Kamis, Desember 27, 2007

Dua Lumba-Lumba Ditemukan Mati Terjerat Jaring

Dua Lumba-Lumba Ditemukan Mati Terjerat Jaring


Laporan Wartawan Kompas Helena Fransisca.

BANDAR LAMPUNG, KOMPAS - Dua ekor lumba-lumba jenis hidung botol (Tursiops truncatus) ditemukan mati dengan tubuh penuh luka jeratan jaring di Dusun Bandung Jaya, Desa Kiluan Negeri, Kecamatan Kelumbayan, Kabupaten Tanggamus, Sabtu (15/12) pukul 06।00. Diperkirakan keduanya dibuang setelah terjerat jaring kapal dari Banten yang beroperasi di lepas pantai Teluk Kiluan.

Ketua Yayasan Ekowisata CIKAL Lampung Riko Stefanus, Minggu (16/12) mengatakan, saat ditemukan tubuh kedua ekor lumba-lumba hidung botol itu penuh guratan dan sobekan mata jaring. Selain itu, di perut salah seekor lumba-lumba terlihat adanya lubang dalam. Kedua lumba-lumba itu memiliki berat dan ukuran berbeda. Satu ekor berukuran panjang 2,29 meter, lingkar badan 1,18 meter, dan berat badan kurang lebih 100 kilogram. Seekor lainnya berukuran panjang 1,31 meter, lingkar badan 56 centimeter, dan berat 50 kilogram.

Teluk Kiluan memiliki potensi ikan-ikan jenis ikan pelagis atau ikan permukaan seperti tongkol, dan ikan air dalam seperti ikan simba dan ikan kerapu yang mahal harga jualnya. Potensi itu menarik kapal-kapal nelayan jenis purse seine untuk berlayar mendekat dan mengambil ikan dengan cara menjaring. Kapal-kapal tersebut biasanya dilengkapi dengan lampu-lampu yang berpendar terang. Sinar lampu itu menarik perhatian lumba-lumba untuk mendekat. Tak jarang lumba-lumba terperangkap jaring dan mati. Karena bukan ikan konsumsi, nelayan akan membuang begitu saja lumba-lumba yang mati terkena jaring.

Berdasarkan catatan Yayasan Ekowisata CIKAL, sepanjang 2007 sudah terjadi lima kali penemuan lumba-lumba mati karena jaring। ”Dalam satu temuan, lumba-lumba yang mati antara dua sampai lima ekor,” kata Riko. Kondisi itu memprihatinkan, karena perairan Teluk Kiluan merupakan habitat alami lumba-lumba hidung botol. Saat ini, selain ancaman jeratan jaring kapal nelayan, populasi satwa air itu semakin kritis akibat ancaman perburuan liar nelayan-nelayan pemburu paus dari Banten dan Telukbetung, Bandar Lampung.

Yang lebih menyedihkan, kata Riko, kapal-kapal jenis purse seine seharusnya tidak melaut pada jarak dekat dengan daratan, melainkan berlayar di tengah lautan. Keberadaan kapal-kapal tersebut dengan daratan menunjukkan, syahbandar dan kepala desa tidak kompak dalam menjaga potensi laut dan perikanan. Hingga saat ini belum ada langkah nyata pemerintah kabupaten untuk mengatur kapal-kapal purse seine dan menjaga lumba-lumba. Masyarakat Teluk Kiluan memilih untuk menjaga potensi dan kondisi lingkungan dengan mengaktifkan kerja kelompok pengawas masyarakat (Pokmaswas).

Selain mengawasi pengeboman terumbu karang dan pencurian ikan hias, pokmaswas juga bertugas mengawasi dan mengamat-amati kapal-kapal yang berlabuh di Teluk Kiluan. ”Supaya setiap temuan yang mencurigakan bisa dilaporkan dan segera diambil tindakan pencegah oleh Dinas kelautan dan perikanan,” kata Riko.

Sumber :
http://www.kompas.com
Minggu, 16 Desember 2007 - 20:10 wib

Tidak ada komentar: