Selasa, Januari 29, 2008

Harapan Baru Mengatasi Perubahan Iklim

Harapan Baru Mengatasi Perubahan Iklim

Oleh : Jeffrey D. Sachs

Dunia telah mengambil langkah penting guna mengendalikan perubahan iklim dengan Program Aksi Bali yang disepakati pada konferensi global yang dilangsungkan di Indonesia pada Desember 2007. Program ini mungkin kelihatannya biasa-biasa saja, karena pada dasarnya ia cuma bertumpu pada bahasan lebih lanjut, bukan pada tindakan yang pasti, tapi saya tetap optimistis karena tiga alasan.

Pertama, dunia sudah cukup bersatu sehingga berhasil memaksa Amerika Serikat mengakhiri kekerasan hatinya. Kedua, peta dunia ini menandai keseimbangan pertimbangan yang sehat. Dan ketiga, solusi yang realistis mungkin bisa diperoleh, solusi yang memungkinkan pembangunan ekonomi digabungkan dengan pengendalian emisi gas rumah kaca.

Langkah pertama yang diambil di Bali adalah mendobrak kebuntuan yang melumpuhkan respons global terhadap perubahan iklim sejak Protokol Kyoto sepuluh tahun yang lalu. Kali ini dunia bersatu, bahkan memperolok ketua delegasi Amerika sehingga mengubah pendiriannya dan sepakat menandatangani Program Aksi Bali. Begitu juga keengganan negara-negara berkembang utama, seperti Cina dan India, ikut serta dalam program tampaknya akan berakhir, walaupun banyak yang masih harus dikerjakan dalam merancang suatu kesepakatan global yang disetujui baik oleh negara-negara kaya maupun negara-negara miskin.

Untuk itu, perlu keseimbangan antara berbagai keprihatinan yang ada. Pertama, kita harus menstabilkan gas rumah kaca guna menghindari bahaya campur tangan manusia dalam sistem iklim--tujuan utama Konvensi Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim, yang merupakan traktat global yang menjadi dasar negosiasi di Bali. Kedua, kita harus mencapai semua ini seraya membuka ruang bagi percepatan pembangunan ekonomi dan pengentasan masyarakat miskin. Negara-negara miskin tidak akan menerima suatu sistem kontrol iklim yang melanggengkan kehidupan mereka dalam kemiskinan. Ketiga, kita harus membantu semua negara beradaptasi dengan perubahan iklim yang sudah terjadi dan yang akan makin parah di masa depan.

Program Aksi Bali menyentuh ketiga keprihatinan ini. Poin utama program ini adalah membentuk suatu kelompok kerja ad hoc guna tercapainya kesepakatan global yang terperinci menjelang 2009, yang akan menetapkan komitmen yang "bisa diukur, bisa dilaporkan, dan bisa diverifikasi" dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Komitmen semacam ini akan dilaksanakan dalam konteks "pembangunan berkelanjutan", artinya bahwa "pembangunan ekonomi dan sosial serta pengentasan masyarakat miskin merupakan prioritas global". Program Aksi Bali juga menyerukan alih pengetahuan agar negara-negara miskin mampu mengadopsi teknologi yang sehat lingkungan.Pertanyaannya, sudah tentu, apakah stabilisasi gas rumah kaca, kelanjutan pembangunan ekonomi, dan adaptasi perubahan iklim bisa dicapai secara serentak? Dengan menggunakan teknologi yang ada sekarang, tidak; tapi jika kita berhasil mengembangkan dan dengan cepat mengadopsi teknologi baru yang berada dalam jangkauan ilmiah kita, ya.

Tantangan paling besar adalah mengurangi dan akhirnya mengakhiri emisi karbon dioksida dari penggunaan bahan bakar fosil, seperti minyak bumi, gas alam, dan batu bara. Bahan-bahan bakar ini berada di jantung ekonomi modern dunia, yang merupakan sumber sekitar empat perlima dari total energi komersial di dunia. Emisi karbon dioksida ini bisa diakhiri jika kita bergeser ke bentuk energi yang terbarukan atau mengurangi emisi bahan bakar fosil.

Patut diketahui bahwa sekitar 75 persen bahan bakar fosil yang digunakan di dunia dihabiskan hanya untuk menghasilkan listrik dan panas pada pembangkit tenaga serta untuk menggerakkan mobil, menghangati gedung-gedung, dan menggerakkan industri, seperti kilang minyak, petrokimia, semen, dan baja. Kita perlu teknologi yang sehat lingkungan pada setiap sektor ini.Misalnya, pembangkit tenaga listrik bisa menggunakan energi matahari atau menangkap dan dengan aman membuang karbon dioksida yang selama ini dihasilkannya dengan bahan bakar fosil--seperti juga yang bisa dilakukan industri besar. Mobil bisa direkayasa supaya mampu menempuh jarak yang lebih jauh melalui teknologi hybrid, yang menggabungkan energi baterai dan energi bensin. Gedung-gedung bisa mengurangi kebutuhannya akan penghangatan melalui penyekatan panas yang lebih baik atau melalui konversi minyak bakar ke listrik yang dihasilkan teknologi yang bersih.

Menurut perhitungan ekonomi dan rekayasa terbaik, bila setiap sektor ekonomi yang utama berhasil mengembangkan dan mengadopsi teknologi sehat lingkungan pada dekade yang akan datang, dunia akan mampu mengurangi emisi karbon secara dramatis dengan biaya yang kurang dari 1 persen dari pendapatan tahunan secara global, dan dengan demikian menghindari kerusakan jangka panjang yang menelan biaya yang lebih besar. Dengan kata lain, dunia bisa menggabungkan pertumbuhan ekonomi dengan pengurangan emisi karbon dioksida. Dan negara-negara kaya akan mampu membantu negara-negara miskin membayar harga teknologi yang baru dan lebih bersih.

Untuk mencapai kesepakatan sebelum 2009, kita harus melangkah keluar dari pertengkaran antara negara-negara kaya dan negara-negara miskin mengenai siapa yang harus disalahkan atas terjadinya perubahan iklim dan siapa yang harus membayar harganya. Kita perlu suatu program yang benar-benar global yang memerinci bagaimana teknologi baru ini dikembangkan, diuji, dan diadopsi dengan cepat di seluruh dunia. Kita harus memastikan semua negara mengadopsi teknologi yang sehat lingkungan dalam suatu strategi yang bisa diverifikasi dan bahwa negara-negara kaya memenuhi janji yang tercantum dalam Program Aksi Bali untuk memberikan "insentif finansial serta insentif lainnya" kepada negara-negara miskin yang mengadopsi teknologi baru itu.

Dengan begitu banyaknya krisis yang melanda dunia, mungkin timbul sinisme bahwa konferensi global pun tidak akan berbuat banyak kecuali terus terjebak dalam perdebatan. Tapi marilah kita melihat pesan positifnya saja: 190 negara sepakat dengan suatu program yang masuk akal ini dan adanya teknologi yang mendasarinya memberi harapan yang realistis akan tercapainya apa yang dijanjikannya.Kerja berat dan sulit menanti di depan mata, tapi situasinya sekarang lebih baik berkat konferensi yang dilangsungkan di Bali itu. Sekaranglah waktunya kita menyingsingkan lengan baju dan mencapai apa yang telah kita janjikan akan dilakukan.

*) Jeffrey D. Sachs, Profesor ekonomi dan Direktur Earth Institute pada Columbia University. Hak cipta: Project Syndicate, 2008

Sumber :
http://www.tempointeraktif.com/hg/khusus/kolom/?case=detail&gNumber=115870
21 Januari 2008

Tidak ada komentar: