Rabu, April 02, 2008

Dampak Perubahan Iklim, Perempuan Pikul Beban Paling Berat

Dampak Perubahan Iklim, Perempuan Pikul Beban Paling Berat

Reporter : Cornelius Eko Susanto

Jakarta--MI: Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta Swasono mengatakan, di sebagian daerah di Indonesia, perubahan iklim berdampak lebih parah pada perempuan. Hal itu disebabkan oleh pandangan dan steorotip dari budaya, adat dan agama yang terdapat di Tanah Air.


Meutia menuturkan, pekerjaan di keluarga dan masyarakat terutama di daerah pedesaan misalnya, umumnya terbagi menurut gender. "Perempuan terkena dampak yang lebih buruk lagi dari keadaan (perubahan iklim) ini mengingat peran gendernya dan posisinya di dalam keluarga dan masyarakat," kata Meneg PP dalam acara Sosialisasi dan Advokasi Pengarusutamaan Gender di Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta, Rabu (26/3).


Menurut Meutia, contoh peran gender misalnya, para perempuan memikul tanggung jawab utama untuk mengumpulkan air dan bahan bakar serta menyediakan pangan untuk keluarga mereka. Disamping itu, berbagai kebijakan yang mengurangi akses ke pasokan air bersih, tingginya polusi, privatisasi jasa air dan meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan beban pada perempuan meningkat secara drastis. "Perempuan dari keluarga miskin sering menempuh perjalanan jauh dari rumah untuk mencari sumber air," sebutnya. Kemungkinan dampak lainya, lanjutnya, anak-anak perempuan juga berpotensi untuk terpaksa berhenti sekolah untuk membantu mengambil air, memasak dan menyiapkan makanan di rumah.


Untuk itu, Meutia mengimbau agar berbagai pihak perlu untuk menyertakan perempuan secara aktif dalam pengambilan keputusan yang menyangkut lingkungan. Ia juga meminta agar semua kebijakan untuk pembangunan yang berkelanjutan diintegrasikan dengan kepedulian terhadap perempuan dan berperspektif gender. Selain itu, penting pula untuk memperkuat dan membentuk mekanisme di tingkat nasional, regional dan internasional untuk memperkirakan dampak pembangunan dan kebijakan lingkungan pada perempuan.


Pada kesempatan yang sama, Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar mengatakan, kebijakan pengelolaan lingkungan hidup yang terdapat di Indonesia tidak membedakan antara peran perempuan dan laki-laki. "Semua manusia mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku," kata Rachmat.


Rachmat memaparkan, kebijakan yang tidak membeda-bedakan tersebut dapat disimak antara lain dalam Undang-Undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 6 ayat (1) dari UU tersebut menyatakan, "Setiap manusia berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup".


Namun, lanjutnya, keberadaan kaum perempuan terkadang masih kurang mendapatkan perhatian misalnya dalam hal kesempatan untuk mengakses informasi atau penyuluhan tentang pencemaran dan kerusakan lingkungan. "Padahal, beberapa kasus menunjukkan perempuan seringkali terkena dampak (pencemaran dan kerusakan lingkungan) yang lebih parah mengingat adanya sistem reproduksi yang membedakan perempuan dengan dengan laki-laki," ujarnya.


Rachmat menyontohkan, terdapat hasil penelitian yang menunjukkan bahwa residu DDT dapat mengendap dalam air susu ibu sehingga berpotensi membahayakan kondisi ibu dan anaknya. Ia juga menyayangkan masih adanya persepsi pada sebagian masyarakat bahwa undangan penyuluhan mengenai tata cara pertanian adalah hanya untuk laki-laki. Selain itu, contoh lainnya adalah sedikitnya peserta perempuan pada pelatihan penyemprotan pestisida padahal penyemprotan seringkali dilakukan oleh perempuan. (Tlc/OL-03)


Sumber :

http://www.mediaindonesia.com/

Rabu, 26 Maret 2008 20:39 WIB

Tidak ada komentar: