Kamis, Desember 13, 2007

Dunia Sedang Lapar

Dunia Sedang Lapar

Penulis : Hermas E Prabowo


Saat ini dunia mengonsumsi minyak 225 juta barrel per hari. Dengan pertumbuhan ekonomi dunia seperti sekarang, diperkirakan bakal ada penambahan konsumsi rata-rata per tahun 1,6 persen atau setara 4 juta barrel. Mengacu perkiraan Badan Energi Internasional (IEA), konsumsi minyak dunia tahun 2030 akan naik 50 persen.

Konsumsi boleh saja meningkat seiring dengan pertumbuhan sosial dan ekonomi global, tetapi dari mana kebutuhan minyak dunia akan dipenuhi mengingat produksi minyak ada batasnya। Minyak fosil sendiri memberikan kontribusi 80 persen dari kebutuhan energi dunia.

Penurunan suplai minyak fosil akan mengimbas pada penurunan pasokan energi. Apabila permintaan dan penawaran minyak dunia semakin timpang, mobilitas akan terhambat. Mobilitas yang terhambat akan melemahkan persaingan, menurunkan produksi, mengurangi investasi, serta berdampak pada penurunan kesejahteraan dan kualitas hidup.

Saat ini harga minyak mentah dunia mendekati 100 dollar AS per barrel. Harga minyak mentah dunia yang semakin fluktuatif dan sensitif, menjadi indikasi makin menipisnya cadangan minyak dunia, yang mendorong terus berkurangnya eksportable surplus.

Kondisi ini tak bisa dianggap angin lalu. Pernahkah membayangkan bagaimana bila mendadak pabrik-pabrik berhenti beroperasi karena tidak ada pasokan minyak. Transportasi darat, udara, dan laut macet, serta pembangunan infrastruktur terhenti karena tak ada bahan bakar minyak.

Tak bisa dibayangkan berapa miliar pekerja yang mendadak menjadi pengangguran.
Lantas, bagaimana caranya agar mobilitas sebagai faktor penggerak penting kehidupan masyarakat modern bisa terus dipertahankan atau bahkan ditingkatkan. Tantangan ini yang dicari jawabannya dalam Challenge Bibendum Shanghai 2007, yang berlangsung 14-17 November 2007 di Shanghai, China. Acara ini digelar untuk yang kesembilan kalinya sejak 1998 dan untuk kedua kalinya di Shanghai.

Gerakan penyadaran

Menurut David Pirret, Wakil Direktur Utama Shell Lubricants, salah satu anak perusahaan Shell International Petroleum Company Ltd, Challenge Bibendum merupakan sebuah gerakan penyadaran bersama dari pemain otomotif DUNIA. Mereka antara lain pabrik kendaraan, rekanan teknis, pemasok energi, dan lembaga penelitian. Inisiatif gerakan ini datang dari produsen ban ternama, Michelin.

Tujuan gerakan ini antara lain bagaimana menyadarkan warga dunia agar mau menggunakan teknologi kendaraan dan energi tercanggih agar tercapai penggunaan bahan bakar yang efisien, ramah lingkungan dan aman.

Shell sebagai bagian dari pemain otomotif dunia, khususnya sebagai pemasok energi dan pelumas, amat menyadari pentingnya pasokan energi yang berdampak rendah pada emisi gas buang. "Shell menyadari bahwa perseteruan antara kebutuhan energi untuk mendukung mobilitas dan bahaya yang ditimbulkannya bakal terjadi di planet ini," kata David, di Shanghai.
Apa yang dikatakan David mengenai penggunaan minyak fosil berdampak pada perubahan iklim global benar adanya. Setidaknya penelitian dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang dirilis Februari 2007 menunjukkan bahwa Bumi semakin memanas.

Sepanjang abad 20, suhu Bumi naik 0,7 derajat Celsius. Apabila manajemen pengelolaan lingkungan, pencemaran udara, dan emisi gas buang tidak bisa ditekan, kondisi akan lebih buruk lagi. Setidaknya akan ada penambahan suhu Bumi 0,2 derajat Celsius tiap dasawarsa.

Naiknya suhu Bumi berdampak serius pada iklim global. Iklim amat dipengaruhi suhu panas Bumi sebagai akibat perubahan tekanan udara, yang menyebabkan terjadinya arus angin. Iklim yang berubah memengaruhi produksi pertanian, karena sektor pertanian amat bergantung pada kondisi iklim di suatu kawasan.

Upaya yang paling mungkin dilakukan adalah menjaga populasi warga dunia dan menetapkan pilihan yang tepat dalam penggunaan teknologi, seperti penggunaan bahan bakar batu bara, minyak fosil, dan pengembangan energi nuklir, atau penggunaan energi dari bahan bakar nabati yang dapat diperbarui.

Dampak perubahan iklim global akan sangat merepotkan negara-negara di DUNIA. Australia, misalnya, akan mengalami masa kekeringan, dan ini mengancam hasil pertanian mereka seperti peternakan sapi perah dan sapi potong. Dampak kekeringan di Australia tahun 2006 menyebabkan kenaikan harga susu bubuk hingga lebih dari 10 persen Harga gandum melonjak, begitu pula daging sapi.

Negara-negara di Eropa juga akan mengalami masalah serius akibat berubahnya iklim global. Hujan akan banyak turun di wilayah utara Eropa, sementara di belahan selatan akan terjadi kekeringan. Kondisi ini akan memicu pencairan es dan berdampak pada berkurangnya kunjungan wisatawan pada musim dingin.

Afrika juga akan mengalami ancaman kelaparan, bencana erosi dan banjir sehingga kondisi negara-negara di Afrika bakal makin buruk. Amerika Selatan pun tak lepas dari ancaman banjir, sementara produk pertanian di kawasan Amerika Utara bakal terganggu.

Indonesia juga tak bisa menghindar dari pengaruh perubahan iklim global. Buktinya, pada akhir 2006 kemarau panjang melanda sebagian besar wilayah Indonesia. Akibatnya, produksi beras jatuh, harga beras melonjak, dan masyarakat pun menjerit.

Daya beli yang tetap sementara harga komoditas pertanian cenderung meningkat, akibat permintaan dan penawaran tidak seimbang secara permanen dan terus-menerus, akan menyebabkan kualitas hidup warga Indonesia merosot.

Perubahan iklim global yang ditandai dengan peningkatan suhu Bumi memiliki dampak ekonomi dunia yang serius. Nicholas Stern, mantan ekonom dari Bank Dunia seperti dikutip Research Eu, sebuah majalah penelitian di Eropa, mengungkapkan bahwa perubahan iklim global akan memakan biaya 5.500 miliar euro pada tahun 2050.
Biaya

Biaya yang harus ditanggung sebagai dampak berubahnya iklim global itu melebihi biaya akibat Perang Dunia II. "Dengan catatan, ongkos perubahan iklim yang besar terjadi bila warga dunia tidak melakukan tindakan pencegahan apa-apa," katanya.

Lalu, siapa yang harus menanggung beban biaya yang amat besar itu। Jawabannya, seluruh warga dunia. Dampak perubahan iklim akan mengimbas seluruh negara di dunia. Negara miskin akan semakin miskin karena kalah bersaing dalam memperebutkan minyak dunia. Negara berkembang akan menanggung beban pengangguran yang makin membengkak akibat lemahnya perputaran roda ekonomi.

Daya beli masyarakat juga bakal merosot tajam karena semua produk untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari menjadi amat mahal. Untuk mengantisipasi itu, Uni Eropa telah mengalokasikan anggaran 50,5 miliar euro dalam kurun 2007-2013. Mereka berkonsentrasi pada program tujuh kerangka kerja atau Seventh Framework Programme yang dikenal dengan istilah FP7, yang fokusnya pada pembangunan, penelitian, dan teknologi.

Dari anggaran tersebut, 32 miliar euro di antaranya untuk mendukung penelitian, yang meliputi 10 bidang, yaitu kesehatan; pangan, pertanian, dan bioteknologi; teknologi informasi dan komunikasi; nanosciences, nanotechnologies, materials and new production technologies; energi; lingkungan meliputi perubahan iklim; transportasi; pengetahuan sosial-ekonomi dan kemanusiaan; ruang; dan masalah keamanan.

Juga disediakan anggaran 7,4 miliar euro untuk pembuatan ide cemerlang untuk landasan. Selain itu, 4,7 miliar euro untuk kegiatan ilmiah dan 4,2 miliar euro untuk kegiatan ilmuwan. Sementara 2,4 miliar euro untuk jaminan kebutuhan energi pada masa mendatang.

China sebagai negara yang sedang tumbuh pesat juga tak mau ketinggalan. Pekan lalu mereka membangun stasiun bahan bakar hidrogen sebagai upaya untuk menekan emisi gas buang. Maklum, pembangunan industri yang pesat di China menyumbang polusi udara yang hebat. Indonesia tentu juga bergiat menekan pencemaran udara. Misalnya dengan berkomitmen melakukan revitalisasi kehutanan. Indonesia sebagai negara yang memiliki hutan terbesar kedua di dunia, selama ini menjadi penyumbang oksigen yang besar untuk dunia.

Bagaimanapun, setiap negara harus berperan aktif untuk menekan penggunaan energi berbahan bakar minyak fosil. Caranya dengan sedini mungkin melakukan tindakan nyata dengan mengonversi energi fosil ke bahan bakar nabati. Kalau tidak, dunia yang sedang lapar energi ini bakal menyulitkan kita.

Sumber :
http://www.kompas.com/
Sabtu, 24 November 2007

Tidak ada komentar: