Senin, Januari 14, 2008

"Pemaksaan" itu Bernama Konversi Minyak Tanah

"Pemaksaan" itu Bernama Konversi Minyak Tanah

Oleh Edy Sujatmiko

Jakarta (ANTARA News) - Sudah menjadi fakta umum, dalam beberapa hari terakhir ini di berbagai wilayah di Indonesia, tengah terjadi apa yang dinamakan kelangkaan minyak tanah। Berbagai pihak, mencoba mempertanyakan, pada saat usia Republik Indonesia telah 62 tahun dan baru selesai diperingati pada Agustus lalu, rakyat ternyata masih mengalami kesulitan untuk sebuah komoditas strategis, minyak tanah. Contohnya, tragedi kelangkaan juga terjadi di Gorontalo pada akhir Agustus lalu. Jika beberapa hari sebelumnya, tak menimbulkan antrean panjang, maka sejak Minggu (26/8) antrean terus terjadi di sejumlah pangkalan dan pengecer minyak tanah di Kota Gorontalo.

"Antre berjam-jam baru bisa dapat minyak tanah, itupun sangat terbatas hanya di bawah lima liter," ujar Yena (45), salah seorang ibu rumah tangga di Kelurahan Ipilo, Kota Gorontalo। Menurut dia, karena panik minyak tanah semakin langka, para ibu rumah tangga tetap mengantre di warung maupun pangkalan yang menjual minyak tanah, meskipun para pedagang mengatakan bahwa bahan bakar tersebut telah habis terjual. "Mau bagaimana lagi, kami sangat membutuhkannya. Kami berharap pemerintah segera menangani hal ini," katanya.

Keluhan Yena tersebut tidak sendiri karena masih banyak ibu-ibu lain di Indonesia yang sebagian besar adalah warga kelas menengah ke bawah mengalami hal serupa। Tidak hanya persoalan sulit mendapatkan minyak tanah, harganya pun menjadi lebih mahal dari biasanya. Mereka terpaksa merogoh kocek lebih dalam yakni sekitar Rp5000-6000 per liter, padahal biasanya hanya Rp2500-3000 per liter.

Sadar atau tidak, ibu-ibu itu telah menjadi korban atau dikorbankan oleh program pemerintah yang dipersiapkan sejak Juli 2006 yakni, konversi minyak tanah ke gas, (liquified petroleum gas/LPG) atau elpiji।

Padahal, Gorontalo dan sejumlah daerah lain di Indonesia seperti Medan, Makassar dan lainnya adalah belum menjadi daerah sasaran program konversi yang digelar pemerintah pada daerah tertentu seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek)।

Gagal Di Awal

Agaknya, kelangkaan minyak tanah di berbagai daerah, khususnya daerah non sasaran program konversi minyak tanah ini, menimbulkan keprihatinan bersama। Ketua DPR Agung laksono di Gedung DPR/MPR Jakarta, belum lama ini menegaskan kelangkaan minyak tanah menunjukkan program konversi minyak tanah ke gas kurang sosialisasi di masyarakat.

Pemerintah juga kurang mengantisipasi kemungkinan terjadinya keresahan di masyarakat akibat langkanya minyak tanah। "Program konversi ini sebenarnya bagus untuk menghemat subsidi dan menghemat pengeluaran rumah tangga, tetapi kurang sosialisasi. Padahal kebiasaan dan ketergantungan masyarakat terhadap minyak tanah sangat tinggi,` katanya.

Untuk melepaskan ketergantungan itu, maka kebiasaan masyarakat beralih ke gas tidak bisa dilakukan secara drastis। Harus melalui tahapan agar masyarakat mau beralih ke gas dan mengurangi ketergantungan terhadap minyak tanah. "Sosialisasi harus lebih terpadu, tanpa sosialisasi yang memadai, terjadi kisruh seperti ini," katanya yang menambahkan, DPR kecewa karena konversi itu justru menimbulkan persoalan baru. Dengan terjadinya keluhan masyarakat pengguna minyak tanah, kata Agung, menunjukkan program pemerintah belum bisa dikatakan sukses.

Senada dengan Agung, pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI) Andrinof Chaniago menilai, program konversi minyak tanah ke gas elpiji, dengan memberikan kompor dan tabung gas secara gratis, merupakan program yang sangat dipaksakan।

Dosen Pasca Sarjana Kebijakan Publik, FISIP-UI tersebut mengatakan, pemerintah saat ini sedang memaksakan konversi minyak tanah। Rakyat dikondisikan untuk berpikir bahwa minyak tanah bukan pilihan. "Mungkin begitu skenario pemerintah. Tapi ini tetap menunjukkan gagalnya implementasi kebijakan di lapangan," katanya.

Andrinof menegaskan dengan adanya gejolak dari masyarakat berarti pemerintah belum belajar dari pengalaman pembagian Beras Miskin (raskin), pemutakhiran data pemilih pra pilkada, dan lain sebagainya। "Seharusnya sebelum mengambil kebijakan pemerintah "berkaca" dulu dengan program lainnya, tidak bisa dipaksakan dalam satu pilihan, tanpa dibenahi dulu infrastruktur dan keadaan ekonomi rakyat," jelasnya। Ia juga mendukung pemerintah-pemerintah daerah yang menolak program konversi minyak tanah ke gas tersebut, sebelum adanya kesiapan dari warga dan perbaikan infrastruktur penyaluran gas.

Terkesan coba-coba

Apa yang dilakukan pemerintah melalui program konversi energi minyak tanah ke gas ini, wajar jika kemudian memunculkan kesan coba-coba tanpa perhitungan yang mantap dan serius। Tengok saja dengan apa yang pernah digagas pemerintah juga beberapa tahun lalu tentang konversi dan diversifikasi energi dari penggunaan minyak tanah ke batu bara.

Belum jelas konsepnya, sudah dilepas ke masyarakat sehingga tidak jelas juga kemana arah dan pengembangannya, tiba-tiba pemerintah seperti menguburnya dalam-dalam tanpa penjelasan ke masyarakat। Paling tidak, sikap sejenis juga ditunjukkan pemerintah ketika menggelar program konversi minyak tanah ini. Rumusnya sederhana, setiap kebijakan asal digelar dan ketika ada persoalan (kelangkaan dan sebagainya, red) dan menimbulkan reaksi, baru dievaluasi dan disempurnakan.

Buktinya, pemerintah, melalui Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro pada akhir Agustus lalu setidaknya telah memutuskan, untuk tidak menarik minyak tanah di daerah program konversi sebelum masyarakat setempat benar-benar menerima program pengalihan। "Untuk pelaksanaan program selanjutnya, kami akan berikan tabung secara gratis, tapi tidak ditarik minyaknya," katanya.

Ia melanjutkan, setelah masyarakat di wilayah konversi bisa menerima, maka Pertamina akan menarik secara bertahap minyak tanahnya। Bahkan, Dirut PT Pertamina Ari Sumarno mengatakan, pola pelaksanaan konversi masih tetap seperti sekarang. Hanya saja, kalau dulu Pertamina langsung menarik 70 persen atau 50 persen minyak tanah di wilayah konversi, maka nantinya tidak ditarik sama sekali. "Kami akan memberikan waktu transisi kepada masyaratakat, agar mereka tidak kaget dan bergejolak," katanya.

Apa yang disampaikan oleh Purnomo dan Dirut Pertamina ini agaknya adalah kunci jawaban dari harapan masyarakat bahwa sebenarnya mereka tidak keberatan dengan program konversi itu asalkan semuanya tersedia dengan baik।Artinya, seperti yang disampaikan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sultan Hamengku Buwono X, program itu sebaiknya tidak sampai menyulitkan masyarakat miskin. "Perlu dipahami masyarakat miskin akan mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli elpiji dari pada minyak tanah. Kalau membeli elpiji harus mengeluarkan uang Rp12.500, untuk minyak tanah cukup Rp1.000. Meski hanya dapat setengah botol, tetapi dapur bisa `ngebul`," katanya.

Menurut dia, sebelum konversi tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, pemerintah harus mengupayakan agar minyak tanah tidak hilang di pasaran. "Kalau minyak tanah hilang di pasaran, yang menjadi korban masyarakat miskin. Semua harus melalui proses, tidak bisa seketika," kata Sultan. Akhirnya, agaknya benar, jika pemerintah tak juga mampu melaksanakan janjinya dalam program konversi ini, sama saja bahwa negara telah melakukan pemaksaan melalui program konversi minyak tanah ini kepada rakyatnya sendiri. (*)

Sumber :
http://www.antara.co.id/arc/2007/9/3/pemaksaan-itu-bernama-konversi-minyak-tanah/
Senin, 13 Agustus 2007 - 16:43 wib

Tidak ada komentar: