Kamis, April 03, 2008

Ribuan Pakis Hijaukan Lereng Gunung Lawu

Ribuan Pakis Hijaukan Lereng Gunung Lawu

Semarang, Senin - Lereng Gunung Lawu di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, telah ditanami pohon pakis tak kurang dari 15.000 pohon sejak Desember 2007 hingga Maret 2008. Sampai akhir 2008, kawasan tersebut akan ditanami 50.000 pohon pakis sebagai usaha penghijauan. "Secara keseluruhan, pohon pakis itu akan ditanam di atas lahan seluas 5 ribu hektare tersebar di lima kecamatan, meliputi Kecamatan Ngargoyoso, Jenawi, Mateseh, Tawangmangu, dan Jatiyoso," kata Kepala Kantor Informasi dan Komunikasi (KIK) Kabupaten Karanganyar, Iskandar ketika dihubungi dari Semarang, Senin (31/3).


Selain untuk penghijauan, penanaman pohon pakis itu dimaksudkan pula sebagai pelestarian hutan. Apalagi akhir-akhir ini pohon pakis sering diburu oleh masyarakat sebagai media tanaman hias jenis anthurium. Sebagai langkah awal penanaman pohon pakis itu dilaksanakan di Desa Anggrasmanis, Kecamatan Jenawi pada 12 Desember 2007. "Saat itu masyarakat setempat menanam sekitar 1.500 pohon pakis di atas lahan seluas tiga hektare," katanya.


Sejak tanaman hias jenis anthurium booming, katanya, banyak pohon pakis diambil untuk dijadikan media tanaman hias ini. "Untuk mengatasi agar hutan pakis tetap lestari, maka Pemkab Karanganyar bersama jajaran Perhutani dan masyarakat peduli lingkungan akan menanam pohon pakis di lereng Gunung Lawu. Diharapkan tahun 2008 sebanyak 50 ribu pohon pakis sudah tertanam semua." (ANT/WAH)

Sumber :

http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/03/31/18433542/ribuan.pakis.hijaukan.lereng.gunung.lawu.

Senin, 31 Maret 2008 | 18:43 WIB

Tiga Negara Bicarakan Konservasi Kalimantan

Tiga Negara Bicarakan Konservasi Kalimantan

Jakarta, Kamis - Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam akan melaksanakan The 2nd Tri-Lateral Meeting di Pontianak pada tanggal 4-5 April 2008. Pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari the 1st HoB (Heart of Borneo) Tri-Lateral Meeting di Brunei Darussalam tanggal 18-20 Juli 2007 dan Preparatory Meeting for the 2nd HoB Tri-Lateral Meeting.


The 2nd Tri-Lateral Meeting ini akan membahas Rencana Aksi Strategis (Strategic Plan of Action Heart of Borneo) forum tiga negara untuk Heart of Borneo yang selanjutnya akan menjadi dasar untuk mewujudkan visi konservasi dan pembangunan berkelanjutan ketiga negara tersebut di jantung pulau Borneo. Rencana aksi ketiga negara ini merupakan tindak lanjut deklarasi ketiga negara untuk Heart of Borneo sebelumnya di Bali.


Dalam deklarasi tersebut tiap negara memperoleh mandat untuk menyiapkan dokumen kerja nasional (National Project Document) terkait rencana dan langkah operasional untuk melaksanakan konsep HoB baik di tingkat nasional maupun lokal.


Program kerja sama yang telah disepakati ketiga negara dalam HoB ini meliputi kerja sama lintas batas (Transboundary Management), pengelolaan kawasan konservasi (Protected Areas Management), pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan pada kawasan non-konservasi (Sustainable Natural Resource Management), dan pendanaan (Sustainable Financing).


Dalam the 2nd Tri-Lateral Meeting di Pontianak tanggal 4-5 April 2008, diharapkan terwujud kesepakatan pembentukan kelembagaan HoB untuk memudahkan forum mengimplementasikan deklarasi secara efektif. Kelembagaan ini nantinya akan menginisiasi, mendukung, dan menyiapkan mekanisme dialog, konsultasi, kerjasama, dan partisipasi tiga negara ini dalam hal penyusunan dan pelaksanaan inisiatif konservasi dan pembangunan berkelanjutan dalam lingkup HoB.


Heart of Borneo, merupakan upaya konservasi hutan lintas negara Indo-Malayan di Asia Tenggara, tepatnya di Pulau Borneo, dengan areal seluas 220.000 km2 yang mencakup wilayah Indonesia (57,1%), Malaysia (42,3%), dan Brunei Darussalam (0,6%). Heart of Borneo dengan luas areal hampir sepertiga dari luas total Pulau Borneo, merupakan ekosistem unik yang memiliki biodiversitas tinggi dengan kondisi geografis didominasi oleh dataran tinggi dan pegunungan dan menjadi daerah serapan air yang menyediakan air ke seluruh Pulau Borneo.(Ant)

Sumber :

http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/04/03/10294482/tiga.negara.bicarakan.konservasi.kalimantan

Kamis, 3 April 2008 | 10:29 WIB

Makin Paham Perubahan Iklim, Orang Makin Apatis

Makin Paham Perubahan Iklim, Orang Makin Apatis

Jakarta, Senin - Semakin tahu seseorang tentang fenomena perubahan iklim, tampaknya kian tak mau ambil peduli alias apatis. Demikian hasil survei lewat telpon yang dilakukan oleh dua peneliti ilmu politik dari Universitas Texas A&M, Amerika Serikat. Penelitian yang melibatkan 1.093 responden ini mendapati tren apatis, dan hal itu diungkapkan dalam jurnal ilmiah berjudul "Risk Analysis" edisi teranyar, Senin (31/3).


"Semakin paham responden kami tentang isu perubahan iklim, mereka semakin sadar bahwa mereka sebagai pribadi sangat bertanggungjawab atas fenomena ini, tapi mereka di sisi lain juga semakin tidak mau peduli terhadap pemanasan global," demikian dikutip dari hasil penelitian berjudul "Kemanjuran Pribadi, Informasi Lingkungan Hidup, dan Perilaku Menyikapi Pemanasan Global dan Perubahan Iklim di Amerika Serikat" itu.


Kajian ini menunjukkan bahwa ketika para ahli sudah berhasil memompa pehamanan publik AS tentang isu perubahan iklim, yang terjadi justru penurunan rasa tanggung jawab terhadap pemanasan global. Menurunnya perhatian publik Amerika terhadap tanggungjawab mereka terjadi tepat ketika kampanye perubahan iklim demikian meledak, salah satunya lewat film "An Inconvenient Truth and Ice Age: The Meltdown" serta curahan perhatian media untuk isu ini.


Para peneliti, Paul M Kellstedt dan Arnold Vedlitz, dosen ilmu politik di Texas A&M menyebutkan bahwa hasil penelitian mereka memang sedikit di luar perkiraan awal. Kellstedt menjelaskan, fokus penelitian ini bukan untuk menakar seberapa paham publik Amerika terhadap isu pemanasan global, tapi untuk mencari tahu apakah mereka lebih peduli seiring dengan taraf pemahaman mereka tersebut. "Berangkat dari situ, kami tidak punya ekspektasi soal tingkat pemahaman publik tentang pemanasan global," katanya. Tapi, Kellstedt menambahkan, temuan ini justru menunjukkan bahwa semakin paham seseorang soal perubahan iklim, mereka justru merasa makin tidak wajib bertanggungjawab atas fenomena berubahnya iklim dan ini sangat mengejutkan.


"Kami berharap hal yang sebaliknya terjadi, tapi nyatanya kondisi di lapangan tidak demikian adanya. Hasil penelitian kami, yang memang masih minim dalam hal responden, menampakkan faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkat kepedulian publik terhadap perubahan iklim," katanya. (ANT/WAH)


Sumber :

http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/03/31/18494727/makin.paham.perubahan.iklim.orang.makin.apatis

Senin, 31 Maret 2008 | 18:49 WIB

Tak Ada Lagi Bakau di Marunda

Tak Ada Lagi Bakau di Marunda

Oleh : Mulyawan Karim


Haji Tarmizi masih ingat, pada tahun 1970-an Marunda, kampungnya, sering dijadikan lokasi pembuatan film. Sebut saja, misalnya, Singa Betina dari Marunda yang dibintangi WD Mochtar, Hadi Sjam Tahak, dan Connie Suteja serta Benyamin Tarzan Kota, dengan pemeran utama aktor Betawi kocak Benyamin Sueb.


Singa Betina dan Tarcuma adalah dua dari sederet film yang shooting-nya dilakukan di desa pesisir di ujung timur Teluk Jakarta itu. ”Waktu itu rumah saya ini suka dijadikan tempat menginap artis dan awak film,” kenang Tarmizi dalam obrolan hari Minggu lalu di rumahnya, tak sampai 20 meter dari sisi timur muara Kali Blencong, sungai lebar yang membelah dataran Marunda jadi dua. ”Saya dan teman-teman malah sering ikut diajak main jadi figuran,” kenang lelaki Betawi berumur 52 tahun itu, yang mengaku warga asli Marunda.


Menurut Tarmizi, waktu itu alam Marunda masih indah. ”Pohon kelapa masih ada di mana-mana. Tepian Sungai Blencong dan kali-kali kecil lain yang mengitarinya dipadati pohon enau. Pada masa 30-an tahun lalu Marunda juga bukan kampung yang terletak langsung di tepi laut seperti sekarang. ”Jarak dari kampung ini ke laut masih beberapa kilometer. Untuk sampai ke laut kami masih harus naik perahu, lewat hutan bakau dan tambak-tambak ikan bandeng dan udang,” ujar Tarmizi, yang kini Ketua RT 01 RW 07 Kelurahan Marunda, Cilincing, Jakarta Utara.


Kini nyaris tak ada lagi kehijauan di Marunda. Tak ada sepotong pun pohon kelapa dan enau yang masih bisa dilihat di sana. Hutan bakau Marunda yang luas dan lebat pun tinggal cerita. Hutan tumbuhan khas daerah pesisir itu sudah punah akibat proses abrasi yang terus menggerus tanah pantainya selama lebih dari 30 tahun.


Dari sebuah desa yang leluasa dan aman dari ancaman gelombang laut, Marunda kini sudah berubah menjadi perkampungan relatif padat yang berada langsung di tepi laut terbuka. Sebagian rumah warga bahkan berdiri hanya beberapa meter dari bibir pantai, membuatnya seperti akan tersapu setiap kali gelombang besar datang. ”Belum lama ini pos kamling (pos keamanan lingkungan) yang kami bangun hancur oleh gelombang besar,” ujar Tarmizi sambil menunjuk sisa-sisa bangunan pos keamanan yang sudah rata dengan tanah.


Penambangan pasir


Menurut Tarmizi, kehancuran hutan bakau Marunda dimulai pada awal tahun 1890-an. Ketika itu secara besar-besaran terjadi penambangan atas pasir beting di perairan laut Marunda untuk pembangunan jalan raya Cakung-Cilincing. Beting atau bukit pasir yang menyembul di laut itu membentang sepanjang sekitar 5 kilometer dari perairan pantai Cilincing di barat sampai ke daerah Muara Gembong di Bekasi.


Jaelani Asmat, warga lain Marunda, bahkan mengingatkan, penambangan pasir beting Marunda secara besar-besaran sudah terjadi sejak tahun 1960-an, saat pemerintah membangun jalan Jakarta By Pass, jalan raya yang menghubungkan daerah Cawang di Jakarta Timur dan Tanjung Priok di Jakarta Utara. ”Beting yang lebarnya mencapai sekitar 20 meter ini merupakan benteng alam pelindung hutan bakau dan daratan Marunda,” cerita Jaelani. Setelah beting hilang, karena pasirnya terus diambil, daerah Marunda jadi langsung berada di tepi laut terbuka.


Ditambahkan Jaelani, berbagai faktor lain ikut mempercepat penghancuran lingkungan alam pesisir Marunda yang asri. Salah satunya adalah proyek pembangunan Pusat Perkayuan Marunda (PPM) pada tahun 1980-an. Dalam rangka pembangunan pelabuhan kayu, Sungai Blencong yang sempit bagian muaranya diperlebar dan diperdalam agar bisa dilalui kapal-kapal besar. ”Dari cuma 40 meter, muara Sungai Blencong diperlebar sampai sekitar 100 meter. Untuk ini pohon-pohon kelapa, nipah, dan bakau yang masih ada dibabat habis,” cerita laki-laki 58 tahun itu.


Bukan cuma hutan bakau yang habis, sebagian warga Marunda pun ikut tergusur proyek pembangunan PPM yang diimpikan menjadi pelabuhan dan pusat industri kayu raksasa itu. Saat melakukan penelitian di Marunda dalam rangka penyusunan disertasinya, akhir 1980-an, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta Swasono yang antropolog mencatat dalam ringkasan disertasinya (1991), penggusuran itu telah mengakibatkan ratusan keluarga warga Marunda mengalami stres.


Setelah PT PPM milik Departemen Kehutanan bangkrut, proyek pembangunan pelabuhan di Marunda dilanjutkan oleh pengelola Kawasan Berikat Nusantara (KBN) yang juga melanjutkan kegiatan pelebaran Sungai Blencong dan pengerukan laut di sekitar pesisir Marunda. Produksi udang dan ikan bandeng di tambak-tambak yang tersisa pun terus merosot akibat air Sungai Blencong tercemar berat limbah industri sejak dari hulunya di Bekasi.


Berbagai usaha pemerintah mereboisasi hutan bakau tak kunjung membuahkan hasil. ”Tahun lalu Departemen Kelautan dan Perikanan menanam 20.000 bibit bakau di Marunda Pulo dan kampung-kampung lain di Marunda yang berlokasi langsung di tepi laut. Namun, yang tumbuh tak lebih dari 400 pohon saja,” kata Tarmizi yang ikut terlibat dalam proyek itu. Kini, setiap masa pasang naik, rumah-rumah di pesisir Marunda, termasuk bangunan cagar budaya rumah Si Pitung dan Masjid Alam, masjid tua yang konon dibangun dalam semalam oleh Fatahillah pada abad ke-16, pasti berhari-hari terendam air laut. ”Padahal, dulu kami di sini enggak pernah kebanjiran. Kalau laut pasang, rumah paling terendam beberapa jam saja,” cerita Tarmizi.

Sumber :

http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/03/14/09281584/tak.ada.lagi.bakau.di.marunda

Jumat, 14 Maret 2008 | 09:28 WIB

Hutan Bakau Segara Anakan Terancam

Hutan Bakau Segara Anakan Terancam

Cilacap, Sabtu - Keberadaan hutan bakau (mangrove) di laguna Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, terancam akibat adanya penebangan liar oleh masyarakat sekitarnya. "Kawasan hutan mangrove Segara Anakan mengalami kerusakan akibat aktivitas penebangan liar oleh masyarakat sekitar," kata Kepala Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan, Supriyanto, di Cilacap, Sabtu (8/12).


Menurut dia, masyarakat melakukan penebangan liar untuk keperluan membuka areal pertambakan, pertanian, wilayah permukiman, dan menggunakan kayunya untuk bahan bangunan perumahan. Padahal hutan bakau Segara Anakan itu memiliki komposisi maupun struktur hutan terlengkap dan terluas di Pulau Jawa. "Hutan tersebut memiliki 26 spesies mangrove dengan luas 8.354 hektare," ujar Supriyanto.


Ia mengingatkan, keberadaan hutan mangrove Segara Anakan memiliki peran penting dalam "pengasuhan" (nursery ground) dan tempat mencari makan (feeding ground) bagi berbagai jenis burung migrasi. Selain itu, kata dia, hutan tersebut juga berperan sebagai tempat pemijahan (spawning ground) berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut lainnya.


Menurut Supriyanto, aktivitas penebangan liar yang terus berlangsung, dapat mengancam kelestarian hutan bakau Segara Anakan. "Padahal Segara Anakan juga sedang menghadapi persoalan yang sangat rumit dan memerlukan penanganan serius," kata dia lagi.


Ia menyebutkan, persoalan tersebut erat kaitannya dengan sedimentasi (pendangkalan) yang terjadi di laguna Segara Anakan. Akibat adanya sedimentasi itu luas Segara Anakan yang semula 1.400 ha kini hanya tersisa sekitar 830 ha. Sedimentasi tersebut berasal dari Daerah Aliran Sungai (DAS) yang bermuara di laguna Segara Anakan, yakni Sungai Citanduy (termasuk wilayah Jawa Barat), Cimeneng, Cikonde, dan Cibereum.
WSN

Sumber :

http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/01/08/1000146/hutan.bakau.segara.anakan.terancam....

Selasa, 8 Januari 2008 | 10:00 WIB

Eksploitasi Bakau Picu Penurunan Populasi Kepiting

Eksploitasi Bakau Picu Penurunan Populasi Kepiting

Bogor, Selasa - Degradasi ekosistem mangrove (bakau) dan eksploitasi berlebihan yang banyak terjadi di perairan Indonesia, mengakibatkan penurunan berarti populasi kepiting bakau (Scylla spp.), demikian sebuah penelitian yang dipublikasikan Institut Pertanian Bogor (IPB), Selasa (12/2). "Penurunan populasi ini diakibatkan oleh degradasi ekosistem mangrove dan eksploitasi berlebihan yang banyak terjadi di perairan Indonesia," kata Laura Siahainenia, mahasiswa S3 Program Studi Ilmu Kelautan Sekolah Pascasarjana IPB yang meneliti tentang kepiting bakau.


Melalui riset untuk disertasi doktor berjudul "Aspek Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Ekosistem Mangrove Kabupaten Subang, Jawa Barat", dengan komisi pembimbing yang terdiri Prof Dietriech G Bengen, Dr Ridwan Affandi, Dr Tutik Wresdiyati dan Dr Iman Supriatna, promovendus juga mengemukakan bahwa ekspor kepiting bakau Indonesia terus meningkat.


Pada tahun 2000 ekspor mencapai 12.381 ton dan meningkat menjadi 22.726 ton pada 2007. Namun, sayangnya kenaikan ekspor ini tak dibarengi dengan peningkatan populasi. Dipaparkannya bahwa produksi kepiting bakau dari Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Riau hanya mencapai 67,6 persen dari total produksi kepiting bakau Indonesia. Rata-rata pertumbuhan produksinya melambat dan cenderung menurun.


Menurut Laura Siahainenia - yang juga Staf Pengajar di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Ambon - populasi kepiting bakau perlu ditingkatkan untuk menambah nilai ekspor yang dapat meningkatkan perekonomian Indonesia, namun tetap harus memperhitungkan aspek konservasinya. "Peningkatan ini dapat dilakukan melalui upaya konservasi bagi populasi yang sudah tidak stabil dan usaha pembenihan melalui teknologi ablasi (pemotongan batang mata) tangkai mata kepiting bakau," katanya.


Dalam penelitiannya, ia menggunakan metode sampling line plot transect untuk mengamati petumbuhan populasi kepiting bakau. Penentuan karakter dewasa kelamin kepiting bakau dilakukan berdasarkan perubahan morfologis dan anatomis tubuh kepiting bakau jenis S. Serrata jantan dan betina, kemudian dianalisa dengan metode deskriptif.


Sementara, pengamatan perkembangan gonad (alat kelamin) kepiting bakau dilakukannya dengan cara mengamati perubahan warna dan struktur morfologis gonad, morfologis tubuh serta perubahan pada struktur jaringan sel telur dari 30 ekor betina, di samping perubahan warna dan struktur morfologis testis dari 30 ekor kepiting bakau jantan Scylla serrata dewasa.


Kemudian data karakter perkembangan embrio kepiting bakau dikumpulkan, diamati setiap hari selama proses inkubasi. Efektivitas penggunakan ablasi alami dilihat dari evaluasi perkembangan gonad, embrio dan larva yang dihasilkan oleh induk kepiting bakau.


Hasil penelitian itu menunjukkan salinitas, suhu, dan kecerahan perairan yang relatif stabil sangat memengaruhi tingginya intensitas pemijahan kepiting bakau karena sejak awal pembuahan sel telur kepiting bakau sudah membutuhkan perairan yang bersalinitas tinggi. Setelah memaparkan hasil risetnya tersebut, Laura Siahainenia dinyatakan lulus dan menjadi doktor baru di lingkungan IPB. (ANT/WAH)

Sumber :

http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/02/12/13314651/eksploitasi.bakau.picu.penurunan.populasi.kepiting

Selasa, 12 Februari 2008 | 13:31 WIB

Hutan Bakau Rusak Karena Ulah Pencari Cacing

Hutan Bakau Rusak Karena Ulah Pencari Cacing

Bandar Lampung, Selasa - Sekitar 20 persen dari 50 hektar kawasan hutan bakau di pantai Ringgung, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Pesawaran rusak dan mati. Kerusakan terjadi sebagi dampak ulah para pencari cacing merah yang seenaknya mengeduk akar bakau dan menebang batang bakau.


Pantauan Kompas, Selasa (19/2) di pantai Ringgung Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Pesawaran menunjukkan, di lokasi hutan yang dikeduk, akar beserta pangkal batang bakau yang tercerabut dari tanah tampak mencuat . Batang dan akar itu mati kering, sementara tanah tempat bekas tumbuh bakau terlihat gundul dan berlubang-lubang.


Untung Gunawan, salah satu warga Ringgung yang bertugas menjaga hutan bakau mengatakan, para pencari cacing itu berasal dari desa di sebelah Sidodadi yang kawasan hutan bakaunya sudah rusak dan habis. Para pencari cacing merah itu datang berkelompok, satu kelompok terdiri atas 59 orang. Mereka datang pada siang hari dan bekerja dengan alat secara diam-diam. Sehingga warga sekitar hutan bakau tidak pernah bisa memergoki mereka secara langsung.


Mereka bekerja dengan cara mengeduk akar untuk mendapatkan cacing merah hidup. Akar yang tercabut menyebabkan batang-batang bakau kering dan akhirnya mati.Perusahaan pembenuran udang di Kalianda, Lampung Selatan membutuhkan cacing merah untuk pakan indukan udang. Sehingga pembenuran udang menghargai tinggi cacing itu. Satu kilogram cacing merah hidup dibeli dengan harga Rp. 18.000. Bagaimana tidak menarik minat pencari cacing? kata Untung.


Hanya saja, permintaan tinggi dari perusahaan pembenuran itu tidak disertai dengan sikap menjaga kelestarian hutan bakau oleh masyarakat. Padahal, warga penjaga hutan bakau sudah memberitahu alternatif cara mendapatkan cacing merah. Yaitu dengan umpan ampas kelapa yang ditaruh di akar sehingga tidak perlu repot mengeduk akar. Sayangnya para pencari cacing merah justru bersikap seenaknya dengan menebang batang bakau.


Ironisnya, masyarakat penjaga hutan bakau tidak bisa berbuat banyak menghadapi perusak hutan bakau itu. Masyarakat hanya bisa menegur pencari cacing merah tanpa bisa menindak.


Masyarakat pengawas berharap untuk dilengkapi dengan surat pengawasan supaya bisa menindak para pencari cacing. Masyarakat juga berharap dinas kehutanan membuat peraturan tegas yang bisa diberlakukan secara keras kepada pemilik tambak, pencuri kayu bakau, dan pengeduk akar bakau. Apabila pemerintah hanya mendorong warga untuk menjaga dan merehabilitasi hutan bakau tanpa disertai peraturan keras, Untung yakin, hutan bakau akan terus rusak. HLN

Sumber :

http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/02/19/1919528/hutan.bakau.rusak.karena.ulah.pencari.cacing..

Selasa, 19 Februari 2008 | 19:19 WIB

60 Km Pantai Rembang Harus Dihijaukan

60 Km Pantai Rembang Harus Dihijaukan

Semarang, Senin - Sekitar 60 kilometer kawasan pantai di Kabupaten Rembang rawan abrasi terutama di wilayah Kragan, Sluke, dan Sarang, sehingga perlu penghijauan dengan tanaman bakau. Bahkan gelombang laut di Desa Karangmangu menghantam sejumlah rumah warga.


Wakil Ketua DPRD Kabupaten Rembang, M. Ridwan, S.H. ketika dihubungi dari Semarang, Senin, mengatakan, Pemkab Rembang bersama aparat terkait telah berusaha menata kembali melalui penghijauan pantai dengan penanaman pohon bakau.


Menurut dia, Perum Perhutani telah menyediakan bibit bakau sebanyak 40.000 batang, hal ini cukup positif dan perlu segera dibagikan kepada masyarakat yang memiliki peduli terhadap kelestarian lingkungan pantai untuk mengurangi abrasi.

Penghijauan pantai dengan pohon bakau jangan sampai sebatas menanam saja, tetapi juga melakukan perawatan untuk kelestarian hutan bakau di wilayah pantai.
"Hal ini cukup penting karena kami prihatin wilayah pantai di Rembang rawan abrasi," katanya.


Pemkab Rembang harus memelopori perawatan hutan bakau di wilayah pantai, karena pelestarian tanaman itu cukup strategis agar abrasi bisa dihindari atau ditekan sekecil mungkin. Menurut dia, untuk menangani abrasi kawasan pantai di Rembang dibiayai melalui APBD tahun 2008 dianggarkan Rp. 660 juta. Untuk itu, abrasi di kawasan pantai tersebut harus ditangani serius.


Ia memberi contoh, wilayah pantai khususnya yang berdekatan dengan jalur pantura timur di Lasem, kondisinya memprihatinkan, karena seringnya dihantam gelombang laut maka terjadi abrasi. Dengan program menanam sejuta pohon ini merupakan langkah yang terbaik khususnya di Kabupaten Rembang untuk memperbaiki kawasan pantai dengan memasyarakatkan menanam bakau, katanya. (ANT)

Sumber :

http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/03/10/09145823/60.km.pantai.rembang.harus.dihijaukan

Senin, 10 Maret 2008 | 09:14 WIB

Penyewaan Hutan Lindung Berbahaya

Penyewaan Hutan Lindung Berbahaya

Jakarta, Kamis - Penyewaan hutan lindung untuk kegiatan pertambangan, seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 sangat membahayakan dari sisi konservasi. Selain itu, peraturan pemerintah tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 38 Ayat 4 yang melarang melakukan penambangan terbuka di kawasan hutan lindung. Adapun di Pasal 19 Ayat 2 dinyatakan, perubahan peruntukan kawasan hutan harus dengan persetujuan DPR.


Demikian pernyataan sejumlah akademisi, anggota DPR, dan penggiat lingkungan yang dimintai komentar, Rabu (20/2), seputar keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No 2/2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan. Dalam PP tersebut diizinkan alih fungsi hutan produksi dan hutan lindung dengan tarif sewa sangat murah. "Sangat picik kalau menganggap nilai ekonomi lebih besar daripada jasa lingkungan. Apa arti semua ini bila dikaitkan dengan Indonesia sebagai tuan rumah Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim," kata Wakil Ketua Komisi VII DPR, sekaligus mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup, Sonny Keraf.


Anggota Komisi IV DPR (membidangi kehutanan), Ganjar Pranowo, mengaku tidak memahami maksud dan semangat di balik PP itu. Apalagi bila tarif sewanya sangat murah.


Pengajar kehutanan pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Agus Setyarso, menilai, penetapan kebijakan pemerintah tanpa didasari pertimbangan audit sumber daya alam dan standar praktik terbaik membahayakan masa depan lingkungan dan manusia. Menurut dia, materi yang tercantum dalam PP lebih menyerupai kebijakan fiskal, di mana pertimbangan ekonomi sangat kental. Padahal, Indonesia dengan basis ekonomi pada eksplorasi sumber daya alam seharusnya menitikberatkan pada pertimbangan ekologi.

Mustofa Agung Sardjono, guru besar sosial ekonomi kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda, menyatakan, pihaknya tidak habis pikir PP itu bisa keluar dan mempertanyakan apakah didasari dengan penelitian detail dan akurat. "Kalau tidak, ya, ceroboh sekali," katanya. Selama ini, ungkapnya, hutan lindung tidak disewakan pun sudah rusak. Kalau disewakan, semakin tidak terjamin hutan lindung akan tetap lestari.


Ahli kehutanan Universitas Tanjungpura, Pontianak, Prof Herujono Hadisuparto, mengatakan, kerja keras menjadi tuan rumah Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim di Bali, Desember 2007, menjadi sia-sia dengan adanya PP tersebut. (GSA/WHY/BRO/FUL)

Sumber :

http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/02/21/18532494/penyewaan.hutan.lindung.berbahaya

Kamis, 21 Februari 2008 | 18:53 WIB

Antisipasi Kebakaran Lahan Dengan Intensifkan Lahan

Antisipasi Kebakaran Lahan Dengan Intensifkan Lahan

Palangkaraya, Senin - Antisipasi kebakaran lahan di Kalimantan Tengah harus dikelola sebaik-baiknya, sehingga tidak mengganggu kegiatan bertani. Salah satu di antaranya dengan mengintensifkan pemakaian lahan sehingga tidak ada periode kosong yang memungkinkan belukar tumbuh. "Salah satunya dengan menanam kedelai di sela-sela waktu penanaman padi," kata Wakil Bupati Pulang Pisau, Darius Dupa, di Palangkaraya, Rabu (20/2).


Darius sebenarnya ingin menghadiri Rapat Koordinasi Evaluasi terhadap Kebakaran Lahan tahun 2007 dan Kesiapan Penegakan, Penanggulangan, Penindakan Kebakaran Hutan Tahun 2008 yang rencananya digelar di Aula Eka Hapakat, Palangkaraya pagi ini, namun kemudian ditunda hingga tanggal 3 Maret 2008 nanti.


Namun Darius menuturkan, pemerintah harus membantu petani kedelai, misalnya, dalam hal benih dan tenaga penyuluh. Sebab, varietas kedelai relatif banyak, dan masing-masing membutuhkan perlakuan tanam yang berbeda. Dulu harga kedelai hanya sekitar Rp 1.000 per kilogram sehingga petani enggan, saat ini harganya lebih dari Rp 6.000 per kilogram sehingga usaha tani kedelai saat ini prospektif," katanya. (Cyprianus Anto Saptowalyono)

Sumber :

http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/02/20/0855008/antisipasi.kebakaran.lahan.dengan.intensifkan.lahan

Rabu, 20 Februari 2008 | 08:55 WIB

Eceng Gondok Ampuh Menyerap Limbah Industri

Eceng Gondok Ampuh Menyerap Limbah Industri

Surabaya, Rabu - Tanaman enceng gondok, mengkudu, dan beberapa tanaman lainnya terbukti mampu menjadi penyerap polutan dan limbah industri. "Sebaiknya, industri menyiapkan kolam khusus air limbah, kemudian ditanami enceng gondok, sehingga zat-zat polutan yang membahayakan dapat terbebaskan secara alami," kata ahli sanitasi lingkungan dan fitoteknologi, Prof.Sarwoko Mangkoedihardjo, MScES, di Surabaya, Rabu (23/1).


Guru besar ke-62 ITS yang akan dikukuhkan bersama Prof Ir Joni Hermana MScES PhD sebagai guru besar ke-63 ITS pada 26 Januari 2008 itu mengatakan, masyarakat selama ini hanya mengandalkan teknologi untuk mengolah limbah, padahal alam juga bisa dimanfaatkan dengan baik. "Ada beberapa jenis tanaman yang sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk membantu mengolah limbah, namun masyarakat dan pemerintah seringkali tidak sadar terhadap manfaat tanaman itu," kata ayah dua anak itu.


Padahal, kata suami Ny Marliani itu, tanaman seperti enceng gondok mampu menjadi penyerap polutan yang bagus, sehingga air yang dihasilkan dari kolam khusus yang ditanami enceng gondok itu tidak mencemari lingkungan. "Untuk tanaman darat, tanaman mengkudu juga mampu menyerap polutan dengan baik, mulai dari daun sampai akarnya, karena itu kawasan industri sebaiknya lebih banyak ditanami mengkudu," kata pria kelahiran Purbalingga pada 24 Agustus 1954 itu.


Kampanyekan ABR


Sementara itu, Guru Besar Teknik Lingkungan lainnya di ITS Prof Ir Joni Hermana MScES PhD sebagai ahli di bidang pengolahan air limbah tampak menyoroti banyaknya bangunan atau sistem sanitasi yang masih salah di masyarakat, terutama skala rumah tangga (RT). "Masyarakat Indonesia sebenarnya sudah mampu membuat sarana sanitasi, tapi karena kurang ada pengarahan yang tepat, sehingga sanitasi yang dibuat tetap saja menyebabkan pencemaran," katanya.


Menurut dekan FTSP ITS itu, pembuatan septic tank yang dibuat masyarakat selama ini memang cukup bagus tapi hanya individual, karena limbah yang tertampung di dalamnya tidak bisa lagi dimanfaatkan dengan baik oleh lingkungan sekitar. "Saya menyarankan alternatif untuk pembuangan limbah skala lingkungan dengan menggunakan teknologi ABR (Anaerobic Buffled Reactor) yakni semacam septic tank bersama yang bersekat-sekat menjadi beberapa ruang untuk mengolah limbah," katanya.


Apa pun limbah dari sejumlah rumah tangga, katanya, akan diolah secara ABR untuk akhirnya menjadi air bersih, namun bukan air bersih yang dapat diminum, karena di dalamnya masih banyak mengandung bakteri. "Kalau mau diminum harus ditambahkan biofilter pada tahapan akhir pengolahannya, diantaranya sabut kelapa, kerikil, ampas pembakaran, dan sebagainya seperti layaknya penyaringan air. Dengan demikian, semua limbah didaur ulang tanpa ada sisa," kata pria kelahiran Bandung pada 18 Juni 1960 itu.(ANT/WAH)


Sumber :
http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/01/23/19490011/eceng.gondok.ampuh.menyerap.limbah.industri

Rabu, 23 Januari 2008 | 19:49 WIB

Kerusakan Hutan Mangrove Sulit Direhabilitasi

Kerusakan Hutan Mangrove Sulit Direhabilitasi

Laporan wartawan Kompas Madina Nusrat


Wonosobo, Minggu - Kerusakan hutan mangrove di Pulau Jawa, menurut Direktur Utama Perum Perhutani Transtoto Handhadari, Minggu (27/1), masih lebih sulit direhabilitasi dibandingkan merehabilitasi hutan gundul di kawasan daratan. Salah satu kawasan hutan mangrove di Pulau Jawa yang mengalami kerusakan cukup luas dan sulit direhabilitasi selama 10 tahun belakangan ini, berada di kawasan pantai utara Jawa Barat.


“Kerusakan hutan mangrove di kawasan pantura Jawa Barat, mencapai 12.000 hektar dari sekitar 14.000 hektar yang ada. Itu sudah berlangsung puluhan tahun, dan sulit untuk direhabilitasi. Selama ini, kawasan hutan itu digunakan oleh rakyat sebagai tambak,” kata Transtoto menjelaskan, usai menghadiri Wartawan Menanam di kawasan Telaga Menjer, Desa Maron, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo, Minggu (27/1).


Menurutnya, salah satu penyebab utama kesulitan rehabilitasi itu karena pada umumnya di kawasan hutan mangrove terdapat potensi konflik sosial yang lebih tinggi dibandingkan di kawasan daratan. “Tekanan sosial dan ekonomi masyarakat terhadap kawasan hutan mangrove itu cukup tinggi dan masih sulit ditangani,” katanya.


Sejauh ini, lanjutnya, pihaknya hanya dapat melakukan pendekatan kepada masyarakat setempat agar bersedia mengembalikan kawasan hutan mangrove di pantura seperti semula. “Kami terus berusaha agar pengembangbiakan ikan dengan membuka lahan tambak itu dikurangi, dan digantikan dengan tanaman bakau. Sebaliknya untuk kawasan yang sudah dibuka untuk tambak, kami anjurkan kepada masyarakat agar mereka mau menanam bakau di sekeliling tambak mereka,” tuturnya.


Kerusakan hutan mangrove belakangan ini juga terjadi di kawasan pantai selatan Jawa, terutama di kawasan Laguna Segara Anakan, Kabupaten Cilacap. Kepala Biro Hukum Agraria Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah Bambang Wiryanto mengatakan sebagian kawasan hutan mangrove di laguna tersebut ada yang dihuni oleh masyarakat yang migrasi dari Jawa Barat. “Meskipun itu sebenarnya adalah tanah tumbuh akibat sedimentasi, tapi itu tetap kawasan hutan mangrove. Kawasan itu tetap tidak boleh dijadikan hunian. Kalau hanya digarap untuk tambak, itu masih boleh. Tapi itu juga tetap dikendalikan,” katanya menjelaskan.


Bambang mengatakan, untuk mengosongkan kawasan hutan mangrove Laguna Segara Anakan dengan sepenuhnya dari pemukiman maupun tambak, masih sulit dilaksanakan. “Untuk rehabilitasi kawasan hutan mangrove ini pada umumnya memang tidak mudah karena tekanan sosial dan ekonominya cukup besar,” ucapnya.


Sumber :
http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/01/27/19315966/kerusakan.hutan.mangrove.sulit.direhabilitasi

Minggu, 27 Januari 2008 | 19:31 WIB

Rabu, April 02, 2008

Populasi Burung Murai Batu Terancam Punah

Populasi Burung Murai Batu Terancam Punah

Pangkalpinang, Selasa - Populasi burung langka seperti jenis murai batu dan elang bukit di Babel semakin mengkhawatirkan. Dalam radius 10 kilometer, populasi burung tersebut hanya satu ekor saja. Itu pun hanya di daerah-daerah tertentu. Belum lagi jenis burung-burung khas Babel lainnya seperti punai, betet dan sebagainya yang diindikasikan populasinya semakin sedikit.


Zainal Abidin, salah satu pencinta, penangkar dan pemerhati burung langka saat ditemui Bangka Pos Group di pasar Burung Pangkalpinang, Selasa (25/3) mengaku tertekannya populasi burungburung tersebut akibat kondisi alam dan lingkungan yang tidak representatif lagi.


Sarjana Biologi lulusan salah satu universitas negeri di Bogor ini mengatakan perambahan hutan secara massal dan besarbesaran untuk kepentingan pertambangan dan perkebunan membuat areal hidup ratusan jenis burung semakin sempit. Ditambah lagi dengan minimnya usaha reboisasi dari pelaku dan perambah alam dalam mengembalikan situasi lingkungan ke kondisi awal. "Banyak pemicu lainnya. Misalkan faktor dari jenis burung itu sendiri, baik reproduksi, sistem hidup, sebaran makanan dan pola migrasi. Yang terburuk adalah banyak jenis burung langka yang diburu oleh pihakpihak tak bertanggung jawab," kata lelaki paruh baya yang berdomisili di Kecamatan Merawang ini.


Lebih jauh, ia menjelaskan pola hidup burung seperti murai batu dan elang sangatlah sensitif. Reproduksi mereka tidaklah sebaik jenis burung lainnya. Telur yang dihasilkan tak lebih dari tiga buah, sementara setiap hari burung jenis ini terus diburu dan terkadang banyak yang mati di tengah alam. (Bangka Pos/Rico Ariaputra)


Sumber :

http://www.kompas.com/read.php?cnt=.xml.2008.03.25.19364533&channel=1&mn=42&idx=43

Selasa, 25 Maret 2008 | 19:36 WIB

Populasi Elang Jawa Makin Terancam

Populasi Elang Jawa Makin Terancam

Sukabumi, Rabu - Populasi elang jawa di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) kian terancam punah menyusul kerusakan kawasan hutan lindung akibat adanya penebangan liar yang dilakukan masyarakat. "Saat ini populasi elang jawa yang ada tercatat sebanyak 19 ekor dan sebelumnya mencapai 200 ekor," kata Petugas Pengendalian Ekosistem Hutan di Kawasan Tanaman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), Dede Nugraha, Rabu (19/3). Menurut dia, menyusutnya populasi burung yang dilindungi pemerintah itu disebabkan tanaman hutan yang dijadikan sumber makanan menepis bahkan beberapa titik menghilang akibat adanya penebangan liar.


Saat ini, jelasnya, elang jawa yang ada hanya tersebar di daerah Cikaniki, Blok Wates dan Gunung Endut sekitar kawasan hutan lindung TNGHS. Oleh karena itu, pihaknya bersama petugas polisi hutan secara berkala terus melakukan monitoring keberadaan elang jawa, sehingga satwa langka itu tidak terancam punah.

Hingga saat ini, berdasarkan hasil monitoring di lapangan hanya sebanyak 19 ekor burung elang jawa yang masih berkeliaran di kawasan hutan konservasi TNGHS.
Akan tetapi, satwa langka itu hingga sekarang belum juga berkembang-biak karena adanya kerusakan kawasan hutan taman nasional itu.


Ia mengatakan, untuk mencegah kepunahan elang jawa di kawasan hutan Gunung Halimun-Salak, maka pihaknya selain melakukan pengamanan ketat juga memberikan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan konservasi. Kawasan hutan lindung TNGHS yang meliputi tiga Kabupaten yakni Lebak, Bogor dan Sukabumi, banyak satwa spesies yang dilindungi pemerintah. Misalnya, elang jawa, owa abu-abu, macan tutul dan lainnya.

"Kami meminta masyarakat jangan sampai terjadi pemburuan satwa-satwa langka karena akan merugikan anak cucu kita," ujarnya menambahkan. Sementara itu, Kepala Seksi Pengelolaan TNGHS wilayah Kabupaten Lebak, Pepen Rachmat, mengemukakan bahwa hingga saat ini spesies elang yang ada di hutan konservasi terdapat sebanyak 16 jenis, diantaranya elang jawa, elang hitam, elang alap-alap nipon, elang brontak, elang perut karet, elang alap-alap tikus, elang besar laut dan elang alap-alap jawa. "Spesies elang tersebut tetap dimonitor petugas, agar tidak terjadi kepunahan," katanya. (ANT/WAH)

Sumber :

http://www.kompas.com/read.php?cnt=.xml.2008.03.20.14345022&channel=1&mn=42&idx=43

Kamis, 20 Maret 2008 | 14:34 WIB

Populasi Harimau Menurun Tajam

Populasi Harimau Menurun Tajam

Jakarta, Kamis - Jumlah harimau di seluruh dunia telah mengalami penurunan tajam dalam 25 tahun terakhir. Organisasi lingkungan WWF melansir, populasinya menurun hingga 50 persen. WWF memperkirakan jumlahnya di alam sekarang tinggal 3.500 ekor.


Salah satu subspesies yang tinggal di China Selatan bahkan diprediksi punah dalam waktu singkat jika usaha konservasi tidak segera dilakukan. Ancaman terbesarnya adalah tingginya permintaan terhadap kulit, cakar dan bagian tubuh harimau sebagai ramuan obat tardisional China.


Dalam konferensi pers di Stockholm, Belgia, Rabu (12/3), direktur program spesies WWF India, Sujoy Barnajee, mengatakan pada awal abad ke-20 masih ada sekitar 20.000 harimau di India. Namun, kini kurang dari 1.400 ekor. Ia menilai ancaman terbesar keberadaan harimau di alam adalah manusia. Para peternak di India memilih untuk membunuh harimau untuk melindungi ternaknya yang menjadi sumber kehidupannya. "Saat terjadi konflik antara manusia dan harimau, yang kalah pasti harimau," ujarnya.


Situasi yang lebih genting juga terjadi di Sumatera karena penebangan liar yang tak terkendali. Jika penebangan hutan terus dilakukan seperti sekarang, lebih dari 90 persen kawasan hutan akan lenyap di tahun 2050. Harimau Sumatera bakal menjadi spesies berikutnya yang terancam punah jika keadaan ini tidak berubah. (BBC/WAH)


Sumber :

http://www.kompas.com/read.php?cnt=.xml.2008.03.13.18451887&channel=1&mn=42&idx=43

Kamis, 13 Maret 2008 | 18:45 WIB

Dampak Perubahan Iklim, Perempuan Pikul Beban Paling Berat

Dampak Perubahan Iklim, Perempuan Pikul Beban Paling Berat

Reporter : Cornelius Eko Susanto

Jakarta--MI: Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta Swasono mengatakan, di sebagian daerah di Indonesia, perubahan iklim berdampak lebih parah pada perempuan. Hal itu disebabkan oleh pandangan dan steorotip dari budaya, adat dan agama yang terdapat di Tanah Air.


Meutia menuturkan, pekerjaan di keluarga dan masyarakat terutama di daerah pedesaan misalnya, umumnya terbagi menurut gender. "Perempuan terkena dampak yang lebih buruk lagi dari keadaan (perubahan iklim) ini mengingat peran gendernya dan posisinya di dalam keluarga dan masyarakat," kata Meneg PP dalam acara Sosialisasi dan Advokasi Pengarusutamaan Gender di Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta, Rabu (26/3).


Menurut Meutia, contoh peran gender misalnya, para perempuan memikul tanggung jawab utama untuk mengumpulkan air dan bahan bakar serta menyediakan pangan untuk keluarga mereka. Disamping itu, berbagai kebijakan yang mengurangi akses ke pasokan air bersih, tingginya polusi, privatisasi jasa air dan meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan beban pada perempuan meningkat secara drastis. "Perempuan dari keluarga miskin sering menempuh perjalanan jauh dari rumah untuk mencari sumber air," sebutnya. Kemungkinan dampak lainya, lanjutnya, anak-anak perempuan juga berpotensi untuk terpaksa berhenti sekolah untuk membantu mengambil air, memasak dan menyiapkan makanan di rumah.


Untuk itu, Meutia mengimbau agar berbagai pihak perlu untuk menyertakan perempuan secara aktif dalam pengambilan keputusan yang menyangkut lingkungan. Ia juga meminta agar semua kebijakan untuk pembangunan yang berkelanjutan diintegrasikan dengan kepedulian terhadap perempuan dan berperspektif gender. Selain itu, penting pula untuk memperkuat dan membentuk mekanisme di tingkat nasional, regional dan internasional untuk memperkirakan dampak pembangunan dan kebijakan lingkungan pada perempuan.


Pada kesempatan yang sama, Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar mengatakan, kebijakan pengelolaan lingkungan hidup yang terdapat di Indonesia tidak membedakan antara peran perempuan dan laki-laki. "Semua manusia mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku," kata Rachmat.


Rachmat memaparkan, kebijakan yang tidak membeda-bedakan tersebut dapat disimak antara lain dalam Undang-Undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 6 ayat (1) dari UU tersebut menyatakan, "Setiap manusia berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup".


Namun, lanjutnya, keberadaan kaum perempuan terkadang masih kurang mendapatkan perhatian misalnya dalam hal kesempatan untuk mengakses informasi atau penyuluhan tentang pencemaran dan kerusakan lingkungan. "Padahal, beberapa kasus menunjukkan perempuan seringkali terkena dampak (pencemaran dan kerusakan lingkungan) yang lebih parah mengingat adanya sistem reproduksi yang membedakan perempuan dengan dengan laki-laki," ujarnya.


Rachmat menyontohkan, terdapat hasil penelitian yang menunjukkan bahwa residu DDT dapat mengendap dalam air susu ibu sehingga berpotensi membahayakan kondisi ibu dan anaknya. Ia juga menyayangkan masih adanya persepsi pada sebagian masyarakat bahwa undangan penyuluhan mengenai tata cara pertanian adalah hanya untuk laki-laki. Selain itu, contoh lainnya adalah sedikitnya peserta perempuan pada pelatihan penyemprotan pestisida padahal penyemprotan seringkali dilakukan oleh perempuan. (Tlc/OL-03)


Sumber :

http://www.mediaindonesia.com/

Rabu, 26 Maret 2008 20:39 WIB

180 Hektare Terumbu Karang di Pantai Rembang Rusak

180 Hektare Terumbu Karang di Pantai Rembang Rusak


Rembang, CyberNews. Kerusakan terumbu karang di wilayah pesisir pantai Kabupaten Rembang sudah sangat parah. Menurut data dari Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Tirto Mulyo Desa Banyudono Kecamatan Kaliori, terumbu karang yang sudah rusak di wilayah pesisir pantai Kabupaten Rembang mencapai 180 hektare.


Anggota BKM Tirto Mulyo Dony Shara kemarin mengutarakan terumbu karang yang masih cukup baik di pesisir kabupaten Rembang hanya tinggal 30 hektare. ''Apabila diprosentase, 80 persen terumbu karang di Kabupaten Rembang sudah rusak. Yang masih tersisa cukup bagus, hanya ada di sekitar kawasan Desa Pasar Banggi Kecamatan Kota saja,'' paparnya.


Dia menambahkan akibat kerusakan terumbu karang yang sangat parah itu, mengakibatkan ikan sulit untuk berkembang biak. Dia mengutarakan kondisi kerusakan terumbu karang ini juga semakin diperparah dengan semakin menyempitnya luas hutan bakau di Kabupaten Rembang. Kerusakan terumbu karang dan hutan bakau ini katanya, memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap hasil tangkapan ikan nelayan. ''Kami amati dari lima tempat pelelangan ikan (TPI) di Kabupaten Rembang, hampir setiap tahun mengalami penurunan produksi ikan yang sangat drastis. Hal ini kami duga merupakan salah satu dampak dari kerusakan terumbu karang di Kabupaten Rembang,'' jelas Dony.

Dia menjelaskan untuk mengurangi kerusakan terumbu karang ini, BKM Tirto Mulyo bersama dengan warga Desa Banyudono Kecamatan Kaliori mulai bulan Maret kemarin sudah memulai sebuah usaha untuk pelestarian terumbu karang dan hutan mangrove. ''Pemuda desa kami gandeng untuk memberikan penyadaran terhadap arti pentingnya terumbu karang bagi nelayan. Selain itu, kami juga mengandeng warga sekitar untuk mulai kembali menanami wilayah pesisir dengan mangrove,'' jelasnya.

Sebelumnya Kabag Hukum H Agus Salim SH mengutarakan Pemkab sudah memiliki peraturan daerah (Perda) yang mengatur pelarangan perusakan dan pengambilan terumbu karang di wilayah pesisir laut Kabupaten Rembang. Dia menambahkan dengan adanya Perda itu, Pemkab tidak memberikan toleransi kepada pihak manapun untuk mengambil terumbu karang di wilayah pesisir Kabupaten Rembang. (Mulyanto Ari Wibowo /CN09)

Sumber : http://www.suaramerdeka.com/beta1/index.php?fuseaction=news.detailNews&id_news=3151
01/04/2008 17:42 wib - Daerah Aktual