Selasa, Januari 29, 2008

Illegal Logging dan Pencucian Uang

Illegal Logging dan Pencucian Uang


Oleh : Khudori

Lebih dari sepekan berita utama media massa terus mengulas bebasnya terdakwa Adelin Lis dari jerat hukum pembalakan liar (illegal logging). Tak hanya lima hakim Pengadilan Negeri Medan, Menteri Kehutanan M.S. Kaban--yang dinilai mengintervensi pengadilan--juga jadi sasaran hujatan publik. Kaban dinilai gegabah, bahkan dituding mendukung illegal logging, salah satu kejahatan yang diperangi Kabinet Indonesia Bersatu.

Ini mudah dipahami. Selama ini yang diseret ke meja hijau dalam kasus illegal logging cuma para kroco. Adelin Lis adalah pelaku kakap. Perlu berbulan-bulan untuk mengendus. Begitu ditangkap, ia juga harus diekstradisi dari luar negeri. Adelin diduga membalak hutan hingga merugikan negara puluhan triliun rupiah. Karena itu, tuntutan kepada Adelin tergolong berat: penjara 10 tahun, denda Rp 1 miliar, subsider 6 bulan, dan wajib membayar ganti rugi dana provisi Rp 119,8 miliar plus dana reboisasi US$ 2,9 juta.

Sebetulnya, banyak terdakwa pembalak liar yang divonis bebas. Hingga Mei 2007, dari 116 perkara hasil Operasi Hutan Lestari II di Papua, 29 perkara telah divonis. Dari jumlah itu, 17 di antaranya divonis bebas murni. Sisanya divonis ringan: 2-2,5 bulan penjara. Data Indonesian Center for Environmental Law berbicara sama: dari 155 kasus illegal logging yang disidik Kepolisian RI pada 2005, hanya 10 kasus yang dapat diseret ke pengadilan. Ironisnya, 9 dari 10 perkara itu di antaranya divonis bebas murni.

Kegagalan ini membuat sinisme publik atas keseriusan memberantas pembalakan liar kian mengental. Di depan pembalak liar, hukum tumpul dan tak bertaji. Kegagalan ini menggenapi cerita sedih sebelumnya: kegagalan menekan illegal logging via pendekatan kayu. Padahal, dari sisi instrumen preventif, sebetulnya sudah ada banyak infrastruktur.

Pertama, dari sisi legal ada Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005 yang menugasi 18 instansi memberantas illegal logging. Kedua, untuk menegakkan inpres, digelar operasi terintegrasi dan lintas instansi-sektoral bernama Operasi Wanalaga dan Operasi Wanabahari. Ketiga, di tingkat dunia, Indonesia mengikatkan diri pada Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT): kerja sama multilateral memerangi illegal logging. Untuk maksud yang sama, ada kerja sama bilateral dengan Inggris, Cina, Jepang, dan Korea Selatan.

Tapi semua itu tidak efektif menekan laju pencurian kayu. Dari aspek legalitas, amat mudah mengenali kayu ilegal atau bukan, yaitu dari ada-tidaknya surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH). Tapi kayu yang tanpa SKSHH pun lolos melewati puluhan pos pemeriksaan. Kayu itu lalu dikirim ke Jawa, Malaysia, Singapura, dan Cina. Di negara-negara itu, kayu ilegal segera di-legalize menjadi kayu legal. Meskipun anggota FLEGT, banyak negara tetap menerima kayu yang tidak diaudit dan disertifikasi. Kepentingan ekonomi sebuah negara akhirnya mengalahkan kesepakatan multilateral.

Fakta di atas mengarah pada satu titik: menekan illegal logging via pendekatan kayu dan hukum terbukti belum efektif. Yang dicokok baru sopir truk/boat, penebang kayu, atau manajer operasional perusahaan. Sedangkan capital provider (cukong) bebas. Cara preventif dan represif illegal logging dengan mengikuti gerakan kayu memerlukan sumber daya manusia dan dana yang besar. Makanya, harus dicari cara baru yang lebih efektif. Salah satu yang bisa dicoba adalah pendekatan keuangan (financial measures).

Dari sisi institusional, selain Bank Indonesia, sudah ada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dari sisi legal, BI telah mensyaratkan prinsip Know Your Customer, yang mengharuskan perbankan mengenali nasabahnya. Jika ada transaksi di atas Rp 100 juta sehari, nasabah harus menjelaskan asal-usul uang. Juga ada UU Nomor 5 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang memungkinkan menjerat illegal logging sebagai tindak pidana.

Artinya, pendekatan anti-money laundering regime untuk menekan laju illegal logging sangat terbuka diterapkan. Seperti luas diketahui, saat ini industri kayu domestik mengonsumsi sekitar 70 juta meter kubik kayu. Dari jumlah itu, sekitar 60-80 persen berasal dari kayu ilegal (CIFOR, 2003). Ditengarai, uang hasil curian tersebut masuk ke industri perbankan. Padahal uang tersebut berasal dari aktivitas ilegal. Pertanyaannya, bagaimana cara mengidentifikasinya? Adakah cara yang bisa digunakan mengenalinya?

Di sini dituntut peran aktif Bank Indonesia, PPATK, dan KPK. Ketiga lembaga itu harus bekerja sama memerangi money laundering. Caranya, PPATK bisa memulai membuat peraturan yang mewajibkan lembaga penyedia jasa keuangan (bank, pasar modal, asuransi, dan money changer) membuat laporan rutin tentang transaksi-transaksi yang dicurigai. Langkah ini harus diikuti dengan penerbitan pedoman bagaimana perbankan bisa mengenali transaksi hasil illegal logging. Pada tahap awal, langkah ini akan terbantu bila PPATK membuat semacam risk profile: high risk country, location, and customer.

Singapura, Malaysia, dan Cina merupakan penadah kayu ilegal asal Indonesia. Ketiga negara itu bisa dimasukkan dalam high risk country. BI sebagai regulator perbankan bisa saja menerbitkan ketentuan bahwa semua transaksi dari dan ke tiga negara itu termasuk berisiko tinggi. Dengan ketentuan ini perbankan nasional tidak akan sembarangan bertransaksi. Tapi transaksi harus dilacak sampai asal-muasal sumber uang. Dengan ketentuan ini, PPATK bisa mewajibkan perbankan nasional membekukan transaksi, bahkan aset, sampai kemudian diketahui benar pihak yang dicurigai.

Berikutnya bisa disusun high risk location. Riau, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Papua, dan daerah lain yang jadi tempat keluar-masuk kayu ilegal bisa masuk daftar ini. Atas semua transaksi lewat wilayah ini harus ada warning untuk dilakukan extended due diligence. Lalu, menyusun high risk customer. Untuk menyusun ini harus mengenal tipologi korupsi di sektor kehutanan. Dari tipologi itu baru bisa disusun siapa saja yang menyokong illegal logging, termasuk capital provider.

Jika langkah ini bisa dilakukan, penulis yakin pendekatan financial measures ini lebih manjur dibanding non-financial measures. Para pelaku illegal logging akan kapok karena uang hasil mencuri ternyata tidak bisa dinikmati. Pendekatan ini pun tampak lebih realistis. Makanya, mengapa tidak kita coba. Ingatlah, tanpa upaya serius menekan illegal logging, kemungkinan besar hutan kita akan habis lima tahun lagi.

Khudori, pemerhati masalah sosial-ekonomi pertanian.

Tidak ada komentar: