karena kalah bersaing dalam memperebutkan minyak dunia. Negara berkembang akan menanggung beban pengangguran yang makin membengkak akibat lemahnya perputaran roda ekonomi.

Daya beli masyarakat juga bakal merosot tajam karena semua produk untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari menjadi amat mahal. Untuk mengantisipasi itu, Uni Eropa telah mengalokasikan anggaran 50,5 miliar euro dalam kurun 2007-2013. Mereka berkonsentrasi pada program tujuh kerangka kerja atau Seventh Framework Programme yang dikenal dengan istilah FP7, yang fokusnya pada pembangunan, penelitian, dan teknologi.

Dari anggaran tersebut, 32 miliar euro di antaranya untuk mendukung penelitian, yang meliputi 10 bidang, yaitu kesehatan; pangan, pertanian, dan bioteknologi; teknologi informasi dan komunikasi; nanosciences, nanotechnologies, materials and new production technologies; energi; lingkungan meliputi perubahan iklim; transportasi; pengetahuan sosial-ekonomi dan kemanusiaan; ruang; dan masalah keamanan.

Juga disediakan anggaran 7,4 miliar euro untuk pembuatan ide cemerlang untuk landasan. Selain itu, 4,7 miliar euro untuk kegiatan ilmiah dan 4,2 miliar euro untuk kegiatan ilmuwan. Sementara 2,4 miliar euro untuk jaminan kebutuhan energi pada masa mendatang.

China sebagai negara yang sedang tumbuh pesat juga tak mau ketinggalan. Pekan lalu mereka membangun stasiun bahan bakar hidrogen sebagai upaya untuk menekan emisi gas buang. Maklum, pembangunan industri yang pesat di China menyumbang polusi udara yang hebat. Indonesia tentu juga bergiat menekan pencemaran udara. Misalnya dengan berkomitmen melakukan revitalisasi kehutanan. Indonesia sebagai negara yang memiliki hutan terbesar kedua di dunia, selama ini menjadi penyumbang oksigen yang besar untuk dunia.

Bagaimanapun, setiap negara harus berperan aktif untuk menekan penggunaan energi berbahan bakar minyak fosil. Caranya dengan sedini mungkin melakukan tindakan nyata dengan mengonversi energi fosil ke bahan bakar nabati. Kalau tidak, dunia yang sedang lapar energi ini bakal menyulitkan kita.

Sumber :
http://www.kompas.com/
Sabtu, 24 November 2007