Sabtu, Desember 15, 2007

Membangun Zonasi Berbasis Masyarakat

Membangun Zonasi Berbasis Masyarakat

Penulis : ICHWAN SUSANTO

Sejak tahun 1993, Teluk Cenderawasih di Pulau Papua ditetapkan sebagai taman nasional. Namun, setelah 14 tahun berjalan, kawasan konservasi ini belum juga memiliki zonasi resmi. Padahal, wilayah ini terus mengalami peningkatan mobilitas manusia yang membutuhkan rem agar aktivitas itu tidak mengganggu lingkungan setempat.

Pada tahun-tahun awal pembentukan kawasan ini, aktivitas manusia masih sebatas pada penangkapan ikan tradisional oleh nelayan. Namun kini, penangkapan ikan dilakukan dengan cara lebih modern sampai metode yang merusak habitat laut. Selain itu, lalu lalang penumpang angkutan laut semakin tinggi dengan masuknya Kapal Labobar dan Dorolonda di Wasior, ibu kota Teluk Wondama.

Peningkatan kegiatan ini sayangnya tak diiringi dengan sifat ramah lingkungan. Di perairan laut Teluk Cenderawasih kini mudah sekali ditemui sampah plastik (bungkus makanan, minuman, dan oli) yang terapung- apung di laut. Di pinggir pantai pun mulai tampak sebaran sampah-sampah plastik.

Siapa pun mengakui, mengelola kawasan seluas 1,4 juta hektar yang 95 persen berupa perairan laut bukan perkara mudah. Apalagi dengan status sebagai Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC), kawasan itu mengemban tanggung jawab pelestarian sumber daya hayati dan harus membimbing masyarakat setempat untuk mempertahankan kearifan lokal dalam memanfaatkan kekayaan alam.

Didukung masyarakat

Untuk memetakan spesifikasi peruntukan kawasan, Balai TNTC menyodorkan usulan zonasi. Gayung bersambut, ide zonasi taman nasional terluas di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara, ini mendapat dukungan dari masyarakat setempat.

Dalam beberapa pertemuan antara pihak Balai TNTC bersama masyarakat dan LSM, warga tampak antusias merespons usulan itu. Mereka menyadari kekayaan laut Teluk Cenderawasih merupakan berkat Tuhan bagi masyarakat setempat dan generasi mendatang.

Meski demikian, perjalanan pembentukan zonasi tak berjalan mulus. Masih terdapat berbagai kontroversi karena beberapa pihak menilai zonasi hanya akan membatasi areal tangkap.

Seperti rencana peruntukan zona inti di kawasan Pulau Wairundi di Wilayah Seksi Konservasi III yang sempat tersendat. Dalam pertemuan di Wasior beberapa waktu lalu, zonasi disetujui oleh berbagai elemen masyarakat. Hanya Pulau Wairundi yang masih belum ada kesepakatan.

Secara adat, wilayah Wairundi merupakan hak ulayat masyarakat Isenebuai. Namun, masyarakat yang paling banyak memanfaatkan hasil laut setempat berasal dari Kampung Yomber dan Waprak.

Sebenarnya kini mereka mulai sadar. Masyarakat adat dan masyarakat Kampung Isenebuai, Yaryari, Yembekiri, Yomakan, Kaprus, dan Yomber akhir Mei lalu di Isenebuai telah sepakat menjadikan Pulau Wairundi sebagai zona inti. Bahkan, masyarakat juga mengusulkan daratan Tanjung Inuri sebagai zona inti.

Zona inti ini merupakan jantung suatu kawasan karena melindungi secara mutlak fauna/flora endemik yang terancam punah. Perlindungan mutlak juga diberikan terhadap keanekaragaman hayati, gejala/fenomena alam, peninggalan situs budaya, dan sejarah.

Pernah diusulkan

Pada tahun 2001, Balai TNTC pernah mengusulkan zonasi ke Departemen Kehutanan. Namun, usulan itu diminta untuk direvisi kembali.

Dalam usulan itu, zona inti meliputi Pulau Wairundi, Matas, Iwari, Kuwom, Rorebo, Kabuai, Kumbur, Nutabari, Nuburi, dan Perairan Tridacna Reef. Zona situs budaya dan sejarah mencakup Windesi serta Pulau Mioswaar dan Roon. Zona rehabilitasi meliputi Pulau Maransabadi, Abaruki, Rumarakon, dan Rouw serta Kepulauan Kaki. Zona pemanfaatan intensif meliputi Selat Rumberpon, Pantai Sobei, Perairan Tanjung Mangguar, Nusariwani, serta Pulau Rumberpon Barat, Purup, Nukasa, Nuana, Mioswaar Timur, Yoop Mios Timur, Roon Timur, Anggrameos, dan Pepaya. Di luar zona inti, rehabilitasi, perlindungan, serta situs budaya dan sejarah terdapat zona pemanfaatan perlindungan dan peruntukan terbatas yang dipergunakan untuk kepentingan jalur pelayaran kapal-kapal nelayan tradisional, kapal perintis, dan kapal pengangkut kayu (tug boat) perusahaan HPH yang berada di daratan Pulau Papua dan perlindungan Teluk Wosimi. Zona penyangga daerah di luar kawasan TNTC adalah pesisir pantai induk dari Distrik Ransiki, Windesi, Wasior, dan Yaur serta laut bebas (Lautan Pasifik).

John Sroyer, Kepala Bagian Tata Usaha Balai TNTC, menjelaskan, zonasi sedang dalam tahap pematangan kembali. Penataan kawasan dikembalikan kepada masyarakat sebagai pihak yang merasakan langsung peruntukan zonasi. Diakui, pelibatan masyarakat akan membutuhkan waktu lebih panjang dibandingkan langsung diputuskan pemerintah pusat. Balai TNTC memperkirakan penetapan zonasi ini baru tuntas pada tahun 2010.

"Sekarang zaman sudah berbeda. Masyarakat harus dilibatkan lebih aktif agar mereka juga merasa bertanggung jawab terhadap penataan kawasan. Dengan demikian, mereka akan ikut serta dalam pengamanan kawasan bersama kami," ujar John Sroyer. Meskipun membutuhkan waktu lama, diharapkan zonasi atas usulan dan kesepakatan masyarakat ini menjadi rem cakram yang mampu mengurangi dampak negatif peningkatan aktivitas di Teluk Cenderawasih.

Sumber :
http://www.kompas.com/
Rabu, 27 Juni 2007.

Tidak ada komentar: