Jumat, Januari 18, 2008

PR Mengurus " Harta Warisan"

PR Mengurus " Harta Warisan"

Oleh : Brigitta Isworo L

Agak emosional, Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar yang saat itu menjabat sebagai Presiden Konferensi Para Pihak Ke-13 mengemukakan bahwa semua proses konferensi tersebut menyentak kesadarannya akan segala kekayaan alam Indonesia, akan harta karun warisan alam. Kesadaran hakiki bahwa selama ini bangsa Indonesia telah mengabaikan harta karun tersebut dan tidak mengurusnya dengan baik.

Ketika itu jam menunjukkan sekitar pukul 18.30 Wita di Auditorium Bali International Convention Centre atau lebih dari 24 jam dari rencana waktu penutupan Konferensi Para Pihak Ke-13 (COP-13). Ruangan berisi 506 tempat duduk itu hanya terisi sekitar sepertiganya. Rachmat sedang berada di panggung berdampingan dengan Yvo de Boer, Sekretaris Jenderal pada Kerangka Kerja Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim. Saat itu Rachmat seharusnya berperan sebagai Presiden COP-13. Namun, dorongan dari dalam diri, sebagai orang Indonesia, tidak dapat diredamnya lagi.

"Semua proses panjang ini telah mengingatkan kami. Kami menjadi lebih menghargai (warisan alam kami). Kami selama ini tidak menghargai sumber daya alam kami, kekayaan alam kami, warisan alam kami," ujar Rachmat. "Jadi, harus ada follow up-nya, harus diurus bersama, berkoordinasi dengan para menteri lainnya dan dengan masyarakat. Kami akan refleksikan perubahan iklim ini dalam pemerintahan kami," tegas Rachmat dengan suara bergetar.

Bicara tentang follow up, Pemerintah Indonesia di tengah- tengah konferensi meluncurkan Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim (RAN Mapi) yang merupakan garis besar arah pembangunan nasional sesuai dengan tantangan ke depan : menghadapi perubahan iklim.

Rachmat, pada awal Oktober lalu, menyampaikan, menjalankan RAN tidak bisa lagi dilakukan dengan sikap business as usual (BAU). Menurut dia, untuk mengimplementasikan RAN Mapi dibutuhkan sebuah kabinet yang sama sekali berbeda karena paradigma pembangunan sudah harus berbalik 180 derajat.

Pertanyaannya kemudian, mampukah dan maukah pemerintah di bawah Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2008 dan pemerintah pada pasca-Pemilu 2009 nanti mengubah bentuk dan susunan kabinet demi lancarnya implementasi RAN Mapi dengan tujuan menyejahterakan masyarakat, terutama masyarakat yang rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim?

Jika kita menengok sejarah tentang bagaimana pemerintahan dijalankan di negeri ini, kita patut ragu. Pemerintah biasanya bersikap reaktif atas sebuah persoalan. Bagaimana pula untuk isu perubahan iklim yang terasa amat jauh di depan dan tidak terlihat jelas dampaknya?

Soal menjalankan RAN Mapi, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Mezak A Ratag menegaskan, "Perlu dibentuk suatu badan nasional untuk perubahan iklim. Badan itu harus melibatkan semua ilmuwan dari berbagai bidang keilmuan. Meteorologi, klimatologi, kelautan dan atmosfer, serta bidang-bidang lainnya sehingga kita bisa melihat persoalan perubahan iklim ini secara holistik, tidak sepotong-potong."

Langkah itu untuk menjembatani hasil Panel Antarpemerintah mengenai Perubahan Iklim (IPCC) dengan kondisi di Indonesia, sebab tampak beberapa kelemahan pada cara kerja IPCC. Pada awalnya mereka hanya mengambil tulisan-tulisan ilmiah dari jurnal internasional. "Akibatnya, perwakilan dari negara berkembang sangat minim, padahal negara-negara itulah yang bakal mendapat dampak paling besar," ujarnya merujuk pada negara-negara Pasifik, Afrika dan Indonesia.

Dari Indonesia ada tiga kontributor tulisan ilmiah, yaitu dari Dr Edvin Aldrian dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Dr Daniel Murdiyarso dari Center for International Forestry Research (CIFOR) dan Dr Rizaldi Boer dari Laboratorium Klimatologi Geomet-FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB).

Akibat "posisi" yang lemah dalam IPCC tersebut, Mezak meragukan pemahaman IPCC akan kondisi sebenarnya dari negara-negara yang kurang terwakili suaranya. Misalnya, bagaimana memahami iklim Indonesia yang terbagi menjadi sekitar 220 zona iklim yang karakteristiknya masing-masing berbeda. Menurut Mezak, IPCC membutuhkan waktu hingga setengah hari untuk menetapkan bahwa negara-negara Asia Tenggara kerentanannya tinggi terhadap dampak negatif perubahan iklim.

Peta kerawanan

Hal nyaris serupa terjadi di dalam penyusunan RAN Mapi. Menurut pengamatan Aulia Prima Kurniawan, Sekretaris Jenderal Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (IA-ITB) dan Ketua Dewan Perwakilan Daerah Sarwono Kusumaatmadja, RAN Mapi belum memuat peta kerentanan tiap daerah yang disusun secara alamiah. Padahal, berdasar peta kerentanan tersebut penanganan masalah baik adaptasi maupun mitigasi bisa lebih tepat.

"Indonesia paling rentan terhadap perubahan iklim. Namun, RAN Mapi belum menempatkan masalah ini sebagai bagian yang penting," kata Sarwono. "Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim sama sekali tidak memahami masalah perubahan iklim yang sesungguhnya," imbuh Aulia.

Jika perbaikan RAN Mapi tidak segera dilakukan, bukan tidak mungkin peringkat Indonesia sebagai peringkat ketiga paling berisiko terhadap perubahan iklim bisa meningkat menjadi peringkat pertama. Tingkat kemiskinan yang tinggi dan rendahnya tingkat pembangunan merupakan pembatas tegas kemampuan kapasitas kalangan miskin dalam mengelola risiko dampak negatif perubahan iklim.

Karakteristik perubahan iklim tidak terdistribusikan secara merata dan tidak sama. Amerika mendapat serangan badai besar seperti Badai Katrina, sementara Banglades diterpa banjir bandang yang tak kunjung henti, bagian selatan Eropa diserang gelombang udara panas yang mematikan, sementara di kutub beruang-beruang mulai menciut habitatnya.

Namun, ada hal yang sama dari semua itu, yaitu bahwa pada suatu ketika nanti, secara mendadak (abrupt) dan tak dapat dikembalikan prosesnya (irreversible), semua kejadian itu akan berubah menjadi gempa iklim (climate shock) di mana saat itu akan bersifat sangat katastropik.

Tidak kasat mata

Pemerintah selalu mengeluhkan keterbatasan sumber daya manusia dan dana. Dua-duanya sangat terbatas jumlahnya sehingga pemerintah tidak dapat berbuat banyak. Benarkah harus demikian? Mungkin saja tidak.

Sebenarnya yang terjadi sekarang adalah pengebirian cara berpikir secara multilateral dan holistik, serta sikap melupakan nilai-nilai positif yang tidak kasat mata (intangible). Akibatnya, semua bidang kehidupan hanya dilihat sebatas hal-hal yang kasat mata (tangible) yang mampu dikuantifikasi. Lebih jauh lagi, artinya lalu direduksi menjadi : diterjemahkan dalam bentuk uang.

Keberadaan masyarakat adat atau masyarakat lokal belum sepenuhnya dilihat sebagai kekayaan tidak kasat mata, sebagai aset. Sebaliknya, mereka dipandang tidak produktif bahkan dianggap destruktif sehingga mereka pun "disingkirkan" ketika pemerintah ingin "mengusahakan" hutan bersama pihak swasta-untuk kayunya atau pun untuk karbonnya. Padahal, kekayaan hutan bukan semata-mata "kayu dan karbon". Di sana ada kehidupan masyarakat lokal, ada reservasi air, ada keanekaragaman hayati Indonesia adalah yang terkaya dalam hal ini dan ada sumber daya non kayu.

Pihak swasta, notabene berpendidikan, pada banyak kasus dianggap lebih tahu bagaimana mengelola hutan (dengan manajemen modernnya). Padahal, pada beberapa kasus, pemerintah bahkan tidak bisa masuk lagi ke hutan untuk melakukan kontrol. Ironis.

Ada satu ujaran yang berbunyi "resources is a source of conflict". Ini diucapkan mantan Menteri LH Emil Salim pada suatu kesempatan. Jika pemerintah tidak mengelola sumber daya alam secara adil, bisa dipastikan akan muncul konflik horizontal. Ini telah muncul pada beberapa tempat. Ada di Kalimantan, juga ada di Sumatera dan Papua. Contohnya banyak. Di sana terjadi proses pemelaratan rakyat. Pada kasus-kasus terkait kehutanan, di sana-sini terdapat kasus, pemilik ratusan hektar kebun tiba-tiba terusir dari tanahnya.

Pemerintah mungkin perlu belajar dari Pemerintah Brasil yang bisa memberikan keuntungan kepada masyarakat lokal di kawasan Amazon. Mereka mendapat uang secara langsung per hari dan mereka tetap bisa memanfaatkan hasil hutan nonkayu untuk penghasilan sehari-hari. Anak-anak mereka mendapatkan pendidikan sebagai salah satu bentuk insentif.

Keadilan di atas kertas

Jangan salah, di atas kertas pada peraturan-peraturan tertulis, sudah disebutkan bahwa penduduk lokal dan nilai-nilai ekologis serta kultural hutan harus diperhitungkan. Siapa bisa membantah bahwa semua peraturan hukum di negeri ini amat adil?

Di atas kertas, Indonesia adalah negeri yang amat adil sejahtera, yang amat menghargai segala kekayaan alamnya, juga menghargai segenap penduduknya-tercantum pada UUD 1945. Namun, yang terjadi di lapangan ternyata berjarak amat jauh dari yang tertulis di kertas-kertas itu semua. Semua kejadian pada intinya terkait dengan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance)—hal ini adalah "komoditas termahal" di negeri ini.

Jurang antara peraturan dan implementasi bersumber dari absennya tata kelola pemerintahan yang baik. Untuk memperbaikinya satu-satunya jalan adalah melalui pendidikan? Jika pendidikan hanya menekankan kompetisi dan prestasi, seperti terjadi sekarang, akan lahir manusia-manusia egois dan haus prestasi. Akibatnya, koordinasi antarsektor atau antardepartemen pun macet. Maka, lahirlah ironi negeri ini: "negeri ini mengalami kerusakan di segala lini, namun tidak ada perusaknya!" (Kutipan dari siaran radio SmartFM). Sungguh berat PR-nya…. (Maria H/Nawa Tunggal/ Ahmad Arif)

Sumber :
http://www.kompas.com/
Rabu, 19 Desember 2007

Tidak ada komentar: