Kamis, April 03, 2008

Antisipasi Kebakaran Lahan Dengan Intensifkan Lahan

Antisipasi Kebakaran Lahan Dengan Intensifkan Lahan

Palangkaraya, Senin - Antisipasi kebakaran lahan di Kalimantan Tengah harus dikelola sebaik-baiknya, sehingga tidak mengganggu kegiatan bertani. Salah satu di antaranya dengan mengintensifkan pemakaian lahan sehingga tidak ada periode kosong yang memungkinkan belukar tumbuh. "Salah satunya dengan menanam kedelai di sela-sela waktu penanaman padi," kata Wakil Bupati Pulang Pisau, Darius Dupa, di Palangkaraya, Rabu (20/2).


Darius sebenarnya ingin menghadiri Rapat Koordinasi Evaluasi terhadap Kebakaran Lahan tahun 2007 dan Kesiapan Penegakan, Penanggulangan, Penindakan Kebakaran Hutan Tahun 2008 yang rencananya digelar di Aula Eka Hapakat, Palangkaraya pagi ini, namun kemudian ditunda hingga tanggal 3 Maret 2008 nanti.


Namun Darius menuturkan, pemerintah harus membantu petani kedelai, misalnya, dalam hal benih dan tenaga penyuluh. Sebab, varietas kedelai relatif banyak, dan masing-masing membutuhkan perlakuan tanam yang berbeda. Dulu harga kedelai hanya sekitar Rp 1.000 per kilogram sehingga petani enggan, saat ini harganya lebih dari Rp 6.000 per kilogram sehingga usaha tani kedelai saat ini prospektif," katanya. (Cyprianus Anto Saptowalyono)

Sumber :

http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/02/20/0855008/antisipasi.kebakaran.lahan.dengan.intensifkan.lahan

Rabu, 20 Februari 2008 | 08:55 WIB

Eceng Gondok Ampuh Menyerap Limbah Industri

Eceng Gondok Ampuh Menyerap Limbah Industri

Surabaya, Rabu - Tanaman enceng gondok, mengkudu, dan beberapa tanaman lainnya terbukti mampu menjadi penyerap polutan dan limbah industri. "Sebaiknya, industri menyiapkan kolam khusus air limbah, kemudian ditanami enceng gondok, sehingga zat-zat polutan yang membahayakan dapat terbebaskan secara alami," kata ahli sanitasi lingkungan dan fitoteknologi, Prof.Sarwoko Mangkoedihardjo, MScES, di Surabaya, Rabu (23/1).


Guru besar ke-62 ITS yang akan dikukuhkan bersama Prof Ir Joni Hermana MScES PhD sebagai guru besar ke-63 ITS pada 26 Januari 2008 itu mengatakan, masyarakat selama ini hanya mengandalkan teknologi untuk mengolah limbah, padahal alam juga bisa dimanfaatkan dengan baik. "Ada beberapa jenis tanaman yang sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk membantu mengolah limbah, namun masyarakat dan pemerintah seringkali tidak sadar terhadap manfaat tanaman itu," kata ayah dua anak itu.


Padahal, kata suami Ny Marliani itu, tanaman seperti enceng gondok mampu menjadi penyerap polutan yang bagus, sehingga air yang dihasilkan dari kolam khusus yang ditanami enceng gondok itu tidak mencemari lingkungan. "Untuk tanaman darat, tanaman mengkudu juga mampu menyerap polutan dengan baik, mulai dari daun sampai akarnya, karena itu kawasan industri sebaiknya lebih banyak ditanami mengkudu," kata pria kelahiran Purbalingga pada 24 Agustus 1954 itu.


Kampanyekan ABR


Sementara itu, Guru Besar Teknik Lingkungan lainnya di ITS Prof Ir Joni Hermana MScES PhD sebagai ahli di bidang pengolahan air limbah tampak menyoroti banyaknya bangunan atau sistem sanitasi yang masih salah di masyarakat, terutama skala rumah tangga (RT). "Masyarakat Indonesia sebenarnya sudah mampu membuat sarana sanitasi, tapi karena kurang ada pengarahan yang tepat, sehingga sanitasi yang dibuat tetap saja menyebabkan pencemaran," katanya.


Menurut dekan FTSP ITS itu, pembuatan septic tank yang dibuat masyarakat selama ini memang cukup bagus tapi hanya individual, karena limbah yang tertampung di dalamnya tidak bisa lagi dimanfaatkan dengan baik oleh lingkungan sekitar. "Saya menyarankan alternatif untuk pembuangan limbah skala lingkungan dengan menggunakan teknologi ABR (Anaerobic Buffled Reactor) yakni semacam septic tank bersama yang bersekat-sekat menjadi beberapa ruang untuk mengolah limbah," katanya.


Apa pun limbah dari sejumlah rumah tangga, katanya, akan diolah secara ABR untuk akhirnya menjadi air bersih, namun bukan air bersih yang dapat diminum, karena di dalamnya masih banyak mengandung bakteri. "Kalau mau diminum harus ditambahkan biofilter pada tahapan akhir pengolahannya, diantaranya sabut kelapa, kerikil, ampas pembakaran, dan sebagainya seperti layaknya penyaringan air. Dengan demikian, semua limbah didaur ulang tanpa ada sisa," kata pria kelahiran Bandung pada 18 Juni 1960 itu.(ANT/WAH)


Sumber :
http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/01/23/19490011/eceng.gondok.ampuh.menyerap.limbah.industri

Rabu, 23 Januari 2008 | 19:49 WIB

Kerusakan Hutan Mangrove Sulit Direhabilitasi

Kerusakan Hutan Mangrove Sulit Direhabilitasi

Laporan wartawan Kompas Madina Nusrat


Wonosobo, Minggu - Kerusakan hutan mangrove di Pulau Jawa, menurut Direktur Utama Perum Perhutani Transtoto Handhadari, Minggu (27/1), masih lebih sulit direhabilitasi dibandingkan merehabilitasi hutan gundul di kawasan daratan. Salah satu kawasan hutan mangrove di Pulau Jawa yang mengalami kerusakan cukup luas dan sulit direhabilitasi selama 10 tahun belakangan ini, berada di kawasan pantai utara Jawa Barat.


“Kerusakan hutan mangrove di kawasan pantura Jawa Barat, mencapai 12.000 hektar dari sekitar 14.000 hektar yang ada. Itu sudah berlangsung puluhan tahun, dan sulit untuk direhabilitasi. Selama ini, kawasan hutan itu digunakan oleh rakyat sebagai tambak,” kata Transtoto menjelaskan, usai menghadiri Wartawan Menanam di kawasan Telaga Menjer, Desa Maron, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo, Minggu (27/1).


Menurutnya, salah satu penyebab utama kesulitan rehabilitasi itu karena pada umumnya di kawasan hutan mangrove terdapat potensi konflik sosial yang lebih tinggi dibandingkan di kawasan daratan. “Tekanan sosial dan ekonomi masyarakat terhadap kawasan hutan mangrove itu cukup tinggi dan masih sulit ditangani,” katanya.


Sejauh ini, lanjutnya, pihaknya hanya dapat melakukan pendekatan kepada masyarakat setempat agar bersedia mengembalikan kawasan hutan mangrove di pantura seperti semula. “Kami terus berusaha agar pengembangbiakan ikan dengan membuka lahan tambak itu dikurangi, dan digantikan dengan tanaman bakau. Sebaliknya untuk kawasan yang sudah dibuka untuk tambak, kami anjurkan kepada masyarakat agar mereka mau menanam bakau di sekeliling tambak mereka,” tuturnya.


Kerusakan hutan mangrove belakangan ini juga terjadi di kawasan pantai selatan Jawa, terutama di kawasan Laguna Segara Anakan, Kabupaten Cilacap. Kepala Biro Hukum Agraria Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah Bambang Wiryanto mengatakan sebagian kawasan hutan mangrove di laguna tersebut ada yang dihuni oleh masyarakat yang migrasi dari Jawa Barat. “Meskipun itu sebenarnya adalah tanah tumbuh akibat sedimentasi, tapi itu tetap kawasan hutan mangrove. Kawasan itu tetap tidak boleh dijadikan hunian. Kalau hanya digarap untuk tambak, itu masih boleh. Tapi itu juga tetap dikendalikan,” katanya menjelaskan.


Bambang mengatakan, untuk mengosongkan kawasan hutan mangrove Laguna Segara Anakan dengan sepenuhnya dari pemukiman maupun tambak, masih sulit dilaksanakan. “Untuk rehabilitasi kawasan hutan mangrove ini pada umumnya memang tidak mudah karena tekanan sosial dan ekonominya cukup besar,” ucapnya.


Sumber :
http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/01/27/19315966/kerusakan.hutan.mangrove.sulit.direhabilitasi

Minggu, 27 Januari 2008 | 19:31 WIB

Rabu, April 02, 2008

Populasi Burung Murai Batu Terancam Punah

Populasi Burung Murai Batu Terancam Punah

Pangkalpinang, Selasa - Populasi burung langka seperti jenis murai batu dan elang bukit di Babel semakin mengkhawatirkan. Dalam radius 10 kilometer, populasi burung tersebut hanya satu ekor saja. Itu pun hanya di daerah-daerah tertentu. Belum lagi jenis burung-burung khas Babel lainnya seperti punai, betet dan sebagainya yang diindikasikan populasinya semakin sedikit.


Zainal Abidin, salah satu pencinta, penangkar dan pemerhati burung langka saat ditemui Bangka Pos Group di pasar Burung Pangkalpinang, Selasa (25/3) mengaku tertekannya populasi burungburung tersebut akibat kondisi alam dan lingkungan yang tidak representatif lagi.


Sarjana Biologi lulusan salah satu universitas negeri di Bogor ini mengatakan perambahan hutan secara massal dan besarbesaran untuk kepentingan pertambangan dan perkebunan membuat areal hidup ratusan jenis burung semakin sempit. Ditambah lagi dengan minimnya usaha reboisasi dari pelaku dan perambah alam dalam mengembalikan situasi lingkungan ke kondisi awal. "Banyak pemicu lainnya. Misalkan faktor dari jenis burung itu sendiri, baik reproduksi, sistem hidup, sebaran makanan dan pola migrasi. Yang terburuk adalah banyak jenis burung langka yang diburu oleh pihakpihak tak bertanggung jawab," kata lelaki paruh baya yang berdomisili di Kecamatan Merawang ini.


Lebih jauh, ia menjelaskan pola hidup burung seperti murai batu dan elang sangatlah sensitif. Reproduksi mereka tidaklah sebaik jenis burung lainnya. Telur yang dihasilkan tak lebih dari tiga buah, sementara setiap hari burung jenis ini terus diburu dan terkadang banyak yang mati di tengah alam. (Bangka Pos/Rico Ariaputra)


Sumber :

http://www.kompas.com/read.php?cnt=.xml.2008.03.25.19364533&channel=1&mn=42&idx=43

Selasa, 25 Maret 2008 | 19:36 WIB

Populasi Elang Jawa Makin Terancam

Populasi Elang Jawa Makin Terancam

Sukabumi, Rabu - Populasi elang jawa di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) kian terancam punah menyusul kerusakan kawasan hutan lindung akibat adanya penebangan liar yang dilakukan masyarakat. "Saat ini populasi elang jawa yang ada tercatat sebanyak 19 ekor dan sebelumnya mencapai 200 ekor," kata Petugas Pengendalian Ekosistem Hutan di Kawasan Tanaman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), Dede Nugraha, Rabu (19/3). Menurut dia, menyusutnya populasi burung yang dilindungi pemerintah itu disebabkan tanaman hutan yang dijadikan sumber makanan menepis bahkan beberapa titik menghilang akibat adanya penebangan liar.


Saat ini, jelasnya, elang jawa yang ada hanya tersebar di daerah Cikaniki, Blok Wates dan Gunung Endut sekitar kawasan hutan lindung TNGHS. Oleh karena itu, pihaknya bersama petugas polisi hutan secara berkala terus melakukan monitoring keberadaan elang jawa, sehingga satwa langka itu tidak terancam punah.

Hingga saat ini, berdasarkan hasil monitoring di lapangan hanya sebanyak 19 ekor burung elang jawa yang masih berkeliaran di kawasan hutan konservasi TNGHS.
Akan tetapi, satwa langka itu hingga sekarang belum juga berkembang-biak karena adanya kerusakan kawasan hutan taman nasional itu.


Ia mengatakan, untuk mencegah kepunahan elang jawa di kawasan hutan Gunung Halimun-Salak, maka pihaknya selain melakukan pengamanan ketat juga memberikan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan konservasi. Kawasan hutan lindung TNGHS yang meliputi tiga Kabupaten yakni Lebak, Bogor dan Sukabumi, banyak satwa spesies yang dilindungi pemerintah. Misalnya, elang jawa, owa abu-abu, macan tutul dan lainnya.

"Kami meminta masyarakat jangan sampai terjadi pemburuan satwa-satwa langka karena akan merugikan anak cucu kita," ujarnya menambahkan. Sementara itu, Kepala Seksi Pengelolaan TNGHS wilayah Kabupaten Lebak, Pepen Rachmat, mengemukakan bahwa hingga saat ini spesies elang yang ada di hutan konservasi terdapat sebanyak 16 jenis, diantaranya elang jawa, elang hitam, elang alap-alap nipon, elang brontak, elang perut karet, elang alap-alap tikus, elang besar laut dan elang alap-alap jawa. "Spesies elang tersebut tetap dimonitor petugas, agar tidak terjadi kepunahan," katanya. (ANT/WAH)

Sumber :

http://www.kompas.com/read.php?cnt=.xml.2008.03.20.14345022&channel=1&mn=42&idx=43

Kamis, 20 Maret 2008 | 14:34 WIB

Populasi Harimau Menurun Tajam

Populasi Harimau Menurun Tajam

Jakarta, Kamis - Jumlah harimau di seluruh dunia telah mengalami penurunan tajam dalam 25 tahun terakhir. Organisasi lingkungan WWF melansir, populasinya menurun hingga 50 persen. WWF memperkirakan jumlahnya di alam sekarang tinggal 3.500 ekor.


Salah satu subspesies yang tinggal di China Selatan bahkan diprediksi punah dalam waktu singkat jika usaha konservasi tidak segera dilakukan. Ancaman terbesarnya adalah tingginya permintaan terhadap kulit, cakar dan bagian tubuh harimau sebagai ramuan obat tardisional China.


Dalam konferensi pers di Stockholm, Belgia, Rabu (12/3), direktur program spesies WWF India, Sujoy Barnajee, mengatakan pada awal abad ke-20 masih ada sekitar 20.000 harimau di India. Namun, kini kurang dari 1.400 ekor. Ia menilai ancaman terbesar keberadaan harimau di alam adalah manusia. Para peternak di India memilih untuk membunuh harimau untuk melindungi ternaknya yang menjadi sumber kehidupannya. "Saat terjadi konflik antara manusia dan harimau, yang kalah pasti harimau," ujarnya.


Situasi yang lebih genting juga terjadi di Sumatera karena penebangan liar yang tak terkendali. Jika penebangan hutan terus dilakukan seperti sekarang, lebih dari 90 persen kawasan hutan akan lenyap di tahun 2050. Harimau Sumatera bakal menjadi spesies berikutnya yang terancam punah jika keadaan ini tidak berubah. (BBC/WAH)


Sumber :

http://www.kompas.com/read.php?cnt=.xml.2008.03.13.18451887&channel=1&mn=42&idx=43

Kamis, 13 Maret 2008 | 18:45 WIB

Dampak Perubahan Iklim, Perempuan Pikul Beban Paling Berat

Dampak Perubahan Iklim, Perempuan Pikul Beban Paling Berat

Reporter : Cornelius Eko Susanto

Jakarta--MI: Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta Swasono mengatakan, di sebagian daerah di Indonesia, perubahan iklim berdampak lebih parah pada perempuan. Hal itu disebabkan oleh pandangan dan steorotip dari budaya, adat dan agama yang terdapat di Tanah Air.


Meutia menuturkan, pekerjaan di keluarga dan masyarakat terutama di daerah pedesaan misalnya, umumnya terbagi menurut gender. "Perempuan terkena dampak yang lebih buruk lagi dari keadaan (perubahan iklim) ini mengingat peran gendernya dan posisinya di dalam keluarga dan masyarakat," kata Meneg PP dalam acara Sosialisasi dan Advokasi Pengarusutamaan Gender di Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta, Rabu (26/3).


Menurut Meutia, contoh peran gender misalnya, para perempuan memikul tanggung jawab utama untuk mengumpulkan air dan bahan bakar serta menyediakan pangan untuk keluarga mereka. Disamping itu, berbagai kebijakan yang mengurangi akses ke pasokan air bersih, tingginya polusi, privatisasi jasa air dan meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan beban pada perempuan meningkat secara drastis. "Perempuan dari keluarga miskin sering menempuh perjalanan jauh dari rumah untuk mencari sumber air," sebutnya. Kemungkinan dampak lainya, lanjutnya, anak-anak perempuan juga berpotensi untuk terpaksa berhenti sekolah untuk membantu mengambil air, memasak dan menyiapkan makanan di rumah.


Untuk itu, Meutia mengimbau agar berbagai pihak perlu untuk menyertakan perempuan secara aktif dalam pengambilan keputusan yang menyangkut lingkungan. Ia juga meminta agar semua kebijakan untuk pembangunan yang berkelanjutan diintegrasikan dengan kepedulian terhadap perempuan dan berperspektif gender. Selain itu, penting pula untuk memperkuat dan membentuk mekanisme di tingkat nasional, regional dan internasional untuk memperkirakan dampak pembangunan dan kebijakan lingkungan pada perempuan.


Pada kesempatan yang sama, Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar mengatakan, kebijakan pengelolaan lingkungan hidup yang terdapat di Indonesia tidak membedakan antara peran perempuan dan laki-laki. "Semua manusia mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku," kata Rachmat.


Rachmat memaparkan, kebijakan yang tidak membeda-bedakan tersebut dapat disimak antara lain dalam Undang-Undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 6 ayat (1) dari UU tersebut menyatakan, "Setiap manusia berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup".


Namun, lanjutnya, keberadaan kaum perempuan terkadang masih kurang mendapatkan perhatian misalnya dalam hal kesempatan untuk mengakses informasi atau penyuluhan tentang pencemaran dan kerusakan lingkungan. "Padahal, beberapa kasus menunjukkan perempuan seringkali terkena dampak (pencemaran dan kerusakan lingkungan) yang lebih parah mengingat adanya sistem reproduksi yang membedakan perempuan dengan dengan laki-laki," ujarnya.


Rachmat menyontohkan, terdapat hasil penelitian yang menunjukkan bahwa residu DDT dapat mengendap dalam air susu ibu sehingga berpotensi membahayakan kondisi ibu dan anaknya. Ia juga menyayangkan masih adanya persepsi pada sebagian masyarakat bahwa undangan penyuluhan mengenai tata cara pertanian adalah hanya untuk laki-laki. Selain itu, contoh lainnya adalah sedikitnya peserta perempuan pada pelatihan penyemprotan pestisida padahal penyemprotan seringkali dilakukan oleh perempuan. (Tlc/OL-03)


Sumber :

http://www.mediaindonesia.com/

Rabu, 26 Maret 2008 20:39 WIB

180 Hektare Terumbu Karang di Pantai Rembang Rusak

180 Hektare Terumbu Karang di Pantai Rembang Rusak


Rembang, CyberNews. Kerusakan terumbu karang di wilayah pesisir pantai Kabupaten Rembang sudah sangat parah. Menurut data dari Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Tirto Mulyo Desa Banyudono Kecamatan Kaliori, terumbu karang yang sudah rusak di wilayah pesisir pantai Kabupaten Rembang mencapai 180 hektare.


Anggota BKM Tirto Mulyo Dony Shara kemarin mengutarakan terumbu karang yang masih cukup baik di pesisir kabupaten Rembang hanya tinggal 30 hektare. ''Apabila diprosentase, 80 persen terumbu karang di Kabupaten Rembang sudah rusak. Yang masih tersisa cukup bagus, hanya ada di sekitar kawasan Desa Pasar Banggi Kecamatan Kota saja,'' paparnya.


Dia menambahkan akibat kerusakan terumbu karang yang sangat parah itu, mengakibatkan ikan sulit untuk berkembang biak. Dia mengutarakan kondisi kerusakan terumbu karang ini juga semakin diperparah dengan semakin menyempitnya luas hutan bakau di Kabupaten Rembang. Kerusakan terumbu karang dan hutan bakau ini katanya, memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap hasil tangkapan ikan nelayan. ''Kami amati dari lima tempat pelelangan ikan (TPI) di Kabupaten Rembang, hampir setiap tahun mengalami penurunan produksi ikan yang sangat drastis. Hal ini kami duga merupakan salah satu dampak dari kerusakan terumbu karang di Kabupaten Rembang,'' jelas Dony.

Dia menjelaskan untuk mengurangi kerusakan terumbu karang ini, BKM Tirto Mulyo bersama dengan warga Desa Banyudono Kecamatan Kaliori mulai bulan Maret kemarin sudah memulai sebuah usaha untuk pelestarian terumbu karang dan hutan mangrove. ''Pemuda desa kami gandeng untuk memberikan penyadaran terhadap arti pentingnya terumbu karang bagi nelayan. Selain itu, kami juga mengandeng warga sekitar untuk mulai kembali menanami wilayah pesisir dengan mangrove,'' jelasnya.

Sebelumnya Kabag Hukum H Agus Salim SH mengutarakan Pemkab sudah memiliki peraturan daerah (Perda) yang mengatur pelarangan perusakan dan pengambilan terumbu karang di wilayah pesisir laut Kabupaten Rembang. Dia menambahkan dengan adanya Perda itu, Pemkab tidak memberikan toleransi kepada pihak manapun untuk mengambil terumbu karang di wilayah pesisir Kabupaten Rembang. (Mulyanto Ari Wibowo /CN09)

Sumber : http://www.suaramerdeka.com/beta1/index.php?fuseaction=news.detailNews&id_news=3151
01/04/2008 17:42 wib - Daerah Aktual