Senin, Januari 14, 2008

Pemerintah Tunjuk Surveyor Indonesia Awasi Mutu Tabung Gas

Pemerintah Tunjuk Surveyor Indonesia Awasi Mutu Tabung Gas

Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah menunjuk Surveyor Indonesia (SI) untuk mengawasi produksi tabung gas tiga kilogram dalam program konversi minyak tanah ke gas। "Penunjukan itu didasarkan ada sinyalemen bahwa sekitar tujuh hingga 11 persen di pasaran tidak memenuhi standar keamanan dan keselamatan untuk digunakan," kata Presiden Direktur SI, Didie B. Tedjosumirat, usai bertemu Wakil Presiden (Wapres), M. Jusuf Kalla, di Kantor Wapres, Senin. Terkait hal itu, menurut Didie, pihaknya akan berkoordinasi dengan PT (Persero) Pertamina untuk mengawasi seluruh proses pembuatan tabung gas tiga kilogram, sehingga aman bagi masyarakat। "Masyarakat kita sebagian besar belum paham betul tentang penggunaan kompor gas, karena itu jika mutu tabung gas tidak terjamin baik dapat membahayakan masyarakat pengguna, padahal program konversi ini sudah berjalan," katanya.

Didie menambahkan proses pengawasan mulai dari jenis, mutu bahan baku hingga proses produksi selesai akan dilakukan sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI)। Tentang kapan pengawasan dilakukan, ia mengatakan, menunggu koordinasi dengan Pertamina. "Pengawasan dan pengujian tersebut juga akan dilakukan terhadap tabung-tabung gas yang sudah terlanjut beredar di pasaran, termasuk tabung gas yang akan isi ulang," ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Pemasaran dan Niaga PT (Persero) Pertamina, Achmad Faisal, mengemukakan bahwa saat ini Pertamina dan Surveyor Indonesia tengah bernegosiasi mengenai harga kontrak dari kontrol mutu tabung dan kompor yang diproduksi।

"Saya harapkan pada Desember kontraknya sudah bisa ditandatangani, sehingga awal Januari surveyor sudah bisa melakukan pengontrolan mutu tabung dan kompornya," katanya।

Ahmad mengatakan, pengawasan dilakukan terhadap produk baru tahun depan dari pabrik-pabrik baru yang selama ini belum dikenal, dan etidaknya-tidaknya akan ada 21 pabrik tabung dan kompor dari sebelumnya 14 pabrik।Program pengalihan minyak tanah ke elpiji dilaksanakan berdasarkan surat Wakil Presiden (Wapres) RI Nomor 20/WP/9/2006 tanggal 1 September 2006. Surat tersebut merupakan tindak lanjut dari hasil rapat koordinasi terbatas di Kantor Wakil Presiden.

Dalam program itu, pemerintah berencana mengonversi penggunaan sekitar 5,2 juta kilo liter minyak tanah kedalam penggunaan 3,5 juta ton LPG hingga tahun 2010 yang dimulai dengan 1 juta kilo liter minyak tanah pada tahun 2007.Selain itu, dari target 12 juta tabung gas elpiji yang seharusnya disediakan pada akhir tahun ini untuk program konversi, saat ini baru tercatat enam juta tabung. (*)

Sumber :
http://www.antara.co.id/
26/11/07 18:37

Wapres : Keuntungan Program Konversi Minyak Tanah Rp22 Triliun

Wapres : Keuntungan Program Konversi Minyak Tanah Rp22 triliun

Cileungsi, Jabar (ANTARA News) - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan keuntungan yang dinikmati pemerintah dari program konversi minyak tanah ke LPG sebesar Rp22 trilyun per tahun, lebih besar dari keuntungan PT Pertamina yang sebesar Rp19 trilyun per tahun।

"Total penghematan dari program konversi minyak tanah ke gas ini sebesar Rp22 trilyun per tahun lebih besar dari keuntungan PT Pertamina sebesar Rp 19 trilyun per tahun। Jadi ini serius," kata Wapres Jusuf Kalla kepada wartawan, seusai meninjau pabrik kompor dan tabung gas PT Hamasa Steel Centre serta PT Wijaya Karya Intrade di Cilungsi Jabar, Senin.

Menurut Wapres, program konversi minyak tanah ke LPG ini akan sangat menguntungkan semua pihak, baik pemerintah, masyarakat maupun pengusaha। "Satu-satunya yang rugi dengan program ini, pengoplos minyak tanah," kata Wapres Jusuf Kalla dengan serius. Karena itu, tambah Wapres, program ini harus tetap jalan. Namun untuk itu, Wapres memerintahkan agar dilakukan kontrol yang ketat mengenai kualitas, serta kecepatan penyelesaian.

Mengenai kurangnya sosialisasi di masyarakat, Wapres mengakui memang ada, namun diminta segera dilakukan penambahan untuk iklan di TV, pencetakan brosur maupun menggunakan tenaga penyuluh lapangan। Wapres optimis program ini akan berhasil karena hampir seluruh kalangan akan meraih keuntungan. Ketika ditanyakan apakah ada rencana untuk menarik kompor minyak di masyarakat, Wapres mengatakan biarkan saja hal itu tetap. Kompor minyak bisa digunakan sebagai cadangan.

"Hasil survei, orang yang sudah pakai gas LPG, 99 persen tak akan kembali ke minyak tanah," kata Wapres। Mengenai adanya laporan beberapa produk tabung gas yang tidak sesuai dengan kualitas yang ada, Wapres menilai hal itu harus diperbaiki. Namun, tambahnya, jika hanya ada satu atau dua yang bocor hal itu masih wajar. Untuk itu, katanya, akan dilakukan perbaikan-perbaikan dan dilakukan kontrol yang lebih ketat.

Menurut Menteri Perindustrian Fahmi Idris, spesifikasi dan SNI untuk tabung gas sudah keluar। Sedangkan untuk kompor gas, tambah Fahmi, spesifikasinya sudah dilakukan dan SNI-nya diharapkan sebentar lagi akan keluar.

Dalam kesempatan itu, Wapres menegaskan bahwa program konversi minyak tanah ke gas LPG tetap akan dilanjutkan dengan target empat tahun selesai। Sementara mengenai kekurangan-kekurangan yang ada akan terus diperbaiki. "Kekurangan-kekurangan kita perbaiki akan tetapi program konversi ini tetap kita jalankan dan empat tahun selesai," kata Wapres.

Program konversi minyak tanah ke gas LPG ini akan menguntungkan semua pihak। Dari segi pemerintah akan ada penghematan subsidi BBM sebesar Rp22 Trilyun rupiah per tahun, sedangkan konsumen atau rakyat akan ada penghematan sebesar Rp20 s/d Rp25 ribu per bulan per kepala keluarga. Hal itu didapatkan dari hitungan jika menggunakan minyak tanah satu liter setara dengan 0,4 kg LPG, ujar Wapres.

Wapres mengeluarkan hitungan jika penggunaan minyak tanah sebanyak 20 liter minyak tanah per bulan per KK, maka akan setara dengan 2,5 tabung. "Tidak ada lagi negara di dunia yang menggunakan minyak tanah untuk keperluan rumah tangga," kata Wapres. Menurut Wapres, minyak tanah saat ini hampir sama dengan Avtur baik dari segi kualitas maupun harganya. Dengan demikian, tambah Wapres, selama ini rumah tangga Indonesia sama saja dengan menggunakan avtur. (*)

Sumber :

http://www.antara.co.id/arc/2007/8/14/wapres--keuntungan-program-konversi-minyak-tanah-rp22-triliun/
14/08/07 08:38

Wapres Tegaskan Program Konversi Minyak Tanah Tetap Jalan

Wapres Minta SI Jaga Kualitas Kompor dan Tabung Gas

Laporan Wartawan Kompas Suhartono

CILEUNGSI, KOMPAS - Untuk menjaga tingkat kualitas dari produksi kompor dan tabung gas yang dibuat untuk program konversi minyak tanah menjadi gas LPG di kalangan rumah tangga, pemerintah akan menerapkan kendali kualitas yang berlapis-lapis. Di samping kontrol kualitas dari masing-masing produsen tabung dan kompor gas tersebut, Surveyor Indonesia juga akan dilibatkan.

Hal ini disampaikan Wapres Muhammad Jusuf Kalla saat menjawab pers seusai mendengarkan paparan dan melakukan penghijauan ke PT Hamasa Steel Center dan PT Wijaja Karya Intrade di Gunung Putri, Cileungsi, Jabar, Senin (13/8).

"Memang ada yang demo karena ada yang mempersoalkan kualitasnya. Silakan saja, tapi kita sudah minta perbaikan sistem kualitas yang berlapis-lapis dan kecepatan produksinya. Kalaupun ada satu-dua yang bocor, itu bukan seluruh produksi. Justru lebih banyak yang baik. Coba bandingkan berapa banyak kompor minyak tanah yang meledak dan menyebabkan kebakaran," papar Wapres.

Menurut Wapres dengan konversi minyak tanah menjadi gas LPG, pemerintah justru ingin menyelamatkan banyak orang. "Pokoknya pemerintah terus melakukan koreksi hingga sampai empat tahun mendatang. Program konversi ini harus jalan sampai 2011," ujarnya.

Ditambahkan Wapres, dengan konversi gas ini semuanya diuntungkan meskipun dibutuhkan investasi sekitar Rp 15 triliun hingga 2011 mendatang, namun prinsipnya tak ada yang dirugikan, baik rakyat, pengusaha, BUMN bahkan pemerintah. "Satu-satunya yang rugi dengan program ini justru pengoplos minyak tanah," kata Wapres.

Salah satu keuntungan bagi pemerintah, sambung Wapres, dengan konversi minyak tanah ke gas, subsidi akan berkurang hingga Rp 22 triliun per tahun.

Melalui pengadaan kompor dan tabung gas ini keuntungan pemerintah justru lebih tinggi daripada keuntungan Pertamina yang per tahunnya hanya Rp 19 triliun. "Padahal kita dengan konversi ini subsidi berkurang Rp 22 triliun," ujar Wapres.

Tentang program penarikan kompor minyak tanah, Wapres mengemukakan akan dilakukan secara bertahap। "Sementara ini kalau kompor dan tabung gas sudah diterima oleh ibu rumah tangga, biarlah kompor minyak itu menjadi cadangan. Karena jika orang sudah menggunakan kompor dan tabung gas, 99 persen tidak akan kembali lagi ke minyak tanah," demikian Wapres.Sumber :

http://www.kompas.com/
Senin, 13 Agustus 2007 - 16:43 wib

Konversi Minyak Tanah Hemat Subsidi Rp700 Miliar

Konversi Minyak Tanah Hemat Subsidi Rp700 miliar

Jakarta (ANTARA News) - Program konversi minyak tanah ke gas elpiji hingga November 2007 tercatat dapat menghemat biaya subsidi minyak tanah sampai 100.000 kilo liter atau senilai Rp700 miliar dalam perubahan APBN 2007. Direktur Pemasaran dan Niaga PT (Persero) Pertamina Achmad Faisal, usai mendampingi Dirut Pertamina Arie Soemarno bertemu Wapres Jusuf Kalla di Jakarta, Senin, mengatakan hingga akhir 2007 pemerintah menargetkan penarikan minyak tanah dengan penggantian gas elpiji sekitar 131.000 kilo liter. "Akhir tahun tinggal sebulan lagi, diharapkan bisa melebihi target," katanya.Program pengalihan minyak tanah ke elpiji dilaksanakan berdasarkan surat Wakil Presiden RI Nomor 20/WP/9/2006 tanggal 1 September 2006. Surat tersebut merupakan tindak lanjut dari hasil rapat koordinasi terbatas di Kantor Wakil Presiden. Dalam program itu, pemerintah berencana mengkonversi penggunaan sekitar 5,2 juta kilo liter minyak tanah kepada penggunaan 3,5 juta ton LPG hingga tahun 2010 mendatang yang dimulai dengan 1 juta kilo liter minyak tanah pada 2007.(*)

Sumber :
http://www.antara.co.id/arc/2007/11/26/konversi-minyak-tanah-hemat-subsidi-rp700-miliar/
Senin, 13 Agustus 2007 - 16:43 wib

"Pemaksaan" itu Bernama Konversi Minyak Tanah

"Pemaksaan" itu Bernama Konversi Minyak Tanah

Oleh Edy Sujatmiko

Jakarta (ANTARA News) - Sudah menjadi fakta umum, dalam beberapa hari terakhir ini di berbagai wilayah di Indonesia, tengah terjadi apa yang dinamakan kelangkaan minyak tanah। Berbagai pihak, mencoba mempertanyakan, pada saat usia Republik Indonesia telah 62 tahun dan baru selesai diperingati pada Agustus lalu, rakyat ternyata masih mengalami kesulitan untuk sebuah komoditas strategis, minyak tanah. Contohnya, tragedi kelangkaan juga terjadi di Gorontalo pada akhir Agustus lalu. Jika beberapa hari sebelumnya, tak menimbulkan antrean panjang, maka sejak Minggu (26/8) antrean terus terjadi di sejumlah pangkalan dan pengecer minyak tanah di Kota Gorontalo.

"Antre berjam-jam baru bisa dapat minyak tanah, itupun sangat terbatas hanya di bawah lima liter," ujar Yena (45), salah seorang ibu rumah tangga di Kelurahan Ipilo, Kota Gorontalo। Menurut dia, karena panik minyak tanah semakin langka, para ibu rumah tangga tetap mengantre di warung maupun pangkalan yang menjual minyak tanah, meskipun para pedagang mengatakan bahwa bahan bakar tersebut telah habis terjual. "Mau bagaimana lagi, kami sangat membutuhkannya. Kami berharap pemerintah segera menangani hal ini," katanya.

Keluhan Yena tersebut tidak sendiri karena masih banyak ibu-ibu lain di Indonesia yang sebagian besar adalah warga kelas menengah ke bawah mengalami hal serupa। Tidak hanya persoalan sulit mendapatkan minyak tanah, harganya pun menjadi lebih mahal dari biasanya. Mereka terpaksa merogoh kocek lebih dalam yakni sekitar Rp5000-6000 per liter, padahal biasanya hanya Rp2500-3000 per liter.

Sadar atau tidak, ibu-ibu itu telah menjadi korban atau dikorbankan oleh program pemerintah yang dipersiapkan sejak Juli 2006 yakni, konversi minyak tanah ke gas, (liquified petroleum gas/LPG) atau elpiji।

Padahal, Gorontalo dan sejumlah daerah lain di Indonesia seperti Medan, Makassar dan lainnya adalah belum menjadi daerah sasaran program konversi yang digelar pemerintah pada daerah tertentu seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek)।

Gagal Di Awal

Agaknya, kelangkaan minyak tanah di berbagai daerah, khususnya daerah non sasaran program konversi minyak tanah ini, menimbulkan keprihatinan bersama। Ketua DPR Agung laksono di Gedung DPR/MPR Jakarta, belum lama ini menegaskan kelangkaan minyak tanah menunjukkan program konversi minyak tanah ke gas kurang sosialisasi di masyarakat.

Pemerintah juga kurang mengantisipasi kemungkinan terjadinya keresahan di masyarakat akibat langkanya minyak tanah। "Program konversi ini sebenarnya bagus untuk menghemat subsidi dan menghemat pengeluaran rumah tangga, tetapi kurang sosialisasi. Padahal kebiasaan dan ketergantungan masyarakat terhadap minyak tanah sangat tinggi,` katanya.

Untuk melepaskan ketergantungan itu, maka kebiasaan masyarakat beralih ke gas tidak bisa dilakukan secara drastis। Harus melalui tahapan agar masyarakat mau beralih ke gas dan mengurangi ketergantungan terhadap minyak tanah. "Sosialisasi harus lebih terpadu, tanpa sosialisasi yang memadai, terjadi kisruh seperti ini," katanya yang menambahkan, DPR kecewa karena konversi itu justru menimbulkan persoalan baru. Dengan terjadinya keluhan masyarakat pengguna minyak tanah, kata Agung, menunjukkan program pemerintah belum bisa dikatakan sukses.

Senada dengan Agung, pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI) Andrinof Chaniago menilai, program konversi minyak tanah ke gas elpiji, dengan memberikan kompor dan tabung gas secara gratis, merupakan program yang sangat dipaksakan।

Dosen Pasca Sarjana Kebijakan Publik, FISIP-UI tersebut mengatakan, pemerintah saat ini sedang memaksakan konversi minyak tanah। Rakyat dikondisikan untuk berpikir bahwa minyak tanah bukan pilihan. "Mungkin begitu skenario pemerintah. Tapi ini tetap menunjukkan gagalnya implementasi kebijakan di lapangan," katanya.

Andrinof menegaskan dengan adanya gejolak dari masyarakat berarti pemerintah belum belajar dari pengalaman pembagian Beras Miskin (raskin), pemutakhiran data pemilih pra pilkada, dan lain sebagainya। "Seharusnya sebelum mengambil kebijakan pemerintah "berkaca" dulu dengan program lainnya, tidak bisa dipaksakan dalam satu pilihan, tanpa dibenahi dulu infrastruktur dan keadaan ekonomi rakyat," jelasnya। Ia juga mendukung pemerintah-pemerintah daerah yang menolak program konversi minyak tanah ke gas tersebut, sebelum adanya kesiapan dari warga dan perbaikan infrastruktur penyaluran gas.

Terkesan coba-coba

Apa yang dilakukan pemerintah melalui program konversi energi minyak tanah ke gas ini, wajar jika kemudian memunculkan kesan coba-coba tanpa perhitungan yang mantap dan serius। Tengok saja dengan apa yang pernah digagas pemerintah juga beberapa tahun lalu tentang konversi dan diversifikasi energi dari penggunaan minyak tanah ke batu bara.

Belum jelas konsepnya, sudah dilepas ke masyarakat sehingga tidak jelas juga kemana arah dan pengembangannya, tiba-tiba pemerintah seperti menguburnya dalam-dalam tanpa penjelasan ke masyarakat। Paling tidak, sikap sejenis juga ditunjukkan pemerintah ketika menggelar program konversi minyak tanah ini. Rumusnya sederhana, setiap kebijakan asal digelar dan ketika ada persoalan (kelangkaan dan sebagainya, red) dan menimbulkan reaksi, baru dievaluasi dan disempurnakan.

Buktinya, pemerintah, melalui Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro pada akhir Agustus lalu setidaknya telah memutuskan, untuk tidak menarik minyak tanah di daerah program konversi sebelum masyarakat setempat benar-benar menerima program pengalihan। "Untuk pelaksanaan program selanjutnya, kami akan berikan tabung secara gratis, tapi tidak ditarik minyaknya," katanya.

Ia melanjutkan, setelah masyarakat di wilayah konversi bisa menerima, maka Pertamina akan menarik secara bertahap minyak tanahnya। Bahkan, Dirut PT Pertamina Ari Sumarno mengatakan, pola pelaksanaan konversi masih tetap seperti sekarang. Hanya saja, kalau dulu Pertamina langsung menarik 70 persen atau 50 persen minyak tanah di wilayah konversi, maka nantinya tidak ditarik sama sekali. "Kami akan memberikan waktu transisi kepada masyaratakat, agar mereka tidak kaget dan bergejolak," katanya.

Apa yang disampaikan oleh Purnomo dan Dirut Pertamina ini agaknya adalah kunci jawaban dari harapan masyarakat bahwa sebenarnya mereka tidak keberatan dengan program konversi itu asalkan semuanya tersedia dengan baik।Artinya, seperti yang disampaikan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sultan Hamengku Buwono X, program itu sebaiknya tidak sampai menyulitkan masyarakat miskin. "Perlu dipahami masyarakat miskin akan mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli elpiji dari pada minyak tanah. Kalau membeli elpiji harus mengeluarkan uang Rp12.500, untuk minyak tanah cukup Rp1.000. Meski hanya dapat setengah botol, tetapi dapur bisa `ngebul`," katanya.

Menurut dia, sebelum konversi tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, pemerintah harus mengupayakan agar minyak tanah tidak hilang di pasaran. "Kalau minyak tanah hilang di pasaran, yang menjadi korban masyarakat miskin. Semua harus melalui proses, tidak bisa seketika," kata Sultan. Akhirnya, agaknya benar, jika pemerintah tak juga mampu melaksanakan janjinya dalam program konversi ini, sama saja bahwa negara telah melakukan pemaksaan melalui program konversi minyak tanah ini kepada rakyatnya sendiri. (*)

Sumber :
http://www.antara.co.id/arc/2007/9/3/pemaksaan-itu-bernama-konversi-minyak-tanah/
Senin, 13 Agustus 2007 - 16:43 wib

Konversi untuk Kurangi Subsidi BBM

Konversi untuk Kurangi Subsidi BBM

Subsidi bahan bakar minyak atau BBM yang cenderung meningkat memaksa pemerintah membuat terobosan untuk mengurangi subsidi. Konsumsi minyak tanah sebesar 10 juta kiloliter per tahun membuat subsidi BBM makin tinggi. Dengan anggaran dana Rp 1,93 triliun, pemerintah membuat program konversi minyak tanah ke gas elpiji Konversi minyak tanah ke LPG atau elpiji ini menggantikan konversi sebelumnya, yaitu pengalihan minyak tanah ke briket batu bara yang dicanangkan akhir 2005. Sayang, kampanye besar-besaran yang dilakukan pemerintah, kurang mendapat respons dari masyarakat.

Karena kurang puas dengan konversi ke briket batu bara, pemerintah memunculkan program konversi minyak tanah ke gas elpiji.

Program yang diujicobakan mulai Agustus 2006 ini dapat mengurangi konsumsi minyak tanah sebesar 988.280 kiloliter. Sedangkan konsumsi elpiji akan meningkat menjadi 567.700 ton. Melihat respons masyarakat yang cukup tinggi, Mei 2007 program konversi ini diluncurkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. (ARI/LITBANG KOMPAS)

Sumber :
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0707/18/jateng/56633.htm
Rabu, 18 Juli 2007

Mempertanyakan Efektivitas Subsidi Konversi Minyak

Mempertanyakan Efektivitas Subsidi Konversi Minyak

Oleh Ir. Wahyudin Munawir

SUBSIDI untuk pengadaan energi tahun 2007 masih sangat besar, yaitu Rp. 94,4 triliun (sembilan puluh ribu empat ratus miliar rupiah). Dari jumlah itu, Rp 68,6 triliun untuk subsidi BBM dan Rp 25,8 triliun untuk PLN. Besaran ini, kata Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, dapat bertambah lagi jika harga minyak mentah dunia tetap di atas 72 dolar AS per barel.

Subsidi energi ini jelas amat besar, apalagi bila dibandingkan dengan alokasi anggaran pendidikan yang hanya Rp 51,3 triliun. Padahal, amanat konstitusi (UUD 1945) menyatakan, APB harus mengalokasikan 20% untuk pendidikan.

Untuk mengurangi subsidi BBM tersebut, pemerintah perlu mencari berbagai solusi yang tepat. Di antara solusi itu--seperti dikatakan Presiden SBY--pemerintah akan mengembangkan sumber energi baru dan terbarukan. Untuk itu melalui Menko Ekuin pada hari Selasa, 22 Agustus 2006 telah dilaksanakan "Pencanangan Program Aksi Penyediaan Dan Pemanfaatan Energi Alternatif".

Bersamaan dengan itu, diselenggarakan pula pameran sumber-sumber energi alternatif. Namun demikian, kebijakan ini masih perlu dukungan dan percermatan lebih jauh dalam implementasi dan sosialisasinya karena masih banyak hal yang perlu disinkronkan, termasuk konsistensinya.

Briket batu bara versus elpiji

Contoh kasus yang perlu dicermati itu adalah ketidak konsistenan kebijakan pemanfaatan briket batu bara, yang diinterupsi dan dijegal oleh kebijakan pemanfaatan elpiji. Sejak Maret 2005 saat pertama kali pemerintah memutuskan kenaikan harga BBM, maka pemerintah mulai menengok penggunaan sumber energi alternatif.

DPR RI mendesak agar pemerintah memasyarakatkan pemakaian briket batu bara karena jumlah cadangannya yang masih cukup besar. Serta merta Pemerintah, melalui Menko Ekuin--yang waktu itu adalah--Aburizal Bakrie, menyatakan akan membagikan gratis tungku-tungku briket batu bara pada masyarakat melalui Kementerian Koperasi & UKM.

Di tengah menunggu realisasi proses pembuatan tungku dan pembagiannya, tiba-tiba Wakil Presiden Jusuf Kalla mengumumkan bahwa pemerintah lebih memilih memasyarakatkan elpiji dengan membuat tabung-tabung kecil yang juga akan membagikannya ke masyarakat bawah di perkotaan. Instrupsi kebijakan seperti ini tentu saja membingungkan masyarakat. Mestinya kebijakan-kebijakan tersebut tidak saling menjegal dan mengeliminasi, tapi sebaliknya dapat dijalankan secara simultan dan saling melengkapi.

Mengapa? Untuk pengadaan tungku-tungku briket batubara, dapat dilaksanakan dengan padat karya, cepat dan tersebar di berbagai daerah karena dapat melibatkan elemen masyarakat usaha kecil menengah. Pada gilirannya, jelas kegiatan ini akan mampu menumbuhkan kegiatan ekonomi di daerah-daerah dan dapat mengurangi pengangguran. Bandingkanlah dengan pembuatan tabung-tabung gas elpiji, yang hanya dapat dilakukan oleh pabrik-pabrik bermodal besar, menggunakan teknologi menengah dan hanya bisa dilakukan di daerah-daerah tertentu.

Kebijakan-kebijakan di atas mestinya dapat saling melengkapi dan bisa dilaksanakan secara konsisten dan simultan. Ini karena memasyarakatkan briket batu bara dan elpiji akan dapat mengurangi pemakaian minyak tanah. Masyarakat juga memiliki banyak alternatif sumber energi. Dengan demikian, pada gilirannya pemerintah akan mampu mengurangi besaran subsidi BBM. Jika itu terjadi, alokasi anggaran untuk permbangunan sektor lain, seperti pendidikan dapat ditambah.

Subsidi konversi minyak tanah?

Di tengah keprihatinan atas meningkatnya subsidi untuk energi, Arie Soemarno, Dirut PT Pertamina mengatakan, pihaknya tidak akan mampu melakukan konversi minyak tanah dengan elpiji karena tidak ada dana subsidi untuk ini (Republika, 24/8/06). Memang menjadi hak Pertamina untuk mempertahankan identitas korporasinya yang "profit oriented". Namun demikian Pertamina sebagai BUMN yang bermodalkan dana rakyat, mendapat tugas untuk melayani publik melalui penggantian minyak tanah dengan elpiji.

Konsekuensinya Pertamina harus menyediakan elpiji dalam jumlah yang besar termasuk mengimpor jika produk dalam negeri tidak mencukupi. Harga elpiji internasional sekarang sudah mencapai Rp 6.000,00-/kg, sementara Pertamina harus menjualnya ke masyarakat dengan harga Rp. 4.250,00/kg. Jelas ada selisih harga Rp. 1.750,00/kg yang harus ditutup Pemerintah.

Ini artinya, subsidi untuk bidang energi makin bertambah. Pertanyaannya, sebegitu mendesakkah subsidi konversi minyak tanah ini sehingga harus dilaksanakan secepatnya?

Untuk itu, kita perlu mengkritisi beberapa hal dalam realisasi subsidi BBM selama ini. Misalnya, implementasi subsidi minyak tanah yang mendapat subsidi lebih besar dibandingkan dengan premium dan solar.

Sejauh mana efektifitas subsidi tersebut? Melihat distribusi dan perdagangan minyak tanah selama ini, kita tidak yakin subsidi tersebut cukup efektif membantu masyarakat kecil. Untuk mengatasi "kartel dan agen" bisnis minyak tanah, sistem distribusi minyak tanah perlu diubah agar subsidinya efektif dirasakan masyarakat kecil.

Bagaimana cara mengubahnya? Jika kita memperhatikan sistem pembagian santunan langsung tunai (SLT) sebagai implementasi santunan langsung tunai (SLT), barangkali formula seperti itu patut dijalankan. Kita tahu, distribusi SLT--meski di sana-sini ada kekurangan--relatif berhasil karena para penerima subsidi tercatat, baik namanya, alamatnya, maupun tingkat kemiskinannya. Dengan menggunakan logika yang sama, mengapa cara ini tidak dilakukan pada sistem distribusi minyak tanah yang bersubsidi besar itu?

Jika metoda pembagian SLT ini dapat dilakukan pada distribusi minyak tanah, maka kita akan mendapat jaminan bahwa minyak tanah terdistribusi secara terarah kepada penerima dengan identitas yang jelas. Dengan demikian, aliran subsidi yang menjadi hak rakyat kecil dapat terjamin. Pada gilirannya kita dapat meminimilasi kebocoran dan mengurangi besarnya subsidi tersebut.

Untuk menghindari adanya gejolak di tengah masyarakat, seperti pada pembagian SLT, karena ada yang merasa berhak tetapi tidak mendapat bagian, kita perlu menjaga keakuratan data orang-orang miskin yang berhak menerima minyak tanah melalui kriteria yang jelas.

Adapun metoda yang berlangsung sekarang ini, siapa saja dapat membeli minyak tanah; tidak terkecuali pengusaha-pengusaha besar atau korporasi-korporasi. Sistem distribusi seperti ini jelas sangat rawan penimbunan dan penyelundupan. Ini artinya subsidi yang jumlahnya mencapai triliunan rupiah menguap begitu saja sementara rakyat kecil tetap menderita.

Hal inilah yang dikhawatirkan para pengamat dan wakil rakyat. Subsidi untuk konversi minyak tanah ke elpiji akan bernasib sama. Sebab tidak ada jaminan bahwa minyak tanah akan secara otomatis berkurang manakala elpiji juga sudah memasyarakat. Akibatnya akan terjadi subsidi yang berlebihan bila permintaan Pertamina ini dikabulkan. Alih-alih subsidi itu turun, yang terjadi sebaliknya, subsisi BBM bertambah.

Mestinya dapat dihindari

Kekisruhan subsidi ini mestinya tidak perlu terjadi, jika saja kebijakan mengenai briket batu bara tidak dijegal elpiji. Dengan terlebih dahulu memasyarakatan briket batu bara maka secara perlahan ekonomi masyarakat dapat tumbuh di atas kemampuannya sendiri karena harga briket terjangkau masyarakat. Apalagi bila ini dipadukan dalam satu paket dengan SLT yang sudah berjalan. Dengan demikian, ketika elpiji juga dimasyarakatkan, maka atas dasar kemampuannya sendiri masyarakat akan dapat membeli elpiji pada harga pasar. Tidak perlu disubsidi!

Pada akhirnya, ada pertanyaan besar, mengapa pemerintah begitu bersemangat untuk segera memasyarakatkan elpiji tanpa perhitungan yang komprehensif mengenai insfrastruktur di bidang elpiji? Ini semua jelas menunjukkan lemahnya koordinasi antara aparat-aparat pemerintah. Masing-masing pihak ingin leading atau mendahului demi kepentingan sesaat orang-orang tertentu atau kelompok tertentu dengan mengabaikan kemaslahatan publik. Akibat saling jegal kebijakan ini, upaya minimalisasi subsidi BBM tersebut tidak tercapai, bahkan subsidi itu cenderung meningkat. Lagi-lagi rakyat pun dikhianati!

Penulis, alumnus ITB, anggota komisi VII DPR RI Fraksi PKS.

Sumber :
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/112006/06/wacana01.htm
Senin, 06 Nopember 2006

Pemerintah Percepat Program Konversi Minyak Tanah

Pemerintah Percepat Program Konversi Minyak TANAH


TEMPO Interaktif, Jakarta:bPemerintah akan mempercepat program konversi minyak tanah ke elpiji dari 6 tahun menjadi 4 tahun। Total minyak tanah yang dialihkan itu ditargetkan mencapai 90 persen dari konsumsi minyak tanah sekitar 10 juta kiloliter. "Kita bisa, sebab Indonesia produsen elpiji (gas tabung)," kata Wakil Presiden Jusuf Kalla saat mengunjungi Pertamina kemarin.

Sebelumnya, pemerintah menganggarkan dana Rp 1,93 triliun bagi program konversi minyak tanah ini। Program konversi minyak tanah ke elpiji ini berdasarkan surat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro kepada Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Dirjen Migas dan PT Pertamina (persero). Dananya berasal dari pengurangan subsidi minyak tanah yang dialihkan ke elpiji.

Dari program ini, diperkirakan terjadi pengurangan konsumsi minyak tanah mencapai 988।280 kiloliter. Sedangkan konsumsi elpiji menjadi naik sebesar 567.700 ton. Saat ini harga jual elpiji di dalam negeri Rp 4.250 per kilogram. Padahal sebagian pasokan elpiji diimpor Pertamina dengan biaya Rp 6.000-7.000. Jadi selama ini Pertamina mensubsidi konsumen dalam negeri Rp 1.750-2.750 per kilogram. Tahun ini konsumsi elpiji rata-rata 1 juta ton.

Jusuf Kalla menjelaskan, bila ini tercapai, dalam 4 tahun ada penghematan subsidi Rp 30 triliun। Namun, diperlukan tambahan investasi sekitar Rp 15 triliun. "Kami akan minta swasta untuk ikut program ini," ujarnya. Berdasarkan uji coba konversi elpiji yang dilakukan Pertamina, lanjut Kalla, hasilnya 85 persen konsumen beralih dari minyak tanah ke elpiji. Hasil lainnya, ada kenaikan pendapatan rill masyarakat hingga Rp 25 ribu sebulan untuk keluarga sederhana. "Jadi ini harus segera berjalan."

Direktur Utama PT Pertamina (persero) Arie Soemarno menambahkan, tidak ada tambahan subsidi untuk Pertamina। Skemanya subsidi minyak tanah akan dialihkan ke elpiji dengan perbandingan 1:1. Jadi bisa saja untuk sementara Pertamina menanggung dulu selisih harga jual elpiji. “Yang penting diganti dengan subsidi minyak tanah karena ada pengurangan konsumsi minyak tanah," ujarnya.

Arie menjelaskan, untuk tabung pertama kali, diupayakan gratis. Sedangkan harga jual elpiji tetap dijual Rp 4.250 per kilogram sehingga Pertamina masih menanggung kerugian sekitar Rp 1,9 triliun. "Itu akan kami cari jalan dan dibicarakan dengan pemegang saham," tutur dia. Muhamad fasabeni/nieke.

Sumber :
http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2006/08/30/brk,20060830-82960,id.html
Rabu, 30 Agustus 2006 20:04 WIB