Jumat, Februari 29, 2008

Disiapkan, Uji Materiil PP 2/2008

Disiapkan, Uji Materiil PP 2/2008

Diusulkan Segera Dicabut

Jakarta, Kompas - Sejumlah lembaga swadaya masyarakat sedang mempersiapkan uji materiil Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pemanfaatan Hutan. Langkah itu dilakukan karena proses penyusunan PP tersebut dinilai melanggar undang-undang. ”Karena itu, sebelum proses hukum berjalan, sebaiknya peraturan pemerintah tersebut dicabut,” kata ahli hukum lingkungan Mas Achmad Santosa dalam diskusi terbatas yang diselenggarakan di Kompas, Rabu (27/2). Tampil pula sebagai pembicara, Hendro Sangkoyo dari School of Democratic Economics (SDE), Siti Maemunah dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Soetrisno (Kepala Pusat Wilayah Pengelolaan Hutan Badan Planologi Departemen Kehutanan), serta dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, diwakili Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral, Batu Bara dan Panas Bumi S Witoro.

Dari perspektif hukum, menurut Mas Achmad Santosa, terhadap peraturan pemerintah (PP) tersebut harus dilakukan uji materiil ke Mahkamah Agung karena proses pembuatan PP No 2/2008 itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Perundang-undangan. ”PP itu melanggar tiga prinsip, meliputi kejelasan tujuan, kejelasan rumusan dan keterbukaan. Kalau disebutkan PP itu hanya berlaku untuk 13 perusahaan pemegang kuasa pertambangan, tidak ada pernyataan eksplisit dalam PP tersebut,” ujarnya. Begitu pun dalam penyusunannya tidak melibatkan dialog publik.

Dia sependapat dengan Hendro dan Maemunah, yang menyatakan bahwa PP itu harus dicabut kalau Indonesia tidak mau kehilangan muka di hadapan komunitas internasional dan mendapat tekanan dari masyarakat internasional. ”Baru dua bulan kita menjadi tuan rumah dari pertemuan internasional tentang perubahan iklim, yang memprakarsai upaya-upaya pengurangan emisi karbon dari hutan. Sekarang, pemerintah justru membuat PP yang mendorong kerusakan hutan,” kata Hendro.

Hendro menegaskan, PP ini tidak hanya salah secara teknis, tetapi juga menunjukkan adanya krisis politik. ”Angka Rp 1,5 juta per hektar untuk kompensasi hutan per tahun yang disebut dalam PP itu bagaimana cara menghitungnya? Apakah sudah memperhitungkan dampak sosial-ekologisnya?” ujar Hendro.

Akan tetapi, Witoro dan Soetrisno secara implisit menyatakan, baik Departemen Kehutanan maupun Departemen ESDM akan mempertahankan PP tersebut. ”Daripada tidak mendapat apa-apa dari pengusahaan pertambangan, dengan PP ini kita bisa memperoleh nilai. Masalah berapa besar nilainya, itu bisa dibicarakan asalkan pertambangan tetap beroperasi,” kata Soetrisno. (AIK/MH/TAT/ISW/THY)

http://www.kompas.co.id/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.02.28.04360877&channel=2&mn=154&idx=154
Kamis, 28 Februari 2008 04:36 WIB

Jalan Berliku Energi Alternatif

Jalan Berliku Energi Alternatif

Ninok Leksono

”’Boom biofuel’ datang ketika produksi pangan harus berlipat ganda guna memberi makan tiga miliar lagi mulut yang akan hadir pada tahun 2050…. Dalam konteks ini, sungguh ide yang terdengar bodoh untuk menggunakan bahan pangan sebagai bahan bakar”. (David Tilman, ekolog Universitas Minnesota, Science/IPS/JP, Feb 07)

Pada masa ketika harga minyak semakin mencekik, juga pada masa ketika ketergantungan terhadap batu bara tidak saja tidak kondusif bagi lingkungan, tetapi juga rawan terlambat dipasok (sehingga pembangkit listrik harus beristirahat), kerinduan terhadap energi alternatif dirasakan semakin besar.

Pertanyaannya, energi alternatif manakah yang dapat menggantikan energi fosil? Energi terbarukan, seperti energi surya, energi angin, energi geotermal dan energi gelombang laut, memang terdengar menarik. Namun, tingkat kesiapan dan persentase pemanfaatan energi terbarukan ini bisa dikatakan masih insignifikan dibandingkan dengan kebutuhan yang ada.

Dalam kesulitan, sejumlah komunitas berprakarsa membangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro yang memanfaatkan arus sungai. Prakarsa masyarakat ini tentu saja amat dihargai, tetapi lingkupnya tentu ber- sifat amat lokal. Kini bahkan mulai muncul upaya untuk menggunakan air sebagai energi. Laporan Iptek pekan silam tentang ”Solar Impulse” bahkan mengunggulkan energi surya untuk penerbangan masa depan yang bersih lingkungan.

Energi nuklir? Mengikuti wacana yang muncul beberapa waktu belakangan ini memunculkan kesan bahwa nuklir masih akan mendaki jalan terjal di negeri ini. Waktulah yang kelak akan memperlihatkan siapa yang lebih rasional dalam upaya penerapan energi ini di bumi Indonesia. Lepas dari kebutuhan untuk mengkajinya secara kepala dingin, dalam hal nuklir boleh jadi situasi Indonesia serupa dengan AS. Harian The New York Times tanggal 24 Januari silam menurunkan artikel Roger Cohen berjudul ”America Needs France’s Atomic Anne”.

Dalam tulisan itu dikatakan, betapa senjangnya penggunaan energi nuklir di Perancis dan di AS. Perusahaan energi nuklir Perancis, Areva, bisa menyediakan sekitar 80 persen listrik negara dari 58 PLTN dan kini sedang membangun reaktor generasi baru di Flamanville yang akan selesai tahun 2012. Perancis bahkan bisa mengekspor keahlian di bidang energi nuklir ke berbagai negara, mulai dari China hingga ke Uni Emirat Arab.

Sementara di AS, energi nuklir hanya menyumbang 20 persen pasokan listrik nasional, tak punya reaktor baru sejak 1996 dan debat mengenai tenaga nuklir terus saja melumpuhkan meskipun orang melihat sistem ini membangkitkan listrik secara bersih di era pemanasan global. AS memang tak punya sosok yang dijuluki ”Atomic Anne”, yang merupakan saleswoman pengusung semangat ”Vive les Nukes”. Para kandidat presiden pun menampilkan pandangan beragam, ada yang pro ada yang kontra, tetapi secara keseluruhan prospek nuklir masih suram di AS.

Kalau 70 persen warga Perancis pronuklir, bangsa-bangsa lain punya kategori lain. Jerman tak memandang sebelah mata pun terhadap nuklir, oleh Cohen disebut silly-green, sementara bangsa Inggris termasuk smart- green karena meskipun sadar isu lingkungan, mereka menghidupkan kembali pembangkit nuklirnya. Cohen menegaskan, energi nuklir merupakan alternatif vital bagi pembangkit batu bara yang menyemburkan gas-gas rumah kaca (GRK) dan pembangkit tipe ini menyumbang separuh dari pembangkitan listrik Amerika.

Ditekankan, energi angin dan surya wajib dikembangkan. Namun, hingga pertengahan abad ini pun, kontribusinya masih akan tetap kecil. Dari ribuan kilometer persegi yang disediakan untuk menjaring energi angin, energi yang dihasilkan tak bisa diperbandingkan dengan pembangkit nuklir yang hanya menempati kurang dari 1,6 kilometer persegi. Namun, AS tetap dilanda kelumpuhan nuklir.

”Biofuel” pun dikritik

Kalau energi angin semakin ditambang di kawasan Eropa, energi alternatif lain banyak berkembang di Asia Tenggara, yakni biofuel, atau bahan bakar yang berasal dari sumber organik. Sebelum ini biofuel dianggap bisa menjadi bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan. Namun, menurut penelitian mutakhir, ada dampak buruk yang ditimbulkan dari produksi biofuel. Seperti dilaporkan oleh Stephen Leahy dari IPS/Brooklin Kanada (JP, 11/2), biofuel justru membuat perubahan iklim tambah buruk karena emisi GRK total dari biofuel jauh lebih tinggi dibandingkan dari pembakaran bensin. Ini karena produksi biofuel mendongkrak harga bahan pangan dan menimbulkan deforestasi serta hilangnya padang rumput.

Emisi dari etanol 93 persen lebih tinggi dibandingkan bensin, ujar David Tilman, ekolog di Universitas Minnesota, yang ikut menulis makalah yang dimuat di jurnal Science yang terbit awal bulan ini. Ditambahkan bahwa menggunakan tanah pertanian yang baik untuk biofuel meningkatkan emisi GRK, tambah Tilman. Misalnya saja etanol yang dibuat dari jagung diandaikan bisa mengurangi GRK 10-20 persen dibandingkan dengan pembakaran bensin.

Namun, studi-studi terdahulu tidak memperhitungkan fakta bahwa ketika tanah pertanian digunakan untuk penanaman bahan bakar, akan berkuranglah lahan untuk menanam tanaman pangan di negara yang masih banyak dilanda kelaparan. Hasil panen yang terbatas menyebabkan harga bahan pangan membubung dan itu berikutnya mendorong orang melakukan konversi hutan dan padang rumput asli untuk menanam tanaman pangan. Padahal, mengubah hutan dan padang rumput dalam konteks perubahan iklim amat dilarang. Lebih jauh dikemukakan bahwa setiap hektar lahan yang dikonversi menghasilkan timbunan GRK sekitar 351 ton di atmosfer. Lahan yang dibiarkan alami mengikat karbon selama ratusan tahun.

Terus mengkaji

Kendala dan tantangan tampak menghadang di depan dalam upaya memanfaatkan energi alternatif. Namun, Indonesia tak boleh menyerah karena akan terlalu mahal konsekuensi yang harus ditanggung bila terus menyandarkan diri pada energi fosil. Bukan saja harganya semakin tidak terjangkau, tetapi terhadap lingkungan pun akan salah besar.

Seperti terhadap nuklir yang masih terus kontroversial, sebagai bangsa yang ingin keluar dari lilitan persoalan, sebenarnya sikap yang lebih positif adalah terus mengkaji berbagai aspeknya, bukan serta-merta menutup peluangnya. Sebaliknya terhadap biofuel yang sebelum ini sudah kita pandang positif, baik juga kita masukkan hasil penelitian baru di atas. Masalahnya adalah deforestasi banyak dilakukan di Asia Tenggara untuk diganti dengan tanaman kelapa sawit.
Tampak bahwa meski dibutuhkan mendesak, pemanfaatan energi alternatif tidak semudah seperti dibayangkan.

http://www.kompas.co.id/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.02.27.02452662&channel=2&mn=154&idx=154
Rabu, 27 Februari 2008 02:45 WIB

Tata Ulang Sebagian Besar Kota di Jawa

Tata Ulang Sebagian Besar Kota di Jawa

Jakarta, Kompas - Rentetan bencana lingkungan yang melanda kota-kota di Jawa membutuhkan penataan lanjut kawasan kota. Penataan dimaksudkan mencegah dan adaptasi terhadap bencana. ”Tata ulang kawasan dapat mengendalikan kejadian yang tak diinginkan,” kata Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Indonesia Iman Soedradjat di Jakarta, Rabu (27/2). Dia mengatakan, penataan ulang bukan langsung berarti bisa menghentikan bencana.

Adapun sebagian besar kota di Jawa yang perlu ditata ulang kawasannya, khususnya di kota-kota yang dilalui sungai besar. Pada kawasan itulah dampak terbesar bencana seperti banjir menimpa belum lama ini, seperti di kawasan pantai utara Jawa. Atas pertimbangan itu, maka salah satu prioritas tata ulang adalah memaksimalkan fungsi drainase kota. ”Lebih lengkapnya masih dikaji lagi,” kata dia. Iman mengakui, pihaknya butuh pengkajian detail secara keseluruhan wilayah untuk meminimalisasi risiko bencana sekecil-kecilnya. Secara umum, memberi ruang terbuka yang cukup untuk mengonservasi air.

Sebelumnya, tim Kajian Daya Dukung dan Kebijakan Pembangunan Pulau Jawa menyebutkan, daya dukung Pulau Jawa sudah terlampaui. Sebagian besar kota, ketersediaan sumber airnya tidak mencukupi. Salah satu yang menjelaskan, tutupan lahan di Jawa tidak memenuhi syarat bagi ketersediaan air. Alih fungsi lahan terus meningkat untuk permukiman, tambak dan kegiatan usaha lainnya. Menurut anggota tim Hariadi Kartodihardjo, kerusakan kawasan hutan yang marak terjadi di Jawa lebih terkait persoalan tata ruang. ”Populasi meningkat bukan harus berarti merusak lahan atau hutan,” kata dia.

DAS rusak

Adapun prediksi kajian daya dukung Pulau Jawa menunjukkan, dari total 175 daerah aliran sungai (DAS) dan sub-DAS yang dikaji, sebagian besar DAS akan mengalami tekanan alih fungsi. Karena itu, faktor yang memengaruhi perubahan itu perlu memperoleh perhatian. Skenario moderatnya, deforestasi DAS tahun 2015 menjadi 62 DAS, sedangkan skenario ekstremnya, 120 DAS rusak pada tahun 2015. Jumlah itu diperkirakan akan terus meningkat selama tidak ada kebijakan pemerintah yang tegas.

Hasil kajian itu memberi sejumlah usulan, di antaranya mengevaluasi tata ruang dan menetapkan kepastian hak dan akses atas sumber daya alam (SDA) bagi masyarakat di dalam dan sekitar lokasi SDA. Prioritaskan konservasi hulu DAS dengan koordinasi antarwilayah kabupaten/kota. Selain itu, meninjau peraturan daerah-peraturan daerah dalam pemanfaatan SDA yang tidak memerhatikan daya dukung lingkungan. Diungkapkan Hariadi dan Iman, hal itu berarti membutuhkan kerja besar dan konsistensi dari pemerintah. (GSA)

http://www.kompas.co.id/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.02.28.05220640&channel=2&mn=156&idx=156
Kamis, 28 Februari 2008 05:22 WIB

Hutan Produksi Rawan Pembakaran

Hutan Produksi Rawan Pembakaran

Jambi, Kompas - Sekitar 45 persen kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Jambi berada di kawasan hutan produksi. Hal ini menunjukkan hutan produksi merupakan wilayah yang rawan pembakaran lahan.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Budidaya, Rabu (27/2), mengemukakan, dari 772 hektar areal kebakaran di Jambi sepanjang tahun 2007, kebakaran paling luas terjadi di hutan produksi, yakni di areal hak pengusahaan hutan (HPH), hutan tanaman industri (HTI) dan eks HPH yang luas totalnya 352 hektar. Adapun kebakaran di areal perkebunan besar 198 hektar, lahan pertanian 191 hektar dan perkebunan masyarakat 31 hektar.

Oleh karena itu, pemerintah kabupaten diharapkan ikut mengawasi areal hutan produksi di wilayah masing-masing. Setiap kepala desa, misalnya, perlu menginventarisasi warganya yang berencana membuka lahan baru.

Menurut Budidaya, pengawasan hutan merupakan tanggung jawab perusahaan pengelola. Masalahnya, penjagaan hutan produksi yang ditinggal oleh pemegang izinnya menjadi sangat minim. Polisi hutan belum memadai untuk memantau aktivitas pembakaran dan perambahan lahan.

Kebakaran lahan di sepanjang tahun 2007 menyusut dibandingkan dengan tahun 2006 yang mencapai luas 7.497 hektar. Pemerintah diimbau mengajak industri bubur kayu untuk membeli kayu yang ditebang warga sehingga warga tidak perlu membakar lahan. Hari Rabu, satelit NOAA tidak dapat menangkap titik api di wilayah Jambi. Penyebabnya, cuaca sejak pagi cenderung berawan.

Berdasarkan data Pusat Pengendalian Kebakaran Lahan dan Hutan Provinsi Jambi, terdapat 199 titik api sejak Januari hingga Rabu. Jumlah titik api terbanyak di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, yaitu 69 titik api dan Batanghari, 64 titik api. (ITA)

http://www.kompas.co.id/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.02.28.05335158&channel=2&mn=162&idx=162
Kamis, 28 Februari 2008 05:33 WIB

Ampas Tahu Jadi Biogas

Ampas Tahu Jadi Biogas

Sumidi (45) sibuk memaku sabuk dari ban di tengah suasana bising dan hawa panas pabrik tahu di Dusun Kanoman, Desa Gagaksipat, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Senin (25/2) siang. Sabuk itu adalah salah satu bagian dari alat produksi tahu yang rusak.

Sejurus kemudian sang istri, Wastini (40), melintas. Siang itu ia sudah selesai masak. Ia tidak lagi cemas soal harga minyak tanah yang mahal dan sulit dicari. Wastini sekarang memasak menggunakan gas. Bukan gas hasil pembagian program konversi minyak tanah ke gas, melainkan dihasilkan dari proses pengolahan limbah pembuatan tahu dari pabrik tahu milik suami. Sudah tentu, gratis. ”Biasanya, sehari habis dua liter minyak tanah. Sekarang bisa masak sepuasnya, kapan saja, dengan gas gratis. Uang beli minyak untuk menambah uang jajan anak sekolah,” ungkapnya.

Bukan hanya Wastini yang menikmati gas gratis. Dua rumah tangga lainnya juga menikmati biogas limbah tahu dari pabrik tahu Sumidi. ”Sebenarnya bisa untuk lima rumah. Kalau ada tetangga yang mau pakai gas, kami persilakan. Namun, harus menyediakan sendiri kompor dan pipa penyalur gas,” tutur Sumidi.

Sumidi boleh bersenang hati karena terpilih sebagai penerima bantuan pembuatan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) biogas dari Pemerintah Kabupaten Boyolali. Dengan biaya sekitar Rp 40 juta, di belakang rumahnya dibangun semacam sumur sedalam lima meter dan bangunan bertutup bulat seperti tempurung kelapa yang hampir rata tanah dan berkedalaman dua meter. Instalasi ini untuk mengolah air limbah secara sederhana. Di samping sumur, terdapat pipa penyalur gas yang dihasilkan dari limbah tahu. ”Saya hanya menyediakan tanah 10 x 10 meter persegi untuk tempat instalasi. Sebenarnya ini bisa buat dua pabrik, tetapi karena jarak pabrik berjauhan, sulit dilakukan,” ujar Sumidi.

Perajin tahu lainnya, Budi Amiarso, juga gembira menerima bantuan IPAL biogas lima bulan lalu. Ada lima rumah yang memanfaatkan biogas limbah tahunya untuk memasak dan menyalakan petromaks. ”Biasanya lima liter minyak habis untuk tiga hari. Sekarang 15 hari belum tentu habis,” kata Haryono, kakak Budi yang juga memanfaatkan biogas.

Ia juga memanfaatkan biogas untuk menyalakan petromaks. Namun, petromaks biogas hanya digunakan bila listrik padam. Selain menghasilkan biogas, limbah akhir yang dihasilkan lewat IPAL biogas tidak berbau dan lebih cair. Perajin tahu biasanya membuang limbah pembuatan tahu tanpa diolah ke sungai ataupun ke selokan yang berakhir di persawahan.

Sebenarnya keluhan warga sekitar bukan tidak muncul terhadap limbah tahu yang dibuang begitu saja. Namun, karena sebagian besar warga mendirikan usaha pembuatan tahu, kondisi itu seperti dimaklumi. Sayangnya, teknologi IPAL biogas ini makan biaya besar sehingga sulit dijangkau perajin yang kebanyakan berskala usaha rumah tangga. Padahal, mereka berminat menerapkan model IPAL biogas yang lebih ramah lingkungan dan bermanfaat. (Sri Rejeki)

http://www.kompas.co.id/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.02.27.03472538&channel=2&mn=162&idx=162
Rabu, 27 Februari 2008 03:47 WIB

Bakau Rusak, Pesisir Bekasi-Tangerang Kritis

Bakau Rusak, Pesisir Bekasi-Tangerang Kritis

Laju Abrasi Pantai Capai 10-15 Meter Per Tahun

Jakarta, Kompas - Kondisi kawasan pesisir Bekasi, Jakarta Utara dan Tangerang kini dalam keadaan kritis. Pemicunya karena hilangnya bakau akibat perambahan oleh petambak liar dan proyek reklamasi. Begitu terjadi gelombang pasang tanpa kenal musim belakangan ini yang menerjang pantai, kawasan pesisir langsung hancur. Pantauan Kompas, hingga Rabu (27/2), mulai dari Marunda di perbatasan Jakarta dengan Bekasi, hingga Kamal Muara di perbatasan Jakarta dengan Tangerang, ekosistem pesisir dalam kondisi kritis.

Beberapa fakta lapangan menunjukkan sampah organik maupun non-organik dibiarkan berserakan. Kondisi air laut tercemar, terjadi abrasi pantai, serta rusaknya lahan budidaya ikan dan permukiman warga. Sampah terlihat di pantai kampung nelayan Marunda Pulo, Cilincing, Kalibaru, Muara Baru, Muara Angke dan Kapuk. Gundukan sampah laut terlihat di muara Cakung Drain, Cilincing. Sampah membusuk, menebarkan aroma tidak sedap setelah bercampur dengan limbah industri. Air laut tidak lagi bening, tetapi berwarna coklat, hitam, hijau dan berbuih.

Warga Marunda menuturkan, pada 10 tahun silam atau tahun 1996-1997, tepi pantai masih berada 50-60 meter dari deretan rumah nelayan di daratan Marunda Kongsi. Tambak ikan bandeng milik Kiran (51), warga setempat, masih 15-20 meter dari tepi pantai. ”Saat ini, setiap kali terjadi air laut pasang, tambak saya pasti terendam. Rumah-rumah nelayan di sini juga rusak diterjang gelombang pasang. Mungkin karena tidak ada lagi bakaunya. Dulu waktu saya kecil, bakau masih ada,” kata Kiran. Rumah milik Kiran dan 15 warga lain telah hancur diterjang gelombang yang terjadi dua pekan lalu.

Kawasan pesisir Angke-Kapuk juga tergerus abrasi. Kerusakan mangrove dan abrasi di kawasan itu telah memusnahkan empat spesies endemik lokal, yakni lutung jawa (Trachyphitecus auratus.), kucing bakau (Prionailurus viverinus.), anjing air (Lutra perspillata.) dan mentok rimba (Cairina scutulata.). Koordinator Wilayah III Jakarta Utara Balai Konservasi Sumber Daya Alam Departemen Kehutanan Resijati Wasito mengatakan, jika pemulihan hutan mangrove di Taman Wisata Alam Angke-Kapuk, pesisir Pantai Indah Kapuk dan Suaka Margasatwa Angke selesai, akan terbentuk sabuk mangrove di kawasan tersebut.

Abrasinya kian cepat

Direktur Eksekutif Walhi DKI Jakarta Slamet Daroyni mengakui, ekosistem pesisir Jakarta kritis. Laju abrasi 10-15 meter per tahun akibat gelombang pasang setelah punahnya mangrove. Vegetasi pantai ini punah dirambah petambak liar dan proyek reklamasi. Luas lahan bakau di pesisir Jakarta tinggal sekitar 118 hektar, dari 1.344 hektar pada tahun 1960. ”Padahal, bakau atau mangrove itu selain mencegah abrasi, kerusakan pantai akibat empasan gelombang, juga dapat menyerap polutan. Jika ada bakau, hampir pasti limbah industri dari hulu hingga hilir sungai dapat ditekan secara perlahan,” katanya.

Ekosistem pesisir yang kian kritis itu juga terjadi di pesisir utara Bekasi hingga Tangerang atau pesisir Banten umumnya. Gelombang tinggi yang terjadi sejak akhir tahun 2007 membuat pantai di Banten semakin kritis terkena abrasi. Pemerintah akan membangun tanggul pengaman pantai sepanjang 380 meter saja.

Salah satu pantai yang semakin kritis ialah di perkampungan nelayan Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Pandeglang. Bagian atas bangunan tanggul juga ambles, bahkan ada yang sampai terpotong. Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau-Ciujung-Cidurian Billy Pramono menyebutkan, sekitar 400 kilometer garis pantai Banten rusak. (CAL/NTA/ONG)

http://www.kompas.co.id/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.02.28.04160873&channel=2&mn=163&idx=163
Kamis, 28 Februari 2008 04:16 WIB

Kamis, Februari 28, 2008

Sebanyak 16 Fasilitas Pelabuhan RI Lolos ISPS Code

Sebanyak 16 Fasilitas Pelabuhan RI Lolos ISPS Code

Jakarta (ANTARA News) - Departemen Perhubungan (Dephub) mengumumkan sebanyak 16 fasilitas di 16 pelabuhan yang tersebar di Indonesia lolos dalam implementasi International Ship and Port Facility Security (ISPS) Code. "Konfirmasinya diperoleh dari Konsul Ekonomi Kedutaan Besar AS, Peter Hass, pagi ini atas nama US (United State) Coast Guard (CG) dan diumumkan di AS pada 26 atau 27 Februari di Indonesia," kata Dirjen Perhubungan Laut, Dephub, E.B Batubara, kepada pers di Jakarta, Kamis.

Menurut Batubara, penegasan US Coast Guard tersebut dilakukan setelah lembaga itu pada Agustus 2007 sempat memperingatkan dengan keras terhadap beberapa fasiltas di pelabuhan yang dinilai tak memenuhi ISPSB Code. "Kini, mereka telah menetapkan bahwa 16 fasilitas pelabuhan itu secara siginifikan sudah memenuhi ISPSB Code," kata Batubara.

Ke-16 pelabuhan itu yakni PT Terminal Peti Kemas Surabaya, Pelabuhan Banjarmasin, PT Pertamina UPMS III Jakarta, PT Pertamina UP V Balikpapan, Senipah Terminal Total E&P Indonesia Balikpapan, PT Caltex Oil Terminal Dumai, Terminal Konvensional PT Pelindo II Jakarta dan Jakarta International Container Terminal. Selain itu, PT Pupuk Kaltim Bontang, PT Badak Bontang, PT Indominco Mandiri Bontang, Pertamina UP II Dumai, PT Pelindo I Cabang Dumai, semarang International Container Terminal, Terminal Multi Purpose Belawan dan PT Multimas Nabati Asahan.

Dengan demikian, kata Batubara, kapal-kapal yang berangkat dari ke-16 fasilitas pelabuhan diizinkan langsung menyinggahi pelabuhan-pelabuhan di Amerika Serikat. "Sejumlah fasilitas pelabuhan lain yang belum lolos ISPS Code ada dua alternatif, yakni dilakukan prosedur alternatif pengamanan atau diperiksa dan diawasi langsung oleh pengamanan yang direkomendasikan atau PSA," katanya. Dengan kata lain, level pengamanan di kapal dari pelabuhan yang belum lolos ISPS Code diawasi secara ketat. "Level sekuriti kapal biasanya level dua, kemudian disamakan dengan yang di darat," katanya.

Jika hal itu dilakukan, tegasnya, otomatis ada biaya tambahan yang harus ditanggung pemilik kapal. Batubara tidak merinci berapa dana tambahan yang dimaksud. Batubara mencontohkan, USCG dijadwalkan pada awal Maret 2008 akan mencek dan melakukan verifikasi terhadap tiga dari enam fasilitas pelabuhan yang sebelumnya dinilai belum memenuhi ISPS Code. Tiga fasilitas tersebut adalah milik PT Newmont di Nusa Tenggara Barat di pelabuhan khusus yang dimiliknya, PT Chevron dan Beyond Petroleum di Indonesia.
Pengurangan pelabuhan

Pada bagian lain, Dirjen Batubara mengatakan 16 fasilitas pelabuhan tersebut sebagian besar akan dimasukkan ke dalam pengurangan pelabuhan terbuka internasional dari 141 menjadi 25 pelabuhan. Namun, katanya, kapan penetapan 25 pelabuhan itu akan dilakukan masih menunggu pembahasan interdep. "Konsepnya kami sudah ada tinggal dibahas secara interdep," kata Batubara. Padahal, Dirjen Batubara dan pejabat sebelumnya mengatakan bahwa penetapan 25 pelabuhan terbuka internasional paling lambat akan dilakukan pada akhir Januari 2008. (*)

http://www.antara.co.id/arc/2008/2/28/sebanyak-16-fasilitas-pelabuhan-ri-lolos-isps-code/
28/02/08 11:39

Pelaku Pencemaran Air Harus Dicabut Izin Usahanya

Pelaku Pencemaran Air Harus Dicabut Izin Usahanya

Surabaya (ANTARA News) - Sanksi yang dijatuhkan terhadap perusahaan yang terbukti melakukan pencemaran terhadap sumber-sumber air, baik kali atau sungai di Jatim harus lebih berat dan memiliki efek jera, atau bila perlu sampai pencabutan izin usaha. Hal itu disampaikan sejumlah aktivis hukum dan penggiat lingkungan di Jatim kepada ANTARA News di Surabaya, Minggu, terkait pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air yang kini dibahas DPRD Jatim.

"Sanksi dalam raperda itu seharusnya lebih mengedepankan sanksi administratif, berupa penutupan sementara saluran pembuangan limbah dan pencabutan izin usaha. Bukan sanksi berupa denda sebesar Rp50 juta seperti yang diusulkan," kata Direktur Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton), Prigi Arisandi.

Ia mengatakan, jumlah denda yang dijatuhkan memang terhitung besar dibandingkan dengan tercantum pada Perda nomor 5 tahun 2000, yang menetapkan denda maksimal sebesar Rp 5 juta. "Tapi perlu diingat, sanksi denda atau sanksi pidana yang selama ini dijatuhkan, tidak memberikan efek jera pada perusahaan pelaku pencemaran. Sanksi yang lebih efektif adalah sanksi administratif berupa penutupan saluran pembuangan limbah atau pencabutan izin usaha," tegas Prigi.

Aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Athoillah SH berharap DPRD Jatim bersikap lebih kritis dan mempertimbangkan segala faktor sebelum mengesahkan Raperda yang diserahkan Pemprov Jatim pada pertengahan Januari 2008. Menurut dia, semangat Raperda itu hanya memikirkan kelangsungan sumber air pada masa sekarang dan tidak memiliki semangat keadilan antargenerasi sebagaimana prinsip pembangunan berkelanjutan yakni untuk pemenuhan kesejahteraan rakyat di masa datang. "Raperda ini mengalami kemuduran bila dibandingkan PP Nomor 82 tahun 2001 yang menggunakan pendekatan ekosistem," katanya.

Athoillah menambahkan, pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air dilakukan secara terpadu dengan pendekatan ekosistem dengan lebih mengedepankan kondisi alamiah. Selain itu, pengelolaan air dilakukan untuk menjamin kualitas air yang diinginkan sesuai peruntukkannya.(*)

http://www.antara.co.id/arc/2008/2/24/pelaku-pencemaran-air-harus-dicabut-izin-usahanya/
24/02/08 22:13