Senin, Januari 14, 2008

Mempertanyakan Efektivitas Subsidi Konversi Minyak

Mempertanyakan Efektivitas Subsidi Konversi Minyak

Oleh Ir. Wahyudin Munawir

SUBSIDI untuk pengadaan energi tahun 2007 masih sangat besar, yaitu Rp. 94,4 triliun (sembilan puluh ribu empat ratus miliar rupiah). Dari jumlah itu, Rp 68,6 triliun untuk subsidi BBM dan Rp 25,8 triliun untuk PLN. Besaran ini, kata Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, dapat bertambah lagi jika harga minyak mentah dunia tetap di atas 72 dolar AS per barel.

Subsidi energi ini jelas amat besar, apalagi bila dibandingkan dengan alokasi anggaran pendidikan yang hanya Rp 51,3 triliun. Padahal, amanat konstitusi (UUD 1945) menyatakan, APB harus mengalokasikan 20% untuk pendidikan.

Untuk mengurangi subsidi BBM tersebut, pemerintah perlu mencari berbagai solusi yang tepat. Di antara solusi itu--seperti dikatakan Presiden SBY--pemerintah akan mengembangkan sumber energi baru dan terbarukan. Untuk itu melalui Menko Ekuin pada hari Selasa, 22 Agustus 2006 telah dilaksanakan "Pencanangan Program Aksi Penyediaan Dan Pemanfaatan Energi Alternatif".

Bersamaan dengan itu, diselenggarakan pula pameran sumber-sumber energi alternatif. Namun demikian, kebijakan ini masih perlu dukungan dan percermatan lebih jauh dalam implementasi dan sosialisasinya karena masih banyak hal yang perlu disinkronkan, termasuk konsistensinya.

Briket batu bara versus elpiji

Contoh kasus yang perlu dicermati itu adalah ketidak konsistenan kebijakan pemanfaatan briket batu bara, yang diinterupsi dan dijegal oleh kebijakan pemanfaatan elpiji. Sejak Maret 2005 saat pertama kali pemerintah memutuskan kenaikan harga BBM, maka pemerintah mulai menengok penggunaan sumber energi alternatif.

DPR RI mendesak agar pemerintah memasyarakatkan pemakaian briket batu bara karena jumlah cadangannya yang masih cukup besar. Serta merta Pemerintah, melalui Menko Ekuin--yang waktu itu adalah--Aburizal Bakrie, menyatakan akan membagikan gratis tungku-tungku briket batu bara pada masyarakat melalui Kementerian Koperasi & UKM.

Di tengah menunggu realisasi proses pembuatan tungku dan pembagiannya, tiba-tiba Wakil Presiden Jusuf Kalla mengumumkan bahwa pemerintah lebih memilih memasyarakatkan elpiji dengan membuat tabung-tabung kecil yang juga akan membagikannya ke masyarakat bawah di perkotaan. Instrupsi kebijakan seperti ini tentu saja membingungkan masyarakat. Mestinya kebijakan-kebijakan tersebut tidak saling menjegal dan mengeliminasi, tapi sebaliknya dapat dijalankan secara simultan dan saling melengkapi.

Mengapa? Untuk pengadaan tungku-tungku briket batubara, dapat dilaksanakan dengan padat karya, cepat dan tersebar di berbagai daerah karena dapat melibatkan elemen masyarakat usaha kecil menengah. Pada gilirannya, jelas kegiatan ini akan mampu menumbuhkan kegiatan ekonomi di daerah-daerah dan dapat mengurangi pengangguran. Bandingkanlah dengan pembuatan tabung-tabung gas elpiji, yang hanya dapat dilakukan oleh pabrik-pabrik bermodal besar, menggunakan teknologi menengah dan hanya bisa dilakukan di daerah-daerah tertentu.

Kebijakan-kebijakan di atas mestinya dapat saling melengkapi dan bisa dilaksanakan secara konsisten dan simultan. Ini karena memasyarakatkan briket batu bara dan elpiji akan dapat mengurangi pemakaian minyak tanah. Masyarakat juga memiliki banyak alternatif sumber energi. Dengan demikian, pada gilirannya pemerintah akan mampu mengurangi besaran subsidi BBM. Jika itu terjadi, alokasi anggaran untuk permbangunan sektor lain, seperti pendidikan dapat ditambah.

Subsidi konversi minyak tanah?

Di tengah keprihatinan atas meningkatnya subsidi untuk energi, Arie Soemarno, Dirut PT Pertamina mengatakan, pihaknya tidak akan mampu melakukan konversi minyak tanah dengan elpiji karena tidak ada dana subsidi untuk ini (Republika, 24/8/06). Memang menjadi hak Pertamina untuk mempertahankan identitas korporasinya yang "profit oriented". Namun demikian Pertamina sebagai BUMN yang bermodalkan dana rakyat, mendapat tugas untuk melayani publik melalui penggantian minyak tanah dengan elpiji.

Konsekuensinya Pertamina harus menyediakan elpiji dalam jumlah yang besar termasuk mengimpor jika produk dalam negeri tidak mencukupi. Harga elpiji internasional sekarang sudah mencapai Rp 6.000,00-/kg, sementara Pertamina harus menjualnya ke masyarakat dengan harga Rp. 4.250,00/kg. Jelas ada selisih harga Rp. 1.750,00/kg yang harus ditutup Pemerintah.

Ini artinya, subsidi untuk bidang energi makin bertambah. Pertanyaannya, sebegitu mendesakkah subsidi konversi minyak tanah ini sehingga harus dilaksanakan secepatnya?

Untuk itu, kita perlu mengkritisi beberapa hal dalam realisasi subsidi BBM selama ini. Misalnya, implementasi subsidi minyak tanah yang mendapat subsidi lebih besar dibandingkan dengan premium dan solar.

Sejauh mana efektifitas subsidi tersebut? Melihat distribusi dan perdagangan minyak tanah selama ini, kita tidak yakin subsidi tersebut cukup efektif membantu masyarakat kecil. Untuk mengatasi "kartel dan agen" bisnis minyak tanah, sistem distribusi minyak tanah perlu diubah agar subsidinya efektif dirasakan masyarakat kecil.

Bagaimana cara mengubahnya? Jika kita memperhatikan sistem pembagian santunan langsung tunai (SLT) sebagai implementasi santunan langsung tunai (SLT), barangkali formula seperti itu patut dijalankan. Kita tahu, distribusi SLT--meski di sana-sini ada kekurangan--relatif berhasil karena para penerima subsidi tercatat, baik namanya, alamatnya, maupun tingkat kemiskinannya. Dengan menggunakan logika yang sama, mengapa cara ini tidak dilakukan pada sistem distribusi minyak tanah yang bersubsidi besar itu?

Jika metoda pembagian SLT ini dapat dilakukan pada distribusi minyak tanah, maka kita akan mendapat jaminan bahwa minyak tanah terdistribusi secara terarah kepada penerima dengan identitas yang jelas. Dengan demikian, aliran subsidi yang menjadi hak rakyat kecil dapat terjamin. Pada gilirannya kita dapat meminimilasi kebocoran dan mengurangi besarnya subsidi tersebut.

Untuk menghindari adanya gejolak di tengah masyarakat, seperti pada pembagian SLT, karena ada yang merasa berhak tetapi tidak mendapat bagian, kita perlu menjaga keakuratan data orang-orang miskin yang berhak menerima minyak tanah melalui kriteria yang jelas.

Adapun metoda yang berlangsung sekarang ini, siapa saja dapat membeli minyak tanah; tidak terkecuali pengusaha-pengusaha besar atau korporasi-korporasi. Sistem distribusi seperti ini jelas sangat rawan penimbunan dan penyelundupan. Ini artinya subsidi yang jumlahnya mencapai triliunan rupiah menguap begitu saja sementara rakyat kecil tetap menderita.

Hal inilah yang dikhawatirkan para pengamat dan wakil rakyat. Subsidi untuk konversi minyak tanah ke elpiji akan bernasib sama. Sebab tidak ada jaminan bahwa minyak tanah akan secara otomatis berkurang manakala elpiji juga sudah memasyarakat. Akibatnya akan terjadi subsidi yang berlebihan bila permintaan Pertamina ini dikabulkan. Alih-alih subsidi itu turun, yang terjadi sebaliknya, subsisi BBM bertambah.

Mestinya dapat dihindari

Kekisruhan subsidi ini mestinya tidak perlu terjadi, jika saja kebijakan mengenai briket batu bara tidak dijegal elpiji. Dengan terlebih dahulu memasyarakatan briket batu bara maka secara perlahan ekonomi masyarakat dapat tumbuh di atas kemampuannya sendiri karena harga briket terjangkau masyarakat. Apalagi bila ini dipadukan dalam satu paket dengan SLT yang sudah berjalan. Dengan demikian, ketika elpiji juga dimasyarakatkan, maka atas dasar kemampuannya sendiri masyarakat akan dapat membeli elpiji pada harga pasar. Tidak perlu disubsidi!

Pada akhirnya, ada pertanyaan besar, mengapa pemerintah begitu bersemangat untuk segera memasyarakatkan elpiji tanpa perhitungan yang komprehensif mengenai insfrastruktur di bidang elpiji? Ini semua jelas menunjukkan lemahnya koordinasi antara aparat-aparat pemerintah. Masing-masing pihak ingin leading atau mendahului demi kepentingan sesaat orang-orang tertentu atau kelompok tertentu dengan mengabaikan kemaslahatan publik. Akibat saling jegal kebijakan ini, upaya minimalisasi subsidi BBM tersebut tidak tercapai, bahkan subsidi itu cenderung meningkat. Lagi-lagi rakyat pun dikhianati!

Penulis, alumnus ITB, anggota komisi VII DPR RI Fraksi PKS.

Sumber :
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/112006/06/wacana01.htm
Senin, 06 Nopember 2006

Tidak ada komentar: