Jumat, Februari 29, 2008

Disiapkan, Uji Materiil PP 2/2008

Disiapkan, Uji Materiil PP 2/2008

Diusulkan Segera Dicabut

Jakarta, Kompas - Sejumlah lembaga swadaya masyarakat sedang mempersiapkan uji materiil Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pemanfaatan Hutan. Langkah itu dilakukan karena proses penyusunan PP tersebut dinilai melanggar undang-undang. ”Karena itu, sebelum proses hukum berjalan, sebaiknya peraturan pemerintah tersebut dicabut,” kata ahli hukum lingkungan Mas Achmad Santosa dalam diskusi terbatas yang diselenggarakan di Kompas, Rabu (27/2). Tampil pula sebagai pembicara, Hendro Sangkoyo dari School of Democratic Economics (SDE), Siti Maemunah dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Soetrisno (Kepala Pusat Wilayah Pengelolaan Hutan Badan Planologi Departemen Kehutanan), serta dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, diwakili Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral, Batu Bara dan Panas Bumi S Witoro.

Dari perspektif hukum, menurut Mas Achmad Santosa, terhadap peraturan pemerintah (PP) tersebut harus dilakukan uji materiil ke Mahkamah Agung karena proses pembuatan PP No 2/2008 itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Perundang-undangan. ”PP itu melanggar tiga prinsip, meliputi kejelasan tujuan, kejelasan rumusan dan keterbukaan. Kalau disebutkan PP itu hanya berlaku untuk 13 perusahaan pemegang kuasa pertambangan, tidak ada pernyataan eksplisit dalam PP tersebut,” ujarnya. Begitu pun dalam penyusunannya tidak melibatkan dialog publik.

Dia sependapat dengan Hendro dan Maemunah, yang menyatakan bahwa PP itu harus dicabut kalau Indonesia tidak mau kehilangan muka di hadapan komunitas internasional dan mendapat tekanan dari masyarakat internasional. ”Baru dua bulan kita menjadi tuan rumah dari pertemuan internasional tentang perubahan iklim, yang memprakarsai upaya-upaya pengurangan emisi karbon dari hutan. Sekarang, pemerintah justru membuat PP yang mendorong kerusakan hutan,” kata Hendro.

Hendro menegaskan, PP ini tidak hanya salah secara teknis, tetapi juga menunjukkan adanya krisis politik. ”Angka Rp 1,5 juta per hektar untuk kompensasi hutan per tahun yang disebut dalam PP itu bagaimana cara menghitungnya? Apakah sudah memperhitungkan dampak sosial-ekologisnya?” ujar Hendro.

Akan tetapi, Witoro dan Soetrisno secara implisit menyatakan, baik Departemen Kehutanan maupun Departemen ESDM akan mempertahankan PP tersebut. ”Daripada tidak mendapat apa-apa dari pengusahaan pertambangan, dengan PP ini kita bisa memperoleh nilai. Masalah berapa besar nilainya, itu bisa dibicarakan asalkan pertambangan tetap beroperasi,” kata Soetrisno. (AIK/MH/TAT/ISW/THY)

http://www.kompas.co.id/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.02.28.04360877&channel=2&mn=154&idx=154
Kamis, 28 Februari 2008 04:36 WIB

Tidak ada komentar: