Selasa, Januari 29, 2008

Surat Terbuka untuk Gubernur Foke

Surat Terbuka untuk Gubernur Foke


Oleh : Tulus Abadi

Eric Penalosa, mantan Wali Kota Bogota, Kolombia, dalam sebuah seminar di Jakarta, melontarkan kritik keras soal kondisi Kota Jakarta. Menurut dia, Jakarta tak ubahnya sebuah kota yang sakit. Kondisi itu bukan karena Jakarta sedang dilanda wabah demam berdarah atau flu burung, melainkan karena Jakarta terlalu banyak dipenuhi mal dan pusat belanja. Sebaliknya, di Jakarta sangat minim tempat yang bisa dijadikan publik untuk berkumpul secara bebas (public space). Fakta ini sungguh paradoks, karena bagi mantan gubernur Sutiyoso, banyaknya mal dan pusat belanja justru diklaim sebagai sebuah prestasi yang membanggakan dalam membangun Jakarta sebagai kota supermodern. Target Sutiyoso, Jakarta harus memiliki 200 mal dan pusat belanja, sebagaimana di negeri jiran, Singapura.

Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan Sutiyoso yang berkiblat ke Singapura untuk urusan mal dan pusat belanja. Tapi seharusnya Sutiyoso tidak hanya mengadopsi sisi komersial dari negeri kecil itu. Sebab, selain marak mal dan pusat belanja, Singapura mengembangkan public space secara proporsional. Ini yang tidak diadopsi oleh Sutiyoso.

Relevan dengan situasi tersebut, Fauzi Bowo (Foke), yang baru saja dilantik menjadi orang nomor wahid di Jakarta, menetapkan menyembuhkan penyakit kronis Kota Jakarta sebagai agenda utama. Pasalnya, senapas dengan Eric Penalosa, yang sukses menjadikan Bogota sebagai kota manusiawi (human city) berkat kepemimpinan politik (political leadership) yang kuat, yaitu setelah mengantongi kemenangan 60 persen suara via pemilihan umum langsung. Dengan modal politik inilah Penalosa mendapat kepercayaan dan dukungan publik untuk membongkar ulang tata kotanya. Analog dengan Penalosa, kini modal politik itu juga dimiliki oleh Fauzi Bowo, setelah meraup suara 57,78 persen suara dalam pemilihan kepala daerah yang lalu. Artinya, sebagaimana Penalosa, Foke juga mengantongi kepercayaan publik yang cukup kuat untuk "mendaur ulang" pola manajemen tata Kota Jakarta. Foke tidak perlu gamang menganulir rencana kebijakan Sutiyoso yang tidak sejalan dengan aspirasi publik dan tata pengelolaan kota yang berkelanjutan.

Isu ini harus digelorakan karena, jika hanya mengacu pada janji Foke dalam masa kampanye yang lalu, sepertinya tidak akan ada gebrakan radikal ala Penalosa. Via iklan politik "Solusi Fauzi Bowo untuk Jakarta" (Kompas, Sabtu, 4 Agustus), Foke hanya berfokus pada tiga kasus utama. Pertama, untuk mengatasi banjir, dia akan mempercepat penyelesaian Kanal Banjir Timur serta normalisasi Kanal Banjir Barat dan kali-kali yang melintasi Jakarta. Kedua, untuk mengatasi kemacetan, dia akan mempercepat ketersediaan transportasi massal dengan kapasitas yang besar dan kualitas yang prima, antara lain busway dan subway yang mampu mengangkut 60 ribu penumpang per jam. Dan ketiga, dalam hal pendidikan, dia akan menyiapkan program prioritas untuk penuntasan wajib belajar 12 tahun, peningkatan mutu lulusan sekolah dasar/sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas/sekolah menengah kejuruan (standar internasional) serta meningkatkan kompetensi guru (standar Asia).

Jika hanya mendasarkan pada tiga program itu--sebagaimana yang tertuang dalam iklan politik, hakulyakin Foke tidak akan dikenang publik sebagai gubernur yang "menyejarah". Sekalipun busway, monorel, subway, serta percepatan pembangunan Kanal Banjir Barat/Timur sukses, warga Jakarta akan mencatat bahwa itu "karya" Sutiyoso.

Banjir dan kemacetan lalu lintas jelas merupakan "megakasus" yang harus mendapatkan prioritas tertinggi untuk segera dibereskan. Persoalannya, penyakit kronis Kota Jakarta bukan hanya itu: bukan hanya banjir dan macet an sich! Masih ada sederet penyakit kronis lain--yang secara sosio-kultural akan menjadi bom waktu yang tidak kalah mengerikan ketimbang "megabanjir" dan "megamacet". Sebagaimana Jakarta menyontek bus rapid transit ala Transmilenio Bogota, seharusnya Fauzi Bowo juga mengadopsi gerakan radikal ala Penalosa.

Apa sajakah gerakan radikal Penalosa dalam memanusiawikan Kota Bogota yang semula terkenal barbar? Salah satunya membangun tempat-tempat publik secara meluas. Di Bogota, taman-taman kota terbentang begitu luas. Dengan taman kota itu, warga kota dapat secara leluasa bercengkerama dengan keluarga dan kerabat, berolahraga, serta aktivitas lainnya. Karena itu, tidak ada jalan bagi Fauzi Bowo untuk menganulir "nafsu" Sutiyoso agar Jakarta memiliki 200 mal dan pusat belanja. Caranya?

Pertama, Fauzi Bowo harus berani me-replace dengan memperbanyak pembangunan tempat publik yang nir-komersialisme, seperti tempat bermain, taman kota, dan lapangan untuk berolahraga. Minimnya tempat-tempat publik di Jakarta mengakibatkan warga Jakarta tidak kreatif, bahkan destruktif. Tingginya angka kriminalitas di Jakarta bukan hanya dipicu oleh faktor ekonomi dan kemelaratan, melainkan lebih karena tata ruang kota yang tidak familiar bagi warga Jakarta. Terbukti, ketika Penalosa menata ulang kotanya, angka kriminalitas di Bogota turun secara dramatis, 60 persen!

Saat ini jumlah mal dan pusat belanja di Jakarta yang sudah oversupply bukan hanya berdampak terhadap persaingan yang tidak sehat antarmal, melainkan juga menjadi "mesin pembunuh" bagi eksistensi pasar tradisional dan usaha mikro lainnya. Lebih dari itu, maraknya mal dan pusat belanja juga memicu perilaku konsumtivisme warga Jakarta. Dalam konteks agama (Islam), menjadikan mal dan pusat belanja sebagai center of activity sejatinya merupakan perbuatan yang tidak dianjurkan, bahkan harus dihindari. Rasulullah SAW menegaskan bahwa pasar (baca: mal dan pusat belanja) merupakan pusat segala kemaksiatan, karena di pasarlah terjadi aksi tipu-menipu dan penindasan manusia atas manusia (exploitation de l'home par l'home).

Kedua, mengembalikan fungsi tempat-tempat publik yang sudah ada, tapi direduksi untuk kepentingan komersial dan kepentingan lain yang menyimpang. Contohnya, jalan raya dan trotoar. Kedua wahana untuk aktivitas publik ini kini berubah menjadi "pasar". Menjadikan jalan raya dan trotoar untuk kepentingan komersial, apa pun alasannya, merupakan pengambilalihan hak-hak publik secara nyata. Apalagi luas ruas jalan di Jakarta masih sangat minim, hanya berkisar 8 persen dari total luas wilayah. Bandingkan dengan Singapura, yang luas ruas jalannya mencapai 15 persen dari total luas wilayah.

Ketiga, mengembalikan area ruang terbuka hijau (RTH) yang kini telah disulap menjadi sarana komersial. RTH Jakarta yang kini tinggal 9,7 persen harus dinormalisasi menjadi minimal 27 persen dari total luas wilayah Jakarta. Luas area RTH yang memadai, selain akan menjadi sumber resapan air tanah, akan menjadi "tempat bermain" warga kota, tanpa harus dijejali dengan kepentingan komersial. Tempat-tempat komersial, yang secara telanjang melanggar prinsip-prinsip RTH, harus dihijaukan kembali.

Pada akhirnya, Fauzi Bowo tidak akan mampu menyembuhkan penyakit Kota Jakarta jika hanya berkutat pada persoalan banjir, kemacetan, dan pendidikan. Keberadaan tempat-tempat publik yang proporsional, dari dimensi apa pun--budaya, sosial, psikologi, bahkan agama--merupakan suatu keharusan. Rujuklah tesis cendekiawan muslim kawakan Ibnu Khaldun dalam bukunya, Mukaddimah, bahwa salah satu ciri kota beradab adalah adanya tempat yang luas untuk berkumpul warganya. Ayo, Bang Foke, jangan gadaikan Jakarta hanya untuk kepentingan materialisme. Lakukan terobosan radikal ala Penalosa untuk melakukan face off (operasi total wajah) Jakarta sebagai kota sakit menjadi kota manusiawi bagi warganya. Ayo, Bang Foke, Anda bisa!

Tulus Abadi, ANGGOTA PENGURUS HARIAN YAYASAN LEMBAGA KONSUMEN INDONESIA

Illegal Logging dan Pencucian Uang

Illegal Logging dan Pencucian Uang


Oleh : Khudori

Lebih dari sepekan berita utama media massa terus mengulas bebasnya terdakwa Adelin Lis dari jerat hukum pembalakan liar (illegal logging). Tak hanya lima hakim Pengadilan Negeri Medan, Menteri Kehutanan M.S. Kaban--yang dinilai mengintervensi pengadilan--juga jadi sasaran hujatan publik. Kaban dinilai gegabah, bahkan dituding mendukung illegal logging, salah satu kejahatan yang diperangi Kabinet Indonesia Bersatu.

Ini mudah dipahami. Selama ini yang diseret ke meja hijau dalam kasus illegal logging cuma para kroco. Adelin Lis adalah pelaku kakap. Perlu berbulan-bulan untuk mengendus. Begitu ditangkap, ia juga harus diekstradisi dari luar negeri. Adelin diduga membalak hutan hingga merugikan negara puluhan triliun rupiah. Karena itu, tuntutan kepada Adelin tergolong berat: penjara 10 tahun, denda Rp 1 miliar, subsider 6 bulan, dan wajib membayar ganti rugi dana provisi Rp 119,8 miliar plus dana reboisasi US$ 2,9 juta.

Sebetulnya, banyak terdakwa pembalak liar yang divonis bebas. Hingga Mei 2007, dari 116 perkara hasil Operasi Hutan Lestari II di Papua, 29 perkara telah divonis. Dari jumlah itu, 17 di antaranya divonis bebas murni. Sisanya divonis ringan: 2-2,5 bulan penjara. Data Indonesian Center for Environmental Law berbicara sama: dari 155 kasus illegal logging yang disidik Kepolisian RI pada 2005, hanya 10 kasus yang dapat diseret ke pengadilan. Ironisnya, 9 dari 10 perkara itu di antaranya divonis bebas murni.

Kegagalan ini membuat sinisme publik atas keseriusan memberantas pembalakan liar kian mengental. Di depan pembalak liar, hukum tumpul dan tak bertaji. Kegagalan ini menggenapi cerita sedih sebelumnya: kegagalan menekan illegal logging via pendekatan kayu. Padahal, dari sisi instrumen preventif, sebetulnya sudah ada banyak infrastruktur.

Pertama, dari sisi legal ada Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005 yang menugasi 18 instansi memberantas illegal logging. Kedua, untuk menegakkan inpres, digelar operasi terintegrasi dan lintas instansi-sektoral bernama Operasi Wanalaga dan Operasi Wanabahari. Ketiga, di tingkat dunia, Indonesia mengikatkan diri pada Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT): kerja sama multilateral memerangi illegal logging. Untuk maksud yang sama, ada kerja sama bilateral dengan Inggris, Cina, Jepang, dan Korea Selatan.

Tapi semua itu tidak efektif menekan laju pencurian kayu. Dari aspek legalitas, amat mudah mengenali kayu ilegal atau bukan, yaitu dari ada-tidaknya surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH). Tapi kayu yang tanpa SKSHH pun lolos melewati puluhan pos pemeriksaan. Kayu itu lalu dikirim ke Jawa, Malaysia, Singapura, dan Cina. Di negara-negara itu, kayu ilegal segera di-legalize menjadi kayu legal. Meskipun anggota FLEGT, banyak negara tetap menerima kayu yang tidak diaudit dan disertifikasi. Kepentingan ekonomi sebuah negara akhirnya mengalahkan kesepakatan multilateral.

Fakta di atas mengarah pada satu titik: menekan illegal logging via pendekatan kayu dan hukum terbukti belum efektif. Yang dicokok baru sopir truk/boat, penebang kayu, atau manajer operasional perusahaan. Sedangkan capital provider (cukong) bebas. Cara preventif dan represif illegal logging dengan mengikuti gerakan kayu memerlukan sumber daya manusia dan dana yang besar. Makanya, harus dicari cara baru yang lebih efektif. Salah satu yang bisa dicoba adalah pendekatan keuangan (financial measures).

Dari sisi institusional, selain Bank Indonesia, sudah ada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dari sisi legal, BI telah mensyaratkan prinsip Know Your Customer, yang mengharuskan perbankan mengenali nasabahnya. Jika ada transaksi di atas Rp 100 juta sehari, nasabah harus menjelaskan asal-usul uang. Juga ada UU Nomor 5 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang memungkinkan menjerat illegal logging sebagai tindak pidana.

Artinya, pendekatan anti-money laundering regime untuk menekan laju illegal logging sangat terbuka diterapkan. Seperti luas diketahui, saat ini industri kayu domestik mengonsumsi sekitar 70 juta meter kubik kayu. Dari jumlah itu, sekitar 60-80 persen berasal dari kayu ilegal (CIFOR, 2003). Ditengarai, uang hasil curian tersebut masuk ke industri perbankan. Padahal uang tersebut berasal dari aktivitas ilegal. Pertanyaannya, bagaimana cara mengidentifikasinya? Adakah cara yang bisa digunakan mengenalinya?

Di sini dituntut peran aktif Bank Indonesia, PPATK, dan KPK. Ketiga lembaga itu harus bekerja sama memerangi money laundering. Caranya, PPATK bisa memulai membuat peraturan yang mewajibkan lembaga penyedia jasa keuangan (bank, pasar modal, asuransi, dan money changer) membuat laporan rutin tentang transaksi-transaksi yang dicurigai. Langkah ini harus diikuti dengan penerbitan pedoman bagaimana perbankan bisa mengenali transaksi hasil illegal logging. Pada tahap awal, langkah ini akan terbantu bila PPATK membuat semacam risk profile: high risk country, location, and customer.

Singapura, Malaysia, dan Cina merupakan penadah kayu ilegal asal Indonesia. Ketiga negara itu bisa dimasukkan dalam high risk country. BI sebagai regulator perbankan bisa saja menerbitkan ketentuan bahwa semua transaksi dari dan ke tiga negara itu termasuk berisiko tinggi. Dengan ketentuan ini perbankan nasional tidak akan sembarangan bertransaksi. Tapi transaksi harus dilacak sampai asal-muasal sumber uang. Dengan ketentuan ini, PPATK bisa mewajibkan perbankan nasional membekukan transaksi, bahkan aset, sampai kemudian diketahui benar pihak yang dicurigai.

Berikutnya bisa disusun high risk location. Riau, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Papua, dan daerah lain yang jadi tempat keluar-masuk kayu ilegal bisa masuk daftar ini. Atas semua transaksi lewat wilayah ini harus ada warning untuk dilakukan extended due diligence. Lalu, menyusun high risk customer. Untuk menyusun ini harus mengenal tipologi korupsi di sektor kehutanan. Dari tipologi itu baru bisa disusun siapa saja yang menyokong illegal logging, termasuk capital provider.

Jika langkah ini bisa dilakukan, penulis yakin pendekatan financial measures ini lebih manjur dibanding non-financial measures. Para pelaku illegal logging akan kapok karena uang hasil mencuri ternyata tidak bisa dinikmati. Pendekatan ini pun tampak lebih realistis. Makanya, mengapa tidak kita coba. Ingatlah, tanpa upaya serius menekan illegal logging, kemungkinan besar hutan kita akan habis lima tahun lagi.

Khudori, pemerhati masalah sosial-ekonomi pertanian.

Harapan Baru Mengatasi Perubahan Iklim

Harapan Baru Mengatasi Perubahan Iklim

Oleh : Jeffrey D. Sachs

Dunia telah mengambil langkah penting guna mengendalikan perubahan iklim dengan Program Aksi Bali yang disepakati pada konferensi global yang dilangsungkan di Indonesia pada Desember 2007. Program ini mungkin kelihatannya biasa-biasa saja, karena pada dasarnya ia cuma bertumpu pada bahasan lebih lanjut, bukan pada tindakan yang pasti, tapi saya tetap optimistis karena tiga alasan.

Pertama, dunia sudah cukup bersatu sehingga berhasil memaksa Amerika Serikat mengakhiri kekerasan hatinya. Kedua, peta dunia ini menandai keseimbangan pertimbangan yang sehat. Dan ketiga, solusi yang realistis mungkin bisa diperoleh, solusi yang memungkinkan pembangunan ekonomi digabungkan dengan pengendalian emisi gas rumah kaca.

Langkah pertama yang diambil di Bali adalah mendobrak kebuntuan yang melumpuhkan respons global terhadap perubahan iklim sejak Protokol Kyoto sepuluh tahun yang lalu. Kali ini dunia bersatu, bahkan memperolok ketua delegasi Amerika sehingga mengubah pendiriannya dan sepakat menandatangani Program Aksi Bali. Begitu juga keengganan negara-negara berkembang utama, seperti Cina dan India, ikut serta dalam program tampaknya akan berakhir, walaupun banyak yang masih harus dikerjakan dalam merancang suatu kesepakatan global yang disetujui baik oleh negara-negara kaya maupun negara-negara miskin.

Untuk itu, perlu keseimbangan antara berbagai keprihatinan yang ada. Pertama, kita harus menstabilkan gas rumah kaca guna menghindari bahaya campur tangan manusia dalam sistem iklim--tujuan utama Konvensi Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim, yang merupakan traktat global yang menjadi dasar negosiasi di Bali. Kedua, kita harus mencapai semua ini seraya membuka ruang bagi percepatan pembangunan ekonomi dan pengentasan masyarakat miskin. Negara-negara miskin tidak akan menerima suatu sistem kontrol iklim yang melanggengkan kehidupan mereka dalam kemiskinan. Ketiga, kita harus membantu semua negara beradaptasi dengan perubahan iklim yang sudah terjadi dan yang akan makin parah di masa depan.

Program Aksi Bali menyentuh ketiga keprihatinan ini. Poin utama program ini adalah membentuk suatu kelompok kerja ad hoc guna tercapainya kesepakatan global yang terperinci menjelang 2009, yang akan menetapkan komitmen yang "bisa diukur, bisa dilaporkan, dan bisa diverifikasi" dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Komitmen semacam ini akan dilaksanakan dalam konteks "pembangunan berkelanjutan", artinya bahwa "pembangunan ekonomi dan sosial serta pengentasan masyarakat miskin merupakan prioritas global". Program Aksi Bali juga menyerukan alih pengetahuan agar negara-negara miskin mampu mengadopsi teknologi yang sehat lingkungan.Pertanyaannya, sudah tentu, apakah stabilisasi gas rumah kaca, kelanjutan pembangunan ekonomi, dan adaptasi perubahan iklim bisa dicapai secara serentak? Dengan menggunakan teknologi yang ada sekarang, tidak; tapi jika kita berhasil mengembangkan dan dengan cepat mengadopsi teknologi baru yang berada dalam jangkauan ilmiah kita, ya.

Tantangan paling besar adalah mengurangi dan akhirnya mengakhiri emisi karbon dioksida dari penggunaan bahan bakar fosil, seperti minyak bumi, gas alam, dan batu bara. Bahan-bahan bakar ini berada di jantung ekonomi modern dunia, yang merupakan sumber sekitar empat perlima dari total energi komersial di dunia. Emisi karbon dioksida ini bisa diakhiri jika kita bergeser ke bentuk energi yang terbarukan atau mengurangi emisi bahan bakar fosil.

Patut diketahui bahwa sekitar 75 persen bahan bakar fosil yang digunakan di dunia dihabiskan hanya untuk menghasilkan listrik dan panas pada pembangkit tenaga serta untuk menggerakkan mobil, menghangati gedung-gedung, dan menggerakkan industri, seperti kilang minyak, petrokimia, semen, dan baja. Kita perlu teknologi yang sehat lingkungan pada setiap sektor ini.Misalnya, pembangkit tenaga listrik bisa menggunakan energi matahari atau menangkap dan dengan aman membuang karbon dioksida yang selama ini dihasilkannya dengan bahan bakar fosil--seperti juga yang bisa dilakukan industri besar. Mobil bisa direkayasa supaya mampu menempuh jarak yang lebih jauh melalui teknologi hybrid, yang menggabungkan energi baterai dan energi bensin. Gedung-gedung bisa mengurangi kebutuhannya akan penghangatan melalui penyekatan panas yang lebih baik atau melalui konversi minyak bakar ke listrik yang dihasilkan teknologi yang bersih.

Menurut perhitungan ekonomi dan rekayasa terbaik, bila setiap sektor ekonomi yang utama berhasil mengembangkan dan mengadopsi teknologi sehat lingkungan pada dekade yang akan datang, dunia akan mampu mengurangi emisi karbon secara dramatis dengan biaya yang kurang dari 1 persen dari pendapatan tahunan secara global, dan dengan demikian menghindari kerusakan jangka panjang yang menelan biaya yang lebih besar. Dengan kata lain, dunia bisa menggabungkan pertumbuhan ekonomi dengan pengurangan emisi karbon dioksida. Dan negara-negara kaya akan mampu membantu negara-negara miskin membayar harga teknologi yang baru dan lebih bersih.

Untuk mencapai kesepakatan sebelum 2009, kita harus melangkah keluar dari pertengkaran antara negara-negara kaya dan negara-negara miskin mengenai siapa yang harus disalahkan atas terjadinya perubahan iklim dan siapa yang harus membayar harganya. Kita perlu suatu program yang benar-benar global yang memerinci bagaimana teknologi baru ini dikembangkan, diuji, dan diadopsi dengan cepat di seluruh dunia. Kita harus memastikan semua negara mengadopsi teknologi yang sehat lingkungan dalam suatu strategi yang bisa diverifikasi dan bahwa negara-negara kaya memenuhi janji yang tercantum dalam Program Aksi Bali untuk memberikan "insentif finansial serta insentif lainnya" kepada negara-negara miskin yang mengadopsi teknologi baru itu.

Dengan begitu banyaknya krisis yang melanda dunia, mungkin timbul sinisme bahwa konferensi global pun tidak akan berbuat banyak kecuali terus terjebak dalam perdebatan. Tapi marilah kita melihat pesan positifnya saja: 190 negara sepakat dengan suatu program yang masuk akal ini dan adanya teknologi yang mendasarinya memberi harapan yang realistis akan tercapainya apa yang dijanjikannya.Kerja berat dan sulit menanti di depan mata, tapi situasinya sekarang lebih baik berkat konferensi yang dilangsungkan di Bali itu. Sekaranglah waktunya kita menyingsingkan lengan baju dan mencapai apa yang telah kita janjikan akan dilakukan.

*) Jeffrey D. Sachs, Profesor ekonomi dan Direktur Earth Institute pada Columbia University. Hak cipta: Project Syndicate, 2008

Sumber :
http://www.tempointeraktif.com/hg/khusus/kolom/?case=detail&gNumber=115870
21 Januari 2008

Moyang Ayam adalah Ayah Hutan Merah

Moyang Ayam adalah Ayah Hutan Merah

JAKARTA—MEDIA : Hasil penelitian DNA molekuler menemukan bahwa Ayam domestikasi berasal dari satu moyang (monophyletic), yaitu spesies Ayam hutan merah (Gallus gallus). "Hasil analisis ini juga menunjukkan bahwa Indonesia adalah salah satu dari tiga wilayah yang dinyatakan sebagai pusat domestikasi ayam pertama kali di dunia selain di China dan India," kata Peneliti Lab DNA Puslit Biologi LIPI Dr Sri Sulandari, yang dihubungi di Jakarta, Selasa.

Ia mengatakan, melalui analisis DNA semua rumpun ayam di dunia telah dibuat pohon pilogeninya dan mengelompokkan rumpun ayam di dunia menjadi tujuh clade, terdiri dari clade I, II, IIIa, IIIb, IIIc,IIId, IV. Dikatakannya, ayam termasuk kelas Aves, ordo Galliformes, famili Phasianidae dan genus Gallus. Ayam yang selama ini telah dipelihara secara luas termasuk dalam spesies Gallus galus yang telah didomestikasi dan dinamakan Gallus gallus domesticus. Spesies lain yang masih hidup liar di hutan dari genus Gallus gallus termasuk dalam Red jungle fowl yang sebarannya meliputi China, India dan Asia Tenggara.

Sedangkan Gallus varius (Green jungle fowl) distribusinya meliputi Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores dan pulau kecil disekitarnya, Gallus lafayettii (Sri lanka Jungle fowl) distribusinya hanya di Sri Lanka, sedangkan Gallus sonneratii (Grey jungle fowl) distribusinya meliputi India bagian Selatan dan Barat.

Perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang genetika molekuler telah membuka cakrawala baru dan banyak digunakan sebagai alat analisis taksonomi yang akurat. Para taksonom pada abad ini telah banyak menggunakan aplikasi teknologi DNA untuk membedakan berbagai spesies hewan serta hubungan kekeluargaan dari suatu spesies dengan spesies lainnya, katanya. "Dari analisis ini antara Ayam domestikasi dengan Ayam hutan merah (Gallus gallus) terlihat hubungan kekerabatan lebih jelas, yaitu Ayam hutan merah berada di lingkaran besar Ayam domestikasi," katanya. (Ant/OL-06)

Sumber :
http://www.mediaindonesia.com
23 Januari 2008

Rehabiltasi Hutan di Sumsel Gagal

Rehabiltasi Hutan di Sumsel Gagal


PALEMBANG --- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatra Selatan (Sumsel) menilai Pemerintah Provinsi Sumsel gagal dan tidak mempunyai perhatian serius terhadap pelaksanaan gerakan rehabilitasi hutan (Gerhan) di daerah ini. Menurut Direktur Walhi Sumsel Sri Lestari, program rehabilitasi hutan di Sumsel hanya berjalan 50 persen.

''Pemprov Sumsel belum memiliki perhatian serius terhadap rehabilitasi kerusakan hutan di daerah ini yang kerusakan hutannya sudah sangat parah. Selama ini alokasi dana penghijauan selalu datang dari pusat,'' katanya, Ahad (20/1). Dalam refleksi akhir tahun Walhi Sumsel, Sri Lestari juga membeberkan ketidakseriusan Pemerintah Provinsi Sumsel dalam rehabilitasi hutan yang tercermin dari APBD yang diajukan setiap tahunnya kepada DPR. Menurutnya, belum ada yang menyentuh sektor penghijauan kembali hutan-hutan di Sumsel yang menggundul.

Memang, ungkapnya, ada beberapa program dan dana pendukungnya untuk mengatasi permasalahan tersebut. Namun, semuanya berasal dari pemerintah pusat, seperti program gerakan rehabilitasi hutan. ''Karena program tersebut berasal dari pusat, sehingga keberhasilannya pun masih dipertanyakan. Sebab pelaksanaan program tersebut memiliki metode yang terkesan dipaksakan oleh pemerintah pusat,'' ujarnya.

Dari hasil pemantauan Walhi terhadap Program Gerhan di Sumsel, LSM lingkungan tersebut menemukan pelaksanaan Program Gerhan di Sumsel hanya 50 persen yang berhasil dan 50 persen lainnya gagal. ''50 persen lebih kegagalan proyek Gerhan terutama pada hutan-hutan yang letaknya sangat jauh di pelosok, sehingga tidak bisa dipantau Dinas Kehutanan,'' ujarnya.

Kondisi yang ada di Sumsel ini tidak sama dengan kondisi hutan daerah lain di Indonesia. ''Untuk itu, perlu perhatian khusus, terlebih pemerintah daerahnya masing-masing hingga ke tingkat kabupaten dan kota. Jangan sampai proyek tersebut disalahgunakan,'' tambahnya.

Dari catatan Republika ada beberapa proyek Gerhan bermasalah sehingga para pelaksana proyek tersebut terjerat hukum seperti yang terjadi di Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Lahat. Salah satu kasus dugaan penyimpangan dana proyek Gerhan tahun anggaran 2006 terjadi di Lahat. Aparat Kejaksaan Negeri (Kejari) Lahat kini tengah menangani dugaan penyimpangan dana Gerhan sebesar Rp 7.777.718.000. Jaksa telah menetapkan mantan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Lahat HD sebagai tersangka dan menahan tersangka di Lembaga Pemasyaratakan (LP).

Walhi Sumsel juga menengarai 60 persen dari 3,7 juta hektare hutan di Sumsel dalam keadaan rusak. Hutan tersebut rusak karena perambahan dan penebangan liar, serta tingginya laju konversi hutan ke perkebunan sawit di berbagai kawasan konservasi.

Menurut Sri Lestari, selama tahun 2007 di Sumsel masalah lingkungan yang menonjol adalah kerusakan hutan dan bencana banjir. ''Kerusakan tersebut sudah merambah ke sejumlah kawasan konservasi, yakni di Suaka Margasatwa (SM) Bentayan, SM Dangku, SM Gunung Raya, SM Gumay Pasemah, dan SM Isau Isau Pasemah. ''Penyebab kerusakan hutan di Sumsel didominasi oleh aktivitas perambahan, penebangan liar, dan konversi lahan,'' paparnya. n oed

Sumber :
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=320756&kat_id=13
Selasa, 22 Januari 2008

Kalaweit Lepas Enam Ekor Siamang dan Ungko

Kalaweit Lepas Enam Ekor Siamang dan Ungko

Padang (ANTARA News) - Yayasan Kalaweit Sumatera, sebuah LSM penyelamatan Owa, Siamang dan Ungko, pada 17 Juni hingga awal Juli 2007 telah melepas enam ekor Siamang dan Ungko ke Pulau Marak, Kabupaten Pesisir Selatan, guna mempertahankan konservasi satwa langka tersebut.

"Pelepasan satwa langka tersebut dilakukan setelah dikarantina dan di rehabilitasi juga di Pulau Marak. Tindakan ini penting guna membantu regenerasi hutan, jika regenerasi hutan lambat, lama-lama hutan bisa habis," kata Manajer Umum Yayasan Kalaweit Sumatera Asveri Ardiyanto SSi, kepada ANTARA di Padang, Rabu.

Jika populasi Owa, Ungko dan Siamang berkurang, dipastikan fungsi hutan akan berkurang karena `sarana` (Owa dan Siamang) sebagai pendistribusi biji-bijian punah. "Hutan yang kehilangan fungsi hidrologisnya, berdampak terhadap manusia terkait munculnya banjir, longsor dan lahan tandus tidak produktif karena kekurangan air," katanya. Ia menyebutkan, pada Pebruari 2006 Kalaweit sudah melepas sepasang Siamang dan Siamang betinanya melahirkan seekor anak pada 23 Juni 2007. Tiga ekor Siamang itu sudah direhabilitasi di Pulau Marak, Kabupaten Pesisir Selatan. Berikutnya pada 17 Juni 2007, dilepas lagi sepasang Siamang dan seekor anaknya.

Sementara itu, pada 28 Juni 2007, Kalaweit menerima seekor Siamang yang diserahkan secara sukarela oleh aparat polisi yang telah memeliharanya selama lima bulan lebih. "Satwa langka tersebut kini sudah dikarantina dan direhabilitasi di Pulau Marak," katanya dan menambahkan, kegiatan rehabilitasi Ungko dan Siamang hingga awal Juli 2007 sudah mencapai 127 ekor. Ia memperkirakan, sebanyak 50 ekor lebih lagi Siamang dan Ungko masih dipelihara masyarakat.

"Terkait keberadaan 50 ekor siamang dan ungko masih dipelihara masyarakat tersebut, di antaranya di Kota Padang mencapai 10 ekor, Kalaweit belum berniat melakukan operasi untuk menarik satwa itu guna dikarantina," katanya. Upaya penarikan satwa langka dari masyarakat ditunda karena kandang yang tersedia di Pulau Marak masih terbatas sehingga perlu diupayakan pembangunan penambahan kandang lebih dulu, tambahnya.(*)

Sumber :
http://www.antara.co.id/arc/2007/7/4/kalaweit-lepas-enam-ekor-siamang-dan-ungko/
04/07/07 09:03

AS Nilai RI Penuhi Syarat Terapkan UU Konservasi Hutan Tropis

AS Nilai RI Penuhi Syarat Terapkan UU Konservasi Hutan Tropis


Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Amerika Serikat (AS) menyatakan bahwa Indonesia memenuhi syarat untuk turut serta dalam program pengalihan utang untuk konservasi alam (debt-for-nature) guna mendanai usaha konservasi hutan tropis.Kedutaan Besar AS di Jakarta dalam siaran persnya yang diterima ANTARA News, Selasa, mengatakan bahwa di bawah Undang-undang Konservasi Hutan Tropis (Tropical forest consevation Act/TFCA), sejumlah utang luar negeri Indonesia yang memenuhi syarat dapat dikurangi dan dialihkan untuk mendanai program konservasi hutan tropis.

Menteri Kehutanan M.S. Kaban menyambut baik sikap AS tersebut. "Ini merupakan berita baik," kata Kaban dalam pertemuan dengan para diplomat AS di Jakarta, Selasa, seperti dilansir Kedubes AS. Disebutkan, Departemen Keuangan AS akan memberikan alokasi sementara sebesar 9,6 juta dolar AS untuk pengelolaan utang yang memenuhi syarat tersebut. "Pembahasan awal untuk mencapai sebuah kesepakatan diharapkan dimulai pada pekan-pekan mendatang," katanya dan menambahkan, "Jika telah selesai, Indonesia akan menjadi salah satu negara peserta di bawah program TFCA itu. Saat ini, katanya, program TFCA itu telah beranggotakan 11 negara di Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang telah ikut menggambil bagian dalam perjanjian debt-for-nature di bawah TFCA. Menurutnya, perjanjian ini akan menghasilkan lebih dari 135 juta dolar AS untuk pelestarian hutan tropis di negara-negara tersebut selama 10 hingga 25 tahun. Di masa mendatang, program ini akan diperluas mencakup pelestarian terumbu karang yang kerap disebut sebagai "hutan pantai."

Disebutkan, hutan Indonesia dikenal sebagai salah satu hutan yang paling penting dan paling beragam secara hayati di dunia. "Pemerintah AS menyambut baik keikutsertaan Indonesia dalam program penting ini," katanya. (*)

Sumber :
http://www.antara.co.id/arc/2007/7/3/as-nilai-ri-penuhi-syarat-terapkan-uu-konservasi-hutan-tropis/
03/07/07 18:36

Gagak Banggai Ditemukan Kembali

Gagak Banggai Ditemukan Kembali

Jakarta (ANTARA News) - Dua peneliti biologi konservasi dari Perhimpunan Ornitolog Indonesia, Yunus Masala dan Dr Mochamad Indrawan, berhasil menemukan kembali burung Kuyak atau Gagak Banggai (Corvus unicolor) di habitat aslinya, yaitu di Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. Seperti dikutip dari keterangan tertulis Perhimpunan Ornitolog Indonesia yang diterima ANTARA, di Jakarta, Selasa, meski telah dikenal ilmu pengetahun sejak 115 tahun silam, belum pernah ada peneliti yang melihat Gagak Banggai di alam bebas atau dalam keadaan hidup.

Selama ini, keberadaan Gagak banggai hanya diketahui berdasarkan dua spesimen (hasil awetan) di Museum Sejarah Alam Amerika Serikat, di kota New York. Kedua awetan itu berasal dari lokasi yang tidak diketahui di Banggai Kepulauan. Penduduk setempat menjualnya kepada pedagang dari Jerman, Menden, pada tahun 1898. Sayangnya, di Indonesia, di tempat asal burung ini tidak ada satu spesimen pun. Beberapa peneliti mancanegara, termasuk Australia (tahun 1980-an) dan Amerika Serikat (tahun 2005), yang berhasil mencapai Banggai Kepulauan pun tidak pernah berhasil menemukan burung ini.

Itu sebabnya lembaga konservasi dunia (IUCN) memandang burung ini sebagai spesies yang berstatus "kritis", bahkan pada tahun 2006 sempat digolongkan sebagai spesies yang "kemungkinan sudah punah". Masalah dan Indrawan telah melakukan penelitian spesies dan ekosistem alami Banggai Kepulauan sejak tahun 1991.

Akhirnya mereka berhasil menemukan kembali gagak banggai di hutan tropis Pegunungan Peleng yang cukup terjal. Peleng adalah salah satu pulau terbesar di Banggai Kepulauan yang memiliki keanekaragaman hayati darat dan laut berkelas dunia. Presentasi kedua peneliti ini akan disampaikan secara umum di LIPI Biologi, Cibinong, pada Rabu (4 Juli) pukul 09.00 WIB.(*)

Sumber :
http://www.antara.co.id/arc/2007/7/3/gagak-banggai-ditemukan-kembali/
03/07/07 16:26