Jumat, Februari 29, 2008

Ampas Tahu Jadi Biogas

Ampas Tahu Jadi Biogas

Sumidi (45) sibuk memaku sabuk dari ban di tengah suasana bising dan hawa panas pabrik tahu di Dusun Kanoman, Desa Gagaksipat, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Senin (25/2) siang. Sabuk itu adalah salah satu bagian dari alat produksi tahu yang rusak.

Sejurus kemudian sang istri, Wastini (40), melintas. Siang itu ia sudah selesai masak. Ia tidak lagi cemas soal harga minyak tanah yang mahal dan sulit dicari. Wastini sekarang memasak menggunakan gas. Bukan gas hasil pembagian program konversi minyak tanah ke gas, melainkan dihasilkan dari proses pengolahan limbah pembuatan tahu dari pabrik tahu milik suami. Sudah tentu, gratis. ”Biasanya, sehari habis dua liter minyak tanah. Sekarang bisa masak sepuasnya, kapan saja, dengan gas gratis. Uang beli minyak untuk menambah uang jajan anak sekolah,” ungkapnya.

Bukan hanya Wastini yang menikmati gas gratis. Dua rumah tangga lainnya juga menikmati biogas limbah tahu dari pabrik tahu Sumidi. ”Sebenarnya bisa untuk lima rumah. Kalau ada tetangga yang mau pakai gas, kami persilakan. Namun, harus menyediakan sendiri kompor dan pipa penyalur gas,” tutur Sumidi.

Sumidi boleh bersenang hati karena terpilih sebagai penerima bantuan pembuatan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) biogas dari Pemerintah Kabupaten Boyolali. Dengan biaya sekitar Rp 40 juta, di belakang rumahnya dibangun semacam sumur sedalam lima meter dan bangunan bertutup bulat seperti tempurung kelapa yang hampir rata tanah dan berkedalaman dua meter. Instalasi ini untuk mengolah air limbah secara sederhana. Di samping sumur, terdapat pipa penyalur gas yang dihasilkan dari limbah tahu. ”Saya hanya menyediakan tanah 10 x 10 meter persegi untuk tempat instalasi. Sebenarnya ini bisa buat dua pabrik, tetapi karena jarak pabrik berjauhan, sulit dilakukan,” ujar Sumidi.

Perajin tahu lainnya, Budi Amiarso, juga gembira menerima bantuan IPAL biogas lima bulan lalu. Ada lima rumah yang memanfaatkan biogas limbah tahunya untuk memasak dan menyalakan petromaks. ”Biasanya lima liter minyak habis untuk tiga hari. Sekarang 15 hari belum tentu habis,” kata Haryono, kakak Budi yang juga memanfaatkan biogas.

Ia juga memanfaatkan biogas untuk menyalakan petromaks. Namun, petromaks biogas hanya digunakan bila listrik padam. Selain menghasilkan biogas, limbah akhir yang dihasilkan lewat IPAL biogas tidak berbau dan lebih cair. Perajin tahu biasanya membuang limbah pembuatan tahu tanpa diolah ke sungai ataupun ke selokan yang berakhir di persawahan.

Sebenarnya keluhan warga sekitar bukan tidak muncul terhadap limbah tahu yang dibuang begitu saja. Namun, karena sebagian besar warga mendirikan usaha pembuatan tahu, kondisi itu seperti dimaklumi. Sayangnya, teknologi IPAL biogas ini makan biaya besar sehingga sulit dijangkau perajin yang kebanyakan berskala usaha rumah tangga. Padahal, mereka berminat menerapkan model IPAL biogas yang lebih ramah lingkungan dan bermanfaat. (Sri Rejeki)

http://www.kompas.co.id/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.02.27.03472538&channel=2&mn=162&idx=162
Rabu, 27 Februari 2008 03:47 WIB

Tidak ada komentar: