Jumat, Januari 18, 2008

Tata Ruang Medan Dan Bandara Kuala Namu

Tata Ruang Medan Dan Bandara Kuala Namu (Catatan Menyempurnakan Konsep Masterplan Kota Medan)

Oleh : Ir Budi D Sinulingga, Msi


Medan sudah memiliki masterplan (rencana tata ruang wilayah) 2 kali, yaitu 1975-2000 dan 1995-2005। Rencana tata ruang yang sekarang sudah kadaluwarsa dan syukur Pemko Medan telah mempersiapkan gantinya, yaitu masterplan Medan 2016 dan dalam proses pengesahan. Sayang pengesahan tidak dapat dilanjutkan karena dasar penyusunan tadinya UU No 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, padahal sekarang baru saja keluar undang undang yang baru (UU No 26 tahun 2007) tentang hal yang sama. Judulnya memang sama tapi substansinya banyak yang berbeda, lebih rinci, lebih luas dan lebih keras sanksinya dan masa berlakunya lebih lama jadi 20 tahun sedangkan sebelumnya hanya 10 tahun. Dan rencana yang sudah selesai disusun memerlukan penyesuaian kembali. Memang repot karena kontrak dengan konsultan telah selesai, tapi karena tuntutan UU harus dilakukan.

Pokok-pokok Konsep

Beberapa hal yang penting dan relatif baru dari konsep rencana tata ruang wilayah kota Medan 2016 dibanding dengan rencana tata ruang wilayah sebelumnya ialah :

Pertama: Pusat primair kota dibuat dua, yaitu di kawasan eks bandara Polonia dan pusat primer di Belawan. Idenya tentu baik karena bentuk kota yang agak memanjang, jadi kurang efisien kalau hanya satu.
Kedua: Bagian wilayah Kota (BWK) Medan dijadikan 9 yaitu Belawan, Marelan Labuhan, Timur, Perjuangan, Helvetia, Selayang dan Area. Dalam tata ruang wilayah 1995-2005 hanya 5. Pembuatan BWK menjadi 9 lebih realistis mengingat berkembang pesatnya seluruh wilayah kota.Satu BWK seyogianya memiliki kesamaan dalam isu perkembangan kota.
Ketiga: Pusat pemerintahan dipindahkan ke kawasan Tanjung Mulia dekat persimpangan TOL. Pusat pemerintahan ini mencakup pemerintahan provinsi pemerintahan kota dan unsur unsur pemerintah pusat dan lembaga tinggi negara lainnya. Dasar pemikirannya karena adanya dua pusat primair maka perlu diikat dengan pusat pemerintahan yang terletak di tengah kedua pusat primair tersebut.

Kempat: Menyediakan ruang terbuka hijau publik seluas 20 % dari luas kota. Total luasnya 5560 ha dengan rincian hutan mangrove Belawan 1029 ha, kawasan lindung sempadan sungai 666 ha, sekitar danau (luasnya tak dicantumkan), taman kota dan taman lingkungan 612 ha termasuk yang ada sekarang 22 ha (betapa besarnya taman yang harus diadakan), sempadan jalan 3050 ha (tidak jelas apakah maksudnya lahan pekarangan masyarakat yang dibuat hijau, karena kalau demikian bukan ruang terbuka hijau publik lagi namanya, tapi ruang terbuka privat).

Kelima: Pengembangan kawasan Utara yang mencakup pembangunan kawasan industri hitech, waterfront city, Kawasan Ekonomi Khusus, kawasan proses ekspor.
Keenam: Pengembangan transportasi massal dengan menghidupkan lintasan kereta api dan membuat lintasan dengan jalan raya tidak sebidang dan kemungkinan membuat sistem monorail yang memerlukan studi lebih lanjut.
Ketujuh: pengembangan perumahan dengan kewajiban membangun sistem sumur resapan air untuk mengurangi resiko BANJIR.
Hal yang kritis di dalam implementasi

Pasal 65 UU No 26 tahun 2007 mengatakan : (1) Penyelenggraran penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan masyarakat. (2) Peran serta masyarakat sebagaimana ayat 1 dilakukan antara lain melalui : a. partisipasi dalam penyusunan tata ruang, b. partisipiasi dalam pemanfaatan ruang, c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang Dari ketentuan pasal 65 ini maka dapat dilihat bahwa masyarakat (termasuk korporasi atau lembaga pemerintah lainnya) harus memberikan masukan sebaik-baiknya dalam penataan ruang apakah telah mengikuti asas penataan ruang yang digariskan dalam pasal 2 yaitu : a keterpaduan b) keserasian, keselarasan dan keseimbangan c) keberlanjutan d) keberdayaangunaan dan keberhasilgunaan e) keterbukaan f) kebersamaan dan kemitraan g) perlindungan kepentingan umum h) kepastian hukum dan keadilan dan i) akuntabilitas.

Berkaitan dengan ini maka akan diajukan di sini beberapa hal yang kritis dan menyangkut kepentingan orang banyak yaitu :

Pertama; pemindahan pusat pemerintahan ke Tanjung Mulia yang meliputi luas 100 ha, perlu diminta pendapat dari instansi pemerintah provinsi dan pusat apakah mereka merasa perlu pindah ke Tanjung Mulia? Dan mau diapakan kantor gubernur yang begitu megah dan telah dibiayai dengan pelepasan aset provinsi yang demikian banyak? Masyarakat mungkin akan bertanya pada pemerintah provinsi apakah keberdayagunaan dan keberhasilgunaan dari pemindahan pusat pemerintahan provinsi dari segi kepentingan masyarakat? Hal yang sama akan terjadi pada kantor kejaksaan maupun pengadilan. Ditinjau dari segi pelayanan permerintah kota maka walaupun lokasinya agak di tengah antara jarak Utara dan Selatan tapi penduduk banyak berkonsentrasi di kawasan Selatan sehingga lebih banyak penduduk yang merasakan berkurang kenyamanannya apabila dipindahkan. Mungkin konsepnya ingin meniru pusat pemerintahan di Kualalumpur yang di pindahkan ke Putrajaya tetapi kalau dicermati lebih dalam kasusnya sangat berbeda dengan Medan yaitu :
  1. Bahwa semua kantor kantor pemerintahan yang dipindahkan ke Putrajaya berada dalam satu komando yaitu kantor perdana menteri karena yang dipindahkan kantor pemerintah pusat sementara itu kantor kantor pemerintahan tingkat lainnya termasuk kantor walikota tidak dipindahkan, sedangkan di Medan menyangkut kantor kantor dari 3 tingkatan pemerintahan.
  2. Pemerintah Malaysia punya dana (memang mereka jauh lebih kaya dari kita ) untuk membeli tanah tanpa harus menjual lokasi yang lama. Untuk kasus Medan patut dipertanyakan bagaimana menyediakan uang untuk membeli lahan yang 100 ha itu agar segera dapat dibebaskan karena nilainya bisa mencapai Rp 700 miliar sampai Rp 1 triliun belum termasuk prasarananya.
  3. Initiator dari perpindahan pusat pemerintahan itu adalah Perdana Menteri Malaysia yang berkuasa waktu itu yaitu dr Mahatir Muhammad. Dan kalau semua pemilik kantor pemerintahan memang sudah sepakat untuk memindahkan kantornya, maka tanah seluas 100 ha itu harus segera dibebaskan. Siapa pemikul dana pembebasan? Sistem tukar guling sangat tidak mudah karena demikian banyaknya objeknya dan sesuai ketentuan yang berlaku harus ditenderkan dan pemegang kewenangan terdiri dari berbagai instansi dan akan mengundang masalah yang berkaitan dengan hukum. Oleh karena itu meletakkan kawasan pemerintahan di eks bBndara Polonia merupakan alternatif yang layak dipertimbangkan dalam rencana tata ruang wilayah kota Medan, terlebih semua kantor penting itu masih dalam satu BWK. Dan yang perlu dipindahkan hanyalah kantor Walikota dan DPRD nya karena memang tidak representatif lagi.
Kedua : Penyediaan ruang terbuka hijau। Luas taman kota dan taman kota yang direncanakan ialah 612 ha termasuk 22 ha yang ada sekarang, berarti diperlukan 590 ha lagi. Ini suatu jumlah yang besar. Pengadaan hutan kota setidaknya 50 ha selayaknya ditempatkan di kawasan eks Bandara Polonia karena kawasan ini akan diarahkan jadi kawasan bisnis dengan bangunan tinggi dengan aktivitas penduduk yang intensif sehingga memerlukan ruang terbuka hijau yang banyak. Selanjutnya direncanakan kawasan terbuka hijau di sempadan sungai, rasanya melihat susahnya membebaskan tanah maka sempadan sungai yang 15 m agak terlalu optimis. Lantas di mana? Marilah kita bersama merenungkannya agar masterplan yang dibuat itu dapat direalisasikan.

Ketiga: Belum dibuat arahan tentang kawasan evakuasi bencana seperti yang diarahkan oleh UU No 26 tahun 2007।

Kempat: Sistem drainase dan pengendalian banjir masih mengikuti pola lama, yang bertumpu pada sungai sungai yang ada। Dalam pola lama areal pelayanan Sei Sikambing terlalu luas, sedangkan kapasitasnya kecil dan susah untuk ditingkatkan mengingat banyak yang sudah di lining (ditembok)। Layak dipikirkan mini floodway ke Sei Belawan untuk mengurangi bebannya.
Pemindahan Bandara

Bandara Kuala Namu akan dapat dioperasikan pada tahun 2009 demikian informasi yang kita peroleh। Dari siaran TV Metro Desember 2007 terdengar berita kawasan itu telah dikapling-kapling oleh golongan tertentu. Tentunya kepentingan bisnis berupa perkantoran, perumahan kondominium dan kegiatan bisnis lainnya yang dapat segera mendatangkan untung yang sangat banyak. Adakah yang memikirkan bahwa kawasan eks bandara ini adalah satu satunya kesempatan yang dapat digunakan agar Kota Medan memiliki hutan kota, ibarat Hyde park yang terkenal di London? Sebetulnya bukan hanya London tetapi banyak sekali kota besar dunia memiliki hutan kota. Bukankah hak atas eks Bandara Polonia akan jatuh ke tangan pemerintah dan bukankah itu amanat UU harus ada ruang terbuka hijau 20%. Selayaknya dari areal yang ada dapat disediakan 50 ha untuk hutan kota ini. Siapakah yang harus menjaga ini? Tentunya masyarakat harus berjuang untuk itu.

Penulis adalah widyaiswara utama Badan Diklat Provinsi Sumatera Utara dan Dosen Pascasarjana PWD USU untuk perencanaan tata ruang.

Sumber :
http://www.waspada.co.id/
Senin, 07 Januari 2008 00:29 WIB

Tidak ada komentar: