Jumat, Januari 11, 2008

Menjaga Bank Karbon di Lahan Gambut

Menjaga Bank Karbon di Lahan Gambut

Penulis : YUNI IKAWATI

Konferensi tingkat dunia yang membahas perubahan iklim di Bali telah berakhir, Jumat (14/12), tetapi pekerjaan rumah bagi Indonesia belum juga selesai. Belum ada data pasti deposit karbon yang dimilikinya. Padahal, ini menentukan posisi Indonesia dalam peringkat negara pencemar udara dan posisi tawarnya dalam "perdagangan karbon" dengan negara maju.

Sebagai negara pemilik hutan terluas kedua di dunia setelah Brasil, Indonesia tentunya dapat menjadi salah satu tumpuan untuk menyelamatkan bumi ini dari kehancurannya akibat pemanasan global dan penyimpangan iklim.

Karena sumber anomali itu diyakini para ilmuwan dunia akibat dari tingginya emisi gas-gas rumah kaca, yaitu karbon dioksida (CO2di samping klorofluorokarbon (CFC), ozon, metan, dan nitrogen dioksida (NO2) yang terakumulasi dan menutup lapisan atmosfer sehingga panas matahari yang sampai ke permukaan bumi terkurung di lingkungan atmosfer.

Dalam kondisi seimbang, gas karbon yang dilepaskan ke udara sebenarnya dapat diserap oleh pepohonan yang menggunakannya untuk berfotosintesis sehingga jumlahnya di udara dapat berkurang. Namun kawasan hutan yang menjadi paru-paru bumi ini kian menciut luasnya. Jadilah emisi karbon itu terus menumpuk di atmosfer.

Melihat memburuknya kondisi lingkungan bumi ini, perlu upaya konkret dan segera dilakukan oleh seluruh penduduk dunia, termasuk Indonesia. Selain mengurangi pencemaran gas-gas rumah kaca, terutama CO2di atmosfer, menurut Ketua Masyarakat Akunting Sumber Daya Alam dan Lingkungan Indonesia (MASLI) Bambang Setiadi, juga perlu ditempuh pendaurulangan CO2 pengembangan energi tanpa menghasilkan CO2 dan pemanfaatan hutan secara terencana. "Pengurangan emisi karbon juga dapat dilakukan dengan mempertahankan deposit karbon selama mungkin dalam kondisi alaminya," ujar Bambang.

Menurut dia, yang juga Ketua Himpunan Gambut Indonesia, untuk menahan sumber karbon tetap tersimpan di alam, dapat dilakukan tidak hanya dengan mempertahankan hutan, tapi juga hutan gambut dan kubah gambut dari kerusakan dan penyusutan karena pemanfaatan yang berlebihan.

Mempertahankan hutan dan kubah gambut sebagai sumber penyimpan karbon tersebut berarti juga menjaga fungsinya sebagai penyimpan cadangan air. "Air harus tetap menggenangi lahan gambut supaya tidak mengering dan terbakar. Karena dengan begitu, akan melepaskan karbon ke udara," urai Bambang, sebagai pakar gambut dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.

Kasus PLG Kalteng

Di Kalimantan, kawasan yang tidak memiliki pegunungan sebagai penahan air hujan, maka kubah gambut merupakan satu-satunya sumber penahan air hujan di kawasan tersebut. Maka, ketika gambut di proyek lahan gambut (PLG) sejuta hektar di Kalimantan Tengah (Kalteng) rusak, maka terjadi banjir di hilir. Banjir yang bersifat permanen di Kalimantan Selatan merupakan limpasan air dari hutan gambut Kuala Kapuas di Kalteng, yang kini hidrologinya telah rusak parah.

Pangkal penyebabnya adalah kanal di PLG yang dibangun tahun 1996. Jaringan irigasi dan drainase sepanjang empat kali Pulau Jawa atau lebih dari 4.000 kilometer itu merupakan "jalan tol" bagi larinya air ke luar kawasan, terbuang ke laut.

Bila lahan gambut sudah sampai kering, ujar pakar gambut Dr Herwint Simbolon dari Puslit Biologi LIPI, maka kesuburannya tidak dapat kembali seperti sediakala. "Semula lahan gambut ini memiliki daya tampung air sampai 90 persen, sekarang tinggal 40 persen," ungkapnya.

Lebih lanjut, ke dalam pori- pori tanah gambut yang telah kosong itu, oksigen akan masuk dan bersenyawa dengan unsur di dalamnya hingga menyebabkan terurainya karbon. Selain itu, setelah sekian lama lahan itu mengering, bila kembali digenangi air, maka tidak lagi bisa menahan dan menyimpan air karena telah terjadi perubahan struktur lahan gambut itu.

Kondisi ini dapat memicu kebakaran bila terpapar sinar matahari. Maka, tak heran saat musim kemarau setiap tahun kawasan tersebut selalu terbakar. Kebakaran ini berarti lepasnya karbon yang telah terakumulasi berpuluh hingga ribuan tahun lalu. Dalam 10 tahun terakhir, diperkirakan 20 gigaton CO2 ekuivalen yang dilepaskan dari kawasan gambut di Indonesia akibat dekomposisi dan oksidasi dari perubahan penggunaan lahan dan kebakaran hutan gambut. Pada kebakaran hutan gambut tahun 1997, sekitar 2,57 gigaton karbon terlepas ke atmosfer atau setara dengan 10 gigaton CO2

Neraca karbon

Di PBB, neraca sumber daya alam telah menjadi pertimbangan dalam berbagai aspek pembangunan dunia. Dalam hal ini, lahan gambut juga diperhitungkan sebagai bank karbon karena kemampuannya yang tinggi dalam menyimpan karbon.

Lahan gambut tropis memang hanya sepersepuluh dari lahan gambut di dunia yang seluas 400 juta hektar. Namun karbon yang tersimpan di dalamnya sepertiga dari deposit karbon lahan gambut dunia atau sebesar 191 gigaton.

"Mengingat lebih dari setengahnya hutan gambut tropis atau lebih dari 20 juta hektar berada di Indonesia, maka karbon harus diperlakukan sebagai aset yang perlu dijaga kelestariannya. Ini untuk memperkuat posisi tawar dengan negara maju dalam program CDM (Clean Development Mechanism)," ujar Bambang, yang kini menjadi Deputi Menneg Ristek Bidang Program Riset Iptek.

Untuk mengetahui stok karbon, selama dua tahun terakhir MASLI telah melakukan pengukuran berdasarkan data lapangan dan data satelit dari European Space Agency (ESA) di beberapa wilayah gambut yang potensial, meliputi Aceh, Riau, dan Kalteng.

Sebagai contoh, pada lahan gambut seluas 7.347 kilometer persegi di Sebangau, Kalteng, terhitung karbon yang tersimpan sekitar 2,30 gigaton. Total deposit karbon di Kalteng 6,35 gigaton. Dengan harga karbon sekitar 5 dollar AS per ton, maka nilai yang dapat ditransfer untuk pemeliharaan kawasan gambut tentunya sangat besar.

"Perhitungan deposit itu perlu ditransfer dan diimplementasikan di seluruh Indonesia," lanjut Bambang. Dalam hal ini, diperlukan peningkatan kerja sama di tingkat nasional dan internasional dalam mengukur deposit karbon di hutan, hutan gambut, dan kubah gambut di Indonesia.

Kerja sama ini sangat penting karena data yang akurat dan lengkap akan memperbaiki perhitungan dan prediksi pengaruh perubahan iklim, kebakaran, perubahan tata lahan terhadap cadangan karbon saat ini dan masa datang. Kerja sama ini juga bertujuan menghasilkan keputusan yang benar bagi pengambil keputusan dan memperoleh bantuan pembiayaan yang disepakati dalam CDM.

Sumber :
http://www.kompas.com
Senin, 17 Desember 2007

Tidak ada komentar: