Jumat, Januari 11, 2008

Monsanto Khawatirkan Ratifikasi Protokol tentang Keamanan Hayati

Monsanto Khawatirkan Ratifikasi Protokol tentang Keamanan Hayati

Jakarta, Kompas - Pihak Monsanto diliputi kekhawatiran menghadapi rencana Indonesia untuk meratifikasi Protokol Cartagena. Dalam pandangan perusahaan bioteknologi pertanian itu, Indonesia lebih baik menerapkan saja regulasi yang sudah ada ketimbang meratifikasi protokol tentang keamanan hayati itu.

Kekhawatiran pihak Monsanto itu tersirat dari penjelasan Government and Public Affairs Lead PT Monagro Kimia, Edwin S Saragih, dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi I DPR, Rabu (7/7). Monagro Kimia adalah anak perusahaan Monsanto di Indonesia.

"Kami dari Monsanto berpendapat bahwa daripada meratifikasi Protokol Cartagena, kenapa tidak regulasi yang ada sekarang diimplementasikan berdasar fakta dan pertimbangan ilmiah, bukan berdasar praduga akan ketakutan terhadap suatu dampak negatif yang belum tentu terbukti. Dan kami yakin rekan-rekan industri pasti akan berpendapat sama," papar Edwin. Ia menyebutkan, regulasi yang dimaksud antara lain Undang-Undang (UU) Perlindungan Varietas Tanaman dan UU Pangan.

Menurut Direktur Eksekutif Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia (Konphalindo) Tejo W Jatmiko, kekhawatiran Monsanto terhadap ratifikasi Protokol Cartagena sangat beralasan. Sebab, perusahaan yang pernah mengkomersialkan benih ka- pas transgenik di Sulawesi Selatan itu akan menghadapi berbagai ketentuan yang sangat ketat, yang membatasi keleluasaannya memasarkan produk hasil rekayasa genetika di Indonesia.

Terbatas

Tejo menyebutkan empat prinsip dasar Protokol Cartagena yang akan membatasi produsen organisme hidup hasil modifikasi (OHM), yakni prinsip pendekatan kehati-hatian (precautionary approach), partisipasi publik, sosial-ekonomi, serta pertanggungjawaban dan upaya pemulihan.

Berdasarkan prinsip kehati- hatian, menurut Tejo, negara yang telah meratifikasi Protokol Cartagena berhak menolak impor produk rekayasa genetika. Ketiadaan kepastian ilmiah tidak boleh menjadi alasan untuk menunda langkah-langkah yang efektif, demi mencegah kerusakan lingkungan.

Mengenai partisipasi publik, prinsip itu memungkinkan partisipasi semua warga yang memiliki keprihatinan pada tingkat yang relevan. Pada tingkat nasional, setiap individu harus memiliki akses yang sesuai terhadap informasi tentang lingkungan yang disediakan oleh pemegang wewenang, termasuk informasi tentang bahan berbahaya dan kegiatan yang dilakukan komunitas, dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan.

Dalam hal pertimbangan sosial-ekonomi, diatur mengenai kondisi sosial-ekonomi yang timbul sebagai dampak dari OHM terhadap konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati, khususnya menyangkut nilai dari keanekaragaman hayati bagi masyarakat asli dan masyarakat setempat.

Yang paling dikhawatirkan bagi produsen OHM, menurut Tejo, adalah prinsip tanggung jawab dan pemulihan. "Pertanggungjawaban ini yang paling gawat. Sebab, mereka tidak hanya menghadapi tuntutan perdata atau ganti rugi, akan tetapi juga tuntutan pidana," jelas Tejo. (LAM)

Sumber :
http://www.kompas.com
Kamis, 08 Juli 2004

Tidak ada komentar: