Jumat, Januari 11, 2008

Emil Salim: CDM Perlu Disederhanakan

Emil Salim: CDM Perlu Disederhanakan
Perdagangan karbon hanya dikuasai segelintir negara berkembang

NUSA DUA--Ketua delegasi Indonesia dalam Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim 2007, atau COP 13 UNFCCC, Emil Salim, mengatakan Indonesia menginginkan agar Mekanisme Pembangunan Ramah Lingkungan atau Clean Government Mechanism (CDM) disederhanakan. Menurutnya, mekanisme perdagangan karbon ini harus disesuaikan dengan kondisi negara-negara kecil. "Karena negara-negara tersebutlah yang paling rentan dan pertama kali terkena dampak dari perubahan iklim," kata Emil saat memberi briefing kepada wartawan Indonesia di Paviliun Indonesia di arena konferensi di Nusa Dua, Bali, Senin (3/12).

Ia mengatakan penyesuaian tersebut terutama harus dilakukan terhadap kelompok negara-negara kepulauan kecil yang wilayahnya akan tenggelam karena naiknya permukaan laut. Di antara kelompok negara-negara berkembang, kata Emil, merekalah yang pertama kali merasakan dampak perubahan iklim.

CDM adalah mekanisme dalam Protokol Kyoto yang memberikan pilihan bagi negara-negara maju untuk mengurangi emisi di negara-negara berkembang. Ini sebagai salah satu cara bagi negara maju untuk menjalankan kewajibannya mengurangi emisi karbon, seperti yang diatur oleh protokol tersebut. Dengan terlibat dalam mekanisme CDM, biaya yang harus dikeluarkan negara-negara maju akan lebih kecil dibandingkan jika langkah pengurangan emisi karbon tersebut dilakukan di negaranya.

Sementara negara-negara berkembang yang terlibat dalam mekanisme ini akan memperoleh keuntungan dari penjualan kredit karbon. Mereka juga meraih investasi dan transfer teknologi dari negara-negara maju yang menginvestasikan proyek ramah lingkungan (yang mengurangi emisi karbon) di negaranya.

Namun, selama ini mekanisme CDM dinilai terlalu rumit sehingga perdagangan karbon ini hanya dikuasai oleh segelintir negara berkembang, yakni Cina, India, dan Brasil. Indonesia sendiri hingga kini belum bisa berbuat banyak dalam perdagangan karbon, bahkan kalah jauh dari Malaysia. Menurut data Badan Eksekutif CDM di PBB, hingga awal Desember ini, baru 11 proyek CDM Indonesia yang terdaftar. Sedangkan Malaysia telah mencatatkan 20 proyek.

India, Cina, Brasil, dan Meksiko adalah empat negara teratas dalam memanfaatkan CDM. India menduduki peringkat teratas dengan mendaftarkan 294 proyek (34,5 persen), disusul Cina dengan 133 proyek (15,6 persen, Brasil 113 proyek (13 persen), dan Meksiko 97 proyek (11 persen).

Mengomentari ini, Emil mengatakan aktivitas CDM Indonesia perlu digalakkan. Menurutnya, tertinggalannya Indonesia dalam perdagangan karbon atau CDM ini lantaran masih rendahnya pemahaman terhadap mekanisme dan metodologi CDM. "Mekanisme CDM itu sangat rumit dan kompleks sekali," katanya.

Ia tak setuju jika dikatakan tertinggalnya Indonesia dalam CDM melambangkan rendahnya minat kalangan swasta dalam negeri, termasuk pemerintah, untuk mengembangkan proyek-proyek ramah lingkungan alias CDM.

Roadmap Bali

Pemerintah Indonesia tidak hanya menginginkan UNFCCC sukses dari segi pelaksanaannya saja tetapi juga mampu menghasilkan semacam "roadmap Bali" yang menjembatani pemikiran yang mendukung Protokol Kyoto dan yang tidak. "Kita ingin tidak hanya sukses menyelenggarakan 'event' itu saja tetapi kita harap UNFCCC mampu melahirkan sebuah 'roadmap Bali' sebagai suatu konvergensi dari beberapa pemikiran Kyoto Protocol," kata Mensesneg Hatta Rajasa di Badung, Bali, Senin.

Untuk itu, katanya, Indonesia memiliki konsep-konsep pemikiran yang akan disampaikan dalam UNFCCC. Hatta Rajasa yang ikut hadir di Bali mendampingi Presiden Yudhoyono mengatakan, kehadiran Presiden di Bali adalah untuk memastikan kesiapan Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggaraan konferensi berskala internasional tersebut.

Senada dengan itu, Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng mengatakan KTT PBB tentang Perubahan Iklim bukan sekadar konferensi yang seremonial tetapi isinya adalah serangkaian negosiasi untuk mencapai kesepakatan tentang pengganti Protokol Kyoto yang akan habis pada 2012.

"Karena itu, Presiden merasa perlu untuk mendekatkan posisi-posisi yang mendukung Protokol Kyoto maupun yang belum. Kita mengharapkan hasil dari KTT Bali ini bisa membuka jalan bagi pertemuan selanjutnya di Warsawa, Polandia dan Denmark, yakni mewujudkan sebuah kesepakatan baru Internasional tentang Pengganti Protokol Kyoto," katanya. (arp/ant)

Sumber :
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=315921&kat_id=498
Selasa, 04 Desember 2007

Tidak ada komentar: