Rabu, Februari 27, 2008

PP No 2/2008 Tegaskan Tambahan Pajak Bagi Pertambangan di Hutan

PP No 2/2008 Tegaskan Tambahan Pajak Bagi Pertambangan di Hutan

Penulis : Asep

Jakarta--MI: Departemen Kehutanan menegaskan terbitnya Peraturan Pemerintah No 2/2008 bukan merupakan upaya mempermudah perambahan hutan lindung untuk pertambangan. Keluarnya PP ini justru menjadi tambahan beban di samping beban-beban lain yang sudah ada. "Selama ini sektor kehutanan tidak dapat apa-apa dari pemakaian hutan untuk penambangan. Dengan adanya, tarif ini, maka kehutanan akan berpotensi memperoleh PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) sebesar Rp 600 miliar setiap tahun untuk tambang yang sudah ada," ungkap Menteri Kehutanan MS Kaban saat ditemui di Jakarta, Kamis (21/2).

Menurut Kaban, pemakaian hutan apalagi hutan lindung semestinya tidak merugikan sektor kehutanan. Soalanya, pemakaian hutan untuk pertambangan sudah pasti akan merusak kawasan hutan. Untuk itulah Dephut berinisiatif menentukan tarif untuk PNBP dari pemanfaatan hutan untuk pertambangan.

Ketentuan ini dituangkan dalam PP No 2/2008 tentang jenis dan tarif PNBP yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang ditandatangani 4 Februari lalu. Lebih jauh, Kaban menambahkan untuk 13 usaha pertambangan yang sudah mendapat izin penggunaan hutan lindung, Dephut tidak ingin menghambatnya. Pasalnya, izin tersebut sudah merupakan keputusan pemerintah .

Kaban menegaskan, aturan PP ini tidak berlaku surut. Untuk itu, bagi pertambangan yang sudah melakukan penambangan tetap dikenai kewajiban mengganti lahan. Sedangkan, bila penggantian tidak bisa dilaksanakan, mereka juga dikenai kewajiban membayar pajak sesuai PP No 2/2008. Untuk tambang yang sudah ada saja dia memperkirakan akan memberikan kontribusi PNBP kehutanan sebesar Rp 600 miliar.

Bila usaha pertambangan lainnya berjalan, PNBP-nya akan meningkat. Dana ini bisa dipakai untuk pengembangan sektor kehutanan. Meski begitu, Kaban mengingatkan hutan lindung tetap menjadi objek perlindungan. Sehingga, penggunaan lahan hutan untuk penambangan harus mempetimbangkan analisa dampak lingkungan. Jika pengusaha tidak bisa memenuhinya, pemerintah akan mencabut izin tersebut. "Tapi soal cabut mencabut izin itu urusan ESDM," tambahnya.

Sementara itu Kepala Badan Planologi Kehutanan Dephut Yetti Rusli penerbitan PP No 2/2008 hanya mengatur besaran tarif atau pajak untuk pertambangan di hutan. Sedangkan, kelayakan penambangan dan lainnya akan mengacu pada aturan perizinan. Dephut tidak akan memberikan izin bagi penambangan terbuka selain 13 izin yang ada. Soalnya, hutan lindung merupakan urat nadi kehidupan yang harus dilindungi. "PP ini hanya mengatur besaran tarif. Layak tidaknya usaha untuk memanfaatkan hutan tetap diatur dalam perizinan. Bila izin keluar, aturan tarif ini akan diterapkan," jelas Yetti.

Meski demikian, Yetti memaparkan dari 13 izin yang ada, hanya empat perusahaan yang sudah mengajukan izin prinsip. Itupun baru tiga yang sudah lulus untuk selanjutnya memenuhi kewajiban sebelum memulai praktek penambangan di hutan lindung. Ketiga perusahaan diantaranya PT Aneka Tambang, PT Indominco Mandiri, dan PT Natarang Mining. Selebihnya, masih hanya berupa izin eksplorasi dan masih jauh sebelum memulai praktek ekploitasi hutan untuk tambang. (Toh/OL-03)

http://www.mediaindonesia.com/
Jum'at, 22 Februari 2008 06:16 WIB

Tidak ada komentar: