Sabtu, Desember 15, 2007

Kenapa Tak Mencoba Tenaga Angin

Kenapa Tak Mencoba Tenaga Angin

Penulis : Korano Nicolash LMS.

Di beberapa negara Eropa Barat, khususnya di Belanda, listrik tenaga angin merupakan hal yang lazim dimanfaatkan. Itu sebabnya kadang sepanjang perjalanan menelusuri "Negeri Kincir Angin" maupun beberapa negara di Eropa Barat itu tidak sukar untuk menyaksikan kincir angin yang lebih modern. Tentunya kincir angin yang dimanfaatkan untuk pembangkit listrik tenaga angin.

Bedanya kincir angin modern untuk pembangkit listrik tenaga angin ini dengan kincir angin penggiling gandum sangat jelas. Kalau kincir angin penggiling gandum itu terbuat dari rangkaian kayu serta memiliki empat bagian baling-baling. Di samping itu juga kincir angin ini akan terlihat berikut gudang tempat penggilingan gandumnya. Adapun baling-baling untuk pembangkit listrik ini hanya berupa tiang putih yang terbuat dari besi serta memiliki tiga baling-baling saja. Untuk beberapa produk yang baru bahkan ada yang tiang dan baling-balingnya terbuat dari fiber. Dengan demikian beratnya pun jauh lebih ringan.

"Di sini, pemilik satu kincir angin pembangkit listrik itu biasanya justru petani. Karena mereka tinggal pada daerah yang terpisah-pisah. Biasanya mereka dalam bentuk kelompok. Mungkin di Indonesia seperti koperasi petani. Jumlahnya bisa mencapai sepuluh keluarga atau bahkan sampai empat puluhan keluarga," tutur Pieter Franqis Veetman, warga Groningen, Belanda. Karena mereka menggunakan pembangkit listrik tenaga angin, lanjut Veetman, tentu penggunaan bahan bakar minyak (BBM)-nya pun makin berkurang. "Memang ini salah satu upaya mereka untuk mengurangi penggunaan bahan bakar minyak," katanya.

"Itu sebabnya sehari-hari mereka paling hanya menggunakan BBM untuk traktor pembalik tanah, penanam sekaligus pemanen hasil tanaman mereka. Serta untuk kendaraan pribadi," ujar Veetman. Adapun penggunaan pembangkit listrik tenaga angin ini sudah dimulai sejak tahun 1979. Dan, salah satu keunggulan pembangkit listrik tenaga angin ini, tambah CD Kessing, warga lainnya, karena setiap satu tiang pembangkit listrik tenaga angin ini bisa bertahan penggunaannya selama 25 tahun. "Itu ukuran penggunaan minimal yang ditetapkan perusahaan pembuatnya. Tentu kalau perawatannya bisa lebih baik lagi usia pembangkit listrik tenaga angin ini jelas akan lebih lama lagi," kata Kessing, warga Krommenie, Belanda. Ini artinya selama 25 tahun itu pula masalah listrik tidak lagi menjadi bahan pikiran. Satu hal yang lebih istimewa, yakni mereka telah melakukan pengiritan bahan bakar minyak. "Serta tentu semuanya akan lebih ramah lingkungan," kata Guru Besar Perguruan Pencak Silat Manyang di Eropa.

PLN

Rasanya tidak salah kalau di Indonesia, melalui Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang memonopoli jasa listrik di Nusantara, untuk mulai memikirkan kemungkinan penggunaan pembangkit listrik tenaga angin tersebut. Terlebih dalam kondisi BBM yang semakin langka yang selanjutnya memicu harga BBM melangit. Tentu apa yang dilakukan para petani di Negeri Kincir Angin, sana bisa dilakukan di negeri ini.

Bisa jadi akan sulit untuk dilakukan di Pulau Jawa yang memang sudah padat penduduk. Apalagi belakangan kerap terjadi angin puyuh. Tetapi, penggunaan pembangkit listrik tenaga angin mungkin saja bisa dimanfaatkan di luar Pulau Jawa yang memang hampir sebagian besar jasa listriknya hanya bergantung pada mesin-mesin diesel PLN yang umumnya memakai bahan bakar solar. Padahal, kalau melihat hasil laporan PLN tahun lalu, dijelaskan, untuk bahan bakar solar saja PLN harus mengeluarkan dana Rp 38,4 triliun per tahun. Itu untuk membeli 6,3 juta kiloliter solar. Dana tersebut akan terus membengkak seiring kenaikan harga BBM. Hal ini dimulai dengan kenaikan harga solar industri per Juni 2006 yang naik tiga kali lipat, menjadi Rp 6.100 per liter.

Pengeluaran PLN untuk penggunaan solar masih sangat tinggi, karena 17 persen dari pembangkit listrik PLN itu menggunakan mesin diesel. Sementara dari segi biaya, mesin diesel itu akan menyerap dana hampir 70 persen dari biaya bahan bakar. Kita sadari, memang ada beberapa kendala dalam menggunakan pembangkit listrik tenaga angin ini. "Hal yang utama itu, yakni masalah embusan angin yang kadang tidak menentu. Itu mungkin yang membuat PLN hingga saat ini masih belum terpikir untuk memperkenalkan penggunaan pembangkit listrik tenaga angin tersebut," kata Bambang Nugrohadi Waspada, salah satu staf PLN. Kalau hanya itu yang menjadi kendala, tentu bisa dilakukan survei terlebih dahulu. Rasanya tidak berbeda dengan pembuatan lapangan terbang yang harus lebih dulu dilakukan survei untuk penentuan landasannya yang sangat bergantung pada embusan angin di lokasi bersangkutan.

Penggunaan pembangkit listrik alternatif ini sebenarnya juga sudah mulai dilakukan di beberapa daerah di Indonesia, antara lain, seperti di Tanah Papua yang sudah sejak tahun 1990-an, dengan bantuan Pemerintah Negeri Kanguru Australia diperkenalkan penggunaan pembangkit listrik tenaga matahari (solar sel). Penggunaan solar sel ini cocok digunakan di Papua karena sesuai dengan situasi dan kondisi permukiman orang Papua yang tidak terpusat pada satu tempat saja. Tetapi tersebar di rawa-rawa, perbukitan, lembah dan gunung-gunung.

Hanya mungkin mereka tidak akan pernah menikmati lampu hemat listrik yang katanya akan dibagikan PLN. Sekalipun lampu hemat energi itu, kata Direktur Utama PLN Eddie Widiono, bakal mampu menghemat penggunaan bahan bakar sampai 0,75 kiloliter per tahun atau setara dengan Rp 3,8 triliun per tahunnya. Kalau memang mau irit, kenapa tidak sekaligus memanfaatkan tenaga angin yang gratis itu?

Sumber :
http://www.kompas.com/
Jumat, 14 Desember 2007.

Tidak ada komentar: