Minggu, Februari 17, 2008

Pembangunan Berbasis Rendah Karbon Harus Segera Dilakukan

Pembangunan Berbasis Rendah Karbon Harus Segera Dilakukan

JAKARTA, KAMIS - Indonesia perlu segera menyiapkan strategi dan mengambil langkah nyata menuju pembangunan berbasis rendah karbon yang akan berdampak pada pembangunan Indonesia yang berkelanjutan dan berkualitas.Demikian pandangan yang disampaikan Institute for Essential Services Reform (IESR) dan WWF-Indonesia dalam diskusi “Developing Visions for Low Carbon Economy in Indonesia”, Kamis (31/1).

Pemanasan global dan perubahan iklim telah terjadi dan menimbulkan dampak multidimensi di tingkat global. Fenomena ini terjadi akibat pembangunan dan aktivitas ekonomi negara-negara maju selama dua abad terakhir dengan membakar bahan bakar fosil. Di saat yang bersamaan, terjadi perubahan tata guna lahan dan perusakan hutan yang meningkatkan volume gas-gas rumah kaca di atmosfer.

Produksi gas rumah kaca Indonesia mengalami kenaikan pesat dalam satu dekade terakhir. Sumber-sumber emisi terbesar berasal dari sektor energi (pembangkitan listrik, konversi energi, industri, dan transportasi) dan perubahan tata guna lahan (land-use change).

Studi yang dilakukan IESR dan WWF Indonesia tahun 2007 lalu memperkirakan, di tahun 2025, emisi Co2 akan meningkat tiga kali lipat menjadi 300 juta ton dengan asumsi moderat volume emisi CO2 equivalent dari pembangkitan listrik di Jawa-Bali. Ini bakal terjadi jika pasokan listrik masih bertumpu pada teknologi pembangkitan berbasis batubara dan bahan bakar fosil lainnya.

Fitrian Ardiansyah, Direktur Program Iklim & Energi, WWF-Indonesia menilai seharusnya Indonesia tidak perlu mengulangi kesalahan negara-negara maju yang berbasis tinggi karbon. Indonesia bisa memilih model pembangunan berbasis rendah karbon, tanpa menurunkan kualitas dan hasil pembangunan itu sendiri, sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan. “Jika hal ini dilakukan, maka Indonesia sebagai negara berkembang telah mengimplementasikan hasil COP 13, yaitu Bali Action Plan, yaitu menurunkan emisi secara sukarela.”

Alasan kuat mengapa Indonesia harus beralih adalah, “Laju pengurasan sumberdaya energi konvensional yang semakin cepat,” ungkap Fabby Tumiwa, Direktur IESR. Sebagai contoh, fenomena “peak oil” mulai dialami Indonesia sejak pertengahan tahun 70-an dan mungkin akan dialami dunia dalam waktu singkat. Demikian juga dengan “peak-coal” dalam 2 hingga 4 dekade mendatang. Akibat dari keterbatasan pasokan energi primer ini, harga menjadi sangat mahal dan politis.

Mengutip studi yang dilakukan APERC tahun 2006, Indonesia akan menjadi net-importer energi primer pada tahun 2030. “Kalau kita tidak segera beralih kepada sumber energi alternatif dan terbarukan, dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, pembangunan Indonesia akan menjadi mahal dan biaya impor energi yang harus ditanggung tentu saja sangat besar,” jelas Fabby lagi.

Diskusi yang merupakan kick-off dari sebuah serial diskusi sepanjang tahun 2008 ini diharapkan dapat menjadi stimulus sekaligus menciptakan tekanan bagi para pembuat kebijakan terkait, pelaku ekonomi, dan masyarakat umum, untuk segera merumuskan strategi dan rencana aksi kongkrit penerapan pembangunan ekonomi berbasis karbon rendah. “Forum ini penting untuk memulai pembahasan yang serius agar Indonesia punya rencana pembangunan yang secara ekonomi nyata namun tidak menimbulkan dampak emisi gas rumah kaca yang serius,” jelas Fitrian.

Fabby menambahkan, “Waktu kita sangat terbatas untuk menciptakan sistem ekonomi yang tidak tergantung pada bahan bakar fosil, tetapi dengan melakukannya secara lebih dini, kita dapat menghindari kehancuran ekonomi di masa depan.”

Sumber :
http://www.kompas.com/read.php?cnt=.xml.2008.01.31.23191394&channel=1&mn=42&idx=44
Kamis, 31 Januari 2008 23:19 Wib

Tidak ada komentar: