Jumat, Januari 11, 2008

Menhut: Data Walhi Soal Hutan Gundul di Jawa Salah

Menhut: Data Walhi Soal Hutan Gundul di Jawa Salah

LAMONGAN-MEDIA : Menteri Kehutanan MS Kaban membantah keras data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang menyebut sebanyak 600 ribu hektar lahan hutan di Jawa sudah gundul.

"Walhi salah. Walhi tidak punya data, hanya punya ilmu menyalahkan," kata Kaban sebelum memberangkatkan ribuan peserta jalan santai yang digelar GP Ansor, Muslimat NU, Departemen Kehutanan, dan Kodam V Brawijaya, dan Pemerintah Kabupaten Lamongan di Alun Alun Lamongan, Jawa Timur, Minggu. Hadir dalam acara itu Ketua Umum GP Ansor Saifullah Yusuf, Ketua Umum Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa, Pangdam V Brawijaya Mayjen Bambang Suranto, dan Bupati Lamongan Masfuk.

Saat diberi kesempatan berpidato, Khofifah mengajak masyarakat terlibat aktif dalam upaya penghijauan, terutama menanami kembali lahan yang gundul. Mengutip data Walhi, Khofifah menyebut sebanyak 600 ribu hektar lahan hutan di Jawa gundul sehingga menyebabkan rawan bencana. Begitu Khofifah menyelesaikan pidatonya, Kaban langsung mengoreksi pernyataan Khofifah dan menyebut data yang disebutkan Walhi tersebut tidak akurat.

"Di Jawa, lahan hutan yang berada di bawah penguasaan pemerintah tinggal 200 ribu hektar yang belum ditanami yang tahun ini direncanakan untuk ditanami," kata Kaban yang dalam gerak jalan yang menyumbangkan hadiah berumroh bagi dua orang peserta yang nomor undiannya keluar. Sementara itu Saifullah Yusuf yang merupakan pemrakarsa acara gerak jalan santai menjawab pertanyaan wartawan menyatakan, kegiatan tersebut dimaksudkan membangun kebersamaan. "Makanya kita namakan mlaku bareng (jalan bersama, red). Kita berharap semua elemen bangsa untuk jalan bersama untuk membuat negara ini lebih baik," katanya.

Acara mlaku bareng sudah beberapa kali digelar GP Ansor bekerja sama dengan sejumlah pihak, antara lain di Jombang, Kediri, dan Jember. Sejumlah tokoh yang pernah mengikuti acara mlaku bareng antara lain Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional Soetrisno Bachir dan Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X. Usai gerak jalan, Saifullah Yusuf bersama sejumlah pengurus GP Ansor menuju Langitan, Tuban, untuk menyerahkan bantuan bagi korban banjir luapan Sungai Bengawan Solo. (Ant/OL-2)

Sumber :
http://www.mediaindonesia.com/
Kamis, 08 Januari 2008

Permukaan Tanah di Jakarta Turun 10 Centimeter per Tahun

Permukaan Tanah di Jakarta Turun 10 Centimeter per Tahun

Penulis: Sugeng Sumaryadi

BANDUNG--MEDIA: Salah satu penyebab banjir rob di Jakarta adalah turunnya permukaan tanah di wilayah tersebut. Setiap tahunnya, permukaan tanah di Jakarta turun hingga 10 cm, yang membuat posisi daratan lebih rendah dibanding sungai dan laut.

"Akibat pemanfaatan air tanah yang tidak terkenali, menyebabkan muka air tanah di Jakarta terus turun. Penurunan muka air tanah di Jakarta setiap tahun mencapai 1 meter-3 meter, yang berdampak pada penurunan permukaan tanah hingga 10 cm per tahun," tutur Kepala Pusat Lingkungan Geologi Badan Geologi Ahmad Djumarma. Dia memastikan, penurunan muka tanah dan air tanah di Jakarta terjadi merata di semua wilayah, baik di Jakarta Pusat, Barat, timur, selatan maupun utara. Salah satu indikasinya adalah genangan banjir rob yang terus meluas. Selain itu, Djumarma juga melihat intrusi air laut ke daratan juga terus meluas. Saat ini, air laut sudah masuk mencapai 11 Km dari garis pantai.

"Akibatnya bisa sangat parah, yakni air tanah akan bercampur air sungai atau air laut. Di Jakarta Utara, air tanahnya sudah menjadi air payau dan tidak layak dikonsumsi," tandasnya. Selain di Jakarta, penurunan air tanah dan muka tanah juga terjadi di Bandung dan Semarang. Di Bandung, permukaan tanah turun per tahun 1 cm-8 cm akibat muka air tanah yang turun 1 meter-4 meter per tahun. (SG/EM/OL-2)

Sumber :
http://www.mediaindonesia.com/
Kamis, 08 Januari 2008

Pohon Bukan Solusi Perubahan Iklim

Pohon Bukan Solusi Perubahan Iklim

JAKARTA-MEDIA: Apa yang dulu dipandang sebagai solusi buat masalah emisi gas CO2, yakni kemampuan pohon menyerap karbondioksida hasil aktifitas manusia (CO2 antropogenik), kini mulai diragukan ‘keampuhannya’ karena fenomena pemanasan global tetap saja terjadi.

Sebuah penelitian selama 20 tahun yang menganalisa 30 titik di Kutup Utara mendapati bahwa kemampuan pohon menyerap CO2 terus menurun, padahal saat ini berkembang kampanye yang menyebutkan bahwa dengan menanam banyak pohon maka laju perubahan iklim bisa ditekan. Gas karbondioksida yang ditimbulkan oleh aktifitas manusia biasanya diserap oleh pohon dan laut, untuk kemudian dilepaskan pada masa yang akan datang. Tapi ini bukanlah akhir dari siklus karbon. Seperti dikutip dari laman jejaring warta lingkungan hidup www.enn.com, Senin, pohon melepaskan simpanan CO2-nya saat ia membusuk atau terurai. Hal ini kemudian memunculkan siklus karbon.

Temperatur yang semakin tinggi akibat perubahan iklim tidak hanya meningkatkan laju pertumbuhan pohon dan tanaman di seluruh dunia, tapi juga memicu emisi CO2 yang berlebihan. Pohon kemudian berubah peran dari penyerap CO2 menjadi produsen gas karbon lewat proses penguraian yang lazim terjadi pada musim-musim akhir pertumbuhannya. Bukti terbaru yang dikumpulkan dari seluruh dunia menunjukkan bahwa awal musim dingin terjadi mundur dari biasanya, sementara musim panas datang lebih awal. Di Bumi belahan Utara, temperatur pada musim semi dan musim gugur naik sekitar 1,1 dan 0,8 derajat Celsius dalam kurun waktu sekitar 2 dekade terakhir. Ini artinya musim pertumbuhan pohon semakin lama, dan para ahli menduga hal tersebut sebagai hal yang bagus buat menekan laju perubahan iklim.

Bahkan pertambahan pohon di muka Bumi bisa terlihat dari luar angkasa, citra satelit menunjukkan bahwa luasan hijau semakin besar di permukaan Bumi dari masa sebelumnya. Namun demikian, data terbaru menunjukkan bahwa pola berpikir seperti terlalu menyederhanakan masalah.

Sekitar 30 titik pengamatan yang tersebar di Siberia, Alaska, Kanada, dan Eropa diteliti kadar CO2 di lapisan atmosfernya. Yang dikaji bukan cuma CO2 saat proses fotosintesis tapi juga CO2 yang dilepaskan pohon dan mikroba selama proses respirasi. Tim peneliti pun memusatkan penelitiannya pada musim gugur, masa ketika hutan berubah peran dari penyimpan karbon menjadi produsen karbon. Dan ternyata, periode mengurainya pohon datang lebih awal dalam satu tahun, di beberapa tempat menunjukkan awal periode terjadi beberapa hari lebih cepat sementara di tempat lain beberapa pekan lebih cepat dari biasa.

Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa jumlah CO2 di atmosfer bertambah lebih cepat dari perkiraan awal - dengan kata lain laju perubahan iklim akan terus meningkat pada masa mendatang. Menurut Panel Antarpememerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), manusia hanya punya waktu 8 tahun untuk mencegah datangnya efek terburuk dari perubahan iklim. Namun waktu dan bukti-bukti ilmiah haruslah dijadikan umat manusia sebagai panduan untuk bertindak, dan tidak ada kata lain solusinya adalah menurunkan emisi gas rumah kaca, menurunkan emisi CO2. (Ant/OL-03)

Sumber :
http://www.mediaindonesia.com/
Kamis, 08 Januari 2008

Monsanto Khawatirkan Ratifikasi Protokol tentang Keamanan Hayati

Monsanto Khawatirkan Ratifikasi Protokol tentang Keamanan Hayati

Jakarta, Kompas - Pihak Monsanto diliputi kekhawatiran menghadapi rencana Indonesia untuk meratifikasi Protokol Cartagena. Dalam pandangan perusahaan bioteknologi pertanian itu, Indonesia lebih baik menerapkan saja regulasi yang sudah ada ketimbang meratifikasi protokol tentang keamanan hayati itu.

Kekhawatiran pihak Monsanto itu tersirat dari penjelasan Government and Public Affairs Lead PT Monagro Kimia, Edwin S Saragih, dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi I DPR, Rabu (7/7). Monagro Kimia adalah anak perusahaan Monsanto di Indonesia.

"Kami dari Monsanto berpendapat bahwa daripada meratifikasi Protokol Cartagena, kenapa tidak regulasi yang ada sekarang diimplementasikan berdasar fakta dan pertimbangan ilmiah, bukan berdasar praduga akan ketakutan terhadap suatu dampak negatif yang belum tentu terbukti. Dan kami yakin rekan-rekan industri pasti akan berpendapat sama," papar Edwin. Ia menyebutkan, regulasi yang dimaksud antara lain Undang-Undang (UU) Perlindungan Varietas Tanaman dan UU Pangan.

Menurut Direktur Eksekutif Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia (Konphalindo) Tejo W Jatmiko, kekhawatiran Monsanto terhadap ratifikasi Protokol Cartagena sangat beralasan. Sebab, perusahaan yang pernah mengkomersialkan benih ka- pas transgenik di Sulawesi Selatan itu akan menghadapi berbagai ketentuan yang sangat ketat, yang membatasi keleluasaannya memasarkan produk hasil rekayasa genetika di Indonesia.

Terbatas

Tejo menyebutkan empat prinsip dasar Protokol Cartagena yang akan membatasi produsen organisme hidup hasil modifikasi (OHM), yakni prinsip pendekatan kehati-hatian (precautionary approach), partisipasi publik, sosial-ekonomi, serta pertanggungjawaban dan upaya pemulihan.

Berdasarkan prinsip kehati- hatian, menurut Tejo, negara yang telah meratifikasi Protokol Cartagena berhak menolak impor produk rekayasa genetika. Ketiadaan kepastian ilmiah tidak boleh menjadi alasan untuk menunda langkah-langkah yang efektif, demi mencegah kerusakan lingkungan.

Mengenai partisipasi publik, prinsip itu memungkinkan partisipasi semua warga yang memiliki keprihatinan pada tingkat yang relevan. Pada tingkat nasional, setiap individu harus memiliki akses yang sesuai terhadap informasi tentang lingkungan yang disediakan oleh pemegang wewenang, termasuk informasi tentang bahan berbahaya dan kegiatan yang dilakukan komunitas, dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan.

Dalam hal pertimbangan sosial-ekonomi, diatur mengenai kondisi sosial-ekonomi yang timbul sebagai dampak dari OHM terhadap konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati, khususnya menyangkut nilai dari keanekaragaman hayati bagi masyarakat asli dan masyarakat setempat.

Yang paling dikhawatirkan bagi produsen OHM, menurut Tejo, adalah prinsip tanggung jawab dan pemulihan. "Pertanggungjawaban ini yang paling gawat. Sebab, mereka tidak hanya menghadapi tuntutan perdata atau ganti rugi, akan tetapi juga tuntutan pidana," jelas Tejo. (LAM)

Sumber :
http://www.kompas.com
Kamis, 08 Juli 2004

Menjaga Bank Karbon di Lahan Gambut

Menjaga Bank Karbon di Lahan Gambut

Penulis : YUNI IKAWATI

Konferensi tingkat dunia yang membahas perubahan iklim di Bali telah berakhir, Jumat (14/12), tetapi pekerjaan rumah bagi Indonesia belum juga selesai. Belum ada data pasti deposit karbon yang dimilikinya. Padahal, ini menentukan posisi Indonesia dalam peringkat negara pencemar udara dan posisi tawarnya dalam "perdagangan karbon" dengan negara maju.

Sebagai negara pemilik hutan terluas kedua di dunia setelah Brasil, Indonesia tentunya dapat menjadi salah satu tumpuan untuk menyelamatkan bumi ini dari kehancurannya akibat pemanasan global dan penyimpangan iklim.

Karena sumber anomali itu diyakini para ilmuwan dunia akibat dari tingginya emisi gas-gas rumah kaca, yaitu karbon dioksida (CO2di samping klorofluorokarbon (CFC), ozon, metan, dan nitrogen dioksida (NO2) yang terakumulasi dan menutup lapisan atmosfer sehingga panas matahari yang sampai ke permukaan bumi terkurung di lingkungan atmosfer.

Dalam kondisi seimbang, gas karbon yang dilepaskan ke udara sebenarnya dapat diserap oleh pepohonan yang menggunakannya untuk berfotosintesis sehingga jumlahnya di udara dapat berkurang. Namun kawasan hutan yang menjadi paru-paru bumi ini kian menciut luasnya. Jadilah emisi karbon itu terus menumpuk di atmosfer.

Melihat memburuknya kondisi lingkungan bumi ini, perlu upaya konkret dan segera dilakukan oleh seluruh penduduk dunia, termasuk Indonesia. Selain mengurangi pencemaran gas-gas rumah kaca, terutama CO2di atmosfer, menurut Ketua Masyarakat Akunting Sumber Daya Alam dan Lingkungan Indonesia (MASLI) Bambang Setiadi, juga perlu ditempuh pendaurulangan CO2 pengembangan energi tanpa menghasilkan CO2 dan pemanfaatan hutan secara terencana. "Pengurangan emisi karbon juga dapat dilakukan dengan mempertahankan deposit karbon selama mungkin dalam kondisi alaminya," ujar Bambang.

Menurut dia, yang juga Ketua Himpunan Gambut Indonesia, untuk menahan sumber karbon tetap tersimpan di alam, dapat dilakukan tidak hanya dengan mempertahankan hutan, tapi juga hutan gambut dan kubah gambut dari kerusakan dan penyusutan karena pemanfaatan yang berlebihan.

Mempertahankan hutan dan kubah gambut sebagai sumber penyimpan karbon tersebut berarti juga menjaga fungsinya sebagai penyimpan cadangan air. "Air harus tetap menggenangi lahan gambut supaya tidak mengering dan terbakar. Karena dengan begitu, akan melepaskan karbon ke udara," urai Bambang, sebagai pakar gambut dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.

Kasus PLG Kalteng

Di Kalimantan, kawasan yang tidak memiliki pegunungan sebagai penahan air hujan, maka kubah gambut merupakan satu-satunya sumber penahan air hujan di kawasan tersebut. Maka, ketika gambut di proyek lahan gambut (PLG) sejuta hektar di Kalimantan Tengah (Kalteng) rusak, maka terjadi banjir di hilir. Banjir yang bersifat permanen di Kalimantan Selatan merupakan limpasan air dari hutan gambut Kuala Kapuas di Kalteng, yang kini hidrologinya telah rusak parah.

Pangkal penyebabnya adalah kanal di PLG yang dibangun tahun 1996. Jaringan irigasi dan drainase sepanjang empat kali Pulau Jawa atau lebih dari 4.000 kilometer itu merupakan "jalan tol" bagi larinya air ke luar kawasan, terbuang ke laut.

Bila lahan gambut sudah sampai kering, ujar pakar gambut Dr Herwint Simbolon dari Puslit Biologi LIPI, maka kesuburannya tidak dapat kembali seperti sediakala. "Semula lahan gambut ini memiliki daya tampung air sampai 90 persen, sekarang tinggal 40 persen," ungkapnya.

Lebih lanjut, ke dalam pori- pori tanah gambut yang telah kosong itu, oksigen akan masuk dan bersenyawa dengan unsur di dalamnya hingga menyebabkan terurainya karbon. Selain itu, setelah sekian lama lahan itu mengering, bila kembali digenangi air, maka tidak lagi bisa menahan dan menyimpan air karena telah terjadi perubahan struktur lahan gambut itu.

Kondisi ini dapat memicu kebakaran bila terpapar sinar matahari. Maka, tak heran saat musim kemarau setiap tahun kawasan tersebut selalu terbakar. Kebakaran ini berarti lepasnya karbon yang telah terakumulasi berpuluh hingga ribuan tahun lalu. Dalam 10 tahun terakhir, diperkirakan 20 gigaton CO2 ekuivalen yang dilepaskan dari kawasan gambut di Indonesia akibat dekomposisi dan oksidasi dari perubahan penggunaan lahan dan kebakaran hutan gambut. Pada kebakaran hutan gambut tahun 1997, sekitar 2,57 gigaton karbon terlepas ke atmosfer atau setara dengan 10 gigaton CO2

Neraca karbon

Di PBB, neraca sumber daya alam telah menjadi pertimbangan dalam berbagai aspek pembangunan dunia. Dalam hal ini, lahan gambut juga diperhitungkan sebagai bank karbon karena kemampuannya yang tinggi dalam menyimpan karbon.

Lahan gambut tropis memang hanya sepersepuluh dari lahan gambut di dunia yang seluas 400 juta hektar. Namun karbon yang tersimpan di dalamnya sepertiga dari deposit karbon lahan gambut dunia atau sebesar 191 gigaton.

"Mengingat lebih dari setengahnya hutan gambut tropis atau lebih dari 20 juta hektar berada di Indonesia, maka karbon harus diperlakukan sebagai aset yang perlu dijaga kelestariannya. Ini untuk memperkuat posisi tawar dengan negara maju dalam program CDM (Clean Development Mechanism)," ujar Bambang, yang kini menjadi Deputi Menneg Ristek Bidang Program Riset Iptek.

Untuk mengetahui stok karbon, selama dua tahun terakhir MASLI telah melakukan pengukuran berdasarkan data lapangan dan data satelit dari European Space Agency (ESA) di beberapa wilayah gambut yang potensial, meliputi Aceh, Riau, dan Kalteng.

Sebagai contoh, pada lahan gambut seluas 7.347 kilometer persegi di Sebangau, Kalteng, terhitung karbon yang tersimpan sekitar 2,30 gigaton. Total deposit karbon di Kalteng 6,35 gigaton. Dengan harga karbon sekitar 5 dollar AS per ton, maka nilai yang dapat ditransfer untuk pemeliharaan kawasan gambut tentunya sangat besar.

"Perhitungan deposit itu perlu ditransfer dan diimplementasikan di seluruh Indonesia," lanjut Bambang. Dalam hal ini, diperlukan peningkatan kerja sama di tingkat nasional dan internasional dalam mengukur deposit karbon di hutan, hutan gambut, dan kubah gambut di Indonesia.

Kerja sama ini sangat penting karena data yang akurat dan lengkap akan memperbaiki perhitungan dan prediksi pengaruh perubahan iklim, kebakaran, perubahan tata lahan terhadap cadangan karbon saat ini dan masa datang. Kerja sama ini juga bertujuan menghasilkan keputusan yang benar bagi pengambil keputusan dan memperoleh bantuan pembiayaan yang disepakati dalam CDM.

Sumber :
http://www.kompas.com
Senin, 17 Desember 2007

80 Persen Bakau Hilang, Pesisir Sulsel Terancam Terendam

80 Persen Bakau Hilang, Pesisir Sulsel Terancam Terendam

Makassar, Kompas - Hutan bakau di pesisir Sulawesi Selatan terus menyusut. Dari 236.000 hektar hutan bakau yang pernah ada, kini tersisa 38.000 hektar atau tinggal 16 persen. Terkait efek pemanasan global, diperkirakan sekitar 30 hektar pesisir di Sulsel terendam air laut pada 2014.

Hal ini dikemukakan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Sulawesi Selatan (Sulsel) Tan Malaka Guntur dalam diskusi yang diselenggarakan Lembaga Studi dan Informasi Media Massa, Sabtu (5/1) di Makassar.

Menurut Tan Malaka, berkurangnya hutan bakau terjadi di hampir seluruh pesisir Sulsel yang membentang di garis pantai sepanjang 1.973 kilometer (km). Akibatnya, di sepanjang pesisir Sulsel terjadi abrasi parah. Abrasi itu bukan hanya menggerus jalan, tetapi juga lahan pertanian, perkebunan, dan perkampungan.

Pantauan Kompas di sepanjang pesisir di Sulsel hingga Sulbar menunjukkan, akibat menipisnya hutan bakau, sejumlah wilayah pesisir tergenang dengan ketinggian air sampai satu meter setiap kali air laut pasang.

Di wilayah Pangkep dan Barru, misalnya, jika air pasang, terutama antara bulan November hingga Februari atau Maret, air masuk ke perkampungan dengan ketinggian berkisar sebatas betis sampai paha orang dewasa. (REN)

Sumber :
http://www.kompas.com
Senin, 07 Januari 2008

Mengatasi Global Warming dengan REDD

Mengatasi Global Warming dengan REDD

Fenomena pemanasan global (global warming) salah satunya disebabkan karena laju perusakan hutan (deforestasi) yang sangat cepat. Gejala tersebut menimbulkan efek rumah kaca yang menjadi penyebab utama global warming. Negara-negara yang memiliki hutan tropis yang besar di dunia, termasuk Indonesia, mengusulkan skema untuk mengurangi laju deforestasi tersebut yaitu dengan upaya mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emission from Deforestation and Degradation/REDD).

Skema ini mulai digulirkan pada Conference of the Parties (COP) Perubahan Iklim di Montreal, Kanada, tahun 2005 lalu. Pengusulnya adalah negara-negara berkembang yang memiliki hutan tropis di dunia. Antara lain Indonesia, Papua Nugini, Gabon, Columbia, Republic Congo, Brazil, Cameroon, Republic Demokratic Congo, Costa Rica, Mexico, dan Peru. Kesebelas negara ini memiliki 50 persen hutan tropis dunia.

Isu REDD ini terus bergulir di forum-forum internasional. Pada COP ketiga belas yang dibingkai dalam UNFCCC di Bali 3 - 14 Desember, isu ini juga akan dibicarakan.

Berbagai upaya yang dilakukan untuk mengatasi global warming dan menjaga iklim bumi antara lain dengan melakukan penanaman kembali, baik di dalam kawasan hutan (reforestasi) maupun di luar kawasan hutan (afforestasi). Selain itu juga memperluas kawasan konservasi dan hutan lindung serta menghindari aktivitas pemanfaatan hutan yang menyebabkan terjadinya deforestasi.

Sebagai tuan rumah, Indonesia akan berupaya memperjuangkan REDD sehingga bisa diterima negara-negara maju. Indonesia memang sangat berkepentingan terhadap skema REDD. Sebab kita memiliki kawasan hutan seluas 120,35 juta hektar atau 60 persen dari luas daratan negara.

Menteri Kehutanan, MS Ka'ban, mengungkapkan, Indonesia bersama negara-negara lain memang sudah bersama-sama menyusun gagasan baru untuk mengatasi global warming yaitu dengan menyusun skema REDD. Negara-negara yang menggagas konsep ini berharap gagasan tersebut bisa diterima negara-negara lain sebagi peserta konferensi.

"Pada konferensi di Bali Indonesia akan mengusulkan REDD untuk mengatasi fenomena global warming. Kita berharap negara-negara seperti China, Amerika Serikat, dan Australia bisa menerima gagasan ini. Sehingga nanti kita tawarkan di konferensi 2012 mendatang," ujarnya kepada wartawan, di Jakarta pekan lalu.

Khusus untuk mengatasi laju deforestasi di Indonesia, Ka'ban menyatakan, pihaknya sudah melakukan berbagai kebijakan. Antara lain melakukan gerakan penanaman pohon. "Tahun depan kami akan melakukan gerakan tanam pohon ini lebih massif lagi," tuturnya.

Sementara itu, Director WWF Indonesia Climate Change Programme, Fitrian Ardiansyah, mengatakan, REDD merupakan salah satu opsi untuk mengatasi global warming. Namun ini tidak akan efektif jika negara-negara maju penghasil emisi tidak melakukan upaya untuk menguranginya.

Karena itu diperlukan opsi lain. Misalnya dengan mengurangi penggunaan bahan bakar minyak batubara yang merupakan penghasil terbesar emisi gas buang. Di negara maju, 80 persen emisi berasal dari penggunaan BBM. Sedangkan 20 persen sisanya dari perubahan peruntukan lahan.

Kondisi ini terbalik dengan negara berkembang termasuk Indonesia. Di sini, 80 persen emisi dihasilkan dari perubahan lahan dan 20 persen dari pemakaian BBM. "Karena itu, maka REDD sangat penting artinya bagi Indonesia dan negara-negara berkembang. Sebab perubahan peruntukkan lahan menjadi penyumbang terbesar emisi," jelas Fitrian.

Insentif

Negara-negara berkembang, lanjut Fitrian, dalam proposal yang diajukan meminta kepada negara maju untuk memberikan insentif bagi upaya mereduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Sebab negara berkembang memiliki sejumlah kendala, terutama masalah ekonomi. Jika negara maju memberikan insentif, maka masalah ekonomi tersebut bisa teratasi. "Indonesia memiliki kepentingan agar REDD bisa gol pada konferensi di Bali. Sebab jika tidak, maka akan sulit bagi Indonesia untuk berperan dalam pengurangan emisi pada masa-masa mendatang," katanya menambahkan.

Lebih lanjut dia menyatakan, dampak yang ditimbulkan akibat global warming saat ini sudah begitu terlihat. Misalnya musim berganti secara tidak teratur, angka kejadian bencana alam meningkat dan sebagainya. Karena itu, pemerintah perlu melakukan upaya adaptasi secara terintegrasi dalam berbagai sektor. Misalnya dengan memprioritaskan sektor-sektor yang terkena dampak langsung, seperti pertanian. Saat ini petani banyak yang terkena akibat secara langsung karena musim tanam yang tidak teratur. Jadi perlu ada upaya untuk memberikan pengetahuan kepada para petani tentang perubahan musim tanam. Yang bisa dilakukan pemerintah adalah membentuk sekolah lapangan tentang iklim bagi para petani.

Hal penting lainnya yang perlu dilakukan adaptasi kebijakan secara integrasi dalam hal infrastruktur pedesaan. Misalnya saluran irigasi. Karena musim tanam tidak teratur, maka kebijakan irigasi harus ditata dan dikelola sedemikian rupa sehingga tepat sasaran.

"Saya lihat pemerintah sudah mengeluarkan berbagai kebijakan yang mengarah itu hanya saja belum terintegrasi. Misalnya Departemen Pertanian mengeluarkan kebijakan untuk menganalisis daerah-daerah rawan bencana. Tapi itu belum didukung departemen terkait, seperti Departemen Pekerjaan Umum, terkait dengan soal infrastrukturnya. Jadi integrasi kebijakan itu memang perlu dilakukan," papar Fitiran. (jar)

Sumber :

Membaca Peta Rawan Bencana

Membaca Peta Rawan Bencana


Kebanyakan wilayah pegunungan dan perbukitan memiliki potensi terjadinya longsor di musim hujan ini

Datangnya musim hujan memberi kesibukan baru kepada para pegawai di lingkungan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Selama musim hujan, setiap bulan mereka harus menyiapkan peta yang menggambarkan daerah rawan bencana geologi.

Secara visual, peta itu dibuat per provinsi dan terdiri dari tiga warna. Kawasan dalam peta yang berwarna hijau menunjukkan daerah aman dari bencana geologi. Sedang kawasan yang sangat rawan diberi warna merah, dan kawasan yang rawan diberi warna kuning. Peta tersebut dikirim ke setiap pemerintah provinsi. Wilayah Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, yang dilanda longsor dan menelan korban jiwa hingga 72 orang, dalam peta tersebut memang berwarna merah. Menurut Kepala Bidang Pengamatan Gempa Bumi dan Gerakan Tanah PVMBG, Kusdinar, struktur tanah dan alih fungsi tata guna lahan menjadikan Kabupaten Karanganyar menjadi rawan longsor.

Berdasar laporan tim PVMBG yang terjun ke lokasi longsor, memang terbukti di kawasan tersebut terjadi alih fungsi lahan secara signifikan. Lahan yang tadinya berisi tanaman keras, sekarang sudah berubah menjadi kebun sayur mayur. Dengan kondisi tanah yang berpasir, alih fungsi itu pun membuat peluang terjadinya longsor menjadi semakin terbuka saat musim hujan tiba. Selain Kabupaten Karanganyar, di Jawa Tengah masih terdapat beberapa daerah lain yang berpotensi tinggi longsor. Di Kabupaten Cilacap misalnya, daerah yang rawan longsor berada di Kecamatan Sidareja, Cipari, juga Majenang. Sedang di Kabupaten Banyumas, kawasan yang rawan ada di Sumpiuh.

Beberapa kawasan lain yang berada di perbukitan seperti Temanggung, Gunung Kidul, Pekalongan, serta sebagian Semarang juga menyimpan potensi terjadinya longsor. Intinya, kebanyakan wilayah pegunungan dan perbukitan memiliki potensi terjadinyaa longsor di musim hujan ini. Seperti Jawa Tengah, beberapa wilayah di Provinsi Jawa Timur (Jatim) juga menyimpan area yang rawan longsor. Di Banyuwangi, daerah yang dinilai rawan longsor adalah Pesanggrahan utara, Genteng utara, Glenmore utara, dan Kalibaru utara. Sedang di Bondowoso, wilayah potensial longsor berada di Cerme, Prajekan, Tlogosari, juga Klabang.

Wilayah lain yang juga menyimpan area rawan longsor adalah Situbondo. Di wilayah ini, trdapat tiga area yang terklasifikasi tinggi bagi peluang terjadinya longsor, yakni Asembagus, Banyuputih barat, dan Arjasa. Secara kasar dalam peta rawan gerakan tanah itu tergambar, daerah yang potensial longsor di Jatim bagian barat itu berada di dekat selatan, dan semakin ke timur, kawasan rawan itu semakin mendekati pantai utara.

Kusdinar menjelaskan bahwa di tahun-tahun yang lalu, Jawa Barat (Jabar) selalu memegang rekor sebagai daerah yang paling berpeluang dilanda longsor. Biasanya, longsor di Jabar ini juga menelan korban jiwa yang tidak sedikit. ''Tapi sekarang Jabar sudah tidak lagi seperti itu,"'' ujar Kusdinar. Meski kawasan yang masuk kategori rawan tidak banyak berubah, namun kejadian longsor di Jabar belakangan ini terus menurun. Kenyataan ini, menurut dia, tidak lepas dari gencarnya program sosialisasi mengenai kawasan rawan longsor kepada masyarakat.

Wilayah yang masuk dalam kategori rawan longsor di Jabar itu antara lain berada di Cianjur bagian selatan, Sukabumi bagian selatan, Garut baagian selatan, sebagian wilayah di Kabupaten Kuningan, dan beberapa wilayah lain. Daerah yang berpeluang besar terjadi longsor di Jabar juga bisa ditemui di Kabupaten Purwakarta (wilayah Plered), Kabupaten Sumedang (wilayah Paseh timur), dan beberapa wilayah lain.

Peta rawan longsor juga menggambar daerah yang berpotensi terjadinya musibah tersebut di Provinsi Banten. Kawasan Ciomas tengah dan Mancak selatan di Kabupaten Serang, serta wilayah Menes utara di Pandeglang termasuk daerah rawan longsor. Kusdinar juga mengungkapkan bahwa di Sumatra juga terdapat Sesar Semangko yang memanjang dari Lampung hingga Aceh. Wilayah yang dilalui sesar ini, menurut dia, juga menjadi kawasan yang berpotensi longsor. Karena itu, penduduk yang tinggal di sepanjang sesar ini pun harus selalu waspada, terutama di musim hujan.

''Pada intinya, semua provinsi di Indonesia ini memiliki kawasan yang rawan bencana geologi,'' ungkap dia. Buktinya, pada peta terlihat semua provinsi memiliki kawasan yang berwarna merah. Secara lengkap, peta kawasan rawan bencana geologi ini bisa diakses di situs portal.vsi.esdm.go.id. Kusdinar menambahkan bahwa penentuan kawasan rawan ini dilakukan dengan menggabungkan peta gerakan tanah, serta peta curah hujan yang dikeluarga Badan Meteorologi dan Geofisika.

Dia juga menekankan bahwa bencana geologi itu memiliki sifat perulangan. Karena itu, penduduk yang tinggal di wilayah yang pernah dilanda longsor, pada musim hujan ini juga harus waspada karena bencana serupa bisa terulang. Staf di Bidang Pengamatan Gempa Bumi dan Gerakan Tanah PVMBG, Suranta, menambahkan bahwa pada Januari 2008 mendatang, kecenderungannya tidak jauh berbeda dari bulan ini. Artinya, penduduk di kawasan yang pada bulan Desember 2007 ini masuk dalam wilayah rawan, pada bulan mendatang juga harus tetap waspada. irf

Ikhtisar :

  • Kawasan Sesar Semangko di Sumatra Kusdinar juga menjadi kawasan yang berpotensi longsor.
  • Bencana geologi memiliki sifat perulangan. Karena itu, penduduk yang tinggal di wilayah yang pernah dilanda longsor harus waspada.

Sumber :
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=318253&kat_id=13

Jumat, 28 Desember 2007

Indonesia Tawarkan Hutan untuk REDD

Indonesia Tawarkan Hutan untuk REDD
NUSA DUA - Indonesia menawarkan diri menjadi lokasi pilot activity untuk Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD). Proyek ini menjadi yang pertama di dunia sebelum skema REDD diberlakukan pasca-Protokol Kyoto pada 2012 mendatang.

''Pada 6 Desember besok akan ada launching readiness REDD yang dikoordinir oleh Badan Litbang Kehutanan. Dari sana dimulai satu pilot activity REDD di Indonesia,'' ujar Menteri Kehutanan, MS Kaban, seusai membuka Indonesian Forestry yang merupakan kegiatan paralel United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) COP 13 di Bali, Selasa (4/12).

Menurut Kaban, aktivitas ini telah mendapat dukungan dari beberapa pihak seperti Inggris, Australia, Jerman, dan World Bank. Namun, lanjut dia, mekanismenya belum dibicarakan secara detail. ''Kami harus menyusun kriteria hutan yang akan digunakan, lalu bagaimana memilih lokasi pilot activity, misalnya, dilihat dari karakter geografis, sebaran geografis, dan kesiapan pemerintah setempat,'' jelasnya.

Kaban menyatakan, saat ini belum bisa dipastikan hutan mana yang akan masuk ke dalam proyek ini. Namun, dia memastikan tak seluruh hutan akan masuk dalam program tersebut. ''Kita punya komitmen berapa yang harus dijaga. Hutan yang bisa masuk dalam pilot activity itu, misalnya, dari hasil program penanaman 4.000 hektare pohon meranti,'' cetusnya.

Kaban mengakui bahwa pihaknya memang menyiapkan desain pilot activity REDD yang nantinya akan diteruskan ke Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Luar Negeri RI.

REDD adalah proposal negara-negara selatan atau negara berkembang yang masih memiliki hutan tropis sebagai salah satu skema penanganan perubahan iklim pasca-2012, yaitu ketika periode berlakunya perjanjian Protokol Kyoto berakhir. REDD diharapkan mampu menjembatani mekanisme pembangunan bersih atau clean development mechanism (CDM) dengan penanganan kerusakan hutan (deforestasi).

Skema REDD menawarkan kewajiban negara-negara utara membayar kepada negara-negara Selatan guna mengurangi penggundulan hutannya, dan atau negara-negara Selatan juga dapat menjual kemampuan serap karbon yang dimiliki hutannya kepada Utara. Dengan skema tersebut, diharapkan kontribusi emisi dari deforestasi khususnya pada hutan hujan tropis yang mencapai 20 persen dari total emisi karbon di atmosfer dapat dikurangi.

Di sisi lain, Kaban memastikan, keputusan ikut ambil bagian dalam REDD atau tidak, secara prinsip tetap di tangan Pemerintah Indonesia. Oleh karena itu, harus ada mekanisme yang jelas dalam enam bulan ke depan berkaitan dengan pilot activity.

Kepala Badan Libang Departemen Kehutanan, Wahyudi Wardoyo, menambahkan, dia mendengar dari delegasi Indonesia di UNFCC bahwa semua negara mendukung skema REDD, tapi soal REDD belum dibahas secara detail hingga 6 Desember besok. ''Saya tegaskan di sini, REDD bukan ide dari Indonesia atau negara maju,'' ungkapnya.

Pada 6 Desember nanti, kata Wahyudi, yang diumumkan bukanlah soal hutan mana yang ditunjuk menjadi pilot activity. ''Yang diumumkan adalah kriteria pemilihan lokasi,'' jelasnya.

Di sisi lain, Kaban menyatakan, meski pilot activity akan dijalankan, di dalam negeri pelestarian hutan tetap dilakukan। Dia mencontohkan sejak 2003 hingga 2007 pemerintah sudah merehabilitasi hutan sekitar 2,2 juta hektare। `'Dan tahun 2008 diperkirakan mencapai 5 juta hektare,'' cetusnya. (eye)
Rabu, 05 Desember 2007 9:27:00

Emil Salim: CDM Perlu Disederhanakan

Emil Salim: CDM Perlu Disederhanakan
Perdagangan karbon hanya dikuasai segelintir negara berkembang

NUSA DUA--Ketua delegasi Indonesia dalam Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim 2007, atau COP 13 UNFCCC, Emil Salim, mengatakan Indonesia menginginkan agar Mekanisme Pembangunan Ramah Lingkungan atau Clean Government Mechanism (CDM) disederhanakan. Menurutnya, mekanisme perdagangan karbon ini harus disesuaikan dengan kondisi negara-negara kecil. "Karena negara-negara tersebutlah yang paling rentan dan pertama kali terkena dampak dari perubahan iklim," kata Emil saat memberi briefing kepada wartawan Indonesia di Paviliun Indonesia di arena konferensi di Nusa Dua, Bali, Senin (3/12).

Ia mengatakan penyesuaian tersebut terutama harus dilakukan terhadap kelompok negara-negara kepulauan kecil yang wilayahnya akan tenggelam karena naiknya permukaan laut. Di antara kelompok negara-negara berkembang, kata Emil, merekalah yang pertama kali merasakan dampak perubahan iklim.

CDM adalah mekanisme dalam Protokol Kyoto yang memberikan pilihan bagi negara-negara maju untuk mengurangi emisi di negara-negara berkembang. Ini sebagai salah satu cara bagi negara maju untuk menjalankan kewajibannya mengurangi emisi karbon, seperti yang diatur oleh protokol tersebut. Dengan terlibat dalam mekanisme CDM, biaya yang harus dikeluarkan negara-negara maju akan lebih kecil dibandingkan jika langkah pengurangan emisi karbon tersebut dilakukan di negaranya.

Sementara negara-negara berkembang yang terlibat dalam mekanisme ini akan memperoleh keuntungan dari penjualan kredit karbon. Mereka juga meraih investasi dan transfer teknologi dari negara-negara maju yang menginvestasikan proyek ramah lingkungan (yang mengurangi emisi karbon) di negaranya.

Namun, selama ini mekanisme CDM dinilai terlalu rumit sehingga perdagangan karbon ini hanya dikuasai oleh segelintir negara berkembang, yakni Cina, India, dan Brasil. Indonesia sendiri hingga kini belum bisa berbuat banyak dalam perdagangan karbon, bahkan kalah jauh dari Malaysia. Menurut data Badan Eksekutif CDM di PBB, hingga awal Desember ini, baru 11 proyek CDM Indonesia yang terdaftar. Sedangkan Malaysia telah mencatatkan 20 proyek.

India, Cina, Brasil, dan Meksiko adalah empat negara teratas dalam memanfaatkan CDM. India menduduki peringkat teratas dengan mendaftarkan 294 proyek (34,5 persen), disusul Cina dengan 133 proyek (15,6 persen, Brasil 113 proyek (13 persen), dan Meksiko 97 proyek (11 persen).

Mengomentari ini, Emil mengatakan aktivitas CDM Indonesia perlu digalakkan. Menurutnya, tertinggalannya Indonesia dalam perdagangan karbon atau CDM ini lantaran masih rendahnya pemahaman terhadap mekanisme dan metodologi CDM. "Mekanisme CDM itu sangat rumit dan kompleks sekali," katanya.

Ia tak setuju jika dikatakan tertinggalnya Indonesia dalam CDM melambangkan rendahnya minat kalangan swasta dalam negeri, termasuk pemerintah, untuk mengembangkan proyek-proyek ramah lingkungan alias CDM.

Roadmap Bali

Pemerintah Indonesia tidak hanya menginginkan UNFCCC sukses dari segi pelaksanaannya saja tetapi juga mampu menghasilkan semacam "roadmap Bali" yang menjembatani pemikiran yang mendukung Protokol Kyoto dan yang tidak. "Kita ingin tidak hanya sukses menyelenggarakan 'event' itu saja tetapi kita harap UNFCCC mampu melahirkan sebuah 'roadmap Bali' sebagai suatu konvergensi dari beberapa pemikiran Kyoto Protocol," kata Mensesneg Hatta Rajasa di Badung, Bali, Senin.

Untuk itu, katanya, Indonesia memiliki konsep-konsep pemikiran yang akan disampaikan dalam UNFCCC. Hatta Rajasa yang ikut hadir di Bali mendampingi Presiden Yudhoyono mengatakan, kehadiran Presiden di Bali adalah untuk memastikan kesiapan Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggaraan konferensi berskala internasional tersebut.

Senada dengan itu, Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng mengatakan KTT PBB tentang Perubahan Iklim bukan sekadar konferensi yang seremonial tetapi isinya adalah serangkaian negosiasi untuk mencapai kesepakatan tentang pengganti Protokol Kyoto yang akan habis pada 2012.

"Karena itu, Presiden merasa perlu untuk mendekatkan posisi-posisi yang mendukung Protokol Kyoto maupun yang belum. Kita mengharapkan hasil dari KTT Bali ini bisa membuka jalan bagi pertemuan selanjutnya di Warsawa, Polandia dan Denmark, yakni mewujudkan sebuah kesepakatan baru Internasional tentang Pengganti Protokol Kyoto," katanya. (arp/ant)

Sumber :
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=315921&kat_id=498
Selasa, 04 Desember 2007

Kesadaran Uji Emisi Rendah

Kesadaran Uji Emisi Rendah

JAKARTA-- Kesadaran pemilik kendaraan untuk uji emisi masih rendah. Oleh karena itu, BPLHD Jakarta Pusat akan terus melakukan sosialisasi dan upaya penegakan hukum kepada para pengendara.

''Program uji emisi harus memiliki kontinuitas,'' ujar Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jakarta Pusat, A Malik, Rabu (3/1). Sosialisasi yang dilakukan berupa uji emisi gratis yang sudah sering dilaksanakan. Sebagai kelanjutan sosialisasi itu pada 19 Januari 2008 pihaknya akan melakukan penegakan hukum bagi pengendara yang belum uji emisi atau masa berlaku uji emisinya telah habis.

Penegakan hukum dilakukan dengan menjaring kendaraan-kendaraan yang berada di jalan. Petugas akan memeriksa dokumen-dokumen yang berkaitan dengan uji emisi. ''Pengendara yang belum melakukan uji emisi atau masa berlaku uji emisinya habis akan dikenakan sanksi,'' kata Malik. Itu bertujuan untuk memberikan efek jera kepada pengendara.

Sebelum melaksanakan penegakan hukum pada 19 Januari 2008, BPLHD Jakpus telah melakukan penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) dengan kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. ''Dasar hukumnya adalah Peraturan Daerah (Perda) No 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara,'' tegas Malik.

Bagi pengendara yang belum melaksanakan uji emisi, BPLHD Jakpus akan memberikan semacam surat pengantar untuk melakukan uji emisi di bengkel-bengkel yang bisa melakukan uji emisi. Saat ini, di Jakarta terdapat lebih dari 200 bengkel yang melayani uji emisi. Tarif uji emisi tersebut tergantung pihak bengkel.

Terkait dengan pelaksanaan program uji emisi, BPLHD Jakpus berencana untuk menjadikan Jl Sudirman-Thamrin sebagai kawasan terpadu yang bebas rokok dan emisi. ''Saat ini Jl Sudirman-Thamrin merupakan Kawasan Dilarang Merokok (KDM),'' kata Malik.

Fauzan, seorang pengendara mobil di Jl Budi Kemulyaan, mengaku, dia sudah melakukan uji emisi beberapa waktu yang lalu. ''Saya lupa kapan masa berlakunya akan berakhir,'' ujar karyawan perusahaan swasta ini. Fauzan setuju jika pengendara yang belum melaksanakan uji emisi akan dikenai sanksi. n c54

Sumber :
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=318754&kat_id=286
Kamis, 03 Januari 2008

Pro-kontra Pengelolaan Limbah Nuklir

Pro-kontra Pengelolaan Limbah Nuklir

Kepercayaan masyarakat akan meningkat jika pengelolaan limbah nuklir dilakukan secara benar

Kegiatan nuklir di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak 1965 melalui pengoperasian reactor training research and isotope production by general atomic (Triga) di Pusat Penelitian Teknik Nuklir (PPTN) Bandung. Namun, hingga 2007 ini pemanfaatan energi nuklir di Indonesia masih menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.

Salah satu yang menjadi permasalahan adalah limbah nuklir dari kegiatan tersebut. Pro kontra itu berpeluang diminimalisasi bila pengelolaan limbah nuklir dilakukan secara benar sehingga kepercayaan masyarakat meningkat. Tujuan akhir dari pengelolaan limbah radioaktif adalah melindungi lingkungan dan masyarakat dari potensi dampak radiologi limbah radioaktif, salah satunya adalah melalui operasi teknik kimia.

"Operasi teknik kimia dalam pengolahan limbah radioaktif antara lain meliputi transfer cairan radioaktif, filtrasi, penukar ion, absorpsi, koagulasi, evaporasi, insinerasi, kompaksi, dan pemadatan,'' ujar Profesor Zainus Salimin dalam orasi ilmiah pengukuhannya sebagai profesor riset di Kawasan Penelitian Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Serpong-Banten, Kamis (27/12).

Menurut Zainus, pengeloaan limbah radioaktif ialah penanganan penampungan dan pengolahan limbah radioaktif. Termasuk, pengungkungan unsur radioaktif dalam limbah dengan bahan matriks (pemadatan) dan penyimpanan blok hasil pengungkungan. `'Sehingga, limbah radioaktif tidak membahayakan manusia dan lingkungan,'' jelasnya.

Lebih jauh Zainus menyatakan, operasi teknik kimia pengolahan limbah radioaktif terus mengalami perkembangan, dengan banyak penelitian dan penerapan teknologi baru untuk meningkatkan kualitas hasil proses sehingga faktor keselamatan meningkat. `'Penelitian, pengembangan, dan penerapan tersebut dilakukan untuk mencari proses dengan nilai reduksi volume yang tinggi secara keseluruhan,'' tegasnya.

Operasi teknik kimia pengolahan limbah radioaktif, kata Zainus, mempunyai peranan yang penting dalam meningkatkan kualitas hasil proses sehingga keselamatan pengolahan limbah radiaktif meningkat. `'Operasi pengelolaan limbah radioaktif selalu didasarkan pada penerapan hasil yang optimal dari kajian teknologi, penelitian, dan pengembangan proses,'' ujarnya.

Zainus dalam orasinya yang berjudul `Peran dan Perkembangan Operasi Teknik Kimia Pengelolaan Limbah Radioaktif untuk Mendukung Iptek Nuklir di Indonesia' menyatakan, minimisasi dan reduksi volume limbah nuklir, dilakukan untuk memperoleh nilai ekonomi yang akan terlihat pada biaya penyimpanan akhir limbah hasil olahan. `'Ini juga dapat memperkecil proliferation risk dan dampak lingkungan yang panjang dan perolehan dukungan politik dan publik untuk penyimpanan akhir limbah,'' jaminnya.

Dalam kesempatan yang sama, Erwansyah Lubis yang juga dikukuhkan sebagai profesor riset menyatakan, secara umum persepsi masyarakat terhadap suatu risiko hingga saat ini tak didasarkan atas pengertian secara ilmiah dan tidak menyadari adanya ketidakpastian.`'Mereka kehilangan kerangka dalam memahami apa yang disebut risiko,'' jelasnya.

Metode pengambilan keputusan dan pengkajian risiko, kata Lubis, merupakan alat yang dapat digunakan untuk mengkomunikasikan risiko yang ditimbulkan dalam pemanfaatan iptek nuklir. `'Masyarakat perlu diberi informasi untuk memahami dalam pengelolaan risiko teknologi selalu terdapat ketidakpastian yang tak dapat dihindarkan sehingga perlu penerapan risiko,'' ungkapnya.

Lubis membacakan orasi berjudul `Pengkajian dan Mengkomunikasikan Risiko dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif'. Dia menyatakan, pengkajian keselamatan disposal limbah radioaktif adalah perkiraan secara kuantitatif mengenai rujukan kerja sistem penyimpanan sementara dan penyimpanan lestari (disposal) secara keseluruhan, yakni perkiraan risiko radiologi sebagai fungsi waktu. `'Analisis keselamatan dilakukan secara iteratif, di mana metodologi, model-model matematik, dan data yang digunakan diperbarui setiap tahap iterasi,'' jelasnya.

Analisis keselamatan, kata Lubis, harus dilaksanakan secara komprehensif dengan memperhatikan seluruh fenomena yang akan menyebabkan terjadinya lepasan dan perpindahan radionuklida ke komponen-komponen lingkungan hidup. `'Perubahan laju lepasan diperhatikan dalam perhitungan potensi dosis radiasi yang akan diterima oleh masyarakat,'' ujarnya. Lebih jauh Lubis menegaskan, mengomunikasikan risiko yang tepat dan benar dari pengelolaan limbah radioaktif secara tepat akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemanfaatan iptek nuklir. n eye

Ikhtisar :

  • Minimisasi dan reduksi volume limbah nuklir, dilakukan untuk memperoleh nilai ekonomi yang akan terlihat pada biaya penyimpanan akhir limbah hasil olahan.
  • Analisis keselamatan harus dilaksanakan secara komprehensif dengan memperhatikan seluruh fenomena yang akan menyebabkan terjadinya lepasan dan perpindahan radionuklida ke komponen-komponen lingkungan hidup.

Sumber :
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=318532&kat_id=13
Senin, 31 Desember 2007

Menyelamatkan Terumbu Karang Nusa Penida

Menyelamatkan Terumbu Karang Nusa Penida
Sangat sedikit lokasi terumbu karang di dunia ini yang menyimpan kekayaan yang demikian luar biasa. Salah satu dari yang sedikit itu adalah hamparan terumbu karang yang maha luas di kawawan Nusa Penida, Bali. Terdapat ratusan jenis terumbu karang dan ribuan jenis ikan di wilayah perairan tersebut.

Selama ini, kekayaan dan kecantikan alam tersebut menjadi aset penting bagi kegiatan pariwisata di Bali, khususnya wisata menyelam. Namun, sentuhan manusia melalui aktivitas wisata itu dikhawatirkan menjadi salah satu ancaman bagi kelestarian terumbu karang di sana. Maka, kegiatan konservasi terasa mutlak dilakukan untuk menjamin kelangsungan hidup terumbu karang tersebut.

Adalah Grup Bakrie melalui Bakrie Green Program yang mulai melakukan konservasi tersebut. Grup Bakrie pun menggandeng lembaga nirlaba di bidang lingkungan yang sangat peduli dengan kelangsungan biodiversiti yaitu Conservation International Indonesia (CII). Selama sembilan tahun ke depan, mereka akan melakukan berbagai aktivitas yang mendukung kelestarian terumbu karang di Nusa Penida Bali dan di kawasan Raja Empat, Irian Barat.

Dipilihnya kawasan laut Raja Ampat dan Nusa Penida sebagai tempat konservasi, dikatakan Marine Program Director CII, Ketut Sarjana Putra, mengingat kedua kawasan itu masuk dalam segitiga karang dunia. Di dua tempat itu, jelasnya, sekurangnya terdapat 500 jenis terumbu karang, selain juga memiliki 2.000 jenis ikan. ''Melalui kegiatan konservasi itu, kita harapkan dapat menjaga kelestarian ikan dan sumber daya hayati lainnya, karena dapat meningkatkan bio massa dan jumlah spesiesnya,'' kata Sarjana saat menandatangani kerja sama dengan Grup Bakrie di Tanah Lot, Bali, akhir pekan lalu.

Dengan kekayaan terumbu karangnya, Raja Ampat dan Nusa Penida kini dikenal sebagai objek wisata menyelam. Melalui kegiatan konservasi, lanjutnya, terumbu karang di kawasan itu akan terjaga dan wisatawan akan semakin tertarik untuk datang ke sana.

Sulit diakses dari darat

Berdasarkan Peta Lingkungan Pantai Indonesia 1993 dan citra Satelit Landsat serta survei lapangan, ekosistem terumbu karang di Pulau Nusa Penida menyebar sepanjang 62,4 kilometer. Atau, mengelilingi 80,6 persen panjang garis pantai pulau dengan luas total mencapai 1.007 hektare (ha). Sebaran terumbu karang terluas menurut desa pantai terdapat di Desa Pejukutan yaitu mencapai 182 ha. Seluruh pantai Desa Pejukutan dikelilingi oleh terumbu karang, dengan sebaran terumbu karang yang luas dan jangkauannya lebar ke arah laut terletak di sekitar Batu Abah. Sebagian terumbu karang yang terdapat di Desa Pejukutan sulit dijangkau dari daratan karena tidak terdapat akses jalan dan berada di bawah pantai bertebing terjal.

Sedangkan sebaran terumbu karang di Desa Suana dari Dusun Pengaud sampai Dusun Semaya sejajar dengan garis pantai. Lebarnya berkisar 120 m sampai 150 m dan tumbuh sampai kedalaman 60 m. Luas terumbu karang di Desa Suana mencapai 124,4 ha. Desa Bunga Mekar juga memiliki sebaran terumbu karang yang cukup luas yaitu 101,0 ha. Tetapi, aksesnya sangat sulit dijangkau karena berada di bawah tebing terjal. Di desa ini terdapat sebuah gili yang dikelilingi oleh terumbu karang yaitu Nusa Batupahet. Sebaran terumbu karang di pantai selatan ini berada di bawah tebing terjal sampai pada kedalaman 30 m.

Sementara Desa Sakti memiliki sebaran terumbu karang seluas 49,7 ha yang meliputi panjang garis pantai 6,2 km. Sebarannya terdapat di pantai sebelah barat yaitu Teluk Gamat, Teluk Penida (Crystal Bay), Teluk Besardulu dan Teluk Besarteben. Terumbu karang di Teluk Gamat relatif lebar yaitu sekitar 150 m, tumbuh sampai kedalaman 50 m. Terumbu karang di Crystal Bay juga relatif lebar yaitu sekitar 370 m. Di teluk ini terdapat sebuah gili yaitu Nusa Batumejineng. Kedalaman pertumbuhan terumbu karang di lokasi ini mencapai 40 m.

Sebaran terumbu karang di Desa Batumadeg merupakan terumbu karang tepi yang tumbuh di bawah tebing pantai sampai kedalaman 20 m. Kondisi serupa juga terdapat pada terumbu karang di Desa Batukandik, Desa Sekartaji dan Desa Tanglad. Terumbu karang di empat desa ini juga sangat sulit diakses dari daratan. Terumbu karang tepi di sebelah utara pulau yaitu di Desa Batununggul, Kutampi Kaler, Ped dan Toyapakeh, tumbuhnya membentuk jarak dari pantai yang dipisahkan oleh dataran pantai berpasir. Di Desa Batununggul, terumbu karang tumbuh mengikuti isodeph 40 m dengan lebar 100 m sampai 200 m. Di Desa Kutampi Kaler, terumbu karang berkembang sejajar pantai mengikuti isodepth 45 m dengan lebar berkisar 100 m sampai 230 m.

Terumbu karang di sepanjang Desa Ped juga berkembang sejajar garis pantai mengikuti isodepth 45 m dengan lebar 150 sampai 250 m. Di Desa Toyapakeh, terumbu karang berkembang mengikuti isodepth 30 m dengan lebar 200 m sampai 550 m. Selama ini, kawasan pulau-pulau kecil, seperti Nusa Penida relatif kurang mendapatkan sentuhan pembangunan yang berarti karena orientasi pembangunan selama ini masih bertumpu di daratan. Walaupun terdapat kegiatan pembangunan, tetapi kegiatan tersebut lebih menitikberatkan pada pertimbangan ekonomi sehingga kurang memperhatikan kelestarian lingkungan dan konservasi.

Senilai 6 juta dolar AS

Dalam perjanjian kerja sama itu, Bakrie menyiapkan dana konservasi yang cukup besar, yaitu berkisar antara 6-7 juta dolar AS atau setara Rp 57-Rp 66 milyar. Menurut Direktur Pengembangan Bakrie Group, Marudi Surahman, kegiatan konservasi laut di Nusa Penida dan Raja Ampat merupakan tahap awal. Ke depan pihaknya akan terus melakukan kegiatan yang sama. Jika saat ini, Grup Bakrie masih menggandeng pihak lain sebagai mitra, kelak Grup Bakrie akan berusaha melakukannya sendiri dengan membuat lembaga yang khusus menangani masalah konservasi. ''Kita sudah banyak melakukan kegiatan peduli lingkungan melalui unit-unit usaha Grup Bakrie. Tetapi, ke depan kita ingin membuat sinergi, sehingga kegiatan menjadi lebih terfokus,'' katanya.

Sementara itu, mengenai pelaksanaan program konservasi di Nusa Penida dan Raja Ampat, Program Director CII, Sarjana, menyebutkan akan dimulai Januari 2008 untuk waktu sembilan tahun. Namun, mengingat kegiatan konservasi yang tidak mengenal waktu, maka bisa jadi waktunya diperpanjang, tergantung kesiapan masyarakat setempat. ''Kalau masyarakat sudah siap dengan mendukung kegiatan konservasi ya secepatnya bisa kita lepas," jelasnya. aas

Ikhtisar :
  • Ekosistem terumbu karang di Pulau Nusa Penida menyebar sepanjang 62,4 kilometer.
  • Terumbu karangnya mengelilingi 80,6 persen panjang garis pantai pulau dengan luas total mencapai 1.007 hektare.

Sumber :
http://www.republika.co.id/koran.asp?kat_id=13
Kamis, 03 Januari 2008 14:53:00

Di Balik Banjir dan Longsor

Di Balik Banjir dan Longsor

Oleh : Hadi S Alikodra, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, Bogor

Berpuluh tahun lalu, sudah diprediksi banjir dan longsor akan menimpa Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Penyebabnya jelas: Penebangan hutan semena-mena tanpa kendali. Hutan di Pulau Jawa nyaris gundul. Juga Sumatra. Kalimantan dan Sulawesi sedang dalam proses penggundulan. Papua sudah mulai digunduli.

Tiap tahun banjir dan longsor terus terulang. Lantas, kenapa peristiwa yang tragis yang menimbulkan ratusan korban itu terus terjadi dan terjadi bahkan makin besar dan luas skalanya? Kita ini seperti sebuah bangsa yang sedang dilanda penyakit amnesia massal. Sebelum ada bencana, semua orang seperti lupa bahwa banjir dan longsor yang setiap tahun terjadi itu penyebabnya kerusakan hutan. Jika banjir dan longsor menerjang kita, baru kita ingat dan menyesal. Setelah itu lupa dan ramai-ramai merusak hutan lagi.

Karena setiap tahun terjadi, tragedi banjir bandang dan longsor sepertinya dianggap sepi-sepi saja. Beda dengan terorisme di Bali dan Jakarta yang gemanya mengguncang dunia, banjir bandang dan longsor di Jember dan Banjarnegara yang menewaskan jiwa manusia lebih banyak dari bom Bali pertama dan kedua nyaris tak ada gemanya. Para pembesar di Jakarta pun tidak segera meresponsnya. Apalagi AS dan Australia. Padahal, bila dilihat dari intensitas bencana dan jumlah korban pertahun, bencana alam banjir dan longsor tersebut korbannya lebih banyak dan daya rusaknya lebih dahsyat. Rasanya tak salah, jika Isac Asimov--penulis buku Our Anggry Earth menyatakan bencana alam akibat ulah manusia bisa disepadankan dengan aksi terorisme.

Nasib hutan lindung

Di berbagai wilayah Indonesia, kondisi hutan lindung sangat memprihatinkan. Ada hutan lindung yang tinggal namanya saja karena nyaris habis dibabat para pencuri yang kerja sama dengan oknum aparat pemerintah; ada hutan lindung yang telah berubah jadi perkebunan kopi, coklat, bahkan pisang sehingga fungsi "lindungnya" terhadap pergeseran tanah hilang; ada pula hutan lindung yang dibelah jalan raya yang memudahkan transportasi illegal logging, dan masih banyak lagi.

Bencana longsor dan banjir bandang yang kerap terjadi di Aceh dan Sumatra Utara, misalnya, adalah akibat alih fungsi hutan lindung dan pembabatan liar (illegal logging) di kawasan hutan tersebut. Masih terbayang dalam ingatan kita, tragedi banjir bandang di Sungai Bohorok yang meluluhlantakkan kawasan wisata di Bukit Lawang, Sumut, yang merenggut korban lebih dari 200 orang, November 2003. Penyebabnya tak lain, adalah penggundulan hutan di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Sampai saat ini, ironisnya, proses penggundulan itu masih terus terjadi. Tragedi Bohorok yang menghancurkan ribuan rumah dan fasilitas umum itu, rupanya belum cukup untuk menjadi peringatan akan bahaya deforestasi.

Kondisi itu diperparah penebangan kayu oleh perorangan maupun korporasi, legal maupun ilegal. Menhut MS Kaban, misalnya, menyatakan bahwa pencurian kayu tiap tahun nilainya mencapai angka Rp 60 puluh triliun lebih. Uang sebesar itu amat besar nilainya jika dipakai untuk mengatasi kemiskinan. Lantas, siapa yang melakukan pencurian kayu besar-besaran itu? Kaban ternyata tak bisa berbuat banyak. Sebab pelakunya demikian banyak dan kompleks jaringannya, mulai rakyat kecil, pengusaha sampai pejabat pemda, polisi, tentara, dan lain sebagainya. Jaringan ilegal logging merupakan fenomena vicious circle yang melibatkan banyak pihak. Jika tidak ada tindakan "revolutif" yang ekstrakeras dan ekstrayudisial (tembak langsung pelaku ilegal logging seperti zaman penembakan misterius), niscaya pencurian kayu sulit dihentikan.

Realitas kehancuran

Isac Asimov dan Frederck Pohl dalam bukunya Our Angry Earth menyatakan: Sebagian besar manusia sulit menyadari realitas kehancuran lingkungan hidup yang ada di sekitarnya. Hal ini terjadi karena penghancuran-penghancuran lingkungan hidup itu terjadi bersaman dengan proses-proses yang sedang mereka kerjakan sendiri yang konon tujuannya untuk membangun masa depan. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya: Tragedi masa depan itu sedang berjalan di depan kita dan kita sendiri yang menjalankannya.

Apa yang ditulis Asimov-Poh benar. Berbagai tragedi lingkungan yang kini sedang terjadi seperti kenaikan suhu atmosfer bumi, polusi, deforestasi, dan mewabahnya penyakit berbahaya sebenarnya merupakan hasil dari perbuatan manusia sendiri. Ironisnya sebagian besar manusia tak menyadari hal tersebut. Problem lingkungan hidup masih sering dianggap sebagai persoalan kaum elite yang sulit diikuti oleh kaum alit (kecil).

Padahal dampak kerusakan lingkungan--seperti banjir bandang dan tanah longsor--paling banyak menyengsarakan kaum alit. Namun, ketika kaum elite dan kaum alit berusaha untuk mengatasi problem kehancuran lingkungan, seringkali yang terjadi adalah sebaliknya: Memunculkan problem lingkungan baru. Ironisnya yang menjadi korban adalah lingkungan itu sendiri. Dalam bahasa Asimov, itulah yang disebut vicious circle (lingkaran setan) kerusakan lingkungan.

Bencana banjir yang meluas di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi bulan Desember dan Januari ini penyebabnya yang signifkan, di samping penebangan hutan yang semena-mena adalah "pengalihfungsian" hutan untuk tanaman perkebunan (sawit, kopi, coklat, teh, dll) yang "nota bene" merupakan proyek ekonomi jangka pendek. Proyek ekonomi ini juga sering "menipu" rakyat agar ikut menggunduli hutan. Dan, masyarakat yang miskin itu biasanya mengikuti permintaan para juragan kayu dan perkebunan itu. Lalu, jika penghancuran hutan itu mengakibatkan bencana alam seperti banjir dan lonsor seperti sekarang ini, yang menjadi korban adalah rakyat miskin di desa maupun di kota. Para petinggi dan pembuat kebijakan hanya ikut bersedih dari jauh.

Hutan dan lingkungan yang asri adalah sebuah tumpuan harapan masa depan. Ketika manusia modern tengah dikepung oleh pelbagai macam bencana--seperti global warming, piolusi, badai, banjir, dan longsor--maka keberadaan hutan yang luas dan lestari merupakan sebuah keniscayaan untuk meng-counter kedatangan bencana-bencana tersebut. Dunia telah mengusung "Protokol Kyoto" dan "Bali Roadmap" untuk menghijaukan bumi demi mengurangi emisi gas karbon dioksida (gas rumah kaca). Sayangnya, kondisi tersebut tidak dibarengi kesadaran publik untuk memelihara dan melestarikan hutan.

Sudah saatnya pemerintah membentuk semacam tim atau komisi lintas departemen guna menjaga kelestarian hutan. Melihat keberhasilan KPK dalam memberantas korupsi, tampaknya komisi seperti itu perlu dibentuk untuk memberantas para perusak hutan. Tanpa adanya komisi yang kuat dan bertanggungjawab langsung kepada presiden, niscaya kerusakan hutan sulit dicegah. Soalnya para perusak hutan sudan merupakan mafia yang melibatkan semua pihak, termasuk pengusaha, penguasa, politisi, TNI, dan lain-lain.

Dan yang terakhir, sebetulnya pelestarian hutan tropis Indonesia punya nilai ekonomi tinggi. Dengan mengaitkan clean development mechanism yang diusung Protokol Kyoto, pemerintah Indonesia sebenarnya bisa mendapatkan "pembayaran karbon" yang nilainya cukup besar. Ini karena hutan tropis Indonesia telah ditetapkan PBB sebagai paru-paru dunia yang dapat menyerap karbon dioksida (gas rumah) kaca yang selama ini dianggap sebagai penyebab global warming. Belum lagi sejumlah negara kreditor pernah menawarkan penghapusan utang dengan imbalan pelestarian lingkungan dan hutan. Filipina, Brasil, dan Argentina misalnya sudah mendapatkan pengurangan utang dengan mekanisme seperti itu. Kenapa Indonesia tidak?

Ikhtisar :
  • Masyarakat mudah melupakan bencana alam padahal dampaknya melebihi terorisme।
  • Kerusakan, termasuk di hutan lindung, melibatkan semua kalangan; rakyat, pejabat, polisi, tentara
  • Perlu komisi khusus lintas departemen untuk menjaga kelestarian alam.

Sumber :
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=319201&kat_id=16
Selasa, 08 Januari 2008

Nikmat Sehat

Nikmat Sehat
Oleh : Muhammad Arifin Ilham. Pimpinan Majelis Az-Zikra

Mensana incorpore sano. Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat! Semboyan Yunani ini sangat terkenal, dan banyak orang yang mempercayainya. Tapi, saat diajukan pertanyaan, ''Apakah setiap orang yang memiliki fisik yang baik dan sehat, otomatis jiwanya menjadi baik dan sehat pula?'' Saya yakin banyak yang akan mengklarifikasi. Lebih-lebih jika melihat realitas lain, banyak orang yang berfisik sehat dan kuat, namun ternyata jiwa mereka kotor (suka iri, dengki, pendendam, dan sebagainya). Mereka yang mendekam di penjara adalah mereka yang secara kasat mata sehat dan bugar, tapi kenapa mereka harus berada di balik jeruji penjara? Berarti pada sisi yang lain, mereka tidak sehat alias sakit.

Islam sangat mendukung umatnya sehat secara fisik. Hal ini seperti banyak dijelaskan oleh hadis. ''Ajarkanlah anakmu memanah, berkuda dan berenang.'' Begitu juga dengan hadis lain, ''Mukmin yang kuat lebih aku sukai daripada mukmin yang lemah.'' Bukankah, setiap orang bangga jika memiliki tubuh yang sehat, kuat, dan tak mudah terserang penyakit? Namun, janganlah faktor fisik terlalu diagung-agungkan, seolah-olah tak ada yang lebih penting di dunia ini ketimbang kesehatan, keindahan, dan kekuatan fisik.

Memang, jiwa yang sehat tidak bisa menjamin seratus persen bahwa fisik akan selalu sehat. Punya pikiran sehat tapi makanannya mengandung banyak kuman dan rumah kotor tidak terawat, ya tetap saja tidak sehat. Tapi, setidaknya, dengan menjaga kesehatan dan kesucian hati, Insya Allah dapat membantu meningkatkan kesehatan dan kekuatan fisik kita.

Lebih jauh ada tujuh sehat yang harus ada pada diri manusia beriman. Pertama, sehat hati (shihhatul qalbi). Kesehatan dan kesucian hati ini menjadi yang paling fundamental sekaligus tolok ukur bagi lahir dan tumbuhnya aktivitas kehidupan. ''Ketahuilah bahwa dalam jasad manusia ada segumpal daging, jika baik maka akan baiklah seluruh anggota tubuhnya dan jika rusak maka akan rusak pula seluruh anggota tubuhnya... itulah hati.'' Demikian tegas Rasulullah SAW.

Hati yang sehat dan bersih adalah hati yang membawa kebahagiaan, kesuksesan, kemenangan, dan kedamaian. Sungguh sukses dan beruntung hamba Allah yang suci hatinya (QS Asysyams, 9). Hati yang suci adalah hati yang sehat dan bening. Karena beningnya, ia mudah mengakses hidayah-Nya. Doa pun mustajab. Karena, saat hati bening dan sehat, ia tidak ada hijab dan langsung menembus Arasy-Nya.

Hati yang sehat adalah hati yang bercahaya. Sehingga teranglah pikirannya dan pembicaraannya. Bahkan tubuhnya 'bercahaya'. Sehingga, tidak aneh, ada yang secara fisik wajahnya biasa-biasa saja, tapi menyimpan aura yang memikat. Sehingga enak dipandang. Seperti ada karisma.

Kedua, sehat akal (shihhatul 'aqli). Orang yang akalnya sehat akan eksis dan dapat mengeksplorasi berbagai hal yang menimpanya. Karena mampu mengolah dan mencerna setiap kejadian, orang yang sehat akalnya, ucapan dan tuturannya hikmah, mau didengar. Pembeda antara manusia dan hewan adalah akal pikiran. Al-insaan hayawaanun naathiq, manusia adalah hewan yang berakal. Karena ia terampil dan cerdas menyibak hikmah, orang yang akalnya sehat menjadi ladang berseminya sifat-sifat mulia. Ikhlas, sabar, syukur, qana'ah, tawadhu', dan tawakal. Bahkan firasatnya tajam.

Ketiga, sehat fisik (shihhatul jisim). Setelah kita mampu menata hati dan akal, saatnya sehatkan fisik. Canangkan program sehat fisik. Karena, kalau fisik kita lebih kuat dan sehat insya Allah akan bisa berbuat lebih banyak. Kita serahkan saja kepada Allah sekalipun kita diberi sakit, itu urusan Allah. Yang penting tekadnya adalah ingin menjadi sehat dan kuat. Seorang ibu hamil butuh bantuan dengan belanjaannya, jika kuat fisik tentu kita akan mudah menolongnya. Atau ada orang yang dizalimi kita akan dapat menggetarkan lawan jika kita kuat.

Sujud dengan pusing itu berbeda dengan sujud dalam sehat, tahajud dalam keadaan fit akan lebih nikmat daripada tahajud dalam keadaan sakit. Maka memperbaiki gizi juga merupakan ibadah, jangan pelit untuk membeli makanan bergizi karena sekali saja kita sakit akan membutuhkan biaya yang lebih besar. Menjaga kesehatan akan membawa kebaikan.

Keempat, sehat keluarga (shihhatul ahliyyah). Keluarga merupakan wahana pendidikan sekaligus peningkatan mutu keberagamaan, sosial, politik yang pertama dan utama. Ia merupakan unsur yang paling penting dalam pembentukan karakter bangsa. Keluarga adalah tiang negara. Bila keluarga baik maka negara akan baik, demikian sebaliknya. Tidak adanya jalinan harmoni antara orang tua dan anak adalah sebuah contoh. Baik karena orang tua sibuk bekerja atau anak yang selalu pulang malam. Pada urutan berikutnya muncul masalah sosial seperti kenakalan remaja, tawuran, kriminalitas, obat-obatan terlarang (narkoba) dan seks bebas. Kalau pribadi-pribadi antar keluarga sudah mampu menyehatkan hati, akal dan fisiknya maka dengan sendirinya membentuk jalinan keluarga sehat.

Kelima, sehat lingkungan (shihhatul bii-ah). Peran lingkungan sangat menentukan bagi terbentuknya masyarakat yang berkesejahteraan, baik lahir maupun batin. Ada banyak kasus karena tidak adanya iklim dan lingkungan yang mendukung, orang yang awalnya hidup sehat, baik dan disiplin ikut-ikutan menjadi tidak. Salah satu tabiat masyarakat kita adalah gampang terpengaruh. Saat masih di kampung, senyumnya selalu mengembang, tangan selalu terjulur dan menyapa salam, mata dan lisannya terjaga, Alquran selalu ditenteng, diaji dan dikaji, jika makan ia mengajak kawannya, duduk dan rapi. Tapi, setelah berpindah lingkungan segalanya berubah. Beruntung, jika ia tinggal dalam sebuah masyarakat yang ideal baik dalam sikap, kebiasaan ataupun dalam gaya hidup. Orang yang dekat dengan tukang pandai besi, ia kecipratan 'aromanya'. Begitu juga jika ia lekat dengan penjual minyak wangi, harum dan wanginya akan terimbas. Karena itu betapa pentingnya mempunyai masyarakat dan lingkungan yang baik dan sehat. Akan ada kompetisi terselubung untuk tetap hidup sehat dan baik.

Keenam, sehat negara atau pemerintahan (shihhatud daulah). Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, unsur masyarakat baik dari tingkat yang terkecil seperti kelurahan atau di atas itu selalu menjadi ukuran bagi sukses tidaknya penyelenggaraan pemerintahan sebuah negara. Jika yang ditemukan berupa ketenteraman, kedamaian, keadilan, dan kesehatan atau pendidikan yang terjangkau, maka di sanalah ukuran kesuksesan sebuah negara. Jadi sehat tidaknya penyelenggaraan negara sangat ditentukan bagaimana masing-masing pribadi mengejawantah nila-nilai luhur di atas yang mengkristal dalam sebuah komunitas masyarakat berbangsa dan bernegara. Dan negara yang sehat harus menjadi cita-cita bersama untuk mewujudkannya.

Ketujuh, sehat masyarakat dunia (shihhatul 'alamiyah). Isu global warming yang sedang hangat saat ini sebenarnya bisa dicegah jika saja masyarakat dunia mampu menerapkan hidup bersahaja dan ramah lingkungan. Mental arif ini merupakan refleksi dari sehat hati (shihhatul qalbiyah) yang dikembangkan oleh masing-masing kita yang mempunyai ikatan keluarga, lingkungan dan kesatuan negara. Semoga dengan sehat masyarakat dunia, terciptalah tatanan kehidupan yang nyaman, sehat dan damai. Lebih-lebih jika semua berada dalam payung syariat Allah. Pemanasan global pun, insya Allah menjadi terhindarkan. Bukankah, akan Allah janjikan untuk penduduk sebuah negeri jika mereka beriman dan bertaqwa, dengan turunnya keberkahan dari langit dan bumi, baldatun thayyibatun warabbun ghafuur, negeri yang makmur dan berpayung ampunan-Nya. Inilah sesungguhnya atsar dari nikmatnya hidup sehat. Wallahu a'alam.

Ikhtisar :
  • Islam mendukung umat yang sehat fisik, tampak pada hadits untuk mengajarkan anak memanah, berenang dan berkuda
  • Kesehatan hati dapat membantu meningkatkan kesehatan fisik.
  • Tujuh sehat terdapat pada orang beriman; yaitu sehat hati, akal, fisik, keluarga, lingkungan, negara, dan dunia.

Sumber :
http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=16
Jumat, 11 Januari 2008

Memahami Sejarah Hijriah

Memahami Sejarah Hijriah

Oleh : Said Aqiel Siradj, Ketua PBNU

Sebelum kedatangan agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW, masyarakat Arab memakai kalender lunisolar, yaitu kalender lunar yang disesuaikan dengan matahari. Tahun baru (Ra's as-Sanah = "Kepala Tahun") selalu berlangsung setelah berakhirnya musim panas sekitar September.

Bulan pertama dinamai Muharram, sebab pada bulan itu semua suku atau kabilah di Semenanjung Arabia sepakat untuk mengharamkan peperangan. Pada bulan Oktober, daun-daun menguning sehingga bulan itu dinamai Shafar ("kuning"). Bulan November dan Desember pada musim gugur (rabi`) berturut-turut dinamai Rabi`ul-Awwal dan Rabi`ul-Akhir. Januari dan Februari adalah musim dingin (jumad atau "beku"), sehingga dinamai Jumadil-Awwal dan Jumadil-Akhir. Kemudian salju mencair (Rajab) pada bulan Maret.

Bulan April di musim semi merupakan bulan Sya'ban (syi'b = lembah), saat turun ke lembah-lembah untuk mengolah lahan pertanian atau menggembala ternak. Pada bulan Mei, suhu mulai membakar kulit, lalu suhu meningkat pada bulan Juni. Itulah bulan Ramadhan ("pembakaran") dan Syawwal ("peningkatan").

Bulan Juli merupakan puncak musim panas yang membuat orang lebih senang istirahat duduk di rumah daripada bepergian, sehingga bulan ini dinamai Dzul-Qa`dah (qa`id = duduk). Akhirnya, Agustus dinamai Dzul-Hijjah, sebab pada bulan itu masyarakat Arab menunaikan ibadah haji ajaran nenek moyang mereka, Nabi Ibrahim AS.

Setiap bulan diawali saat munculnya hilal, berselang-seling 30 atau 29 hari, sehingga 354 hari setahun, 11 hari lebih cepat dari kalender solar yang setahunnya 365 hari. Agar kembali sesuai dengan perjalanan matahari dan agar tahun baru selalu jatuh pada awal musim gugur, maka dalam setiap periode 19 tahun ada tujuh buah tahun yang jumlah bulannya 13 (satu tahunnya 384 hari). Bulan interkalasi atau bulan ekstra ini disebut nasi' yang ditambahkan pada akhir tahun sesudah Dzul-Hijjah.

Ternyata, tidak semua kabilah di Semenanjung Arabia sepakat mengenai tahun-tahun mana saja yang mempunyai bulan nasi'. Masing-masing kabilah seenaknya menentukan bahwa tahun yang satu 13 bulan dan tahun yang lain cuma 12 bulan. Lebih celaka lagi, jika suatu kaum memerangi kaum lainnya pada bulan Muharram (bulan terlarang untuk berperang) dengan alasan perang itu masih dalam bulan nasi', belum masuk Muharram, menurut kalender mereka. Akibatnya, masalah bulan interkalasi ini banyak menimbulkan permusuhan di kalangan masyarakat Arab.

Setelah masyarakat Arab memeluk agama Islam dan bersatu di bawah pimpinan Nabi Muhammad SAW, maka turunlah perintah Allah SWT agar umat Islam memakai kalender lunar yang murni dengan menghilangkan bulan nasi'. Hal ini, tercantum dalam kitab suci Alquran Surat Attaubah ayat 36 dan 37. Dengan turunnya wahyu Allah di atas, Nabi Muhammad SAW mengeluarkan dekrit bahwa kalender Islam tidak lagi bergantung kepada perjalanan matahari.

Meskipun nama-nama bulan dari Muharam sampai Dzul-Hijjah tetap digunakan karena sudah populer pemakaiannya, bulan-bulan tersebut bergeser setiap tahun dari musim ke musim, sehingga Ramadhan ("pembakaran") tidak selalu pada musim panas dan Jumadil-Awwal ("beku pertama") tidak selalu pada musim dingin.

Mengapa harus kalender lunar murni? Hal ini, disebabkan agama Islam bukanlah hanya untuk masyarakat Arab di Timur Tengah saja, melainkan untuk seluruh umat manusia di berbagai penjuru bumi yang letak geografis dan musimnya berbeda-beda. Sangatlah tidak adil, jika misalnya Ramadhan (bulan menunaikan ibadah puasa) ditetapkan menurut sistem kalender solar atau lunisolar, sebab hal ini mengakibatkan masyarakat Islam di suatu kawasan berpuasa selalu di musim panas atau selalu di musim dingin.

Sebaliknya, dengan memakai kalender lunar yang murni, masyarakat Kazakhstan atau umat Islam di London berpuasa 18 jam di musim panas, tetapi berbuka puasa pukul empat sore di musim dingin. Umat Islam yang menunaikan ibadah haji pada suatu saat merasakan teriknya matahari Arafah di musim panas, dan pada saat yang lain merasakan sejuknya udara Makkah di musim dingin.

Pada masa Nabi Muhammad SAW, penyebutan tahun berdasarkan suatu peristiwa yang dianggap penting pada tahun tersebut। Misalnya, Nabi Muhammad saw lahir tanggal 12 Rabi`ul-Awwal Tahun Gajah ('Am al-Fil), sebab pada tahun tersebut pasukan bergajah, raja Abrahah dari Yaman berniat menyerang Ka'bah.

Ketika Nabi Muhammad saw wafat tahun 632, kekuasaan Islam baru meliputi Semenanjung Arabia. Tetapi, pada masa Khalifah Umar ibn Khattab (634-644) kekuasaan Islam meluas dari Mesir sampai Persia. Pada tahun 638, Gubernur Irak Abu Musa al-Asy`ari berkirim surat kepada Khalifah Umar di Madinah, yang isinya antara lain: "Surat-surat kita memiliki tanggal dan bulan, tetapi tidak berangka tahun. Sudah saatnya umat Islam membuat tarikh sendiri dalam perhitungan tahun."

Khalifah Umar ibn Khattab menyetujui usul gubernurnya ini. Terbentuklah panitia yang diketuai Khalifah Umar sendiri dengan anggota enam Sahabat Nabi terkemuka, yaitu Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Talib, Abdurrahman ibn Auf, Sa`ad ibn Abi Waqqas, Talhah ibn Ubaidillah, dan Zubair ibn Awwam. Mereka bermusyawarah untuk menentukan Tahun Satu dari kalender yang selama ini digunakan tanpa angka tahun. Ada yang mengusulkan perhitungan dari tahun kelahiran Nabi ('Am al-Fil, 571 M), dan ada pula yang mengusulkan tahun turunnya wahyu Allah yang pertama ('Am al-Bi'tsah, 610 M). Tetapi, akhirnya yang disepakati panitia adalah usul dari Ali ibn Abi Talib, yaitu tahun berhijrahnya kaum Muslimin dari Makkah ke Madinah ('Am al-Hijrah, 622 M).

Ali ibn Abi Talib mengemukakan tiga argumentasi. Pertama, dalam Alquran sangat banyak penghargaan Allah bagi orang-orang yang berhijrah (al-ladzina hajaru). Kedua, masyarakat Islam yang berdaulat dan mandiri baru terwujud setelah hijrah ke Madinah. Ketiga, umat Islam sepanjang zaman diharapkan selalu memiliki semangat hijriyah, yaitu jiwa dinamis yang tidak terpaku pada suatu keadaan dan ingin berhijrah kepada kondisi yang lebih baik.

Maka, Khalifah Umar ibn Khattab mengeluarkan keputusan bahwa tahun hijrah Nabi adalah Tahun Satu, dan sejak saat itu kalender umat Islam disebut Tarikh Hijriyah. Tanggal 1 Muharram 1 Hijriyah bertepatan dengan 16 Tammuz 622 Rumi (16 Juli 622 Masehi). Tahun keluarnya keputusan Khalifah itu (638 M) langsung ditetapkan sebagai tahun 17 Hijriyah. Dokumen tertulis bertarikh Hijriyah yang paling awal (mencantumkan Sanah 17 = Tahun 17) adalah Maklumat Keamanan dan Kebebasan Beragama dari Khalifah Umar ibn Khattab kepada seluruh penduduk Kota Aelia (Yerusalem) yang baru saja dibebaskan laskar Islam dari penjajahan Romawi.

Kalender Hijriyah setiap tahun 11 hari lebih cepat dari kalender Masehi, sehingga selisih angka tahun dari kedua kalender ini lambat laun makin mengecil. Angka tahun Hijriyah pelan-pelan 'mengejar' angka tahun Masehi, dan menurut rumus di atas keduanya akan bertemu pada tahun 20526 Masehi yang bertepatan dengan tahun 20526 Hijriyah. Saat itu, kita entah sudah berada di mana. "Demi waktu. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian." Begitulah, pesan Alquran dalam surah Al-'Ashr.

Ikhtisar :
  • Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab memakai kalender lunisolar yang berpatokan pada matahari.
  • Pada kalender tersebut, setiap 19 tahun terdapat tujuh tahun yang mendapat tambahan bulan untuk menyesuaikan awal tahun dengan musim gugur.
  • Penetapan penambahan bulan kerap memicu pertikaian di antara para suku.
  • Turun perintah Allah untuk menggunakan kalender lunar murni.
  • Kalender lunar murni memberikan keadilan bagi seluruh warga bumi, misalnya dalam hal beban puasa.
  • Khalifah Umar ibn Khattab memutuskan peristiwa hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah sebagai tahun 1 yang diusulkan Ali ibn Abi Thalib.

Sumber :
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=319323&kat_id=16
Rabu, 09 Januari 2008

Hijrahlah Agar Terhindar dari Bencana

Hijrahlah Agar Terhindar dari Bencana!
Oleh : KH A Hasyim Muzadi
Masih adakah yang tersisa dari praduga kita bahwa bencana yang datang beruntun adalah bentuk dari sebuah cobaan dan ujian? Rasanya sulit menghindar dari kenyataan bahwa serangkaian bencana ini datang akibat kecerobohan kita sendiri sebagai hamba Allah SWT। Bukankah bukti-bukti sudah terang benderang? Bukankah bencana yang menyergap semua sisi kehidupan kita adalah buah dari keanehan mental kita yang terbiasa melakukan perusakan?

Jangan lagi menyalahkan alam. Jangan lagi menuding alam bertingkah dan tak lagi bersahabat dengan kita. Kini waktunya menyalahkan diri sendiri atas segala persoalan yang datang tiada henti, bergelombang tanpa diketahui ujung pangkalnya. Kita pantas takut karena bencana tidak saja menghantam mereka yang bertindak lalim tetapi juga menghempaskan mereka yang biasa berlelaku saleh. Wattaquu fitnatan laa tushibannalladzina dhalamuu minkum khoossoh. Demikian Allah SWT mengingatkan kita semua. Apa yang sejatinya terjadi dengan alam tempat kita tinggal? Adakah yang salah dengan alam kita ataukah kita penyebab semuanya?

Di tengah kian tak kuasanya kita memprediksi di bagian manakah lagi bentangan daratan kita yang akan diterjang musibah, beberapa hari ke depan akan segera datang tahun baru Islam yang biasa kita kenal dengan Tahun Hijriyah. Inilah tahun yang ke-1429 sejak Baginda Muhammad melakukan hijrah, dari tanah air tercintanya, Kota Makkah Almukarramah, menuju Yatsrib, Madinah Almunawwarah, Kota Yang Tercerahkan.

Hijrah merupakan pilihan terakhir yang dianjurkan Baginda Rasul kepada pengikutnya, karena situasi dan kondisi di Makkah dan sekitarnya tengah mengancam entitas ummat Islam. Kalau tidak karena kekhawatiran yang begitu kuat menekan jiwa baginda dan kian tampaknya tingkat kecemasan pada umat Islam saat itu, Rasulullah tak akan melakukan hijrah. Adakah relevansi hijrah dengan kondisi bangsa kita belakangan? Rasanya, hijrah akan selalu relevan dilakukan mengingat kondisi bangsa yang kian carut-marut.

Bagaimana kita melakukan hijrah sekarang ini? Hijrah, demikian para ulama biasa mengelaborasi langkah politik Baginda Rasul ini, bisa dilakukan dengan banyak alasan dan motivasi. Untuk memudahkan implementasinya, hijrah bisa pula dibagi menjadi dua: hijrah badani dan hijrah rohani. Hijrah badani dapat dilakukan, misalnya, bila tanah tempat kita tinggal tak mampu memberikan rasa aman terhadap jiwa, properti serta kehormatan.

Bila sebuah kota menjadi garang, sebuah komunitas menjelma kanibal, sebuah pemerintahan ibarat lintah yang tiada henti mengisap darah rakyatnya, para pemimpin ibarat benalu yang setiap saat merampas hak-hak rakyat dan para pemangku keamanan tiada jemu menebar rasa takut kepada kita; maka waktunya kita berhijrah ke tempat lain yang jauh lebih aman!

Hijrah badani bisa juga dilakukan jika sebuah bangsa sudah tak lagi merahmati kodrat kemajemukan, gemar membuang jauh-jauh sikap toleran, hidup penuh curiga, sukuisme jadi semangat hidup tertutup dan membabat habis suku lainnya, agama menjelma alat menumpahkan darah atas nama Tuhan, serta kekerabatan antargolongan yang mengakibatkan maraknya tindakan saling tuding, saling injak, saling serang, saling bunuh, saling bakar dan saling memusnahkan antarmereka; maka segeralah berhijrah!

Bagaimana mungkin tuan-tuan bisa duduk nyaman, sementara kekerasan terjadi di depan mata dan baru akan bertindak setelah terbitnya sebuah fatwa atas nama sebuah firman. Tindak kekerasan, dalam agama apa pun, tak disukai dan sungguh dikutuk. Bagaimana mungkin sebuah keyakinan membunuh keyakinan lainnya. Apalagi, kita belum pernah membaca sejarah soal adanya pertikaian antarnabi dan antarrasul.

Hijrah dalam spektrum rohani sifatnya lebih mendalam, karena akan sangat memengaruhi kesehatan tingkah laku, kekuatan mental dan ketahanan jiwa serta keagungan spiritual. Dalam diri kita, telanjur banyak anasir negatif, gerombolan tentara hawa nafsu, jiwa serigala, semangat ingin selalu menang, tak mau mengalah, angkuh, bernafsu menguasai dan kecenderungan-kecenderungan buruk lainnya.

Inilah saatnya kita melakukan hijrah rohani. Sepanjang hari kita cuma disajikan fragmen bagaimana kaum terhormat menjelma serigala yang buas, menempatkan rakyat di ujung tombak untuk sebuah perburuan kursi dan kekuasaan, menebar janji yang selalu diingkari, berkata-kata manis-retoris padahal isinya cuma dusta. Duhai dia yang mengaku terhormat! Segeralah berhijrah secara rohani. Berhijrahlah dari kursi empuk yang anda duduki karena hati rakyat sudah lama menangis.

Berhijrahlah dari menara gading, karena mata hati rakyat tak pernah lelap. Berhijrahlah dari segala keinginan jahat karena hati rakyat tak pernah lupa mendoakan tuan-tuan agar dapat berhati sejuk. Hijrah dan turunlah! Sebab hati rakyat cuma dapat diselami di dasar samudera jiwa yang amat luas. Berhijrahlah, karena sudah lama nama tuan-tuan menempati ruang hati kami, tergurat kuat dalam bola mata kami. Sadarlah segera bahwa setiap kami memohon perlindungan Allah SWT untuk tuan-tuan, hati kami menjerit karena setiap kali itu juga tuan-tuan merusak hati kami sebagai tempat tuan-tuan bersemayam.

Berhijrahlah! Karena setiap kali nama tuan-tuan muncul di lidah kami, bukan kedamaian yang datang menjelang tetapi justru kelebatan sosok tuan-tuan yang menakutkan. Sadarkah tuan-tuan bahwa kami tak pernah lelap tidur sebelum memohonkan keselamatan tuan-tuan. Wahai bangsaku! Renungkanlah sebuah firman Allah SWT, Qul hual qaadiru 'alaa an yab'atsa 'alaikum adzaaban min fauqikum au min tahti arjulikum au yalbisakum syiyaa-'an wayudziiqa ba'dhakum ba'sa ba'dhin; unzhur kaifa nusharriful ayaati la'allahum yafqahuun Katakan, Dialah Yang Mahakuasa mengantarkan kepada kalian azab dari atas kalian, atau dari bawah kaki-kaki kalian, atau mengacaukan kalian dalam kelompok-kelompok fanatik dan mencicipkan keganasan sebagian dari kalian kepada sebagian yang lain. Lihatlah bagaimana Kami mendatangkan silih berganti tanda-tanda kekuasaan Kami, agar mereka mengerti.

Tidakkah kita menyadari bahwa ayat ini sungguh tegas untuk menjelaskan segalanya? Karbondioksida sudah nyata menjadi ancaman terbesar bangsa kita dan anak semua bangsa di dunia ini, tetapi tetap saja kita membiarkan segelintir orang membakar udara. Karbondiaksoda dengan leluasa membakar udara anaka-anak manusia. Akibatnya, para petani kita tak tahu lagi kapan harus menanam dan kapan harus panen. Iklim yang dengan mudah bisa diramalkan oleh BMG, seperti membuat semua ukuran jadi absurd. Bahkan, hujan pun seperti leluasa turun kapan saja ia mau.

Lalu, terjadilah banjir bandang dan berguguranlah tebing-tebing gundul yang menimpa puluhan anak bangsa. Bukankah ini sebuah azab yang Allah turunkan dari atas kepala kita. Mau bukti lagi? Mari kita mengarahkan kembali perhatian ke sebuah sudut di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Bagaimana mungkin hamparan maha luas lumpur panas bisa dengan bebasnya menerjang kehidupan sebagian saudara kita, menghempaskan apa saja dari bawah kaki-kaki mereka? Ya Allah! Kalau menggunakan ayat ini sebagai ukuran, maka benarlah sudah, semua yang terjadi benar-benar azab dari-Mu Ya Allah!

Tetapi apa yang bisa kita lakukan? Padahal Allah jelas-jelas mengingatkan bahwa bencana dan azab selalu datang berulang-ulang tetapi kita tetap saja tidak menyadari kesalahan kita sendiri. Duhai bangsaku! Berhijrah secara rohani sebelum terpaksa hijrah secara fisik. Marilah kembali menghadirkan Allah SWT ke dalam nurani kita, mengalirkan Asma-Nya Yang Agung dalam darah kita, menjadikan sifat-Nya menyelimuti tingkah laku kita, menghadirkan keagungan Allah di ujung lidah-lidah kita. Mari kita jadikan Tahun 1429 Hijriyah sebagai titik berangkat menuju kehidupan badani dan ruhani yang jauh lebih sublim, tulus, ikhlas dan tetap bersamaan dengan taufik Allah SWT. Wallaahu a'lamu bisshawaab.

Sumber :
http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=49
Minggu, 06 Januari 2008

Selamat Tahun Baru 1429 H

Selamat Tahun Baru 1429 H

Oleh : H. Ali Murthado

ALHAMDULILLAH, kini kita telah memasuki tahun 1429 H. Telah kita tinggalkan tahun 1428 H dengan berbagai kenangan yang hadir di dalamnya. Ada cerita suka dan banyak pula cerita duka. Keduanya silih berganti, mengejar, hilang dan timbul dalam kehidupan kita. Semuanya itu pada dasarnya merupakan ujian bagi kita. Apakah kita mampu menyikapi segala persoalan tersebut dengan arif dan bijaksana sekaligus menjadikannya sebagai i'tibar dalam kehidupan kita, atau menjadikan baginya sesuatu yang hilang begitu saja.

Pergantian tahun hijriah ini, memang tidak semeriah pergantian tahun masehi. Hal ini dikarenakan, masyarakat kita adakalanya tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Islam mempunyai kelender tersendiri. Akibatnya, kita lebih menonjolkan kalender masehi daripada kalender hijriah. Terlepas dari tahu atau tidaknya kita mengenai penanggalan tahun hijriah ini. Paling tidak bagi mereka yang memahami akan keberadaan tahun hijriah ini mampu menjadikan proses pergantian tahun ini memberikan arti tersendiri bagi dirinya.

Ada memang sebagian kita yang merayakan tahun baru hijriah ini. Lewat acara-acara seremonial. Tidak salah memang, tetapi paling tidak kita juga harus memberikan kesan bahwa tahun baru tidak hanya dirayakan atau diperingati semata, namun makna esensi dari tahun baru hijriah itu yang diharapkan mampu menjadi semangat kita.

Kalau kita merujuk dari hijrahnya Nabi Muhammad saw dari Mekkah ke Madinah yang akhirnya menjadi awal penanggalan tahun bagi umat Islam. Jelas ini memiliki makna yang sangat penting dalam Islam. Karena dalam proses hijrah itulah, Islam mulai 'berkibar'. Artinya, dakwah Islam sudah mulai diterima masyarakat khususnya di kota Madinah. Selama 13 tahun dakwah Rasululllah di Mekkah, maka penerapannya lebih berorientasi kepada aqidah dan akhlak saja, kemudian di saat di Madinahlah, implementasi dari Aqidah dan Akhlak tersebut di lakukan dengan perbuatan-perbuatan yang tidak saja berhubungan dengan hablum minallah, seperti perintah salat, puasa dan haji tetapi juga hubungan dengan hablum min nash yang harus juga diutamakan.

Selain itu, pelajaran yang penting dari momentum hijrah ini juga adalah persaudaraa. Di mana Nabi mengokohkan arti persaudaraan di antara umat Islam itu sendiri, hal ini tercermin dari mempersaudarakan antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin.

Berbagai 'pelajaran' bisa dipetik dari hijrahnya Nabi ini. Dan ini juga mampu menjawab pesimisme agama lain, seolah-olah Islam adalah agama kekerasan, agama yang disebar dengan pedang dan asumsi-asumsi negatif lainnya. Tentunya hal itu tidak benar. Islam adalah ramhamatan lil 'alamin. Ia tidak hadir untuk umat Islam saja, tetapi semua makhluk akan tenang jika Islam menjadi sebuah 'penerang'.

Memang, beberapa kelompok terlalu 'arogan' dalam menempatkan Islam di tengah-tengah masyarakat. Padahal Nabi sudah mengajarkan bahwa tempatkanlah diri kita dengan nilai-nilai Islam secara universal. Yaitu, Islam yang memberikan kedamaian, Islam yang memberikan keselamatan dan Islam yang memberikan kebahagiaan. Sayangnya memang, orang lebih melihat mereka yang arogan dalam mendakwahkan Islam, daripada mereka-mereka yang lebih mengutamakan nilai-nilai dakwah dengan hikmah.

Setiap kita pasti memahami, bahwa tidak mungkin orang yang kita ajak akan langsung menerima ajakan kita. Jika kita tidak berbuat apa yang ada di dalam al-Qur'an dan Sunnah. Untuk itu, memang diperlukan keteladanan, baik itu keteladana para pemimpin, keteladanan para ulama maupun keteladanan umat Islam itu sendiri.

Ini yang sekarang hilang dari semangat kita. Bayangkan, Nabi Muhammad saw telah memberikan keteladanan dalam hidupnya. Ia tidak hanya berkata, tetapi lebih dahulu dilakukannya. Ini menunjukkan bahwa untuk mengajak orang harus lebih dahulu kita yang melakukannya. Oleh karena itu. Mari semangat hijrah tetapi kita munculkan. Kita harus hijrah dari sesuatu yang tidak baik yang selama ini kita lakukan, kepada sesuatu yang baik. Kalau tahun lalu kita lebih menyibukkan diri hanya dalam urusan dunia saja, diharapkan pada tahun ini kita tidak hanya sibuk dalam urusan dunia, tetapi juga menyandingkan diri kita dalam kesibukan untuk urusan akhirat. Akhirnya. Mari kita jadikan tahun 1429 H ini tahun kebangkitan Islam, tahun penyadaran kita sebagai seorang hamba dan tahun untuk segera kembali kepada habitat pedoman kita yaitu al-Qur'an dan Sunnah. Sudah lama kita tinggalkan pedoman yang ditinggalkan Rasulullah ini, maka marilah kita kembali kepadanya, Insya Allah kita akan menjadi hamba-hamba yang memahami akan keberadaan kita di dunia ini. Selamat tahun baru 1429 H. ****

Sumber :
http://www.analisadaily.com/
Edisi Jumat, 11 Januari 2008